Pernyaan Sikap AMP: 61 Tahun Aneksasi Papua Dan Berikan Hak Menentukan Nasib Sendiri

 

its.koran kejora



korankeora.blogspot.com - Tepat hari ini 61 tahun kolonial indonesia menganeksasi bangsa papua,Ke dalam negara indonesia. Kedudukan indonesia secara ilegal ini bermula ketika, Pada 1 mei 1963 Amerika Serikat, Pbb, Belanda Dan Indonesia Mempunyai kepentingan di atas tanah papua sehingga menyerahkan papua barat kepada indonesia tanpa sepengetahuan orang papua. Peralihan kekuasaan ini di lakukan oleh United Nations Temporary Executive Authority (UNTEA/PBB) kepada Indonesia Sejak 1 Mei 1963. Langkah PBB ini untuk melegalkan aktivitas Indonesia mempersiapkan Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera) tahun 1969. 


Kekuasaan indonesia atas tanah papua melalui UNTEA ini, di jadikan peluang untuk memaksimalkan berbagai upaya politik, dalam memuluskan keinginannya menguasai Papua, yang waktu itu disebut Irian Barat dan atau Nederlands New Guinea. Apa yang dilakukan oleh Indonesia? pertama, Indonesia melanggar perjanjian New York 15 Agustus 1962 (New York Agreement). Terutama ketentuan menyangkut bentuk pelaksanaan Pepera yang mewajibkan referendum secara luas, dan mengikutsertakan seluruh rakyat. Kedua, Indonesia merepresif semua gerakan-gerakan protes damai rakyat secara biadap, baik dengan menangkap, memenjarahkan, bahkan tidak sedikit yang dilaporkan terbunuh.



Pencaplokan wilayah Papua kedalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) dilakukan melalui serangkaian Operasi militer di wilayah Papua dalam rangkah menggagalkan negara West Papua yang dideklarasikan pada 1 Desember 1961. Deklarasi negara West Papua diselenggarakan oleh lembaga poltik representatif bangsa Papua yakni Nieuw Guinea Raad atas persetujuan pemerintah kerajaan Belanda yang saat itu menduduki wilayah Papua sesuai Resolusi PBB Nomor 1514 sebuah Deklarasi tentang Pemberian Kemerdekaan Kepada wilayah jajahan.


Namun, 19 Hari kemudian Presiden RI, Ir. Soekarno mengeluarkan seruan Trikora di Alun-alun Utara, Kota Yogyakarta yang menyatakan (1) Bubarkan negara boneka buatan Belanda (2) Kibarkan bendera merah putih di seluruh Tanah Papua. (3) Mobilisasi nasional merebut Irian Barat (baca: Papua). Seruan ini diikuti sabotase, infiltrasi dan mobilisasi militer dalam jumlah yang banyak ke wilayah Papua. Akibatnya terjadi perang antara Belanda dan Indonesia. Sehingga a membawah kedua negara dalam dalam perundingan difasilitasi Amerika Serikat tanpa keterlibatan orang Papua. Hasil perjanjian New York / New York Aggremeent 15 Agustus 1962 terdiri dari 29 Pasal yang mengatur 3 macam hal. Diantaranya Pasal 14-21 mengatur tentang “Penentuan Nasib Sendiri (Self Determination) yang didasarkan pada praktek Internasional yaitu satu orang satu suara (One Man One Vote)”. Dan pasal 12 dan 13 yang mengatur transfer Administrasi dari PBB kepada Indonesia, yang kemudian dilakukan pada 1 Mei 1963 dan 30 September 1962 dilaksanakan “Roma Agreement/Perjanjian Roma” yang intinya Indonesia mendorong pembangunan dan mempersiapkan pelaksanaan Act of Free Choice (Tindakan Pilih Bebas) di Papua pada tahun 1969.


Atas kesepakatan sepihak tersebut, pada 1 Mei 1963 Otoritas Sementara Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNTEA) menyerahkan wilayah Papua ke tangan pemerintah NKRI. Setelah mendapat otoritas itu, Indonesia memobilisasi militer secara besar-besaran ke Papua untuk meredam gerakan Pro-Merdeka rakyat Papua. Operasi Khusus (OPSUS) yang diketuai Ali Murtopo dilakuakan untuk memenangkan Penentuan Pendapat Rakyat (PEPERA) diikuti operasi militer lainnya yaitu Operasi Sadar, Operasi Bhratayudha, Operasi Wibawa dan Operasi Pamungkas. Akibat dari operasi-operasi ini terjadi pelanggaran HAM yang luar biasa besar, yakni penangkapan, penahanan, pembunuhan, manipulasi hak politik rakyat Papua, pelecehan seksual dan pelecehan kebudayaan dalam kurun waktu 6 tahun.


Lebih Ironis lagi, pada 7 April 1967 ditandatangi Kontrak Karya I Freeport McMoran perusahaan milik negara imperialis AS dengan rezim otoriter fasis Soeharto untuk melakukan eksplorasi dan ekspolitasi di Tanah Papua. Padahal saat itu Papua belum sah menjadi bagian Indonesia atau dua tahun sebelum dilaksanakan Pepera (Penentuan Pendapat Rakyat). Sehingga dapat dipastikan pelaksaan Pepera hanya sebagai formalitas dalam rangkah menutup sorotan internasional dan untuk menguasai dan mengeksploitasi Tanah Papua secara legal.


Pepera yang dilaksanakan pada 14 Juli – Agustus 1969 diwakili oleh 1025 orang dari 800.000 populasi penduduk Papua pada saat itu. Setelah mendapat legalitas formal melalui hasil Pepera melalui resolusi 2504 Indonesia semakin menggila. Walaupun resolusi Nomor 2504 tersebut hanya ‘dicatat’ tidak disahkan sebab keabsahan pelaksanaan Pepera dipedebatkan oleh beberapa negara anggota PBB.


Pasca Pepera rezim fasis Soeharto menjadikan Papua berada dibawah cengkraman militer dengan dwifungsi ABRI Papua dijadikan Daerah Operasi Militer diantaranya Operasi Pamungkas (1971 – 1977) di Biak dan Manokwari, Operasi Koteka (1977-1978) di Wamena Barat, Operasi Senyum (1979-1980) di wilayah perbatasan sekitar Jayapura, Operasi Gagak I (1985-1986), Operasi Gagak II (1986), Operasi Kasuari I (1987 – 1988), Operasi Kasuari II (1988-1989), Operasi Rajawali (1989 – 1990), Operasi Rajawali II (1990 -1995), Operasi Manpduma (1996-1998), Biak Berdarah (1998). Di bawah rezim Orde Baru Seharto, Budayawan Arnold Ap dan Eduard Mofu turut dibunuh. sekitar 10.000 orang mengungsi ke Papua New Guinea tanah-tanah yang ditinggalkan diizinkan perusahaan dan dibawah transmigrasi dalam jumlah yang besar, terutama di wilayah perbatasan RI – PNG Keerom dan Merauke. Dari ranah politik hingga jalannya pemerintahan hingga di desa diisi oleh militer dan doktrin militerisme. Di masa ini semua orang Papua dicap dan nama Papua dilarang. 

Setelah reformasi ditandai jatuhnya rezim Orde Baru Soeharto tidak mengubah situasi. Alih-alih memberikan Otonomi Khusus sebagai “uang darah” kejahatan kemanusiaan lebih sistemik tanpa meninggalkan pola lama yaitu Operasi Militer. Pelanggaran hak asasi manusia (HAM) masih terjadi pembunuhan terhadap tokoh Papua Theys Hiyo Eluay (2021), Wasir Berdarah (2001), Abepura Berdarah (2000), Wamena Berdarah (2003), Yawen Wayeni, Opinus Tabuni 2007, Mako Tabuni 2012, Paniai Berdarah (2014). Yang terbaru adalah Operasi Militer di Nduga sedang memaskui tahun keempat, Operasi Militer di Intan Jaya dan yang terkini di Puncak.


Di tengah rakyat Papua menolak pemberlakuan Otonomi Khusus yang merupakan paket kebijakan kolonial, dikagetkan dengan penetapan Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat (TPNPB) sebagai organisasi teroris, yang sebelumnya KKSB, KKB, KST. Ini tidak lain adalah upaya pemerintah kolonial Indonesia yang merupakan pelayan setia kapitalisme dan imperialisme untuk menjustifikasi dan membungkam habis tuntutan-tuntutan demokratis dari rakyat Papua. Dengan pelabelan ini akan memberi legitimasi kepada TNI dan Polri untuk melakukan pelanggaran HAM dalam rangkah menundukan dan menguasai serta mengeruk semua sumber daya alam Papua. Terlebih dengan disahkannya UU Omnibus Law Cipta Kerja wilayah Papua akan menjadi lahan bagi Perusahaan Multi-nasional / Multi Nation Cooperation (MNC).


Pada tahun 2000, ELSHAM Papua membuat laporan tentang kekerasan aparat keamanan yang terjadi di berbagai wilayah di West Papua. Di Paniai, tercatat 614 orang meninggal, 13 orang hilang, 94 orang diperkosa. Di Biak, 102 orang meninggal, 3 orang hilang, 37 orang dianiaya, 150 orang ditahan. Di Wamena, 475 orang meninggal. Di Sorong, 60 orang meninggal, 5 orang hilang, dan 7 orang korban pemerkosaan. Di Jayawijaya, 137 orang meninggal, 2 orang hilang, 10 orang menjadi korban pemerkosaan, 3 orang menjadi korban penganiayaan. Belum lagi pembakaran rumah ibadah, kampung, rumah, alat-alat adat istiadat. Itu pun belum termasuk wilayah-wilayah lainnya, yang belum terdata dengan baik mulai dari 01 Mei 1963 Rakyat West Papua di aneksasi hingga saat ini. 


Kondisi Hari ini, rakyat papua menghadapi situasi yang  refresif , intimidasi serta pembunuhan yang sistematis dan struktur oleh negara.paskah otonomi khsusus diberikan tahun 20001 hingga otonomi khusus jilid ll merupakan acamanan serius bagi rakyat papua. Krisis kemanussian yang sedang terjadi di papua akhir akhir ini sepeti di intanjaya,ndugama, maybrat, puncak papua, pegunungan bintang, dan bebrapa kabupaten dana kota lainya mengalami trauma berkepanjanagan di atas papua.

Akibat dari konflik berkepanjangan ini, membuat tni porli menundu warga sipil dengan sembarangan, seperti baru baru ini terjadi di Yahukimo terhadap dua pelajar, hingga sampai sekarang masih di tahan di polda papua dan pada 3 februari 2024 di puncak papua  terhadapa 3 warga sipil yang disiksa oleh  tni hingga 1 meningga dan dua masih di rumah sakit. Serta konflik antara TPNPB dan TNI PORLI mengakibatkan warga sipil lain yang mengungsi atas tanah air west papua, Jaringan internet di putuskan, di daerah konfik  dampak lain dari dari sirtuasi  di atas tanah papua  ini adalah mengakibatakan geosida,ekosida dan ernosida.

Di tanah West Papua operasi militer kolonial Indonesia dilakukan terus-menerus di beberapa tempat terutama di Nduga, Intan jaya, Pegunungan Bintang, areal PT.Freeport Timika dll. Melalui militer Indonesia terus melakukan kolonisasi yang  berlebihan melalui pembungkaman, penindasan, penembakan, pemboman, penyisiran, pemerkosaan, penangkapan, pemenjarahan dan beragam penindasan terhadap rakyat West Papua. Dari subjek ini, melalui kolonial Indonesia terus juga, membungkam pergerakan Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat [TPNPB] dengan sebutan KKB,KKBS,Teroris, Separatis; sebenarnya memperjuang untuk memperoleh Hak Penentuan Nasib sendiri dan rakyat sipil di angggap sebagai separatis hingga saat ini; termasuk pembungkaman ruang demokrasi mahasiswa, perempuan, buruh, tani, nelayan, mama-mama pasar Papua dan lain-lain. 


Maka, dari itu Untuk Menolak 61 Tahun Aneksasi Tanah Papua Barat, kami Aliansi Mahasiswa Papua [AMP] menuntut :


1.61 Tahun Kedudukan indonesia di Papua ilegal 

2.Usut tuntas pelaku Penyikasaan 3 warga sipil di puncak papua

3.Audit kekayaan freeport serta berikan pesagon untuk buruh

4.Audit cadangan tambang dan kerusakan lingkungan

5.Tarik TNI-Polri organik dan non-organik dari  seluruh Tanah West Papua

6.Hentikan rekayasa konflik seluruh Tanah West Papua

7.Buka Akses Jurnalis  dan Informasi diseluruh Tanah  West Papua

8.Usut, tangkap, adili dan penjarakan pelanggaran HAM selama keberadaan Freeport  McMoran di West Papua

9.Berikan Hak Menentukan Nasib Sendiri Solusi Demokratik Bagi Bangsa West Papua


Demikian pernyataan sikap ini dibuat, atas dukungan, pastisipasi dan kerjasama semua pihak, kami ucapkan banyak terima kasih.

 

Medan Juang, 

Tanah kolonial,1 mei  2024