Mahasiswa Papua Eksodus dan Gerakan Menyikapinya

Design Koran Kejora
Oleh: Jeeno. A. Dogomo**

Koran Kejora (KJ)- Dalam beberapa bulan terakhir. Tahun 2019. Kita dikagetkan dengan eksodus mahasiswa Papua dari kota study di luar Papua. Seperti Jakarta, Surabaya, Bali, Malang, Jogja, Makasar, Manado, Aceh, Kupang dan kota-kota kecil lain yang belum disebut. Mereka meninggalkan proses penyelesaian pendidikan. Dan memilih pulang. Pulang pun secara bersamaan dalam jumlah yang sangat besar untuk kembali ke Papua.

Di mana tentang ini warga publik sudah mengetahui secara mengeluruh.

Mulanya pemulangan ini dilatarbelakangi oleh peristiwa diskriminasi. Juga pembungkaman ruang demokrasi terhadap aksi demonstrasi damai yang dilakukan mahasiswa Papua di Malang. Pada kamis, (15/08/2019). Pengepungan asrama mahasiswa Papua di Surabaya, “ujaran rasisme” bertepatan pada Jumat, (16-17/08/2019) yang berlangsung selama lebih dari 24 jam. Dan kemudian berlanjut pada hari berikutnya. Di tanggal 18 dan 19 Agustus 2019 terjadi di kota Semarang dan Makasar dengan peristiwa yang sama.

Tindakan represif dan pembungkaman ruang demokrasi ini dilakukan oleh ormas-ormas reaksioner yang dibekingi oleh tentara, polisi, dan intel polisi. Di Surabaya, ujaran rasis dilakukan oleh ormas-ormas reaksioner dan tentara. Di Semarang, diskriminasi dan pembungkaman ruang gerak mahasiswa Papua dilakukan RT setempat yang dibekingin oleh polisi. Makasar juga sama. Polisi pakai masyarakat sekalian militer berpakaian rakyat sipil. Begitu juga di daerah lain di seluruh Indonesia dengan berbagai bentuk.

Hal ini kemudian memicu aksi demostrasi besar-besaran rakyat di sebagian besar kota di Papua. Di lain sisi, demostrasi rakyat ini tidak hanya dijuluki dengan persoalan “diskriminasi dan ujaran rasial” yang dialami oleh mahasiswa Papua saja. Namun juga adalah bentuk ekpresi protes terhadap penindasan yang dilakukan oleh kolonialisme Indonesia yang diboncengi Imperialisme Amerika yang menganeksasi bangsa Papua secara paksa sejak, 1 Mei 1963. Di mana  kemudian menjadi titik awal penderitaan bangsa Papua.

Artinya ada memoria pasionis orang Papua yang dibungkam. Kemudian menjadi bentuk kemarahan dan diekspresikan dengan isu rasisme tapi pembungkaman ruang demokrasi mahasiswa di Jawa pun terus terjadi. Bahkan sampai tidak bisa dibendung pula aksi protes rakyat Papua terhadap kolonialisme Indonesia. Menimbulkan banyak korban jiwa dan harta benda.

Tidak hanya itu. Aksi lain pula dibarengi memunculkan teror dan represif di seluruh kota terhadap mahasiswa Papua. Seperti di depan asrama mahasiswa Papua di Semarang dan Surabaya, dipasang kamera pengintai untuk mengawasi seluruh aktivitas mahasiswa Papua. Di Bali, Jember, Malang, Bogor, Jakarta, Sragen dan di pelosok kota lainnnya mahasiswa dan pelajar Papua dipaksakan. Entah dari guru sekolah. RT/RW setempat maupun militer. Untuk mengikuti kegiatan. Ini banyak terjadi pembuatan video singkat yang isinya ‘NKRI harga mati’ melulu.

Jadinya pulau Jawa tidak nyaman di mana-mana. Ketidaknyamanan mahasiswa inilah yang kemudian memicu gelombang besar eksodus mahasiswa Papua dari seluruh kota study di luar Papua untuk pulang ke Papua.

Dan sedikit mengenali juga bahwa dalam sejarah eksodus sudah pernah terjadi di negara-negara Eropa, Timur tengah, dan lain-lain sebagainya. Misalnya bangsa Israel keluar dari Mesir (eksodus) yang artinya “pergi-keluar” adalah suatu kejadian bangsa Israel menjadi bebas dari perbudakan selama lebih dari 400 tahun di tanah Mesir. Jadi, bangsa Israel memilih untuk eksodus dari Mesir karena pemerintah kerajaan Mesir (Firaun) yang takut kepada orang Israel yang dengan pesat bertambah banyak  jumlahnya. Akhirnya untuk menekan mereka, Firaun menjadikan orang-orang itu budak untuk mendirikan kota-kota perbekalan.

Sama hal pun bahwa eksodus mahasiswa Papua juga sudah terjadi beberapa kali. Sejak 2007 dan 2016. Juga tambah di tahun 2019 ini. Persoalan dan tuntutan Mahasiswa yang tidak jauh berbeda dengan sebelumnya.

Data kasaran yang dikumpulkan dari identifikasi singkat oleh beberpa posko kabupaten yang ada di Papua kira-kira ada 10 ribuan lebih mahasiswa Papua yang sudah pulang. Tidak termasuk mahasiswa yang ada di rumah masing-masing dan beberapa posko lainnya yang belum terdata.

Jumlah yang sangat besar ini tidak bisa kita dianggap sepele oleh organisasi gerakan perjuangan Papua yang ada, terlebih khusus United Liberation Movement for West Papua (ULMWP) sebagai payung persatuan, karena dengan isu eksodus ini banyak elemen  yang memanfaatkan demi kepentingan pribadi dan kelompok.

Kalau tidak maka para elit-elit politik akan memanfaatkan isu eksodus mahasiswa Papua ini, untuk memenuhi kepentingan lain seperti; penambahan dana Otsus, perpanjangan kontrak karya Freeport yang akan berakhir pada 2021 dan Daerah Otonomi Baru (DOB) yang sudah ada yang akan dijalankan serta dibarengi investai besar-besaran di tanah Papua.

Maka yang menjadi kebutuhan mendesak gerakan hari ini adalah membangun komunikasi dan melakukan konsolidasi serta penyatuan persepsi gerakan-gerakan untuk mendorong isu politik eksodus mahasiswa Papua secara menyeluruh dan bersama. Demi merebut ruang-ruang demokrasi yang sudah dan sedang dibungkam oleh pemerintah Indonesia melalui militer yang masih aktif melakukan penembakan, penangkapan, serta penculikan terhadap aktivis dan gerakan perjuangan Papua yang ada.

Parahnya di akhir-akhir ini situasi gerakan rakyat maupun mahasiswa Papua masih dibungkam, penangkapan dan penculikan, teror hingga penembakan yang dibuat oleh aparat dan militer Indonesia yang makin hari jumlahnya semakin bertambah di seluruh tanah Papua. Dalam situasi ini, gerakan mahasiswa eksodus menjadi peluang besar bagi gerakan elit-elit Borjuasi mendatangkan efek jerat terhadap rakyat Papua, maka perlu membutuhkan perjuangan untuk merebut poin-poin kemenangan menuju pembebasan bangsa Papua Barat.

Untuk itu organisasi gerakan perjuangan Papua yang ada dan khususnya United Liberation Movement for West Papua (ULMWP), sebagai payung persatuan dalam prekpektif masyarakat Papua saat ini. Apa yang harus di buat dan merespon untuk Organ-Organ kiri menyikapinya?

Penulis adalah aktivsit Self determination