Pernyataan Sikap PRP: Cabut Otsus, Tolak Dob Gelar Referendum

 



Pernyataan Sikap

Petisi Rakyat Papua (PRP)


Salam Pembebasan Nasional Bangsa West Papua!


Amolongo, Nimo, Koyao, Koha, Kinaonak, Nare, Yepmum, Dormum, Tabea Mufa, Walak, Foi Moi, Wainambe, Nayaklak, Wa…wa…wa…wa…wa…wa…wa… wa..wa..wa!


Cabut Otonomi Khusus Jilid 2, Tolak Daerah Otonomi Baru dan Gelar Referendum di West Papua


Pada 30 Juni 2022, pengesahan Tiga Rancangan Undang-Undang (RUU) daerah otonomi baru (DOB) provinsi Papua telah disahkan melalui Rapat Paripurna Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI di Jakarta. Melihat mekanisme Hukum di Indonesia bahwa kebijakan yang akan dikeluarkan oleh pemerintah harus melalui rapat paripurna DPR RI mengsahkan draf UU dan mengajukan ke pemerintah (Joko Widodo) untuk mengeluarkan Peraturan Pemerintah (Perpu). Jika selama 30 hari sejak UU di sahkan oleh DPR RI belum ada Perpu yang di keluarkan maka akan dinyatakan UU tersebut Sah.

Undang-Undang Daerah Otonomi Baru (UU DOB) Papua telah disahkan oleh DPR RI pada tanggal 30 Juni 2022 dan di ajukan ke pemerintah untuk mengeluarkan peraturan pemerintah (Perpu) namun hingga saat ini pemerintah (Joko Widodo) belum mengeluarkan Perpu maka tepat tanggal 30 Juli 2022 UU DOB Papua akan dinyatakan sah.

Namun proses pembahasan dan pengesahan RUU tentang DOB maupun Otsus Papua JILID II tersebut tanpa melibatkan rakyat Papua, juga Majelis Rakyat Papua (MRP) dan dilakukan secara sepihak oleh Jakarta. Lantas 3 provinsi yang akan dimekarkan adalah Provinsi Papua Tengah ibukotanya di Nabire, Provinsi Papua Selatan Ibu kotanya di Merauke, dan Provinsi Papua Pegunungan yang Ibukotanya di Jayawijaya dan Papua Barat daya di Sorong. Pembahasan Rancangan UU DOB dilakukan atas dasar perubahan pasal 76 UU No. 2 Tahun 2021 tentang otonomi khusus bagi provinsi Papua. Lantas rakyat Papua berkali-kali merespon kebijakan sepihak kolonilisime Indonesia dengan aksi demonstrasi besar-besaran, baik di Papua maupun di luar Papua, di Papua; Di Jayapura, Sorong, Wamena, Paniai, Dogiyai Deyai Nabire Serui, Biak, Manukwari, Merauke dan di Yahukimo yang berujung pada jatuhnya Korban jiwa. Diluar Papua; Jakarta, Bandung, Jogja, Semarang-Sala tiga, Surabaya, Malang, Jember, Bali, Makasar, Ambon, Ternate, Kupang dan Ambon.

Tentu, rakyat Papua menyadari bahwa Pemekaran tiga Provinsi dan Papua Baarat daya sudah direncanakan sebelum berdasarkan UU No. 21 tahun 2001 (yang kini sudah diubah menjadi pasal 76 UU No. 2 Tahun 2021). Bahwa produk UU tersebut merupakan bagian dari produk penjajahan bagi orang Papua. Oleh karena itu mengapa pembahasan RUU tentang DOB dan sebelumnya disepakati secara sepihak. Manfaatnya untuk mempertahankan kekuasaan penjajahan Indonesia di West Papua.

Lantas rakyat Papua dengan sadar menolak Otonomi Khusus (Otsus). Sebab, Pertama, Otsus diberikan oleh Jakarta untuk meredam gerakan rakyat Papua menuntut kemerdekaan bagi Bangsa West Papua, saat itu.

Kedua, berdasarkan UU Otsus Papua Jilid II Jakarta mempermudah proses pemekaran Provinsi Papua Barat, serta perluas Kota/Kabupaten, Distrik, dan seterusnya. Akibatnya banyak terjadi polarisasi. Kemudian, dinamika demokrasi dalam Kehidupan Masyarakat Papua sudah sangat jauh bergeser ke politik Identitas berdasarkan warna kulit, Gunung Pantai, Suku, Marga, hingga Kelompok berdasarkan kepentingan. Maka dengan adanya Daerah Pemekaran Baru (DOB), justru persaingan akan masif dari kondisi sebelumnya. Lantas nasib orang Papua yang jumlah populasinya sangat sedikit dari non-Papua di Papua akan dihadapkan dengan konflik justru mengalami perpecahan.

Ketiga, disisi lain, realita keberadaan orang Papua sangat jauh dari kata sejahtera. Kondisi rakyat Papua di sektor kesehatan dan gizi buruk terus meningkat; lalu buta huruf dan buta aksara paling tinggi di wilayah penghasil Emas dan Migas paling banyak di Indonesia itu. Kemudian kemiskinan juga paling tinggi. Ironisnya Kabupaten Timika merupakan contoh salah satu kota termiskin di Papua. Padahal PT. Freeport berada di Kabupaten Timika. Dan Masih banyak lagi persoalan-persoalan di berbagai sektor.

Empat, marginalisasi merupakan salah satu bentuk penjajahan di West Papua. Dari jumlah orang Papua yang sedikit menemukan problem ketersediaan tenaga produktif manusia Papua yang mengisi di semua lini kehidupan suatu daerah pemekaran. Kondisi penjajahan ini berakibat pada lambatnya perkembangan sumber daya manusia Papua.


Lima, Pemekaran akan membuka penambahan markas militer (TNI/Polri) di Papua. Sebab pemerintah Indonesia yang masih menggunakan pendekatan militeristik Papua sampai saat ini. Sepanjang tahun 1962-2004, paling sedikit 500 ribu jiwa rakyat Papua yang meninggal dalam 15 kali rentetan operasi militer dalam skala besar. Kemudian dalam 4 tahun terakhir operasi militer terjadi di beberapa daerah. 2019-2020 Operasi Militer pecah di Nduga. Selanjutnya di Puncak Jaya, Intan Jaya, Yahukimo, Kiriwok, dan di Aifat, Sorong. Operasi militer tersebut berdampak banyak kerugian dan kehilangan bagi warga sipil: Pengungsian, Teror, Pelanggaran HAM, kehilangan rumah, ternak, kebun serta harta benda lainya. Ditengah situasi kornis, pembetasan akses jurnalis Internasional pun masih terus dilakukan. Papua merupakan pulau angka kematiannya paling tinggi, salah satu penyebabnya adalah mati karena dibunuh oleh aparat Militer/(TNI-Polri). Kematian dalam jumlah yang banyak juga diakibatkan karena, selain gisi buruk, sakit penyakit, tabrak lari, rentetan musim kelaparan dan lain sebagainya.


Enam, Pemekaran Daerah Operasi Baru (DOM) hanya akan diuntungkan bagi pemodal. Sebab pemekaran merupakan salah satu syarat bagi pemodal di Papua. Misalnya, pembangunan jalan, infrastruktur kota serta aset vital lainnya seperti pembangunan pelabuhan, bandara Udara, jalan trans, pembukaan dusun-dusun yang dianggap daerah terisolasi. Syarat-syarat ini sangat dibutuhkan guna mendukung percepatan proses angkut barang mentah di Papua untuk memajukan proses produksi barang jadi milik Kapital Internasional. Dalam sejarah rakyat Papua akses modal terutama Freeport Mc Moran menjadi semangat pencaplokan Papua ke dalam NKRI secara Paksa. Peristiwa Pemaksaan ini menjadi akar masalah sejarah masa lalu bagi orang Papua. 

Akar masalah inilah yang mesti diselesaikan. Perpanjangan Otsus Papua Jilid II dan Pemekaran Provinsi (DOB) tidak akan pernah menyelesaikan seluruh persoalan rakyat Papau.


Atas dasar poin-poin diatas yang menjadi ancaman genocida, ekosida serta sejarah penindasan kolonialisme di Papua maka kami menegaskan bahwa, Energi perlawanan rakyat Papua tidak akan terhenti hanya karena telah disepakati tiga RUU tentang DOB dan telah perpanjang Otsus jilid II. Nafas perjuangan rakyat Papua ada diatas realitas penindasan. Sepanjang praktek-praktek penjajahan Indonesia masih ada di West Papua, sepanjang itu pula rakyat Papua akan memberontak, berjuang hingga titik darah penghabisan. Sebab penjajahan telah menjadi guru bagi rakyat Papua menyadari, memahami, dan mengerti arti tentang berjuang untuk kebebasan yang seutuhnya.

Oleh karena itu, kami yang tergabung dalam Petisi Rakyat Papua menyatakan sikap:


1. Cabut UU Otonomi Khusus Jilid II

2. Segera hentikan upaya Pemekaran Provinsi di Wilayah West Papua.

3. Elit Papua Stop Mengatasnamakan Rakyat Papua untuk kepentingan kekuasaan.

4. Buka akses jurnalis seluas-luasnya di West Papua.

5. Tarik militer organik dan non-organik dari West Papua.

6. Stop Perampasan Tanah Adat serta stop kriminalisasi masyarakat adat di West Papua.

7. Tutup Bandara Antariksa di Biak West Papua.

8. Bebaskan tahanan politik West Papua tanpa syarat.

9. Tolak pengembangan Blok Wabu dan tutup semua perusahaan nasional juga multinasional diseluruh Wilayah West Papua.

10. Tangkap, adili, dan penjarakan jenderal-jenderal pelanggar HAM

11. Hentikan rasisme dan tangkap pelaku politik rasial.

12. Hentikan operasi militer di Nduga, Intan Jaya, Puncak Jaya, Pegunungan Bintang, Maybrat, dan Seluruh Wilayah West Papua lainnya.

13. PBB harus bertanggung jawab serta terlibat aktif secara adil dan demokratis dalam proses menentukan nasib sendiri, pelurusan sejarah, dan penyelesaian pelanggaran HAM yang terjadi terhadap bangsa West Papua.

14. Mendesak Rezim Jokowi-Mahruf untuk memberikan akses seluas-luasnya kepada Komisi HAM PBB untuk meninjau situasi HAM di West Papua secara langsung.

15. Jaminan kebebasan informasi, berekspresi, berorganisasi dan berpendapat bagi bangsa West Papua.

16. Kami mendukung perjuangan rakyat Wadas dan Jomboran melawan Tambang yang merugikan.

17. Kami mendukung perjuangan rakyat Indonesia menolak Omnibus Law dan Sahkan RUU PKS tanpa dipreteli.

18. Menolak RUU KUHP

19. Hentikan Perampasan Tanah Milik Masyarakat Adat Tambrauw oleh Perusahaan PT.Nuansa

Lestari Sejahtera dan Tutup Semua Perusahaan Sawit yang beroperasi di seluruh Tanah Papua.

20. Bupati Kabupaten Jayapura, Mathius Awoitauw dan Gubernur Papua, Lukas Enembe segerah mencabut Izin Operasi Perusahaan Perkebunan Kelapa Sawit, PT.Permata Nusa Mandiri diatas adat milik masyarakat Adat Grime Nawa di Kabupaten Jayapura.

21. Stop Militerisasi Kampus; Rektor Universitas Cendrawasih, Apolo Safanpo segera Hentikan MOU dengan KOREM 172/PWY, Gratiskan biaya pendidikan dan Aktifkan perkuliahan tatap muka (offline).

22. DPRP Segera Gelar sidang paripurna " Cabut Otsus dan DOB".

23. Berikan Hak Menentukan Nasib Sendiri sebagai Solusi Demokratis bagi Bangsa West Papua.


Demikian pernyataan sikap ini. Kami menyerukan kepada seluruh Rakyat West Papua

untuk bersatu dan berjuang merebut cita-cita pembebasan sejati rakyat West Papua.

Atas perhatian dan dukungan seluruh rakyat Indonesia dan West Papua, kami ucapkan banyak terima kasih.


Salam Pembebasan Nasional West Papua!


Medan Juang, 29 Juli 2022


Petisi Rakyat Papua (PRP)

a.n. 122 Organisasi dan 718.179 Suara Rakyat Papua

Tolak Otonomi Khusus Jilid II


Kordinator Umum Wakil Kordinator Umum




………………… ………………………….



Penanggung Jawab 

Juru Bicara Petesi Rakyat Papua



Jefri Wenda