Pernyataan Sikap: Hari Mambesak 35 Tahun dan Kematian Arnold C. AP Gerakan Nasionalisme Papua Barat

Ilustrasi Gambar oleh Koran Kejora
Aksi Bersama
Aliansi Mahasiswa Papua [AMP] dan Front Rakyat Indonesia Untuk West Papua [FRI-WP] _____________________________________________________________________________

Memperingati 35 Tahun Kematian ARNOLD C AP Pembebasan Nasional Rakyat Papua Barat

Salam Pembebasan Nasional Bangsa West Papua!

Amolongo, Nimo, Koyao, Koha, Kinaonak, Nare, Yepmum, Dormum, Tabea Mufa, Walak, Foi Moi, Wainambe, Nayaklak
Wa…wa…wa…wa…wa…wa..wa..wa..wa..wa!

Gerakan kebangkitan seni dan budaya Papua Barat dipelopori oleh Arnold Clemens Ap, Sam Kapisa, dan kawan-kawannya mahasiswa Universitas Cendrawasih (Uncen) di Jayapura. Gerakan mahasiswa yang bergerak di bidang seni dan budaya ini lahir pada tahun 1972. Aktivitasnya dimulai dari gereja-gereja, panggung ke panggung, hingga terakhir di RRI Nusantara V Jayapura. Gerakan ini kemudian terus tumbuh dan berkembang. Pada tanggal 15 Agustus 1978 grup musik bernama Mambesak diinisiasi Arnold C. Ap, dan kawan-kawannya. Tujuannya adalah untuk menghibur hati masyarakat bangsa Papua Barat yang sedang diintimidasi, dianiaya, diperkosa, dan dibunuh di atas tanahnya sendiri.

Mambesak memberikan inspirasi yang kuat dan membangkitkan nasionalisme bangsa Papua Barat. Berbarengan dengan itu, perlawanan terhadap Republik Indonesia semakin lama mulai menguat di daerah-daerah Papua Barat lainnya. Namun sayang, pemerintah Indonesia gerakan kebudayaan yang diusung Mambesak sebagai sesuatu yang berbahaya, sehingga mereka menangkap Arnold Ap. Ia ditahan sejak November 1983 karena dituduh sebagai sebagai OPM kota yang ikut berpartisipasi dalam perjuangan kemerdekaan Papua Barat. Arnold Ap kemudian dibunuh Pemerintah Indonesia melalui Kopassandha (kini Kopassus). Mayatnya ditemukan tanggal 26 April 1984 di Pantai Base G, Jayapura.

Pembunuhan Arnold Ap diatur dengan skenario melarikan diri. Sebelumnya, Arnold secara sengaja dibebaskan oleh Kopassandha dari dalam tahanan. Kemudian, Arnold yang hendak menyeberang ke Papua New Guinea—menyusul istri dan anaknya yang telah mengungsi sebelumnya—justru ditembak mati. Selain Arnold, rekannya, Eduard Mofu, juga dibunuh dan ditemukan terapung di permukaan laut Pantai Base G, Jayapura. Luka tembak menganga di dada dan perutnya. Atas kejadian tersebut, di Jayapura, sekitar 800 rakyat Papua Barat melarikan diri ke perbatasan Indonesia-Papua Nugini, sebagai bentuk protes atas sikap tidak manusiawi Indonesia terhadap Bangsa Papua Barat. Pada hari yang sama sekitar 300 rakyat Papua Barat melakukan long march mengantar mayat mendiang Arnold Ap dari Jayapura menuju Tanah Hitam, tempat peristirahatan terakhir Arnold Ap.

Bagi rakyat Papua Barat, walau Arnold Ap dibunuh, jiwanya tetap hidup bersama rakyat dan bangsa Papua Barat. Dia sudah tidak ada tetapi semangatnya telah membangkitkan semangat perlawanan rakyat Papua Barat. Nama Arlold Clemens Ap bagi rakyat Papua Barat adalah simbol, identitas, dan bapak budaya bangsa Papua Barat. Karenanya, tanggal 26 April menjadi momen bersejarah bagi rakyat Bangsa Papua Barat, karena pada tanggal tersebut adalah tanggal kematian sang budayawan, yang berhasil mempersatukan kurang lebih 250 suku yang mendiami Pulau Papua Barat melalui gerakan seni dan budaya, melalui grup musik Mambesak.

Identitas kepapuaan tumbuh seiring dengan pergolakan kekuasaan yang terjadi di tanah Papua Barat. Pergolakan itu terjadi sejak Indonesia menduduki tanah dan rakyat bangsa Papua Barat pada dekade 1960-an. Ketika itu, sebenarnya bangsa Papua Barat telah mendeklarasikan kemerdekaan pada 1 Desember 1961. Baik secara de facto maupun de jure. Namun karena Indonesia tidak terima, bersama Amerika Serikat dan Belanda mereka membuat pertemuan di New York dan membuat New York Agreement pada 15 Agustus 1962 serta Roma Agreement pada 30 September 1962. Dua perjanjian—yang dibuat tanpa melibatkan orang Papua—menjadi dijadikan legitimasi pelaksanaan Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera) 14 Juli- 2 Agustus 1969 yang sarat manipulasi dan intimidasi. Akhirnya Pepera pun hanya jadi alat Indonesia untuk menganeksasi Papua Barat.

Dengan demikian, sejarah bangsa Papua Barat setelah 1969 menunjukkan Pepera menjadi salah satu akar konflik yang berkepanjangan. Konflik yang hingga kini melahirkan tragedi-tragedi pembunuhan, pemerkosaan, penganiayaan, dan perampokan oleh militer Indonesia serta kekuasaan modal yang saat itu dibekingi  rezim Suharto. Kala itu, lagu-lagu nasionalisme bangsa Papua Barat dibungkam dengan jalan kekerasan.

Hari ini pun hak demokrtatik rakyat Papua masih terjadi dibungkam. Terutama mahasiswa Papua, mereka begitu sering direpresi militer, kampus, dan pemerintah. Diskusi dan demo damai yang membicarakan HAM, menyanyikan lagu-lagu Mambesak, ataupun mementaskan budaya nasional Papua Barat masih sering dilarang atau dibubarkan oleh negara kolonial Indonesia. Itu terjadi pada  mahasiswa Papua Barat di Tanah Papua maupun di luar Papua. Rakyat sipil di kampung maupun kota di Tanah Papua kerap terancam secara sistemik oleh militer melalui teror, penyisiran, penembakan, peledakan bom, penganiayaan, pemerkosaan, pembongkaran rumah warga, pembunuhan hewan peliharaan, dan beragam intimidasi lainnya. Aktivis serta kantor perjuangannya dibakar, seperti terjadi pada kantor KNPB dan ULMWP.

Ruang demokrasi sengaja dirusak dan dibungkam agar akumulasi modal dapat terus merusak alam dan rakyat Papua. Bahkan populasi rakyat Papua Barat semakin menurun dari tahun ke tahun akibat  genosida perlahan yang pemerintah kolonial lakukan terhadap rakyat Papua Barat. Pemerintah kolonial enggan melihat latar belakang sejarah gerakan kemerdekaan bangsa Papua Barat. Rakyat Papua Barat secara umum tidak menginginkan Indonesia berkuasa di atas tanah Papua Barat. Rakyat Papua Barat mengehendaki hak penentuan nasib sendiri sebagai solusi terbaik.

Karenanya, dengan memperingati hari kematian Arnold Ap, Aliansi Mahasiswa Papua (AMP) dan Front Rakyat Indonesia untuk West Papua (FRI-West Papua) menuntut pemerintah kolonial Indonesia dan Persatuan Bangsa-Bangsa untuk segera:

1. Berikan hak penentuan nasib sendiri sebagai solusi demokratis bagi bangsa West Papua
2. Usut tuntas kasus-kasus pelanggaran HAM di Papua
4. Tutup dan hentikan segala aktivitas eksploitasi semua perusahaan multinasional imperialis; seperti Freeport, BP, LNG Tangguh, Medco, Corindo, dan lain-lain, dari seluruh Tanah Papua
3. Tarik militer (TNI-POLRI) organik dan non organik dari Tanah Papua 
4. Usut tuntas dan adili kasus pembunuhan terhadap Arnold C Ap dan kawan-kawannya
5. Buka ruang demokrasi seluas-luasnya serta beri akses jurnalis nasional dan internasional di Papua Barat

Demikian pernyataan sikap ini kami buat. Kami akan terus melakukan perlawanan terhadap segala bentuk penjajahan, pembungkaman, penindasan, dan penghisapan, terhadap rakyat dan bangsa West Papua.

Salam Pembebasan Nasional Papua Barat!

Medan Juang, 24 April 2019