Hutan & Lahan Adat "Itu Rumah Kami, Negara Menghancurkannya"

Foto ilustrasi hutan adat Kampung Anggai dan perkebunan kelapa sawit milik PT Megakarya Jaya Raya di Kabupaten Boven -tempo.co

“Orang Tambrauw anggap Hutan Adat adalah Rumah, Ibu, Hutan dan manusia Tambrauw tak bisa dipisahkan” Kata Maximus Sedik tengah diskusi yang bertajuk Hutan Adat Papua: Lahan Adat dan Eksploitasi, diselenggarakan di Asrama Papua yang berlokasi di Babarsari, Yogyakarta.

Diskusi yang diselenggarakan oleh Aliansi Mahasiswa Papua Komite Kota (AMP KK) Yogyakarta pada Rabu (9/10/2019) diisi oleh tiga Pemantik: Maximus Sedik (Mahasiswa), Stella Yoku (Mahasiswa) dan Yohanes Giyai (Mahasiswa) .

Pemantik pertama, Maximus Sedik (Mahasiswa Papua Jogja) dari sisi perampasan lahan dan hutan Adat di Tambrauw, Sorong.

Hutan dan tanah di Tambrau, itu tidak terlepas dari hidupan orang Papua di Tambrau. 

Sejak lama, hutan telah menjadi,, kekuatan, pertahanan hidup mereka, tidak hanya rumah.

Setiap orang akan pergi merantau, tetapi Ia akan kembali ke rumahnya, Tanah Tambrau. 

Itu lah Hutan dan manusia Tambrauw tak bisa dipisahkan.  

Negara bangun kota, infrastruktur jalan dari Sorong ke Manokwari, Masyarakat Tambrauw menganggap justru merusak rumah mereka. Sebab berakibat pada hancurnya hutan, pohon-pohon hilang, dan sebagainya. 

Mereka menghilangkan sesuatu yang sakral di sana, iaitu Seruon (tempat bagi leluhur, roh-roh baik, yang terus melindungi, berada di hutan tersebut). 

Kelapa sawit di gunduli hutan, oksigen dan unsur air makin disedot Sawit, orang Papua Tambrauw masih terpinggir, dan semakin sulit beradaptasi pada perubahan-perubahan yang terjadi sangat cepat.

Tanah ini bukan tanah negara. Sebelum ada Negara, tanah, hutan, kepemilikan, orang-orangnya sudah ada. Justru melalui izin negara, perkebunan sawit, perusahan multi nasional lainnya telah merusak hutan kami. Ekosistem terancam, pembangunan jalan yang berdampak pada merusaknya Seruon tadi. 

Kami ada lebih dahulu dari negara, tetapi Ia membuat kami terancam akibat rumah kami digempurkan oleh mereka. 

***
Pemantik kedua, Yohanes Giyai memulai dari bagimana Negara tak punya kekuatan legal untuk melindungi Hutan dan Lahan adat di tengah Investasi Sawit, Perusahaan multinasional, serta pembangunan Infrastruktur mengancam hutan dan lahan adat. 

Bagi masyarakat yang sudah lama hidup harmonis dengan alam, tentu hal itu persoalan baru.

Perspektif masyarakat adat tentu melihat hutan sebagai rumah, tempat sakral, atau mama. 

Tentu berbeda dengan Negara: hutan dilihat dari perspektif pemetaan, pembangunan, dan atau politik Sonasi.

Politik sonasi itu berkaitan dengan pemetaan kekayaan alam. 

Politik sonasi itu sudah dimulai sejak Belanda di Papua. 

Pemetaan sumber daya alam sekaligus eksplorasi masyarakat dengan dikelompokan 7 wilaya adat berdasarkan kategori kesamaan suku-suku. Lalu Indonesia dengan sistem pemerintahan Modern Mulai dari RT/RW, Konsep Kampung menurut negara, yang mengikat oleh Negara. 

Negara menganeksasi tetapi belum Belum ada kebijakan yang melindungi soal hutan adat sehingga perampasan hutan adat sangat masif terjadi sejak orang Papua di Indonesia.

Baru tahun 1990an mulai ada penekanan secara nasional tentang hutan adat, lahan adat. Muncul dewat adat di Papua setelah deklarasi AMAN. 

Sekalipun diakui dan punya legal hukumnya, tentu pergeseran terhadap kesukuan, kehidupan “masyarakat adat” itu akan terus terjadi sepanjang melakukan pemetaan dan Investasi masuk mengeruk SDA.

Penutup:

Pengakuan dan kedaulatan itu berbeda. Pengakuan ada dibawa kedaulatan tertentu. Pengakuan Lahan dan hutan adat oleh Negara belum tentu berdaulat. Sehingga berbicara soal pengakuan harus pastikan dahulu kedaulatannya berpihak kepada siapa dan siapa yang memegang kedaulatan tersebut.

Beribicara soal demokasi dalam lahan dan hutan adat, merupakan partisipasi masyarakat adat dalam melindungi dan mengelolah tanah adat. 

***
Di sela-sela diskusi, Stella Yoku, penulis buku komik tentang Papua untuk usia anak-anak menceritakan motivasi membuat buku yang datang dari realita sosial dan alam Papua.
Cover Buku "Ina And Heuw", Penulis: Stella Yoku
Memutuskan untuk menulis buku komik awalnya dari tugas mata kuliah “Sastra anak-anak” dengan materi yang diperoleh dari realita alam dan sosial di Papua, kesadaran masyarakat akan hutan Sagu yang semakin hilang dan penumpukan sampah di sembarangan tempat, Khususnya daerah Sentani, Numbay.

Harapannya, pembaca m, khususnya usia anak-anak dapat mudah memahami, apa pagi materinya realitas yang ada di sana. ***

Reporter: Pravda Wespa