Relevansi Marxisme Dalam Gerakan Papua: Kritikan Ideologis?

IMAGE: AK ROCKEFELLER ON FLICKR
Oleh: Jhon Gobai | AMP

Menanggapi artikel “Kritik Ideologis: Relevansi Marxisme Dalam Gerakan Aktivis Papua” karya  Edoardo A.A Mote, diterbitkan suarapapua pada 2 Juli 2018.

Sebelum mengomentari tulisan idelogis dan analitis ini, tentu saya apresiasi terlebih dahulu. Tak ada tulisan yang baik, teori yang benar tanpa proses pro dan kontra, kritik dan oto kritik. Sebab itu lah manfaat dialetika yang, secara teoritis, dikemukakan oleh Hegel sebagai metode berfilsafat. Dialetika, kurang lebih, adalah hukum dari pertentangan, sebab akibat,  adanya gerak. Dialetika menjelaskan kontradiksi di dalam alam, alam dan manusia, dan menusia-masyarakat, saling bergerak, bertentangan, mengalami perubahan secara kuantitas hingga kwalitas. Sehingga sepanjang pulau dan rakyat Papua bagian dari dunia ini, sepanjang itu tak terpisahkan dari hukum perkembangan ini. Oleh karena itu, keberadaan kata “Relevansi” di kalimat judul hanya memperlemah kandungan ïnti “Kritik Ideologis”nya.

Sambil meneguk secangkir kopi Aceh, sebatang kretek Aroma berposisi di ruas jari-jari, saya membaca tulisan Anda, mencoba menemukan inti penekanan dan kalimat pendukung lainnya di setiap alinea. Menarik membahas realitas keberadaan rakyat Papua di alinea pembuka, tentang posisi dan sikap rakyat terjajah saat momentum Pilpres, Pileg, atau pesta demokrasi ala colonial, tentang frakmentasi social di akhir aline ke dua, realita keterlibatan elit papua dalam perebutan kursi birokrasi, di lain sisi melegitimasi ‘’Papua Merdeka” di  aline ke tiga, kemudia terpusatnya Media mengontrol pikiran rakyat, fenomena goyang patola. Realita ini secara teoritik dijelaskan oleh Gramsi tentang Hegemoni, kemudian Kawan Yason Nngelia mengulas hubungan antara rakyat Papua yang terjajah dan kekuasaan yang mendominasi dalam artikel “Gramci: Hegemoni dan relevansi Marxisme di Papua ” di Suarapapua ( 8 Juli 2018).

Dari realita diulas tanpa penjelasan sebab akibat, pembaca sulit bergairah, penulis sudah ejekulasi dengan bersimpul “Marxisme gagal, tidak relevan”. Menurut hemat saya simpulan itu biarkan pembaca menyimpulkan dalam kenikmatan gairahnya. Penyebab Sulit bergairah Kekurangan literasi tentang perkembangan rakyat Papua dengan memposisikan sejarah ketertindasan sebagai salah satu sebab pendorong. Sehingga apa pun alternatifnya, entah  gagasan post-kolonialisme, realitas perkembangan rakyat Papua, kondisi (sejarah) penjajahan, hubungan ekonomi-politik imperialisme di Papua, sangat penting mengulas secara objektif dan materialistis untuk mengkontekstualkannya dengan pola pergerakan rakyat, mulai dari gerakan kelompok social, hingga gerakan politiknya.  Itu tugas kita bersama untuk Papua.

Marxisme bukan semata gagasan, juga tidak menawarkan satu pola perjuangan untuk merevolusi/bebas dari penindasan, menemukan kondisi objektif yang baru. Jangan pula terburu memvonis bahwa marxisme sudah gagal dan ketinggalan jaman sebelum tahu, memahami praktik marxisme mewujudi sosialisme Skandinavia, komunisme Kuba, Rusia, Venezuela, dsb. Atau berkesimpulan marxisme gagal dengan tanpa mejelaskan sebab akibat realita Jaman Now di Papua.

Sebab kekeliruan kita adalah akan meniadakan kekayaan hukum kontradiksi, yakni hukum gerakan yang saling mempengaruhi. Hukum gerak, marxisme bukan pencipta, atau manusia, hukum yang hidup dalam alam semesta, kesatuan hal yang saling bertentangan, dan selalu mengalami perubahan.

Konteks penjajahan yang dilakukan oleh Kolonialisme Indonesia, merupakan bagian dari imperialisme yang berkepentingan di Papua. Sejak manusia diseret dalam klas-klas yang bertentangan akibat manusia menemukan alat kepemilikan, PD II diakhiri dengan pembagian pasar modal dan barang oleh pemodal bangkir dan industri, Negara-negara merdeka dikonsolidasikan dalam United Nation guna pengontrolan atas kepentingan dan kebijakan yang mengacu pada akses modal. Papua adalah korban daripada kepentingan ekonomi politik imperialisme. Anda tahu sejara kongkalikong  Indonesia, Belanda, Amerika, Papua tetap berada dalam perjuangan menemukan kondisi objektif yang baru. Viktor Yeimo menjelaskan di sosialispapua “Relevansi Marxisme Dalam Perjuangan Rakyat Papua Barat" (4 Juli 2018) bahwa:

“Kalau sejarah kolonisasi West Papua didasari motif ekonomi politik, maka teori ekonomi politik Karl Marx perlu dalam gerakan Papua Merdeka. Selama kapitalisme masih menjadi penyokong dan pendukung utama kolonialisme Indonesia, marxisme masih relevan sebagai senjata perlawanan rakyat West Papua. Selama pendudukan kolonial Indonesia di Papua dipimpin oleh pemerintahan-pemeritahan (yang pro) kapitalis kita tetap membutuhkan filsafat marxist. Tidak hanya faktor eksternal, selama ada penindasan dalam internal orang Papua, Marxisme dibutuhkan.”

Kendati Ia menyimpulkan cara perlawanannya dengan Partai Revolusioner (menerjemahkan Lenin) tanpa ada partai Revolusioner di Papua, tetapi ukurang relevansi marxisme, syaratnya bukan hanya soal partai revolusioner (baca di Artikel Yeimo), atau mengasumsi gagasan Marxisme sebagai jawaban atas jalan keluarnya (baca di Artikel Mote), atau menyimpulkan fenomena social papua tanpa menjelaskan sejarah perkembangan rakyat Papua, atau tidak juga dengan meneliti, mengumpulkan data tanpa pergerakan rakyat, atau gerakan tanpa teori.

Tanah Kolonial, 21 Juli 2019