Perspektif Internasional dan Nasional Tentang Hak Menentukan Nasib Sendiri (HMNS) Bagi Bangsa West Papua.

 

 

doc. @korankejora

 Penulis : Midi Villexz Kogoya

 

       I.            Pengantar Internasional

Hak menentukan nasib sendiri (HMNS)  (bahasa Inggrisright to self-determination) adalah hak setiap orang untuk ara bebas menentukan kehendaknya sendiri, khususnya dalam hal prinsip mengenai status politik dan kebebasan mengejar kemajuan di bidang ekonomisosial, serta budaya. Kepentingan akan menentukan nasib sendiri, Cassese telah mencatat bahwa asal usul penentuan nasib sendiri dapat ditelusuri kembali ke Deklarasi Kemerdekaan Amerika tahun 1776 dan Revolusi Perancis tahun 1789. Selama periode ini, makna penentuan nasib sendiri dilihat dari perspektif filosofis yang dipengaruhi oleh ide-ide pencerahan. Perhatian terhadap penentuan nasib sendiri menyebar ke seluruh dunia setelah terjadinya Perang Dunia Pertama (PD I), Perang Dunia Kedua (PD II) dan Perang Dingin.

Selama periode antar perang ini, gagasan penentuan nasib sendiri dilihat dari perspektif politik Setelah Perang (PD II), gagasan penentuan nasib sendiri semakin dilihat dari perspektif hukum dan diadopsi ke dalam hukum positif tertulis. Penandatanganan penentuan nasib sendiri sebagai prinsip hukum internasional yang penting. Ini juga untuk pertama kalinya penentuan nasib sendiri diadopsi ke dalam perjanjian multilateral. Pasal 1 (2) Piagam PBB menyatakan bahwa salah satu tujuan PBB adalah “untuk mengembangkan hubungan persahabatan antar bangsa berdasarkan penghormatan terhadap prinsip persamaan hak dan penentuan nasib sendiri rakyat”; menyatakan prinsip atau hak menentukan nasib sendiri bangsa-bangsa, Piagam PBB berlaku  memperhatikan orang-orang yang telah diingkari status dan hak politiknya.

Deklarasi Majelis Umum tahun 1960 tentang Pemberian Kemerdekaan kepada Negara-Negara dan Rakyat Kolonial yang kemudian sering dipandang sebagai tonggak dekolonisasi. Paragraf 2 Deklarasi 1960 menyatakan bahwa “[a] semua orang memiliki hak untuk menentukan nasib sendiri; berdasarkan hak itu mereka dengan bebas menentukan status politik mereka dan secara bebas mengejar perkembangan ekonomi, sosial dan budaya mereka”. Memang, munculnya hak untuk menentukan nasib sendiri secara hukum memiliki hubungan yang erat dengan gerakan dekolonisasi.

Lebih jauh, penentuan nasib sendiri kini telah diakui sebagai hak asasi manusia oleh hukum hak asasi manusia internasional yang dikenal sebagai hak untuk menentukan nasib sendiri atau hak untuk menentukan nasib sendiri. Hak untuk menentukan nasib sendiri dapat ditemukan dalam dua kovenan internasional Kovenan Internasional tentang Semua orang memiliki hak untuk menentukan nasib sendiri. Berdasarkan hak itu, mereka dengan bebas menentukan status politik mereka dan dengan bebas mengejar pembangunan ekonomi, sosial dan budaya mereka Negara-negara Pihak pada Kovenan ini, termasuk mereka yang bertanggung jawab atas administrasi Wilayah Pemerintahan Non-Swasta dan Wilayah Perwalian, akan mendorong realisasi hak untuk menentukan nasib sendiri, dan harus menghormati hak itu, sesuai dengan ketentuan Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa.

Pada tanggal 18 Desember 2007, Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa mengadopsi  resolusi yaitu Resolusi untuk Realisasi Universal Hak Rakyat untuk Penentuan Nasib Sendiri yang secara eksplisit menyatakan bahwa “pewujudan universal hak semua orang, termasuk mereka yang berada di bawah kolonial, asing dan dominasi asing, untuk menentukan nasib sendiri merupakan kondisi fundamental bagi jaminan dan ketaatan yang efektif terhadap hak asasi manusia dan untuk pelestarian dan pemajuan hak-hak tersebut”. Resolusi tersebut menegaskan  karakter hukum dari hak untuk menentukan nasib sendiri dan mewajibkan Negara untuk menghormatinya sedangkan Penentuan Hak Diri Sendiri  Pendahuluan Menurut Komite Hak Asasi Manusia Perserikatan Bangsa-Bangsa, bertindak di bawah Perjanjian Internasional Hak Sipil Hak Politik (CCPR), hak penentuan nasib sendiri adalah sangat penting karena realisasinya merupakan kondisi penting untuk jaminan efektif dan kepatuhan terhadap hak asasi manusia individu dan untuk promosi dan hak kekuatan.

 

    II.            HMNS Bagi Bangsa West Papua (Nasional)

Melihat dari pembacaan pengertian tentang HMNS di atas telah memberikan kita pemahaman dan sekaligus rekomendasi terkait kondisi dan status politik papua terutama pada hukum internasional bahwa HMNS bagi bangsa west papua bagian dari legalitas dan jaminan secara hukum kovenan internasional, bahkan juga hukum UUD nasional Indonesia  Bahwa sesungguhnya Kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa dan oleh sebab itu, maka penjajahan di atas dunia harus dihapuskan, karena tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan perikeadilan”. Dengan demikian sesungguhnya kemerdekaan  bagi bangsa west papua itu hak dan  penjajahan di atas tanah papua harus dihapuskan karena tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan perikeadilan. Persoalan status bangsa west papua termasuk persoalan internasional karena dalam proses dekolonisasi telah terjadi intervensi dan Interpretasi oleh Negara Barat, Seperti Amerika, Belanda dan Asian, Jepang Serta Australia. Bukti nyata status Papua dapat kita lihat pada sejarah sebelum aneksasi Papua ke dalam wilayah kolonial Indonesia 1963, yaitu terjadi sengketa yang sangat serius, dimana Indonesia benar-benar ambisius menjadi kolonial baru di atas tanah Papua, pada tahun 19 desember 1961 Soekarno telah mengeluarkan dekrit TRIKORA yang isinya sebagai berikut: “Gagalkan pembentukan negara Papua; Kibarkan bendera Merah Putih di Irian Barat; dan Bersiap untuk mobilisasi umum untuk mempertahankan kemerdekaan dan kesatuan tanah air dan bangsa”. Dalam prakteknya Indonesia melakukan kerja sama dengan uni soviet membagi berbagai peralatan perang untuk melakukan operasi militer besar-besaran di Papua, sengketa ini kemudian di bawah ke internasional kolonial Amerika yang membeckup sponsori Indonesia untuk willayah West Papua masukan ke Indonesia, akhirnya perjanjian ini kita kenal pada 15 Agustus 1962 “The  New York Agreement” dan  30 September 1962 “The Roma Agreement” dalam agenda ini tidak ada orang papua yang dilibatkan sebagai delagasi, semua perjanjian ini hanya terlibat oleh beberapa negara demi kepentingan ekonomi dan politik yaitu  Indonesia, Amerika, Belanda, dan negala lainnya. Pada puncaknya tahun 1969 Indonesia Melakukan Penentuan Pendapat Rakyat (PEPERA) tidak demokratis dan melanggar prinsip-prinsip hak asasi manusia disertai dengan kekeran, intimindasi, terror bahkan pro papua merdeka dibunuh, disksa oleh aparat kolonial Indonesia, dan dalam buku Socartez Sofyan Yoman (2007) berjudul “Kami Bukan Bangsa Budak” menjelaskan jelangnya PEPERA 1969 dan saat sidang PBB banyak negara- negara tidak sepakat serta menolak atas hasil PEPERA 1969 yang di bacakan oleh P. Ortiz Sanz selaku saksi perwakilan PBB di Papua Barat saat itu, dengan demikian hasil PEPERA 1969 hanya di cacat take note tidak sah. Artinya wilayah Papua Barat non Government dan non state tidak sah dalam wilayah republik indonesia.

    Bahkan lebih jauh sebelum Pepera 1969 dengan jelas dalam perjanjian politik 30 September 1962 antara negara kolonial Belanda, Indonesia, Amerika dan Italia di Roma atas status wilayah Papua Barat menjelaskan bahwa Indonesia akan menjadi perwalian membantu membangun Papua Barat selama 25 tahun terhitung dari  1 Mei 1963 sampai pada 14 Desember 1988 kemudian pemerintah Indonesia mempunyai moral untuk memberikan Hak Menentukan Nasib Sendiri (HMNS) bagi Papua Barat. Sebagai tuntutan perjanjian politik internasional ini kemudian Dr. Thomas Mapai Wanggai telah mendeklarasikan negara Papua Barat kembali di Holandia (sekarang Jayapura).

Namun sayangnya bapak Dr. Thomas M. W. di tangkap oleh militer kolonial Indonesia dan memenjarahkan di Cipinang Jakarta Timur atas deklarasi negara Papua Barat. Artinya Indonesai telah mengabaikan tuntutan politik dengan menawarkan berbagai jenis produk kolonialisme seperti paket Undang- undang Otsus, pemekaran dan berbagai jenis program pembangunan di Papua.

Negara Indonesia menjadi Neo-Kolonialisme terhadap wilayah teriorial West Papua atau Bangsa West Papua, karena Indonesia mencuri dan merampas hak kedaulatan kemerdekaan pada 1 desember 1961 pada saat itu bangsa West Papua menyatakan sikapnya  merdeka secara de fakto dan de jure, dengan demikian kehadiran Indonesia bagian dari upaya kolonialisasi. 

Praktek kolonialisasi Indonesia telah terbukti melalui berbagai operasi militer, sejak tahun 1961 sampai saat ini sedang berlangsung, dan belum ada satu kasus pelanggaran HAM diselesaikan dan dituntaskan melalui peradilan negara, marjinalisasi terhadap Orang Asli Papua (OAP), Rasialisasi yang terstruktur dan kolektif terhadap rakyat papua selama bertahun-tahun, eksploitasi sumber daya alam seperti tambangan emas (PT.Freeport), kelapa sawit, (kapitalisasi), dll. Atas penjelasan diatas ini kehadiran negara Indonesia untuk membunuh, menjajah rakyat West Papua tanpa henti.

Kehadiran Indonesia kontradiksi dengan fungsi hak bagi bangsa West Papua mau menentukan nasib sendiri, bebas berdiri diatas tanah negerinya sendiri, karena pengertian Hak adalah kewenangan, kekuasaan untuk berbuat sesuatu, kekuasaan yang benar atas sesuatu, milik atau kepunyaan, dan kewenangan dalam hokum dengan demikian Bangsa West Papua mempunyai hak untuk mengatur diri secara politik, ekonomi, dll; tanpa harus campur tangan pemerintah kolonial Indonesia.

 

HMNS adalah bagi Bangsa West Papua juga sebagai Solusi Demokratis, untuk menghilangkan perselisihan, konflik yang berkepanjangan diatas Tanah Papua, HMNS bagi Papua juga dari legalitas, hak bagian teritorial Bangsa West Papua, dan tidak bisa menggugat demi illegal kolonial NKRI, ataupun tidak bisa negosisasi dengan produk-produk kolonial Jakarta seperti Pemekaran Daerah Otonom Baru (DOB), Keberlanjutan Otonomi Khusus (otsus) yang sifat pembangunannya diskrimanatif insftruktur di West Papua. Maka itu, Hak Menentukan Nasib Sendiri Bagi Bangsa West Papua Merupakan Solusi Demokratis.

 

 

Penulis adalah Anggota Aktif Aliansi Mahasiswa Papua Komite Kota Jember

 

 

 

       I.