Gerakan Koreri di Biak (1938-1943), Wujud Eksistensi Mitos dalam Kehidupan Masyarakat

Perahu suku Biak, raja lautan dari Papua. Sumber: Kosapa
A. Pengantar

Kedatangan bangsa Eropa ke daerah-daerah di Asia, Afrika, dan daerah-daerah pedalaman lainnya, disertai dengan pengiriman misionaris-misionaris, memunculkan protes yang dilakukan oleh kelompok-kelompok yang tidak menginginkan perubahan religi dan ketidakpercayaannya kepada “orang baru” yang akan memberikan kehidupan yang lebih baik dari kehidupannya saat ini. Munculnya seorang tokoh yang dianggap sebagai mesias, disertai dengan berbagai kelebihan yang dimilikinya, ialah kejadian yang biasa terjadi, terutama di daerah-daerah yang memiliki kepercayaan tradisional yang kental dan mendalam. Munculnya para nabi yang menjadi sumber ilham pemberontakan, dan kelompok-kelompok yang mendukungnya, bertindak sebagai respon dari keluhan dan berkaitan dengan sistem kepercayaan yang tidak dimengerti oleh orang Eropa atau menolak atau memahaminya. (Adas, Michael, 1988, hlm. 67-68) 

Gerakan koreri di Biak, Papua, merupakan salah satu gerakan mesianik, Gerakan ini pada mulanya merupakan suatu pergerakan pembebasan orang-orang Biak dan Irian dari pengaruh kebudayaan Asing. Pada tahap berikutnya, gerakan ini merupakan suatu gerakan yang bersifat politis religius. Disebut demikian karena gerakan ini menentang kekuasaan asing (Belanda dan Jepang) serta agama Kristen yang disebarkan di Papua oleh para misionaris, yang kesemuanya dianggap sebagai penyebab penderitaan rakyat Papua. Sebagaimana gerakan mesianik, gerakan koreri memiliki seorang tokoh kharismatik yang memiliki ‘kekuatan’ lebih dari manusia pada umumnya. Tokoh tersebut berasal dari mitologi masyarakat Biak yang melegenda dan menjadi panutan hidup bagi masyarakat Biak. 

Kata koreri berasal dari bahasa Biak, ko yang artinya kita, dan rer yang artinya ganti kulit, untuk mengubahnya menjadi kata sifat, diberikan imbuhan i. Artinya menjadi kita menggantikan kulit, dalam arti luas berarti kita menjadi baru kembali. Dalam arti luas kata korer dengan imbuhan i menjadi koreri berarti suatu kehidupan yang tidak mengenal penderitaan fisik maupun batin, tidak ada tekanan ekonomi, tekanan politik, penyakit atau mati, suatu kehidupan bahagia yang abadi sifatnya. 

Gerakan koreri merupakan gerakan perlawanan rakyat Papua kepada agama baru yang dibawa oleh orang Kulit Putih (agama Kristen) dan wujud kekecewaan masyarakat Papua terhadap ketidakadilan yang dilakukan oleh kolonialis di Papua. Keresahan politik dan sosial yang dialami oleh masyarakat Papua, memunculkan adanya keinginan untuk mengembalikan kembali kehidupan “koreri” ke dalam kehidupan masyarakat Papua. Besarnya pengaruh mitologi dalam kehidupan rakyat Papua dan kerinduan akan kehidupan yang sejahtera, menjadi faktor utama semakin meningkatnya jumlah pasukan koreri. Setelah gerakan koreri berhasil dibersihkan oleh pemerintah Jepang tahun 1943, bermuncullanlah gerakan-gerakan mesianik lainnya di Papua yang melawan penjajahan Kulit Putih.

Gerakan koreri pada mulanya merupakan suatu gerakan yang muncul karena wahyu dari Manggundi (tokoh mitologi Biak) melalui Angganitha sebagai konornya. Angganitha diperintah untuk menunjukkan jalan ke koreri bagi orang Biak dan orang Papua, dari penjelasan tersebut tampak bahwa aspek kultural mendominasi, yaitu keinginan untuk mengembalikan kebudayaan Biak dan Papua sebagai pedoman hidup mereka. Akan tetapi pada tahap berikutnya, setelah Angganitha ditangkap, ada pihak-pihak yang memanfaatkan kebingungan pengikut Angganitha karena kehilangan sang pemimpin. Stephanus dan Birmori merangkul pengikut Angganitha untuk mewujudkan ambisi dan kepentingan politik mereka. Mereka memimpin gerakan Koreri untuk mengusir Belanda dan kemudian Jepang dari tanah Papua. Sejak itulah gerakan koreri yang berlandaskan pada pengkultusan satu tokoh dan keinginan mengembalikan kebudayaan Biak, menjadi satu gerakan politik yang dimanfaatkan oleh seorang tokoh untuk kepentingan politik. 

Kedatangan seorang juru selamat (mesias) dalam mitologi Biak, seringkali disamakan dengan mesias milik orang Kristen yang bernama Yesus. Pengikut gerakan koreri, beranggapan bahwa agama Kristen yang dibawa oleh Kulit Putih adalah sama persis dengan kitab suci (mitologi Biak) yang dimiliki oleh mereka. Gerakan koreri inilah yang mempelopori pergerakan rakyat dalam kelompok yang besar di Papua. Bahkan, di tahun 1998, ada sebuah kelompok doa bernama Farkankin Sandik yang secara diam-diam melakukan kegiatannya dalam kebudayaan orang Biak dan kemudian muncul kepermukaan pada sebagai bentuk perlawanan terhadap strategi dan kebijakan pemerintah pusat selama ini yang mengutamakan kepentingan pusat dan mengorbankan mereka. (Siaran Pers UI, Koreri dalam Gerakan Perlawanan Papua Merdeka, www.ui.ac.id)

B. Awal gerakan Koreri di Biak

1. Mitologi Biak

Gerakan koreri berlandaskan pada mitologi Biak, yang mengisahkan adanya seorang lelaki tua bernama Mananarmakeri (disebut juga Kayan Sanau atau Kayan Biak) yang memiliki rahasia koreri. Mananarmakeri meninggalkan orang Biak dan pergi ke arah Barat bersama rahasia korerinya dan berjanji akan kembali pada suatu saat. Kepergiannya disebabkan oleh sifat-sifat orang Biak yang lalim, dipenuhi nafsu duniawi, ketidakjujuran, ketidakadilan, dan suka menumpahkan darah. Ia akan kembali jika sifat-sifat itu telah ditinggalkan oleh orang-orang Biak. 

Menurut mite Biak, suatu hari Manarmakeri menombak babi di kebunnya. Babi yang sudah kena itu lari dengan tombak di tubuhnya lalu masuk ke gua. Manarmakeri mengejar babi itu. Akan tetapi ketika tiba di gua itu ia tidak menemukan babi, melainkan mendengar suara yang menyapanya. Suara ini menunjukkan kepada Manarmakeri suatu kampung yang indah sekali. Dan diantara para penghuni ada teman-teman Manarmakeri, yang dulu telah meninggal dunia, dan kini telah hidup kembali; yang dulu renta, kini menjadi belia. Suara itu bertanya: maukah kau seperti mereka itu? Manarmakeri menjawab: ya ! Tapi suara itu berkata lagi: waktumu belum sampai; kau masih berada dalam dunia sasor. Kemudian kampung yang indah itu –dunia koreri– lenyap dari pandangan Manarmakeri. Maka ia kembali ke rumahnya.

Sesudah kejadian tersebut, Mananarmakeri kembali ke kebunnya dan menemukan semua hasil kebunnya telah hilang dan hanya menyisakan satu labu. 

Keindahan koreri yang tampak, membuat Mananarmakeri merenung terus menerus dan dia pun terkena penyakit kulit, karena itulah dia kemudian dijuluki Mananarmakeri (bahasa Biak, Man=laki-laki, armakeri=kudis). Mananarmakeri juga memiliki nama lain Kayan Sanau (kekayaan Kudis) dan Kayan Biak (Kekayaan Biak). (Bas Nanlohy, Akulturasi dalam Gerakan Koreri, http://teologipapua.blogspot.com/2008/08/akulturasi-dalam-gerakan-koreri.html). Mananarmakeri memutuskan untuk pergi dari kampungnya dan mencari koreri ke arah tenggara. Setibanya di sebuah daerah bernama Meokbundi, Mananarmakeri berkelahi dengan Sang Bintang Pagi, Sampari, yang mencuri tuak dari pohon kelapa yang dibuatnya. Sang Bintang Pagi merayu Mananarmakeri dengan kekayaan dan kesejahteraan, namun ditolak Mananarmakeri. Mananarmakeri lalu mengajukan keinginannya untuk mendapatkan rahasia koreri sheben (hidup kembali sesudah mati dan kedatangan koreri). Sang Bintang Pagi pun memberitahukan rahasia koreri tersebut. 

Sekembalinya ke kampung, Mananarmakeri melaksanakan cara-cara yang diberitahukan oleh Bintang Pagi. Karena kelakuannya, hamillah Insoraki yang kemudian melahirkan seorang anak bernama Manarbew. Mengetahui kehamilah Insoraki, warga desa marah dan mereka semua pergi sembari membakar kampung mereka dan meninggalkan keluarga Mananarmakeri sendiri. Selepas kepergian warga desa, Mananarmakeri melanjutkan ritual untuk meraih koreri, yaitu dengan membakar diri, yang membuat kuitnya mengelupas dan berganti dengan kulit baru. Kulit lama yang terlepas berubah menjadi perhiasan dan peralatan yang cantik. Peristiwa ini dikenal dengan tahap berganti kulit (rer). Demikianlah, keluarga Mananarmakeri hidup dalam koreri, tanpa bersusah payah segala sesuatu yang dibutuhkan akan tersedia. 

Mananarmakeri tidak melupakan warga desanya, ia pun berniat membagi rahasia koreri, Dengan perahu itu, Mananarmakeri pergi ke tempat warga desanya inggal, yaitu di Krawi, sebelah utara pulau Yapen. Ia ditolak oleh warga desa, ketika ia mengutarakan niatnya untuk menghidupkan kembali mertuanya yang bakal mati ditimpa perahunya. Ia melanjutkan perjalanannya menuju Numfor. Sesampainya di Numfor, Mananarmakeri ingin menunjukkan rahasia korerinya, tetapi penduduk tidak ada yang mengerti apa maksud Mananarmakeri dan koreri. Ia pun marah dan pegi ke arah Barat. Sebelum kepergiannya, ia berjanji untuk kembali lagi pada satu saat dengan membawa koreri bagi warga Biak. (Majalah Prisma tahun 1980, hlm. 79-82)

Orang Biak-Numfoor, memiliki pengharapan dan kepercayaan akan kedatangan seorang mesiah. Pengharapan ini biasanya dihubungkan dengan tokoh Yawi Nusyado alias Mananarmakeri, yang kemudian hari diberi gelar “Manseren Manggundi” (Tuhan Sendiri). Tokoh ini dianggap penting karena ia mampu memberikan kemerdekaan, kesejahteraan dan kehidupan baru bagi orang Biak-Numfoor. Manarmakeri adalah orang yang sudah dipersiapkan oleh Manseren Nanggi (Dewa Langit) untuk menjadi pemeran utama dalam drama kedatangan “Koreri Syeben” yang dinanti-nantikan orang Biak-Numfoor.

Manseren Manggundi membawa Koreri yang di dalamnya terkandung: kehidupan baru, kebahagiaan, kesejahteraan, kekayaan ke arah Barat.

Pengharapan terhadap kedatangan Manseren Manggundi dari arah Barat merupakan hal yang sangat mempengaruhi kehidupan masyarakat Biak-Numfoor, baik pada masa lampau maupun masa kini. Karena menurut pesan dari Manseren Manggundi bahwa setelah tujuh generasi, ia akan kembali untuk memenuhi janjinya yaitu memberikan koreri kepada orang Biak-Numfoor. Pada saat itu, mulailah suatu kehidupan baru karena manusia menikmati hidup kekal, kebahagiaan dan kesejahteraan, kekayaan yang tidak pernah berakhir. Kedatangan “mesias” menandakan koreri syeben, karena juru selamat akan tiba dan semua orang mati akan dibangkitkan dan hidup bersama-sama dengan kita yang masih hidup. Selanjutnya, kita yang masih hidup akan mengalami keadaan “rer” (kulit baru) dengan tubuh yang baru, sama seperti keadaan orang mati yang dibangkitkan dalam tubuh yang baru. Perjanjian ini, merupakan harapan Mananarmakeri yang bersifat pengharapan mesianis, yang masih ada dan dapat mempengaruhi masyarakat Biak-Numfoor hingga saat ini. Biasanya pengharapan mesianis mereka dapat dihubungkan dengan kondisi ekonomi, sosial dan budaya, politik yang stabil, bahkan kondisi yang tidak sesuai lagi dalam kehidupan masyarakat secara umum. (Bas Nanlohy, Akulturasi dalam Gerakan Koreri, http://teologipapua.blogspot.com/2008/08/akulturasi-dalam-gerakan-koreri.html)
Kedatangan Manseren Manggundi akan diumumkan oleh utusannya, yang dalam bahasa Biak disebut “konor” (pembawa berita atau perintis jalan). Konor mendapat perintah dari Manseren Manggundi melalui mimpi atau suatu penglihatan untuk memberitahu bahwa tokoh mesias akan segera tiba kembali. Namun sebelum Manseren Manggundi tiba, para pengikutnya harus melaksanakan beberapa hal sebagai berikut:

a. Membangun rumah baru untuk Manseren Manggundi
b. Memperbesar rumah masing-masing untuk menampung orang-orang yang akan dibangkitkan kembali
c. Mempersiapkan segala sesuatu, termasuk kayu bakar, sebab akan terjadi kegelapan selama tiga hari, yang mendahului kedatangan Manseren Manggundi.
d. Jangan memakan sayur labu dan babi. Alasannya ialah karena sayur labu dan babi, yang menjadi penyebab Manarmakeri meninggalkan kampung Sopen.
e. Jangan makan daging ular dan udang. Alasannya ialah karena hewan-hewan yang bertukar kulit mempunyai sangkut pautnya dengan peristiwa perubahan kulit dari Manarmakeri.

Melalui penjelasan di atas, dapat dipahami bahwa pengharapan mesianis orang Biak-Numfoor bermuara pada seorang tokoh mistis, yang dianggap mempunyai kuasa untuk memberikan kehidupan baru, baik secara jasmani maupun rohani. Artinya, Manseren Manggundi mempunyai kuasa ilahi dari Manseren Nanggi, sehingga ia dapat “menyelamatkan” manusia pada masa kini dan masa yang akan datang. Permasalahan kita bahwa kedatangan Manseren Manggundi belum terwujud. Meskipun demikian seringkali muncul seorang konor (pembawa berita) sehingga banyak orang mengikuti dan mempercayainya. Hal ini membuktikan bahwa kepercayaan akan Manseren Manggundi begitu mendalam dan berakar pada sebagian masyarakat Biak-Numfoor.

2. Kedatangan Angganitha

Gerakan Koreri di Biak Numfor, diawali dengan peristiwa yang dialami oleh Insernsowek yang kemudian diganti dengan nama baptisnya bernama Angganitha. Ia adalah janda dengan tiga anak dari klen Menufandu. Karena penyakit kulit dan beri-beri, ia pun diungsikan ke daerah lain. Namun, ketika ia kembali ke sanak keluarganya di Insumbabi, ia telah sembuh dan menjadi rupawan kembali. Angganitha kemudian bercerita bahwa ketika di tempat pengasingan ia dikunjungi oleh seseorang yang memberinya makan dan mengobatinya hingga sembuh. 

Orang asing tersebut memberkatinya dan memilihnya untuk menjadi penyiar dan pemimpin dari suatu hidup yang tidak akan ada akhirnya. Melalui dia, penduduk akan menuju pada jalan koreri. Berita inipun tersebar ke seluruh kepulauan Biak, dan untuk menguatkan pernyataannya, Angganitha mengaku bahwa orang asing yang telah menyembuhkannya adalah Mananarmakeri, yang berkata bahwa ia telah melihat kelaliman, penderitaan, penganiayaan, dan penindasan kepada Angganitha. Karena itu ia akan memberikan kedamaian abadi, dan memberikan nama Bin Damai atau Bin Mas ro Judea (putri Damai atau putri emas dari Judia). Ia pun mengutus Angganitha untuk memimpin rakyatnya menuju koreri. Agar koreri terlaksana, tidak diperbolehkan perang antar suku dan pertumpahan darah. Bendera yang akan dipakai di seluruh Irian adalah bendera bercorak tiga, di atas berwarna biru, di tengah putih, dan di bawah merah, yang melambangkan kesetiaan, kedamaian, dan keberanian. Ia pun mengatakan akan terjadi Perang Dunia Ketiga jika hak serta bendera orang Irian tidak diakui. 

Selang dua tahun, berita ini tersiar ke seluruh penduduk Biak Numfor, tetapi dirahasiakan dari pihak Belanda dan misionaris. Tersiarnya berita Perang Dunia II, semakin memperkuat pernyataan Angganitha, bahwa ia adalah orang yang diutus oleh Mananarmakeri. Berduyun-duyunlah orang-orang ke Insumbabi untuk menyaksikan dan menerima langsung perintah Kayan Sanau melalui Angganitha. Banyak pula orang yang datang ke Angganitha untuk berobat. 

Angganitha menjadi seorang yang sakral. Kekaguman penduduk tersebut segera menjelma ke dalam bentuk pendewaan. Apa yang diucapkan Angganitha adalah benar dan harus ditaati. Mulai saat itu terjadilah pergerakan melawan Kristen dan kedatangan orang Barat, dan menginginkan terbentuknya agama dan pemerintahan baru berdasarkan pada mitologi Biak. (Johsz R. Mansoben, Majalah Prisma, 1980, hlm. 78-79) 

C. Gerakan Koreri di Biak (1938-1943)

1. Gerakan Koreri di Bawah Pimpinan Angganitha

Pertengahan 1941, pemerintah Belanda dan para misionaris mengendus adanya tindakan pendewaan terhadap Angganitha. Kunjungan dalam jumlah besar ke pulau Insumbabi mengawali kecurigaan pemerintah, yang kemudian mengadakan penyelidikan. Atas hasil penyelidikan tersebut, pembantu kepala distrik pemerintah Belanda dan pendeta Kristen yang berkedudukan di Korido mengisyaratkan Angganitha dan pengikutnya untuk menghentikan gerakannya. Anjuran ini ditolak Angganitha, yang memancing kemarahan kepala distrik yang berkedudukan di Bosnik. Ia pun mengirimkan satu kesatuan polisi ke Insumbabi dan membakar semua rumah disana, yang disertai dengan perintah larangan membangun rumah di daerah itu. 

Perintah larangan tersebut mendapatkan respon yang bertentangan, semakin banyak penduduk yang membangun rumah di Insumbabi. Pemerintah meresponnya dengan menangkap Angganitha dan dipenjarakan di Serui. Karena kelakuan baiknya dan jaminan dari keluarga, akhir tahun 1941, Angganitha dibebaskan, dengan syarat untuk tidak menghidupkan lagi gerakannya. Setibanya di kampung Sowek, ia disambut meriah oleh pengikutnya. Lebih banyak lagi orang yang datang untuk memujanya, yang kemudian mendorong Angganitha untuk secara terbuka menyatakan perang dengan pemerintah dan zending. Ia mengatakan bahwa jika pemerintah melarang pergerakannya dengan menyerang pulau Insumbabi, maka semua kapal yang digunakan akan dihancurkan. Kesempatan bagi Angganitha untuk menyebarluaskan pengaruhnya semakin terbuka ketika pecah perang Jepang-Sekutu. 

Rapat-rapat massal yang berlangsung di Insumbabi diikuti dengan pertentangan antara yang pro zending dengan anti zending, yaitu pengikut Angganitha, mengakibatkan terjadinya pertumpahan darah. Para pengikut Angganitha berpendapat bahwa para zending merahasiakan sebagian dari kitab suci. Mereka beranggapan bahwa apa yang sebenarnya dimuat dalam kitab suci adalah tidak lain dari mitologi Biak. Karena itu mereka menyamakan Manarbew, putra Mananarmakeri dan Insoraki sebagai Yesus, Insoraki sebagai Maria. Oleh karena itu berbagai nama tempat di sekitar pusat gerakan dinamakan pula menurut nama-nama tempat di negeri Israel yang dimuat dalam kitab suci, seperti misalnya Insumbabi dinamakan Yudea, Pulau Rani dinamakan Gadara, dan Aiburanbondi dinamakan Bethlehem.

Angganitha memperkuat diri dengan melantik pembantu-pembantu yang mewakilinya di setiap kampung dengan jabatan Tuan Damai atau Bin Damai. Kepada mereka diberikanlah bendera-bendera Koreri untuk dikibarkan di kampung mereka. Para Tuan Damai inilah yang melakukan propaganda untuk menarik massa pendukung Angganitha. Di sisi lain, pemerintah juga memperkuat pasukannya untuk meredam perlawanan dari gerakan ini. Dari Bosnik, pemerintah kembali mengirim kesatuan polisi untuk membakar rumah-rumah di pulau Insumbabi. Puncaknya, pada 8 Mei 1942 Angganitha ditangkap dan dibawa ke Bosnik. Tanggal 11 Juni 1942, armada Jepang tiba di Bosnik, yang menandakan pergantian pemerintahan dari Belanda ke Jepang. Tanggal 29 Juni 1942, Angganitha diasingkan ke Manokwari oleh Jepang. Ini merupakan akhir dari pergerakan Angganitha, tapi merupakan awal lahirnya pergerakan-pergerakan yang berakar pada pergerakan Angganitha tersebut. (Johsz R. Mansoben, Majalah Prisma tahun 1980, hlm. 82-83) 

2. Gerakan Koreri di bawah pimpinan Stephanus Simopyaref (1942)

Stephanus Simopyaref berasal dari Manswam, Biak Selatan, ia dilukiskan sebagai seorang yang berperawakan kurus dan tinggi dengan kepandaian berbicara dan kepercayaan kepada diri sendiri yang besar. Ia pernah dipenjarakan di Jawa dan Maluku, yang mengenalkannya kepada agama Islam dan ilmu kebathinan. Pada waktu Jepang berkuasa, ia dipenjara di Manokwari. Ketika pemboman Manokwari, Stephanus dibebaskan dan ia kembali ke Biak dengan membawa kitab suci yang dibuang oleh Jepang. Dalam perjalanan pulang ke Biak, ia mengadakan rapat dengan kawan seperjalanannya di Pulau Wabruk pada 8 Juni 1942. Dalam rapat itu Stephanus merencanakan untuk menobatkan Angganitha sebagai ratu dan memutuskan seluruh kerabatnya memakai klem Mananarmakeri, sedangkan pemunculan Angganitha dinyatakan sebagai konor, yang dalam bahasa Biak berarti mereka yang mempunyai kemampuan untuk menawan hati dan pembawa kebaikan serta keberuntungan. Konor biasanya menyatakan diri sebagai utusan nenek moyang. Stephanus juga mengutarakan bahwa karena Angganitha adalah seorang wanita, maka perlu mendapatkan bantuan dari kaum laki-laki. Stephanus lah yang dianggap sebagai orang yang dapat memenuhi kewajiban tersebut, iapun bertindak sebagai jenderal dan membentuk Angkatan Bersenjata. 

Keberadaan Stephanus sebagai pimpinan gerakan, merupakan salah satu upaya baginya untuk meraih kekuasaan yang sebelumnya tidak dipikirkan oleh Angganitha. Stephanus menggunakan kekuasaan Angganitha untuk mencapai suatu tujuan politik. Pada tanggal 20 Juni 1942 Stephanus mendarat di Pulau Rani, dan merancang pembentukan angkatan bersenjata untuk membebaskan Angganitha. Stephanus berjanji jika Angganitha bebas, maka ia akan dilantik menjadi ratu. 

Upaya-upaya perundingan antara Stephanus dengan pemerintah Jepang, untuk membebaskan Angganitha, terus berlanjut. Namun, ketidakseriusan Jepang untuk menanggapi tuntutan, mengobarkan kemarahan para pendukung Angganitha. Puncaknya, ketika tanggal 13 Juli 1942 datang sebuah kapal Ursula dari Manokwari, yang disambut dengan sikap menyerang oleh massa. Beberapa perahu mendekati kapal tersebut, namun sebelum sampai, perahu tersebut ditembaki oleh kapal Jepang. Delegasi Jepang kemudian turun dan berunding melalui juru bicaranya, Iwata. Pihak Jepang menyampaikan bahwa setiap orang bebas, tetapi semuanya harus membantu Jepang, dan mereka akan menjadi anak-anak Jepang. Stephanus mengungkapkan keinginanya untuk membebaskan Angganitha, Jepang menyetujuinya dengan syarat Stephanus mengambil sendiri ke Manokwari. Stephanus menyetujuinya dan ia turut ke Manokwari untuk menjemput Angganitha.

Berselang beberapa waktu, terdengar bahwa Stephanus dan Angganitha dipancung oleh orang-orang Jepang atas desakan dari orang Amber (yaitu pegawai pemerintah dari zending yang diungsikan dari Biak ke Manokwari karena gerakan Koreri) pada Agustus 1942. Berita ini membawa kebingungan bagi pengikutnya, beberapa rencana pembebasan disusun, tetapi tidak ada yang terlaksana. Upaya-upaya penyerangan bersenjata yang dilakukan dianggap sulit dilaksanakan karena kurangnya persenjataan. Berdasarkan pertimbangan tersebut, maka dilakukan pendekatan-pendekatan baru yang lebih damai dan menarik banyak simpatisan. Salah satunya adalah membebaskan semua orang Irian yang anti Koreri yang dipenjarakan di Rani, semua orang Amber, juga dibebaskan, dan boleh kembali menjalankan tugas mengajarnya. Sedangkan para juru tulis kantor pemerintah dan polisi tetap ditahan tetapi tidak lagi di Rani. Rencana ini dirrealisir pada 19 Juli 1942. Dengan adanya pembebasan sebagian tahanan dan pemindahan sebagian lagi dari Rani serta ketidakpastian tentang kepemimpinan, menyebabkan banyak pengikut gerakan ini yang kembali ke kampungnya dan ke kehidupannya yang sebelumnya. (Johsz R. Mansoben, Majalah Prisma tahun 1980, hlm. 83-88)

3. Gerakan Koreri di bawah pimpinan Birmori

Birmori adalah teman sepenjara Stephanus di Manokwari yang ikut dibebaskan dan pulang ke kampungnya di Wapes, sebelah barat Laut Biak. Selama Stephanus melakukan gerakan di Rani, ia tetap tinggal di kampungnya. Tetapi, ketika pengaruh Stephanus memudar, ia tampil sebagai “juru selamat” baru. Seperti halnya dengan Stephanus dan Angganitha, kepercayaan rakyat kepada Birmori juga diwarnai dengan cerita-cerita Stephanus yang melihat dan bertemu dengan Manggundi dalam suatu “visun”. Sekembalinya di kampung, ia mendengar tentang memudarnya gerakan koreri yang berpusat di Rani, ia pergi mengunjungi Yamnaibor, bekas tempat ladang Manggundi. Sekembalinya dari ladang tersebut, ia menyatakan diri sebagai Raja Damai Wopes. 

Birmori menarik pengikut dengan menggunakan sinkretisme mitologi Biak dan agama Nasrani, serta penggunaan ilmu sihir, yang dianggap sebagai kelebihan oleh penduduk Papua. Beribu orang berduyun-duyun ke Wopes untuk menyaksikan dan menyediakan diri menjadi pengikut gerakan tersebut. Sementara gerakan Koreri di Rani mengalami kemunduran, gerakan Koreri di Wopes memulai masa perkembangannya. 

Birmori yang sejak semula tidak mau bekerjasama dengan Jepang, pada bulan Desember 1942 ia menyatakan pendiriannya secara blak-blakan terhadap Jepang. Sikap Birmori ini mengundang pihak Jepang untuk melawannya. Di bawah pimpinan Yasimoto, sepasukan Jepang pun tiba di Wopes yang terdiri dari seumlah Jungke (polisi Jepang yang berasal dari orang Papua) dan beberapa tentara dari orang Jepang. Yasimoto melakukan propaganda yang menyatakan bahwa Birmori adalah seorang penghasut, pemberontak dan pengecut, kemudian terjadilah pertempuran di antara mereka, Yasimoto terbunuh, pasukannya banyak yang terluka dan memilih untuk mundur. 

Setelah peristiwa tersebut, Birmori bersembunyi di hutan. Untuk memburunya, pihak Jepang menggunakan Stephen Wanda, salah seorang pengikut Angganitha yang membelot. Terjadilah kericuhan dalam dua kelompok tersebut, kawan dan lawan menjadi rancu. Akibatnya, terbunuhlah istri Birmori, dan ketika Birmori menggali liang lahat untuk menguburkan istrinya, ia dibunuh oleh anggota keluarga dekatnya. Kepala Birmori dipotong dan diserahkan pada orang-orang Jepang di Korido. (Johsz R. Mansoben, Majalah Prisma, hlm. 88)


D. Analisis

Kepercayaan kepada “Sang mesias” seringkali terjadi pada masyarakat yang sedang mengalami penindasan, baik itu secara fisik, psikis, penindasan budaya, politik, maupun ekonomi. Konfrontasi antara pemikiran “koreri” dengan kenyataan yang dialaminya, menambah perasaan marah dan keinginan untuk mengembalikan kehidupannya dalam suasana lama yang dianggapnya lebih indah daripada kehidupannya sekarang. 

Kedatangan Angganitha dengan mukjizat yang terjadi dalam dirinya, menarik massa begitu banyak, terutama orang-orang Biak yang meyakini mitologi koreri dan kembalinya Mananarmakeri. Kolonisasi yang hidup di masyarakat Biak, memasukkan budaya Barat ke budaya non-Barat. Kelompok, ide-ide baru, objek-objek, dan pola organisasi baru diperkenalkan, dimana mereka mengganti dan mengancam posisi kelompok pribumi yang telah berdiri sebelumnya. Dalam situasi tersebut, mayoritas individu dan kelompok yang dikolonisasi merasakan kesenggangan yang timbul antara apa yang mereka harapkan dalam segi status dan perolehan materi dengan apa ataupun kapasitas yang mereka miliki. Persepsi atas penyimpangan antara harapan dengan kapasitas ini menimbulkan deprivasi perasaan yang secara relatif dan kolektif telah dialami. Mereka membandingkan status dan keadaan mereka pada saat ini dengan keadaan pada zaman sebelumnya. Karena tekanan dan keputusasaan yang menyertai perasaan deprivasi relatif cukup berat dan merata, maka menimbulkan gerakan protes kolektif yang direncanakan untuk memperbaiki ketegangan dengan menutup kesenggangan antara pengharapan partisipan dengan kapasitas mereka.(Adas, Michael, 1988, hlm. 68-70) 

Masuknya orde kolonial, tidak saja menerapkan kontrol politik yang lebih tinggi atau tuntutan ekonomi yang lebih berat, tapi juga menimbulkan masalah legitimasi, etnik, dan norma-norma sosial yang dilanggar dalam aspek kehidupan orang yang dijajah. Masyarakat Biak merupakan suatu kesatuan etnik, yang sebelum kedatangan para kolonis, merupakan masyarakat yang telah memiliki way of life nya sendiri. Masuknya agama Kristen dan pemerintahan baru (Belanda), secara sepihak dan mengejutkan mengubah frontal seluruh cara hidup dan kebiasaan masyarakat Biak. 

Kemiskinan, penderitaan, dan kesengsaraan yang melanda masyarakat Biak, menyebabkan lemahnya mental mereka. Keinginan untuk hidup sejahtera, mapan, seperti dalam mite koreri mereka, memperoleh jawabannya ketika muncul seorang tokoh yang mengalami kejadian serupa dengan tokoh mitologi mereka. Sang tokoh tersebut menguatkan kepercayaan penduduk dengan kelebihan-kelebihan yang dimilikinya. Jadilah ia seorang yang sakti dan didewakan oleh penduduknya, ia adalah sang konor, semua perkataannya disamakan dengan perkataan Manggundi mereka, sehingga mereka wajib melakukannya. 

Gerakan koreri bertujuan untuk mendirikan suatu kerajaan koreri bagi orang Biak khususnya dan orang Papua pada umumnya, yang sepenuhnya berkebudayaan Biak dan Papua. Hal ini menunjukkan bahwa aspek kultural merupakan motif pergerakan. Tahap gerakan frontal merupakan usaha untuk mempertahankan eksistensi kebudayaan asli. Pada gerakan koreri yang pertama, masih tampak gerakan mesianik yang berbasis religi-kultural, namun pada gerakan kedua dan seterusnya, yang diawali dengan munculnya tokoh-tokog seperti Stephanus, Birmori Boseren, Zadrak Ronsumbre, terlihat jelas motif politiknya, yaitu menentang praktek-praktek pemerinta Belanda dan Jepang yang membawa penderitaan bagi masyarakat. Maka, gerakan koreri yang dipimpin setelah masa Angganitha, rawan dengan kekerasan. 

Kegagalan gerakan Koreri di Papua merupakan satu hal yang telah diperkirakan sebelumnya. Ketergantungan kepada seorang pemimpin yang dianggap sebagai juru selamat, menjadi kelemahan utama dalam setiap gerakan mesianik. Sosok seorang pemimpin dianggap sebagai dewa, kondisi ini memunculkan pemimpin sebagai center dalam setiap pergerakan. Alhasil, ketika pemimpin yang didewakan tersebut tidak mampu lagi memimpin (mungkin meninggal), maka berhentilah gerakan tersebut. 

Kegagalan gerakan ini dalam mewujudkan koreri juga dilatarbelakangi oleh pecahnya pengikut gerakan pada masa Stephanus Simopyaref menjadi tiga, yaitu, pertama , pengikut sejati koreri yang bercita-cita memperjuangkan kembali koreri tanpa kekerasan, kedua, mereka yang berpura-pura menjadi pengikut gerakan koreri tapi dengan tujuan-tujuan tertentu yakni untuk memperoleh pengaruh di kampungnya, ketiga, pengikut-pengikut eksternal koreri, yaitu mereka yang berusaha menggunakan pengaruh gerakan koreri untuk menguasai banyak pengikut dalam usaha pembebasan Papua dari kekuasaan asing (Belanda dan Jepang). Stephanus Simopyaref dan pengikutnya termasuk dalam kategori ketiga. 

Gerakan Koreri pada dasarnya merupakan gerakan Millenarium. Gerakan Millenarium menurut Peter Worsley, adalah gerakan persiapan untuk menerima suatu masa yang sifatnya supernatural bliss (kebahagiaan supernatural). Ia mengungkapkan bahwa di dalam gerakan millenarium tidak sepenuhnya menggunakan konsep-konsep ‘mesianik’. Akan tetapi dalam gerakan koreri, penulis melihat adanya konsep-konsep mesianik yang digunakan. Ini nampak jelas dalam upaya-upayanya untuk merekrut partisipan dengan mengkultuskan seorang tokoh (Angganitha) yang dianggap bisa membawa kebahagiaan sejati dan menunjukkan jalan koreri. 

Dilihat dari bentuk pergerakan, gerakan koreri mengandung unsur-unsur sinkretis, maksudnya ialah percampuran antara elemen-elemen agama Kristen dengan elemen non agama Kristen sebagai atribut dalam upacaranya, yaitu penggunaan Kitab Suci, air kebal, dan ilmu sihir. Penyamaan antara mitologi Mananarmakeri dengan agama Kristen juga merupakan wujud sinkretisme tersebut. Gerakan koreri juga mengandung unsur ekstase, karena di dalam upacara para penai mengalami intrance (kesurupan) sehingga mampu melihat berbagai “visiun” dan dapat berbicara dengan bahasa apapun.

Unsur Iconoclastis juga tercermin dalam gerakan ini, yaitu adanya anggapan bahwa sebagian isi dari kitab suci nasrani masih dirahasiakan oleh misionaris. Pengikut gerakan ini berusaha mendirikan suatu kepercayaan baru yang memberitakan hal sebenarnya, dan ini tidak lain adalah mitologi Mananarmakeri. Gerakan koreri juga telah terorganisir dengan baik, karena telah muncul seorang nabi yang disebut dengan konor yang merupakan pemimpin pergerakan. (Johsz R. Mansoben, Majalah Prisma tahun 1980, hlm. 89-91)

E. Simpulan

Munculnya gerakan mesianik di Biak, Papua tidak lepas dari ketidaknyamanan masyarakat Biak, Papua terhadap keberadaan orang Barat (Belanda) yang membawa kebudayaan Baratnya (terutama agama Nasrani) ke tengah-tengah masyarakat Biak. Ketidaknyamanan ini muncul karena adanya ketidakmerataan kesejahteraan dan ketidakpedulian pemerintah kepada warga Biak pada umumnya dan Papua pada khususnya. Maka, ketika muncul satu tokoh yang menonjolkan kesejahteraan dengan mengangkat mitologi Biak, rakyat Biak menyambut baik. Apalagi rakyat Biak telah merindukan sosok yang akan membangkitkan kejayaan masa lalu. Yaitu kesejahteraa, pemerataan, dan kebaikan bagi semua umat, dan dikenal dengan istilah koreri.

Munculnya gerakan mesianik, terjadi di hampir seluruh wilayah di Indonesia dan negara-negara lainnya di dunia. Gerakan-gerakan seperti ini akan muncul tatkala ada ketidaksamaan antara kehidupan dalam bayangan mereka dengan kehidupan yang sebenarnya. Ketidakpedulian pemerintah kepada kesejahteraan rakyat dan benturan kebudayaan di suatu daerah juga bisa membangkitkan gerakan mesianik. Gerakan mesianik ini akan mampu memunculkan ledakan-ledakan kekerasan jika tidak ada penanggulangan yang baik oleh pihak terkait. Meskipun demikian, gerakan ini akan cepat memudar, karena adanya pengkultusan suatu tokoh. Jika tokoh tersebut melakukan suatu kesalahan (tidak sesuai dengan yang diharapkan oleh pengikutnya), maka akan muncul keraguan terhadap tokoh tersebut, dan akhirnya hanya sedikit orang saja yang mempercayai dan mempertahankan diri sebagai “pengikut”.

*Catatan: Tulisan ini disadur dari laelyarmy.blogspot untuk kepentingan pendidikan dan propaganda. 
__________
Sumber:

Adas, Michael. (1988). Ratu Adil: Tokoh dan Gerakan Millenarian Menentang Kolonialisme Eropa. Jakarta: Rajawali Press.

A.Ridha. (1993). Gerakan Keagamaan dan Pemikiran (Akar Ideologis dan Penyebarannya). Jakarta: Al-Ishlahy Press.

Mansoben, Johsz R., Gerakan Koreri di Daerah Biak Antara (1938-1943). Dalam Majalah Prisma, tahun 1980, hlm 78-91.

Noer, Fauzi. (2005). Gerakan-gerakan Rakyat di Dunia Ketiga. Yogyakarta: Resist Book.

www.ui.ac.id, Siaran Pers Koreri dalam Gerakan Perlawanan Papua Merdeka. Diakses pada 22 Maret 2010.

Bas Nanlohy, Akulturasi dalam Gerakan Koreri. Dalam http://teologipapua.blogspot.com/2008/08/akulturasi-dalam-gerakan-koreri.html, diakses pada 22 Maret 2010.

www.komunitas-papua.net.htm, Sejarah Politik Papua, diakses pada 22 Maret 2010.