Its.koran kejora |
koran kejora - Dalam beberapa Tahun terakhir setelah Negara Kolonial Indonesia mengesahkan UU Otsus serta memaksakan DOB (Daerah Otonomi Baru) kompleksitas persoalan semakin mencekik Masyarakat papua. Pembangunan infrastruktur, eksploitasi sumber daya alam, Perampasan Lahan, masalah Buruh, operasi militer serta persoalan lainnya. Realitas penindasan ini direspon dengan perlawanan rakyat yang terpisah-pisah disetiap sector / klas masyarakat yang ditindas, oleh karena itu persatuan nasional menjadi sangat penting guna menyatukan kekuatan dan menyerang mujsuh bersama.
Tentang Persatuan
Rakyat adalah pelaku sejarah dalam perjuangan merebut demokrasi secara nasional di west papua atau papua merdeka dari cengkraman Kolonialisme Indonesia, Kapitalisme – Imperialisme Dunia dan Militerisme Indonesia.
Sejarah perjuangan rakyat papua telah mencatat bagaimana rakyat papua berjuang sejak 1961 hingga kini, rakyat papua sadar persatuan adalah kunci guna menyatukan kekuatan, Menyerang Musuh, dan merebut kemerdekaan. Berbagai macam alternatif persatuan yang di lahirkan untuk menggalang kekuatan rakyat dilakukan. Mulai dari Neuguinea Raad, KNP (komite Nasional Papua), OPM (Organisasi Papua Merdeka), WPNCL (West Papua National Coalition Liberation), PNWP (Parlemen Nasional West Papua), NRFPB (Negara Republik Federal Papua Barat), dan kini dalam Front Persatuan ULMWP (United Liberation Movement for West Papua).
Untuk memahami dinamika persatuan papua, Baca ; https://suarapapua.com/2019/08/06/dari-nieuw-guinea-raad-ke-ulmwp-tentang-persatuan/
Dari berbagai model perstuan yang lahir dari kebutuhan untuk menyatukan kekuatan rakyat ada factor internal dan eksternal yang menjadi alasan kegagalannya. Factor eksternal tentu saja dilakukan oleh negara kolonial Indonesia melalui politik inviltrasi/penyusupan, propaganda kebohongan, operasi-operasi militer (penangkapan, kriminalisasi, pembunuhan) serta pembangunan kesadaran palsu dan realitas objektif penindasan yang semakin menambah komplesitas persoalan di papua.
Sedangkan factor internalnya adalah kondisi subjektif gerakan perjuangan. Pertanyaan-pertanyaan yang muncul adalah ; Bagaimana setiap oraginasasi perjuangan Melihat Realitas Penindasan ?, Apa Alternatif jalan keluar yang ditawarkan ?, Apakah kita membutuhkan Persatuan ?, Bagaimana seharusnya persatuan dibangun ?, Dengan Mulai Menjawab pertanyaan-pertanyaan dasar ini akan membawa kita (Masing-masing Organisasi) pada muara persatuan yang tepat.
Melihat Dinamika persatuan Gerakan perjuangan rakyat papua hari ini didalam (ULMWP) belum mampu menjadi rumah bersama yang menampung seluruh aspirasi dan keluhan rakyat yang lahir kerena realitas penindasan. Apalagi setelah perubahan signifikan ULMWP dari wadah koordinatif menjadi Trias Politica / semi pemerintahan yang semakin membuat kaku dan menutup habis ruang-ruang demokrasi. KTT II ULMWP (2023) pun tidak mampu Mengembalikan Marwah perstuan dengan menerima berbagai usulan gerakan rakyat dan semakin menambah perpecahan dari tingkat faksional hingga sektor gerakan di bawah.
Kritik dan sikap terbuka Kami tentang front persatuan nasional papua, Baca ;https://146.19.24.59/2023/11/sikap-terbuka-amp-kepada-ulmwp.html?__cpo=aHR0cHM6Ly9rb3Jhbmtlam9yYS5ibG9nc3BvdC5jb20
Poin penting yang harus dijadikan Landasan dalam membangun persatuan adalah Demokrasi yang Merakyat. Hal itu tidak dapat dicapai dalam tubuh front persatuan nasional karena kepentingan kelompok/individu lebih diutamakan dibandingkan kepentingan kolektif, Memiliki karakter yang birokratis dan kaku, ruang kebebasan berpendapat yang minim menciptakan Jarak yang jauh antara front persatuan dan rakyat yang mengalami penindasan.
Walaupun Demikian kami percaya bahwa persatuan gerakan rakyat papua akan tercipta Baik karena kondisi objektif penindasan maupun melalui tahapan konsolidasi berkelanjutan yang tentunnya merupakan hasil dari evaluasi yang objektif & Ilmiah.
Hal yang perlu dipahami Bersama Bahwa Persatuan itu relatif dapat tercipta ataupun diciptakan namun perjuangan adalah keharusan, setiap organisasi perjuangan memiliki tugas pokok yaitu berjuang dengan setiap basis pengorganisiran dan perpektif yang yang ada. Kita tidak bisa menggantungkan harapan semu / berharap lebih tentang front persatuan yang didambakan kemudian menyepelekan kerja-kerja perjuangan (pengorganisiran, Pendidikan, Aksi, Propaganda dll) karena pada esensinya persatuan yang berwatak nasional dan kokoh dapat terbangun karena setiap organisasi yang berafiliasi memiliki basis kerja terstruktur, terdidik dan semakin meluas, maka berjuang adalah suatu keharusan.
Tentang Kebudayaan kontra Revolusi
Masalah persatuan ini juga dikarenakan kebudayaan /tradisi berjuang yang keliru dan dipelihara secara sadar maupun tidak sadar di setiap tubuh organisasi perjuangan mulai dari bagaimana mekanisme organisasi dibangun sebagai pondasi sekaligus pagar guna mengantisipasi segala ancaman yang berpotensi mengganggu perjuangan. Baik yang lahir dari dalam maupun factor dari luar.
Perkembangan Masyarakat papua yang ditekan tenaga produktifnya oleh kolonialisme Indonesia berdampak pada kebudayaan nasional yang masih Mengedepankan nilai/nilai utopis seperti adat & agama (Nilai-nilai negatifnya) yang semakin mengaburkan cara pandang kita melihat realitas objektif penindasan dan ambigu dalam menentukan Alternatif jalan keluar yang tepat.
Konsekuensi logis dari kebudayaan yang berwatak primordialisme,dan oportunisme dalam Gerakan akan melahirkan benih-benih kehancuran. Mari kita lihat contoh Ketika PKI Mengakui segala kesalahnnya dan melakukan kritik oto kritik secara terbuka.
Dalam otokritik yang buat oleh cc politbiro PKI mereka mengakui segala kelemahan dan kesalah yang dilakukan Ketika Mereka dengan mudah terlibat dalam Gerakan 30 september yang semakin mengucilkan organisasi hal itu diperparah Ketika organisasi menjalankan garis oportunisme kanan dengan Menggantungkan Nasib organisasi ke tangan Soekarno. Ini adalah puncak kelemahan-kelemahan dan kesalahan-kesalahan berat PKI baik di bidang ideologi, politik dan organisasi.
Tidak sampai disitu ruang-ruang kritik pun dibuka tidak hanya internal pengurus pusat tetapi dibuka umum untuk menerima pandangan dari setiap partisipannya sebagai satu-satunya sarana /alternatif Menerima, megoreksi dan merubah setiap kesalahan.
Dalam kondisi gerakan perjuangan papua hari ini kebudayaan-kebudayaan kontra Revolusi seperti primordialisme, oportunisme, masih di praktekkan dalam tubuh Gerakan yang menjadi factor internal penghambat Pembangunan kesadaran dan kemajuan perjuangan.
Banyak contoh kasus, seperti di tahun 1998 – 200an dimana gejolak semangat kemerdekaan rakyat papua dalam front nasional presidium dewan papua (PDP) yang kemudian mengalami kehancuran karena kepemimpinan politik diletakkan pada kaum oportunis, contoh lainnya di tahun 2019 ketika isu rasisme di Surabaya memantik semangat dan pemberontakan rakyat papua namun front persatuan nasional ULMWP tidak mampu mengambil kepemimpinan di dalam negeri dan mengarahkannya pada musuh rakyat.
Contoh lainnya dari praktek kebudayaan kontra revolusi dalam Gerakan sipil adalah penyerangan yang dilakukan Wene kilungga anggota Pusat (Kominte Nasional Papua Barat) KNPB terhadap 15 orang individu dan organisasi saat sedang melakukan Teklap terakhir menuju Aksi nasional 1 mei 2024.
(Kronologi Penyerangan dan sikap korban, Baca : ) https://laolao-papua.com/2024/06/27/pernyataan-sikap-atas-serangan-brutal-wene-kilungga-anggota-knpb-pusat/
Praktek Premanisme yang dilakukan dalam tubuh Gerakan ini merupakan Gambaran Kebudayaan serta moral berjuang yang tumbuh subur dalam Organisasi. Kebingungan dalam mendorong maju perjuangan ini tidak terlepas dari kekosongan teori, politik maupun kebudayaan yang di gunakan sebagai alat yang memimpin Perjuangan.
Ditengah kondisi kekosongan ini segala sentimen, dan kecemburuan subjektif yang tidak berdasar akan semakin berkembang dan melahirkan Berbagai macam penyakit seperti Penokohan, patron, Membuntut bahkan tindakan-tindakan reaksioner.
download file pdf: https://drive.google.com/file/d/15HvUd2G4oTiXE8WZBRQhSZwZxLODxXXI/view?usp=sharing
Tugas Kita
Dalam Menyambut Hut ke 26 AMP, dan dengan melihat "Kenyataan bahwa kekuatan / kebudayaan kontra-revolusioner yang ada dan tumbuh di kalangan Gerakan perjuangan rakyat Papua maka kebutuhan mendesak yang harusnya dilakukan adalah membangun ruang kritik oto kritik yang ilmiah serta mendorong pendidikan-pendidikan politik yang berkelanjutan dan meluas. Dengan mulai berani mengakui kesalahan, terbuka menerima kritik yang objektif, serta dengan kerja Pembangunan kesadaran melalui Pendidikan yang berkelanjutan niscaya akan membangun kesadaran individu dan kolektif yang lebih Maju.
Kemajuan setiap individu dan organisasi dalam teori, politik , maupun organisasi tentunya akan berdampak signifikan dan dapat menjawab kebutuhan persatuan nasional yang Demokratis dan Merakyat.
Komite Pusat Aliansi Mahasiswa Papua (KP-AMP)
Ketua Umum
Jeeno Alfred Dogomo