Esensial Perempuan dalam Hak Penentuan Nasib sendiri bagi West Papua


Design Koran Kejora

Pada hakekatnya,  perjuangan kemerdekaan Papua Barat harus dipahami sebagai suatu perjuangan pembebasan dari segala bentuk penindasan. Kemerdekaan bangsa Papua Barat akan sejati mana kala tak ada lagi penindasan terhadap setiap perempuan diatas Tanah Papua.

-PERSATUAN TANPA BATAS PERJUANGAN SAMPAI MENANG-

Oleh :Joice Etulding Uropdana (MamSe)**

Perjuangan Papua Merdeka atau Lingkup Sejarah

Koran Kejora (KJ) - Sejak, 1 Desember 1961 secara de facto dan de jure bangsa Papua Barat telah memproklamirkan diri sebagai sebuah bangsa yang merdeka. Tetapi kemudian direbut secara paksa oleh kolonial Indonesia, diawali dengan dikumandangkan Trikora pada 19 Desember 1961 di alun-alun utara Yogyakarta, New York Agreement 15 Agustus 1962, setelah perjanjian New York dilakukan lagi Roma Agreement 30 September 1962, perjanjian ini datang karena saran dari Elsworth Bunker. Kedua perjanjian itu, ditandatangani oleh Indonesia, Amerika Serikat, dan Belanda, tanpa melibatkan satu pun rakyat Papua padahal yang di bicarakan adalah nasib Bangsa Papua Barat. Kemudian terjadi Aneksasi Papua 1 Mei 1963, Kotrak Karya PTFI 7 April 1967, Proses Penentuan Pendapat Rakyat (PEPERA) yang Ilegal 1969 dan diikuti berbagai operasi militer yang dilancarkan di Papua sampai hari ini.

Rentetan peristiwa itu merupakan sebuah Dosa kolonial Indonesia yang telah menabur bibit perlawanan dan melahirkan perlawanan-perlawanan oleh orang Papua Barat hingga detik ini. Orang-orang Papua telah di Indonesiakan secara paksa. Jika tak ada penyelesaian maka perjuangan Papua merdeka akan tetap menjadi duri dalam daging NKRI. Perlawanan ini dimulai karena adanya kesadaran rakyat Papua dan para pejuang pendahulu, para perintis kemerdekaan Papua Barat akan sejarah bangsanya yang telah dimanipulasi oleh Indonesia, Belanda dan PBB hanya demi kepentingan ekonomi-sosial-politik. Tetapi satu hal yang pasti, selama orang Papua masih ada dan hidup, perjuangan Papua Merdeka akan terus hidup dan tak akan mati.

Indonesia telah mengikuti dan mempelajari pola-pola perjuangan Kemerdekaan Rakyat Papua selama puluhan tahun. Kolonial Indonesia telah mengetahui setiap, kekuatan dan kelemahan perjuangan, sehingga dengan mudah mengambil kesempatan untuk mengatasi dan memutuskan gerakan perjuangan Papua Merdeka. Cara paliang mujarab yang telah digunakan oleh kolonial Indonesia adalah “rayuan & maut”. Mengapa demikian? Karena apa bila rayuan tak berhasil maka, akan berubah menjadi maut dibawah todongan senjata serta aparat militer Indonesia (TNI/POLRI). Bisa juga dilakukan operasi militer dalam skala besar jika rayuan tak mempan. Tak mengherankan jika banyak orang asli Papua bahkan menjadi kaki-tangan kolonial Indonesia, dengan iming-iming uang, jabatan, dan kekuasaan. Hal ini sudah berlaku sejak dulu hingga sekarang. Banyak “YUDAS” di Papua!

Di dalam organ perjuangan pun telah banyak disusupi oknum kaki-tangan colonial. Sehingga, kita bahkan tidak bisa membedakan mana kawan  yang sesungguhnya dan mana lawan yang hanya berpura-pura sebagai kawan. Lamanya penindasan diatas Tanah Papua, membuat model penindasan terhadap orang Papua selalu diperbaharui seiring berjalannya waktu.

Di situasi seperti ini, persatuan menjadi hal yang sangat penting agar kita tetap bertahan dan berjuang bersama. Setiap pejuang harus mempertebal iman perjuangan yang luhur agar tidak mudah tergoda oleh rayuan kolonial. Selain itu, dalam organisasi perjuangan, tidak boleh membedakan latar belakang social, suku , agama, ras, bahkan gender.

Perempuan Papua Saat Ini

Ringkasan sejarah diatas kemudian dapat menjadi acuan bagaimana proses penjajahan di Tanah Papua berlangsung sampai saat ini. Tanah Papua hari ini merupakan sebuah wilayah koloni Indonesia. Papua tak hanya dikenal dunia karena kandungan sumber daya alam (SDA) yang melimpah serta keunikan orang asli Papua (OAP)-nya, tetapi dikenal pula karena stigma-stigma negative yang dibangun oleh Kolonial Indonesia, untuk meruntuhkan mental, karakter serta harkat dan martabat orang Papua.

Pada zaman kolonial Belanda, orang Papua diklasifikasikan berdasarkan 7 wilayah adat, dengan jumlah ± 250an suku, tentu saja didalamnya termasuk kaum perempuan. Dampak pejajahan (Belanda, Jepang sampai Indonesia), tidak hanya berlaku bagi laki-laki Tanah ( laki-laki Papua) tetapi, berlaku pula bagi perempuan Tanah (perempuan Papua).  Jika ditelaah kembali, perempuan Papua telah melewati Lima fase kehidupan,  yang secara langsung maupun tak langsung membentuk karakter dan pola hidup mereka. Kelima fase tersebut antara lain fase komunal, mengenal agama (Islam & Kristen), fase koloni Belanda, fase koloni Nippon (Jepang) dan fase Koloni Indonesia (skarang). Menyebakan perempuan dari tiap fase memiliki karakter, gaya hidup dan pola berpikir yang berbeda beda.

Pada saat ini, karakter dan pola pikir perempuan Papua telah terhegemoni oleh kolonial Indonesia. Perempuan Papua terus dihadapkan pada standart–standart hidup yang dibuat oleh Indonesia. Jika perempuan Papua tak mengimbangi hal tersebut maka akan dianggap tertinggal dan terbelakang. Sehingga banyak perempuan tanah yang terjebak dalam hegemoni kolonial yang terstruktur dengan rapih. Sehingga perempuan Papua berlomba-lomba mengikuti trend kekinian yang tanpa disadari mengikis identitas diri mereka sebagai perempuan Papua. Hal-hal yang berbau etnik, kedaerahan dianggap ketinggalan zaman.

Tetapi, disisi lain banyak pula perempuan Papua yang masih menganggap bahwa keberadaan perempuan Papua itu penting adanya dan perlu menjaga keotentikan perempuan Tanah. Sebab, orang Papua sejak dulu melihat “Tanah” sebagai mama (perempuan) yang memberi kehidupan. Perempuan Papua pun akhirnya banyak yang turut mengambil bagian didalam gerakan-gerakan yang mengkampanyekan pentingnya menjaga warisan leluhur dan kembali mencintai diri sendiri tanpa harus berpatokan pada standar kecantikan, gaya, atau kehidupan orang lain. .

Keterlibatan Perempuan Papua di dalam Perjuangan Papua Merdeka

Didalam perjuangan Papua Merdeka, perempuan Papua telah turut serta dalam garis Perjuangan sejak decade 60-an. Walaupun tidak begitu nampak dan tidak terlalu banyak literasi yang memaparkan secara detail mengenai keikutsertaan perempuan Papua dalam gerakan perjuangan. Kemerdekaan. Tetapi, secara lisan berdasarkan cerita, banyak sekali nama-nama pejuang perempuan yang telah terpatri sepanjang jalan perjuangan untuk merebut kembali kemerdekaan Papua Barat. Banyak pula yang pada tahun-tahun itu dengan terpaksa harus berpisah dengan sanak-famili dan mencari perlindungan di kamp-kamp pengungsi di PNG.

Keterlibatan perempuan Papua dalam perjuangan kemerdekaan bermula dari kondisi-kondisi obyektif  rakyat Papua (termasuk perempuan) diatas Tanah Papua. Dari kondisi inilah kemudian memicu pergerakan perempuan Papua untuk turut berlawan. Diera 90an-2000an banyak dari mereka telah menjadi pemimpin dalam gerakan anatara lain ; Heny ‘luna’ Lani (alm.), Olga Helena Hamadi (alm), Metty Ronsumbre (alm), mama Yosepha Alomang, Raga Kogoya, Susan Griapon, Dolly Iyowau, Julia Opki, Sayang Mandabaya dll. Semangat juang mereka tidak dapat diragukan, daya mobilisasi mereka yang kuat dan kecintaan mereka akan tanah air (Papua Barat) dan manusia Papua mendorong banyak perempuan muda Papua akhirnya sadar dan ikut terlibat aktif dalam perjuangan Papua Merdeka. Dipihak lain kehadiran Veronica Koman yang notabene bukan perempuan asli Papua tetapi begitu aktif mengadvokasi dan menyuarakan issue Papua pun menjadi api penyemangat baru bagi perempuan tanah saat ini.

Baca juga terkait: perempuan-papua-dalam-pagar kolonialisme (1)

Perempuan-perempuan hebat diatas, tidak hanya eksis sebagai pejuang tetapi  konsisten menyuarakan suara-suara kaum tertindas terutama kaum perempuan di Papua dan hak kemerdekaan Papua Barat. Beberapa dari perempuan  tangguh ini menolak rayuan kolonial Indonesia dan tetap setia hingga ajal menjemput. Contoh yang baik bagi generasi baru perempuan Papua di saat ini dan saat nanti.
Kekuatan perempuan dalam perjuangan kemerdekaan suatu bangsa tidak bisa dianggap enteng atau diremehkan. Begitu pula perempuan Papua, mereka memiliki peran yang sangat besar dan penting bagi generasi penerus di masa dulu, masa sekarang dan masa datang. Dengan demikian Perempuan Papua harus terdidik!

Perempuan Papua Harus terdidik! 

Mengapa demikian? Karena untuk membebaskan sebuah bangsa yang besar seperti bangsa Papua Barat dari Kolonialisme Indonesia, mau-tidak mau perempuan Papua harus berjuang secara sadar dan terdidik, agar bisa memahami dengan baik problematika yang sedang terjadi diatas Tanah Papua. Jika perempuan Papua memiliki pemahaman yang baik dan benar tentang masalah pokok maupun sektoral di Papua, maka dengan sendirinya dapat memicu kesadaran mereka akan posisinya dalam masyarakat dan dalam garis perjuangan pembebasan Papua Barat.

Perempuan Papua harus kuat secara mental, terdidik secara pemikiran dan sadar tentang akar masalah diatas Tanah Papua. Agar dapat turut serta dalam perjuangan Papua Merdeka, ini merupakan sebuah tanggung jawab moril bagi tiap perempuan Papua sebagai seorang individu yang akan melahirkan, membesarkan dan mendidik generasi baru Papua. Untuk membangun kesadaran individu tiap Perempuan Papua maka diperlukan “kawan seide” dalam topik-topik intelektual dan juga tentu saja membutuhkan “kawan mesra” dalam urusan asmara yang setia mendukung dan memberikan motivasi dalam kerja-kerja perjuangan perempuan Papua.

Sudah seharusnya perempuan Papua meggunakan kacamata yang baru dan tidak melihat segala bentuk penindasan yang dialami sebagai takdir Tuhan. Perempuan Papua harus sadar bahwa peran mereka sangat penting dalam keluarga, lingkungan sosial dan perekonomian dan masa depan Tanah Papua. Ada pun berbagai bentuk gerakan perlawanan yang dapat dilakukan tanpa kekerasan, antara lain ;  Pertama Berani berbicara (speak up), berarti bahwa setiap perempuan Papua harus bisa mengeluarkan pendapat dimuka public mengenai masalah-masalah yang sedang dihadapi oleh perempuan Papua di Papua. Karena jika perempuan Papua hanya berdiam diri tanpa mengungkapkan apa yang pernah atau sedang dialami, maka suara-suara perempuan Papua tidak akan pernah didengar. Hal ini mengakibatkan segala bentuk penindasan yang dialami akan terus berlangsung. Kedua Menulis. Menulis menjadi kunci yang sangat penting untuk menyuarakan penindasan dan ketidakadilan terhadap kaum perempuan dan perjuangan pembebasan rakyat Papua. Jika perempuan masih merasa kesulitan menyuarakan pendapat secara lisan maka, cerita mengenai masalah yang dihadapinya dapat dituangkan dalam bentuk tulisan-tulisan. Dengan tujuan agar dapat dibaca oleh setiap orang. Karena Menulis adalah Melawan!. Ketiga Membaca. Untuk dapat menulis, setiap perempuan Papua dituntut untuk memperbanyak literasi dengan membaca. Bacaan apa pun, boleh. Asal seyogyanya bermanfaat bagi perbendaharaan kata dan menambah wawasan. Karena Membaca adalah Melawan!. Keempat Diskusi. Setelah membaca, perlu dilakukan pula diskusi ringan bersama kawan-kawan, baik perempuan maupun laki-laki. Akan lebih baik jika perempuan Papua-lah yang mempelopori kelompok diskusi yang progresif. Dengan pembahasan yang lebih tajam, agar bacaan tidak hanya menjadi sekedar bacaan kosong tanpa isi. Kelima Kelompok diskusi progressif perempuan Papua, dapat menjadi langkah awal terbentuknya gerakan perempuan Papua progressif. Sehingga bisa terlibat aktif dan ikut mengambil bagian dalam organisasi. Baik organisasi sosial maupun politik nantinya. Gerakan perempuan Papua saat ini, harus fokus terhadap masalah-masalah akar rumput di Papua. Dengan tergabung dengan kelompok yang lebih riil seperti terlibat dalam gerakan  seperti ; Gerakan Mama-mama Pasar Papua yang di inisiasi oleh kawan Roberth Jitmau (alm) dan dilanjutkan oleh beberapa kawan atau Kelompok Kerja Papua Untuk Perempuan seperti uang dilakukan oleh Dra. Mientje D.E Roembiak (alm), dkk.

Organisasi seperti apa yang sebaiknya diikuti oleh kaum perempuan Papua?

Akibat budaya patriarkis yang begitu kental di Papua, dimana kaum lelaki merasa superior dan sudah semestinya mempunyai kuasa atas perempuan. Maka, tak mengherankan bila perlakuan diskriminatif terhadap perempuan saat ini masih terjadi di tengah masyarakat kita. Perempuan dianggap lemah dan sangat rentan dalam kedudukannya sebagi individu maupun kelompok dalam tatanan sosial masyarakat Papua. Memperjelas ketidaksetaraan gender antara perempuan dan laki-laki di Papua.

Sehingga dalam konteks ini, gerakan perempuan Papua harus menemukan jalannya sendiri, perempuanlah yang harus bergerak, bukan menunggu hadiah atau belas kasihan dari kaum laki-laki. Untuk dapat ‘Merekonstruksi’ sistem yang ada saat ini, yang telah berlangsung secara turun-temurun diatas Tanah Papua. Perempuan Papua “dipaksa” untuk memiliki kualitas diri yang lebih tinggi untuk membangun gerakan perempuan Papua yang progressif secara  lebih luas. Semakin banyak kaum perempuan di Papua yang sadar maka, semakin besar kekuatan kita dan semakin mudah mendorong perjuangan guna merebut kembali kemerdekaan Papua Barat dan menghapus Penindasan diatas Tanah Papua.

Baca juga terkait: Klass-Feminist-Mama-Mama-Pasar-rabik Sejarah West Papua

Membangun gerakan perempuan Papua Progressif yang sadar dan berjuang untuk kemerdekaan, kesetaraan dan keadilan adalah hal yang penting untuk dilakukan saat ini. Perspektif keadilan dan kesetaraan perlu dipahami oleh seluruh lapisan masyarakat di Tanah Papua. Perjuangan perempuan di Papua untuk menuju kesetaraan dan terbebas dari penindasan memang merupakan proses yang panjang dan tidak mudah tetapi pasti bisa dicapai. Maka, kehadiran gerakan perempuan progressif di Papua sangat penting. Teori feminism pun dapat dijadikan sebagai salah satu teori perlawanan oleh perempuan Papua sebagai acuan untuk melawan segala bentuk penindasan terhadap perempuan. Gerakan feminism juga dapat membantu perempuan  Papua menentukan sikap dan posisinya dalam perjuangan Papua Merdeka.

Didalam garis perjuangan yang paling keras seperti bergerilya, teori revolusioner aliran Guevara berargumentasi bahwa “Perempuan dan laki-laki Tua di antara pasukan dapat menghambat keefektifan.” Kekuatan perempuan disamakan dengan kekuatan pria tua. Namun argumentasi itu dipatahkan dengan realitas perjuangan revolusioner diberbagai belahan dunia yang didalamnya terlibat banyak kaum perempuan.

Selain itu, sebagian besar orang didalam gerakan progressif maupun organisasi pro demokrasi masih melihat perempuan Papua hanya sebagai Korban Penindasan ketimbang sebagai pelopor atau pelaku gerakan perubahan. Ironisnya laki-laki Papua juga cenderung melihat dengan cara serupa. Eksistensi perempuan Papua dalam organisasi/gerakan masih dinomor duakan. Keterlibatan perempuan dalam perjuangan kemerdekaan Papua pun dimatikan oleh orang Papua itu sendiri. Baik oleh laki-laki maupun perempuan. Sebab ada anggapan bahwa, perempuan dalam gerakan dapat menjadi penggerak perjuangan atau malah menjadi penghancur gerakan perjuangan baik secara individu  maupun secara umum dalam gerakan perjuangan. Dengan berbagai alasan. Keberadaan perempuan dalam gerakan perjuangan pembebasan Papua pun menjadi hal yang cukup rumit. Tanpa alasan apa pun, Peranan perempuan Papua dalam gerakan perjuangan Papua merdeka harus dinilai penting. Penting !

Sebab sejatinya perempuan Papua, harus berada di garda terdepan untuk dapat merubah segala hal yang selama ini telah menempatkan perempuan Papua dalam posisi terbelakang yang merendahkan nilai seorang perempuan sebagai manusia. Dalam Keterlibatannya didalam organisasi perjuangan Papua, perempuan Papua harus memiliki dasar teori yang kuat serta taktik perlawanan sendiri. Secara tak langsung terciptanya gerakan perempuan Papua merupakan proses pembentukan posisi dan peranan perempuan Papua dimasa depan. Perempuan Papua harus aktif didalam gerakan-gerakan yang lebih luas. Mampu bersolidaritas, mengorganisir massa, dan berpartisipasi dalam demonstrasi jalanan. Mobilisasi gerakan politik oleh kaum perempuan Papua progressif, kaum feminist, perempuan Papua yang termarjinalkan dan dianggap apolitis, kaum perempuan ini sudah seharusnya bergerak maju dan berani memperjuangankan kemerdekaan yang menjadi haknya.

Tetapi, cukup miris melihat realitas di Tanah Papua. Sebab, hak untuk terlibat dalam kontestasi politik maupun gerakan perempuan, umumnya masih dikuasi oleh perempuan kelas menengah keatas (sosialita Papua) yang masih acuh tak acuh mengenai issue-issue sekotoral maupun utama Papua, sehingga issue yang diangkat cenderung sangat reformis dan tak menyentuh persoalan yang lebih radikal.

Akhir kata, hormat diberikan kepada perempuan tanah dimana saja yang tengah berjuang untuk pembebasan sejati Tanah Papua dan manusia Papua. Yepmum!

Penulis adalah Aktivist Self Determination dan Aktif di AMP Komite Kota Bali