Aksi Tutup Freeport, Golput Pemilu 2019 dan Berikan Hak Penentuan Nasib Sendiri Sebagai Solusi Demokratis Bagi Bangsa West Papua


Aksi Bersama 
Aliansi Mahasiswa Papua [AMP] dan Front Rakyat Indonesia Untuk West Papua 
        [FRI-WP] _____________________________________________________________________________

Salam Pembebasan Nasional Bangsa West Papua!

Amolongo, Nimo, Koyao, Koha, Kinaonak, Nare, Yepmum, Dormum, Tabea Mufa, Walak, Foi Moi, Wainambe, Nayaklak
Wa…wa…wa…wa…wa…wa..wa..wa..wa..wa!

TUTUP FREEPORT, GOLPUT PEMILU 2019 DAN BERIKAN HAK MENENTUKAN NASIB SENDIRI SEBAGAI SOLUSI DEMOKRATIS BAGI BANGSA WEST PAPUA

Salam Solidaritas!

Freeport Indonesia telah lama menjadi malapetaka bagi bangsa West Papua. Kehadiran Freeport-McMoRan di tanah West Papua tak bisa dipisahkan dengan kehadiran pelanggaran terhadap Hak Asasi Manusia dan kerusakan lingkungan di tanah West Papua. Pemerintah kolonial Indonesia juga ikut andil dalam malapetaka yang diderita bangsa West Papua.

Freeport Indonesia yang beroperasi sejak 1967 (52 tahun) merupakan wujud nyata dari imperialisme, untuk melipatgandakan keuntungan kapitalis Internasional dengan mengeksploitasi sumber daya alam di West Papua. Dalam sejarahnya, demi pengamanan proses penanaman modal, operasi-operasi militer Indonesia digelar di tanah West Papua. Setelah Operasi Trikora pada 19 Desember 1961, ada beragam operasi militer seperti Operasi Banten Kedaton, OperasiPenyisiran, Operasi Koteka, Operasi Garuda, Operasi Serigala, Operasi Kancil, Operasi Naga, Operasi Rajawali, Operasi Jayawijaya, Operasi Lumbung, Operasi Jatayu, Operasi Sadar. Operasi lewat laut adalah Operasi Show of Force, Operasi Cakra, Operasi Wisnumurti, Operasi Brathayudha, Operasi Wibawa, , Operasi Garuda dan Operasi Lumba-lumba, Operasi Mapiduma, Operasi Penangnan Pepera, Operasi Koteka, Operasi Senyum, Operasi Gagak, Operasi Kasuari,  dan Operasi Khusus. Nyaris semuanya dilakukan demi penguasaan wilayah West Papua. Demi kenyamanan dan keamanan proses penanaman modal belaka, serta kolonisasi West Papua.

Pada tahun 2000, ELSHAM Papua membuat laporan tentang kekerasan aparat keamanan yang terjadi di berbagai wilayah di West Papua. Di Paniai, tercatat 614 orang meninggal, 13 orang hilang, 94 orang diperkosa. Di Biak, 102 orang meninggal, 3 orang hilang, 37 orang dianiaya, 150 orang ditahan. Di Wamena, 475 orang meninggal. Di Sorong, 60 orang meninggal, 5 orang hilang, dan 7 orang korban pemerkosaan. Di Jayawijaya, 137 orang meninggal, 2 orang hilang, 10 orang menjadi korban pemerkosaan, 3 orang menjadi korban penganiayaan. Belum lagi pembakaran rumah ibadah, kampung, rumah, alat-alat adat istihadat. Itu pun belum termasuk wilayah-wilayah lainnya, yang belum terdata dengan baik mulai dari 01 Mei 1963 Rakyat West Papua di aneksasi hingga saat ini.

Selain terhadap kekerasan terhadap kemanusiaan, Freeport Indonesia juga berperan besar pada kerusakan alam West Papua. Puluhan ribu ha hutan telah diubah menjadi hutan mati. Peluapan sungai akibat endapan limbah yang masuk dalam kategori limbah B3 (Bahan Beracun Berbahaya). Limbah tailing yang dibuang ke Sungai Ajkwa, salah satu sungai di antara lima sungai lain di Mimika. Masih ada sungai-sungai lain seperti Sungai Aghawagon, Sungai Otomona, Sungai Minjerwi, Sungai Aimoe, dan Sungai Tipuka. Freeport Indonesia telah mengkontaminasi perairan dengan cairan asam berbahaya bagi kehidupan akuatik dan terancam bagi rakyat setempat.

Freeport Indonesia, imperialisme Amerika Serikat dan kolonialisme serta militerisme Indonesia di West Papua merupakan kesatuan yang berperan besar terhadap rangkaian penindasan yang tersistematis di West Papua. Negara digunakan sebagai alat kelompok pemodal yang sedang berkuasa untuk melegalkan penindasan di bumi Papua. Kontrak karya pertama PT Freeport dan Indonesia dilakukan pada tahun 1967, sementara Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera) dilakukan pada tahun 1969, itu pun dengan praktik yang manipulatif serta tidak demokratis. Ini merupakan sebuah cerminan dari kolaborasi antara kapitalisme, kolonialisme dan militerisme yang diaplikasikan melalui praktik politik penggabungan paksa (aneksasi) West Papua ke dalam bingkai Republik Indonesia tanpa memberikan kebebasan bagi Rakyat West Papua untuk menentukan nasib sendiri.

Apa lagi Pemilu 2019 Indonesia, terus agenda kolonisasi untuk melakukan ekonomi politiknya ke kancah Internasional dalam menjual tanah West Papua tanpa melihat rakyat asli West Papua dan beberapa kali, Indonesia telah melakukan Pemilu sejak Orde baru hingga saat ini.

Kondisi hari ini, Pemilu 2019 kolonial Indonesia akan dilakukan di seluruh daerah secara serentak pada 17 April 2019 mendatang, yang mana adalah salah satu agenda kolonial di tanah West Papua untuk membungkam proses perjuangan gerakan rakyat West Papua dalam perjuangan kemerdekaan, serta meloloskan agenda kolonial dan kapitalis Internasional menyangkut Freeport. Media-media Indonesia memberitakan pemerintah akan mengerahkan aparat sebanyak 3.000 – 15.000 untuk mengamankan Pemilu di West Papua. Proses pengamanan Pemilu 2019 Indonesia di tanah West Papua juga merupakan bagian dari operasi militer yang akan di lakukan di beberapa tempat terutama di Nduga. Melalui militernya, pemerintah Indonesia terus melakukan kolonisasi, juga dengan cara melakukan pembungkaman, penindasan, penembakan, pemboman, penyisiran, pemerkorsaan, penangkapan, pemenjarahan dan beragam penindasan terhadap rakyat West Papua. Pemerintah Indonesia juga berusaha membungkam pergerakan Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat [TPNPB] dengan menyebut mereka dengan sebutan KKB, KKBS, separatis, dan tak mau mengakui sebagai tentara pembebasan. Perjuangan sipil untuk menuntut Hak Penentuan Nasib sendiri juga diangggap sebagai separatis hingga saat ini; termasuk pembungkaman ruang demokrasi mahasiswa, perempuan, buruh, tani, nelayan, mama-mama pasar Papua dan lain-lain.

Keberadaan Freeport dan Pemilu 2019 kolonial Indonesia tidak membawa apa pun bagi rakyat West Papua kecuali petaka.

Maka dari itu, kami Front Rakyat Indonesia untuk West Papua [FRI-West Papua], bersama Aliansi Mahasiswa Papua [AMP] menuntut serta mengambil sikap dan menyatakan sikap:
1. Berikan Hak Menentukan Nasib Sendiri Solusi Demokratik Bagi Bangsa West Papua
2. Tidak mengikuti Pemilihan Presiden dan Pemilihan Umum 2019
3. Hentikan Pemilu 2019 seluruh Tanah West Papua
4. Usir dan Tutup Freeport
5. Audit kekayaan freeport serta berikan pesagon untuk buruh
6. Audit cadangan tambang dan kerusakan lingkungan
7. Tarik TNI-Polri organik dan non-organik dari tanah West Papua
8. Hentikan rekayasa konflik seluruh tanah West Papua
9. Buka Akses jurnalis dan Informasi untuk West Papua
10. Usut, tangkap, adili dan penjarakan pelanggaran HAM selama keberadaan Freeport  Mc Moran di West Papua

Salam Pembebasan Nasional Papua Barat!
Medan Juang, 06 April  2019