Kekerasan Di Papua, Kepentingan Bisnis Aparat Dan Elite Pemerintah Indonesia





Oleh: Nicko sol



Kekerasan di papua sampai detik ini terjadi hal ini tak berlebihan karena konflik di timur leste mengungkapkan hal itu proyek keamanan didalam daerah konflik itu pernah terjadi. setelah timur Leste sudah merdeka dan Ace di didamaikan dengan perjanjian Helsinki, proyek keamanan, itu bergeser ke Papua. berapa contoh konflik yang terjadi di daerah Papua, seperti yang terjadi di Nduga, punjak Papua, pengunungan bintang Oksibil, Yahukimo, myabart, serta daerah lain nya. aksi aksi aparat keamanan telah menunjukkan tindakan kekerasan yang memakan korban di kalangan masyarakat sipil. kekerasan demi kekerasan dalam konflik antara seluruh wilayah Papua tidak bisa dipantau karena aparat keamanan mengisolasi daerah itu dan menutup akses pekerja kemanusiaan dan hak asasi manusia. korban masyarakat semakin banyak dan tidak bisa tertolong. hal ini menimbulkan persoalan kemanusiaan yang terjadi. Desakan penghentian aksi militer dan kepolisian dalam operasi keamanan di Nduga tidak pernah di lakukan. Pada hal presiden RI Joko Widodo pernah memerintahkan untuk menarik pasukan dari Nduga pada awal tahun 2019. Kemudian, bupati dan wakil Bupati Nduga, toko pemimpin gereja, toko masyarakat dan semua orang yang peduli kemanusiaan pun meminta agar TNI polri di tarik seluruh wilayah konflik di Papua  lebih di daerah Nduga. Namun hal itu tidak terjadi juga.

Akibat nya menjadi pertanyaan, mengapa TNI polri tidak mau keluar dari NDUGA dan lain.  Mengabaikan hati nurani. Berhati  kriminal?, Apakah ada kaitannya dengan kepentingan ekonomi dan bisnis di Papua?, Berulang kali pimpinan TNI -polri  selalu mengatakan jaga NKRI ,  pendekatan humanistik menjaga keselamatan warga dari serang KKB , Teroris sebagai alasan mempertahankan operasi militer dan keamanan di Papua. Padahal, di balik alasan itu sebenarnya TNI-POLRI menjaga bisnis dan ekonomi dari para pebisnis konglomerat di Papua. para elit di aparat keamanan dan pengusaha melancarkan dan mengembangkan usaha mereka, dengan jargon NKRI harga mati. Kemudian TNI polri juga menciptakan stigma OPM , separatis, makar dan sebutan terbaru KKB,(kelompok kriminal bersenjata ) kemudian pemerintah label kan Teroris.


𝗞𝗲𝗸𝗲𝗿𝗮𝘀𝗮𝗻 𝗱𝗮𝗻 𝗣𝗼𝗹𝗲𝗺𝗶𝗸 𝗞𝗲𝗸𝘂𝗮𝘀𝗮𝗮𝗻 𝗣𝗼𝗹𝗶𝘁𝗶𝗸 𝗡𝗲𝗴𝗮𝗿𝗮 𝗱𝗶 𝗣𝗮𝗽𝘂𝗮 𝗕𝗮𝗿𝗮𝘁.


Kekerasan Negara di Papua Barat terlihat jelas dengan adanya bitokrasi yang terus tidak memperhatikan hak-hak rakyat Papua Barat. Hak penyampaian pendapat, hak budaya untuk hidup serta pelurusan sejarah maupun hak-hak sipil yang masih belum tersampaikan oleh rakyat di pemerintah pusat. Negara Indonesia hanya mengutamakan pendekatan dengan kekerasan senjata, dan penangkapan secara sewenang-wenangnya yang luar dari jalur hukum.

Pada tahun 2001 peresiden Megawati Soekarno Putri yang ke-5, mengesahkan UU NO.21 Tahun 2001 Otonomi Khsusus Papua. Kehadiran Otonomi Khsusus Papua Jilid I, bentuknya tidak mewakili untuk memperdebatkan bagimana hak aspirasi Papua Barat sejak itu.  Pengesahan itu, Melahirkan berbagai kontravesrsial antara Pemerintah Indonesia dan Rakyat Papua Barat, Namun, digandengankan dengan kekerasan militer dan transmigrasi yang melonjak menduduki Pulau Papua. Bahkan Otsus Jilid II dibuat secara paksa juga.

Eksploitasi alam, manusia dan perampasan ilegal, Pembunuhan, Pemenjaraan, Penangkapan, Intimidasi,teror. Berbagai peristiwa kejahatan terhadap kemanusiaan terus terjadi di Papua Barat, hutan dan tanah-tanah adat dijadikan lahan jarahan bagi investasi perusahaan-perusahaan Multi National Coorporation (MNC) milik negara-negara Imperialis. Pratek praktek pra-kondisi di lakukan dengan penculikan, tabrak lari, teror, operasi militer dan lain sejenis-nya di atas tanah Papua Barat, hanya karena kepentingan Ekonomi, Politik, dan Kekuasaan dari kolonalisme Indonesia sertakan negara-negara imprealis yang rakus akan eksploitasi kehidupan rakyat. Ikut serta juga, pembungkaman terhadap ruang demokrasi semakin nyata dilakukan oleh aparat negara (TNI-Polri) dengan melarang adanya kebebasan berekspresi bagi Rakyat Papua Barat didepan umum serta penangkapan disertai penganiayaan terhadap aktivis-aktivis perjuangan Pembebasan Papua Barat.  Rasisme di Surabaya belum terselesaikan Tentu keberadaan militer TNI-POLRI bukan untuk melindungi rakyat Papua, melainkan meneror dan semakin membuat masyarakat adat terusir dari tanahnya sendiri. Sesuai dengan pesan tertulis Kepala Penerangan Kodam (Kapendam) XVII/CEN Eko Daryanto. Dimana, sekitar 2.529 personel TNI-POLRI diterjunkan ke wilayah Papua pada 21-30 Agustus 2019.

Pengiriman Militer tersebut sebagai reaksi dari gerakan yang dilakukan oleh rakyat Papua atas masalah rasisme yang dilakukan oleh aparat dan ormas reaksioner Indonesia terhadap mahasiswa Papua yang ada di Surabaya, Yogyakarta dan wilayah indonesia lainnya. Dan penambahan (Pasukan Setan) sekita 400 personil terakhir pada 1 mei 2021, yang ditempatkan pada distrik Ilaga, Kab. Puncak Papua, dengan dalih yang sama. bahkan aksi meyikapi  rasisme Indonesia di Papua Barat maupun Luar Papua Barat, Rakyat dan Mahasiwa dapat di tahan dengan sewenang-wenangnya Negara dan di tetapkan sebagai kasus makar tanpa hukum yang jelas. TAPOL (Tahanan Politik)  salah satu nya JUBIR Internasional KNPB Vicktor Yeimo ditangkap  karena melakukan protes dalam orasi  politik nya atas ucaran rasisme yang dilontar oleh ormas,PP,Dan TNI di surabaya  terhadap mahasiswa Papua.

 𝐀𝐤𝐚𝐫 𝐌𝐚𝐬𝐚𝐥𝐚𝐡 𝐝𝐢 𝐓𝐚𝐧𝐚𝐡 𝐏𝐚𝐩𝐮𝐚 𝐁𝐚𝐫𝐚𝐭.

Kondisi ini tidak terlepas dengan sejarah Papua Barat Bahwa sejak , 01 Desember 1961 di Holandia (Jayapura) Negara Papua Barat telah di akui sebagai bangsa yang merdeka dan mendeklarasikan di bawa Pemerintahan Belanda serta telah disiarkan melalui radio Australia dan Belanda. Selama kemerdekaan Bangsa Papua Barat ketentuan kebangsaan telah di sahkan secara de Facto dan de Jure. Sementara itu, gejolak  penolakan terhadap kemerdekaan Bangsa Papua Barat Indonesia menentang atas kemrdekaan itu sehingga tepat pada 19 Desember 1961 melalui Ir. Soekarno mengumandangkan TRIKORA (Tri Komando Rakyat) di Alun-Alun Utara Kota Yogyakarta dengan tiga tuntutan pertama, Bubarkan Negara Boneka Papua Barat Buatan Belanda, Kibarkan Bendera Merah Putih di seluruh Irian Barat/Papua Barat, dan Bersiaplah untuk Mobilisai Umum. 

Sehingga Indonesia menghadirkan intervensi Internasional dan Militer untuk menganeksasi secara persenjataan serta memanipulasi sejarah Rakyat bangsa Papua Barat. Pada Tahun 1962 Soekarno Melakukan Serangan dengan Operasi Sandi: Jayawijaya yang di pimpin oleh Jendral. Suharto dalam menganeksasi bangsa Papua Barat dengan kekuatan militer. Akibat dari itu, Manifesto Politik antara Indonesia dan Belanda membuat Agenda mengenai perjanjian-perjanjian atas Papua Barat; Sementara Amerika Serikat sebagai penengah. Setidaknya, dua perjanjian yang di lakukan The New York Agreement [15 Agustus 1962] dan Roma Agreement [30 September 1962]. Dari kedua, perjanjian dilakukan tanpa wakil rakyat Papua Barat satu pun tidak dihadirkan dan hanya sepihak dilakukan antara Belanda, Indonesia dan Amerika Serikat. 

Bisnis eksploitasi terus berjalan dan pendoropan militer terus terjadi kemudian melakukan Operasi militer di Tembagapura,Timika,Nduga, Pengunungan Bintang, Yahukimo, Maybart,dan Kaimana serta pelosok lainnya. Negara Indonesia tidak menjamin hak hidup rakyat Papua mulai dari sektor budaya, sejarah, kesetaraan bahkan ruang hidup rakyat Papua untuk kedepannya. Sejak, UU yang dibuat untuk kebijakan demokrasi Indonesia, rakyat Papua tidak ada hak untuk terjamin itu, karna UU yang dibuat adalah tak ada kebebasan bagi rakyat Papua Barat. Mulai dari UU Hak Cipta Keja, Omnibus Law. UU Agraris, UU Minerba dan lainnya.

Dengan melihat dari realitas kondisi sejarah kekerasan yang panjang hingga kini 2023, Aliansi Mahasiswa Papua selalu tuntut untuk Berikan Hak Menentukan Nasib Sendiri sebagai solusi demokratis sebagai bagian dari menghargai demokrasi Indonesia sesuai PEMBUKAAN UUD 1945.


Penulis adalah Aktivis Selfdetermination For West Papua