Membangun Kekuatan Rakyat


Oleh: Beyaz C. Ap*

Sebetulnya saya menyadari bahwa artikel ini tak sempurna! Memang tak ada karya tulis yang sempurna, tetapi dari segi struktur kata dan bangunan kalimat yang tak beraturan itu membuktikan bahwa saya mesti banyak belajar soal menulis. Tapi saya mau siratkan apa yang saya ingin sampaikan kepada gerakan, yang akan terus hidup sepanjang hidup ini dibentrokan dengan perjuangan penemuan jatih diri manusia.

Saya mulai cerita dari isi artikel “Papua Merdeka: Jalan Pemberontakan Rakyat yang sadar” yang ditulis oleh Kawan Jhon Gobai. Ada tiga poin penting (menurut saya) yang menjadi inti buah pikir dalam tulisan tersebut. Pertama, realitas perlawanan sebagai wujud reaksi dari akumulasi penindasan yang berkepanjangan. Hingga pada dekade ini Bangsa West Papua terus bersuara, bergerak, mengorganisir diri dalam aksi-aksi perlawanan hingga pada kampanye tingkat internasional. Hal kedua adalah perkembangan organisasi perlawan, terutama organisasi politik yang terang-terangan menyatakan sikap perlawanan kepada musuh rakyat, yakni imperialisme yang mengkoloni beserta alatnya, militerisme. Perkembangan organisasi perlawanan memberikan pergeseran dinamika politik dalam kesadaran rakyat. Artinya gerakan membongkar kesadaran hegemonik kolonial, bahwa itu palsu. Itu manfaat dari perjuangan membangun kesadaran rakyat tentang arti penting perlawanan. Sehingga, hal ketiga, kita mampu meyakinkan dunia tentang wajah penjajahan yang menjunjung modal dalam dan eksistensinya. Keyakinan itu membawa dukungan, kawan perjuangan dari mana saja. Entah dari rakyat Indonesia, negara-negara melanesia, dunia internasional, dan setiap elemen rakyat. 

Kini Gerakan Politik mulai mendorong Persatuan dengan cara mengkritisi, terlibat aktif dalam pembangunan persatuan, dan terus mengkonsolidasikan diri dalam setiap aksi guna menemukan landasan dan konsep persatuan yang berkesesuaian terhadap realitas keberadaan sosial, konteks kebangsaan, dan demokrasi model Papua yang, tentu idelnya, terbangun relasi terhadap sesama manusia.

Kemudian realitas penindasan, pengisapan oleh imperialisme yang mengkoloni kini telah sampai pada sel-sel kehidupan. Semua sendi-sendi yang melenturkan kehidupan (dulu) yang harmonis telah dihancurkan dan dikuasai oleh penguasa yang rakus itu. Disini letak probelmnya. Sehingga rakyat terus melakukan perlawanan untuk mendorong persatuan nasional sebagai syarat untuk melawan dominasi kekuasaan, dan menentukan nasibnya sendiri. 
***

Berbicara soal penindasan di West Papua merupakan merefleksi eksistensi perlawanan gerakan politiknya—yang didorong oleh keberadaan sosial yang sangat krusial. Itu realitas perjuangan rakyat west Papua hari ini. Sebab sejarah perjuangan bangsa west Papua sejak perlawanan terhadap kolonialisme Belanda hingga saat ini adalah berbicara soal merebut kedaulatan politiknya. Itu yang mendominasi. Sehingga pandangan yang terbangun adalah Politik praktis ala kolonial dan politik Papua Merdeka. Dua sudut pandang ini yang kemudian terbangun di rana sipil hari ini. 

Sehingga rakyat kemudian mampu melihat mana politik kolonial dan papua merdeka. Itu lah kemajuan gerakan hari ini. Tetapi penting juga kita harus mengkritisinya pandangan tersebut dengan bagiman rakyat melihat realitas penindasan di masing-masing sel yang menompang kehidupan sosial. Bagimana buruh melihat kehidupan perburuhannya; masyarakat adat yang terpinggir dan terasing; pasar yang monopolistis; pelajar-mahasiswa melihat realitas penindasan, begitu terus di setiap sektor kehidupan. 

Sebab kedaulatan politik tidak menjamin keselamatan kehidupan di setiap sektor. Apa pun bentuk kehidupan sosialnya, yang tahu dan paham betul adalah rakyat yang hidup didalam setiap sektor tersebut. Misal, Mahasiswa di Jawa-Bali bicara tutup Freeport—tuntutan politiknya—tetapi ribuan buruh PT. FI sedang mogok menuntut keadilan. Buruh bicara keadilan artinya buruh bicara kehidupannya. Sementara Masyarakat Adat bicara tanah adat yang rampas oleh perusahaan bisa saja Buruh akan kehilangan pekerjaannya. Sehingga kompleksitas persoalan ini diciptkan sedemikian rupa oleh imperialisme yang mengkoloni untuk kepentingan nilai lebihnya (Surplus). Artinya, disini kita dapat melihat bagimana Imperialisme menciptakan kesengsarahan, jurang pemisah antra rakyat terjajah dengan kebiadaban sistim produksinya. Sehingga berbicara soal politik (entah politik Papua merdeka atau Politik praktis kolonial), mesti harus membicarakan hubungan sosial yang terbentuk karena urusan kebutuhan (paling dasar) makan-minum, rumah, dan pakaian yang terjadi di setiap sektor dan hubungannya dengan “sistim kerjanya”.

*Penulis adalah Anggota Aliansi Mahasiswa Papua