Penulis: Cinta Griapon*
“Menerima ketertindasan bukan untuk diam, tapi dilawan. Karena mengembalikan hak dasar perempuan Papua tidak semata makan minum, tapi soal Identitas!”—Diary Pribadi.
Perempuan diartikan dengan berbagai keterangan sesuai realita dimana Ia berada. Terkadang perempuan diartikan berdasarkan kondisi fisik, ekonomi bahkan kondisi lingkungan. Ini dapat terbentuk akibat adanya realita dari situasi dan dikonstruksi oleh kekuasaan yang mendominasi. Mengapa realita perempuan di Palestina, tidak sama dengan di Inggris, begitu pula di Venezuela. Dan tentu akan berbeda dengan perempuan di Papua.
Basis material: sejarah perkembangan masyarakat dan kondisi ekonomi-politik dunia penting menjadi landasan analisa untuk memahami dan menemukan akar masalah penindasan terhadap perempuan. Secara umum mayoritas Perempuan mengalami ketertindasan yang sama di ruang publik maupun domestik.
Ketertindasan ini kemudian perlu diulas lebih jauh akar permasalahannya.
Salah satu komunitas dunia yang mengalami ketertindasan atas nama moderenisasi adalah masyarakat adat, diantaranya masyarakat Papua. Keberadaan masyarakat adat terancam akibat adanya interaksi perdagangan untuk menghasilkan profit atau keuntungan bagi kelompok tertentu.
Untuk itu mari kita lihat persoalan perempuan Papua.
Kolonialisme Belanda
Terbentuknya kolonialisme akibat praktek (meluasnya) perdagangan yang besar dan menguasai sehingga adanya akumulasi modal atau penukaran barang bernilai. Itu dilakukan oleh Negara-negara di Eropa untuk mendapatkan barang-barang yang dapat digunakan untuk keperluan sehari-hari atau untuk asesoris. Maka kolonialisme merupakan salah satu cara untuk membenarkan keberadaan kelompok perdagangan di suatu wilayah.
Wilayah yang dijajah (dikuasai) tentu memiliki sumber daya alam melimpah. Kemudian kondisi masyarakat tak berkelas atau masyarakat yang kehidupannya bergantung pada alam, dan kehidupan saling bekerja sama, kerapkali menjadi tempat yang baik untuk dilakukan penjajahan.
Mayoritas kondisi masyarakat seperti ini adalah masyarakat adat. Masyarakat adat biasanya hidup berdampingan dengan batasan suku, sebagai komunitasnya. Suku memiliki wilayah untuk hidup kemudian memiliki hukum-hukum adat. Hal inilah yang menjadi peluang penjajah (kepentingan eksploitasi) untuk menduduki wilayah tersebut. Hal ini bisa menjelaskan bagaimana Belanda melakukan penjajahan (ekspansi) di Indonesia, Inggris untuk Malaysia, Papua Nugini, dan India dan penjajahan Spanyol di sebagian besar wilayah Amerika latin untuk kepentingan eksploitasi lahan, juga keberadaan negara-negara Eropa Barat di Afrika.
Penjajahan pada dasarnya untuk kepentingan akumulasi modal melalui perdagangan. Ini akan disesuaikan dengan komoditi yang dibutuhkan dalam selang waktu tertentu sesuai keinginan pasar saat itu. Maka, pada < 400 tahun yang lalu bahkan hingga sekarang masih ada perdagangan manusia atau perbudakan.
Hal ini juga menjelaskan bagaimana konidsi yang dapat menjelaskan penjajahan di Papua barat.
Juli 1828 dengan dua kapal Triton dan Iris berlabu di sebuah kaki gunung Lamenciri, kapal Triton yang membawa A. J. Van Delden seorang komisaris utusan Belanda di Maluku bersama kapten Let. J.J Stanboom untuk persiapan eksplorasi dan mendirikan benteng sebagai bukti kekuasaan Belanda di teluk Triton.
24 Agustus 1828 diresmikan benteng Foor de bush di teluk Triton, kaki gunung Lamencari, Kaimana. Saat ini merupakan saat dimana Belanda mulai datang dan menengok wilayah Papua Barat. Pada abad 18 kebutuhan pasar akan rempah-rempah dan minyak. Hal itu yang menyebabkan keinginan negara-negara-negara yang memilki pedagang-pedagang handal untuk melakukan ekspansi. Akses Belanda ke Papua dikarenakan keberadaannya di wilayah Maluku.
Masyarakat Papua yang mendiami di persisir pertama kali melakukan interaksi. Mayoritas wilayah pesisir menjadikan laut sebagai tempat mendapatkan makanan, maka transportasi laut sangat berkembang saat itu, salah satunya adalah suku Byak yang berlayar dan interaksi keluar wilayah adatnya.
Pelayaran suku Byak ke luar kampungnya untuk mendapatkan makan atau karena konflik di wilayahnya, hal ini yang menjawab keberadaan suku Byak di wilayah Manukwar, wilayah Jayapura, kepulauan Rajampat, dan berbagai wilayah lainnya.
Pulau Byak juga merupakan wilayah strategis untuk pelabuhan transportasi laut di wilayah pasifik. Sehingga, interaksi ini membuat pulau Byak dijadikan sebuah tempat berlabuh, juga pada tahun 1940-an pulau Byak dijadikan tempat pertahanan fasis Jepang untuk melawan Amerika serikat. Pecahnya perang Dunia II, menjadikan fasis Jepang saat itu menduduki paksa kepulauan-kepulauan di Byak, akibatnya adanya perlawanan dari Angganita Manufandu yaitu perlawanan bersenjata, sebagai bentuk pengusiran terhadap penjajahan di wilayahnya.
Jayapura menjadi tempat berlabuh untuk kepentingan ekonomi, pengangkutan barang mentah dan administrasi Belanda. Kondisi masyarakat khususnya perempuan di Port Numbay (Jayapura) berbeda dengan wilayah lainnya, Belanda banyak melakukan pelatihan-pelatihan di bidang khusus dan pelayanan-pelayanan kesehatan, pendidikan dsb.
Kebanyakan pelayanan ini juga melibatkan perempuan yang diperkerjakan di perkantoran, dan perawat. Hal ini berbeda jauh dengan Java (pulau Jawa) atau Maluku karena pendekatan di Papua, Belanda melakukannya dengan pendekatan keagamaan. Di balik itu pemerintahan Belanda pula melakukan eksplorasi-eksplorasi di wilayah Papua untuk kepentingan pembagian wilayah dan sumber daya alam.
Tercatat sejak 1900-an hingga 1930 telah dilakukan lebih dari 140 eksplorasi. Salah satu penemuan berharga yang dilakukan Belanda pada tahun 1920-an adalah gunung Nemangkawi, yang kini dihuni tambang PT. Freeport dan tambang-tambang kecil lainnnya.
Pada tahun 1900-an eksplorasi dilakukan karena kebutuhan minyak menjadi kebutuhan pasar dunia saat itu. Eksplorasi dilakukan melalui udara dan air, pada saat eksplorasi dilakukan kebanyakan wilayah-wilayah yang ditempati beberapa suku seperti suku Mee masih memiliki kehidupan perdagangan berupa barter untuk mencukupi kehidupan sehari-hari, begitu pula masyarakat yang hidup di kaki gunung Nemangkawi, kehidupan berdampingan. Pada saat itu gunung Nemangkawi dilihat sebagai salah satu keindahan alam sebab memiliki alam yang asri dan di puncak gunung diselimuti salju abadi, hingga dibuktikan oleh geolog yang datang dan menemukan keberadaan material tambang.
Pada tahun 1920-an keperluan tambang tidak diminati sebab tambang tidak bisa menjalankan mesin-mesin, setelah revolusi Industri di wilayah Eropa barat. Setelah perang dunia II kebutuhkan pasar dunia akan bahan-bahan mentah seperti bahan tambang untuk keperluan pembuatan senjata dan alat-alat teknologi semakin tinggi, maka arsip yang dimiliki Belanda pada tahun 1920-an tentu menjadi berguna di tahun 1940-an. 1935 Pemodal-pemodal asal Belanda, Inggris dan Jerman sempat melakukan penyatuan modal untuk mendirikan perusaahan minyak yang bernama ‘Netherland Nieuw Guinea Petroleum Maatshappij (NNGPM) di wilayah Domberai, Papua, untuk menjawab kebutuhan pasar dunia akan minyak bumi. Inilah kerja-kerja kolonial, melakukan penjajahan atas kepentingan eksploitasi untuk kepentingan perdagangan kemudian memperoleh keuntungan.
Kejahatan kolonial Belanda ditutupi dengan program-program keagaamaan untuk pelayanan-pelayanan, maka saat itu rakyat Papua kemudian susah melihat Belanda sebagai penjajah, apalagi saat Belanda menduduki Papua, belanda hanya melakukan eksplorasi. Hingga perang dunia II usai 1945 kemudian adanya organisasi-organisasi dunia yang melihat pentingan pembangunan Hak Asasi Manusia, pentingnya melepaskan wilayah-wilayah jajahan, hal ini tetap tidak terlepas dari kebutuhan pasar untuk mendapatkan bahan-bahan mentah.
Setelah perang dunia II perempuanlah yang diandalkan menjadi tenaga produktif untuk mengembalikan situasi setelah Perang, karena kaum laki-laki dijadikan gerilya-gerilya untuk perang. Perempuan mengalami penindasan akibat adanya eksploitasi yang mengharuskan perempuan bekerja lebih banyak (beban ganda). Bayangkan saja situasi di Papua, menjadi tempat penjajahan Belanda kemudian menjadi tempat sementara Jepang dalam melaksanakan perang, situasi trauma juga situasi kelaparan. Setelah perang perempuan mencoba kembali melakukan aktivitas seperti biasa, kemudian Belanda didesak meninggalkan Papua, kemudian dilanjutkan dengan penjajahan Indonesia.
Kolonialisme Indonesia
Sang Proklamator Ir. Soekarno mengumandangkan komando pendudukan di Papua pada 19 Desember 1961. Alun-alun Yokyakarta menyaksikan bunyi Tiga Komando Rakyat (TRIKORA) merupakan awal malapeta bagi rakyat Papua. TRIKORA, bagi rakyat Papua, adalah manifesto penjajahan.
Sejak itu Papua menjadi daerah operasi militer (DOM). Terhitung mulai 1961-1998 tercatat 15 rangkaian operasi militer, dan berlanjut hingga tahun 2004.Tak berhenti disitu, hingga kini dibeberapa wilayah masih dijadikan DOM seperti Sinak, Nduga, Illaga, Mulia,Tembagapura, daerah lainnya di tanah Papua.
Pertunjukan kekejaman kolonial Indonesia di Papua di mulai rangkaian operasi militer (1961-2004) telah memakan lebih dari 500.000 juta jiwa orang Papua mati dibantai secara brutal oleh Militer Indonesia. Belum dan tak pernah terhitung jumlah korban yang hilang, yang teridentifikasi.
Kemudian secara paksa, melalui mekanisme yang tidak demokratis, tanpa melibatkan orang Papua, Indonesia melakukan pendekatan diplomatif kepada Amerka, yang menyepakati perjanjian New York/ New York Agreement pada 15 Agustus 1962, dan menghasilkan tindakan aneksasi (penggabungan paksa) pada 1 Mei 196, teritori Papua menjadi bagian dari Indonesia.
Pelaksaan Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera) pada 14 Juli – 2 Agustus 1969 menjadi alasan legal di muka Internasional. Akademisi Internasional, lembaga-lembaga akvokasi temukan banyak pelanggaran Hukum dan Hak Asasi. Pepera dilakukan dalam situasi operasi militer berlangsung, dengan mekanisme Musyawara—yang harusnya mengikuti keputusan Internasional bahwa One Man One Vote (Satu orang satu suara)—ala Indonesia, serta memperoleh manipulative.
Betapa susahnya, saat itu, kondisi psikologis dan fisik rakyat Papua saat itu yang berduka akibat dihujani peluru, kemudian dipaksakan untuk memilih bergabung dengan Indonesia. Tentu saja pemerintah menggunakan cara yang jahat untuk memenangkaan suaranya.
Rakyat Papua di di intimidasi, tentu ada pemaksaan dalam memilih, juga keterlibatan yang tidak mewakili populasi rakyat papua.Kemenangan ABRI dalam pepera diwakili oleh 1024 suara dari 800 ribu juta jiwa jumlah populasinya.
Manipulasi ini disebabkan adanya dorongan kepentingan eksploitasi sumber daya alam Papua yang berlimpah. Selain wilayah yang strategis untuk jalur perdagangan dan keamanan, SDA Papua menjadi perhatian rezim Indonesia, saat itu, tergiur. Bagaimana tidak laut berisi minyak, gunung mengandung material, tanah subur untuk penanaman kelapa sawit, sedangkan 1960-an setelah perang dunia II kebutuhan pasar adalah material-material tambang untuk pembuatan produk-produk semakin meningkat.
Papua dikorbankan untuk kepentingan eksploitasi. 7 April 1967 merupakan kontrak karya PT. Freport Mc. Moran antara Indonesia dan Amerika serikat. Kontrak karya dilakukan dua tahun sebelum PEPERA (1969); dan tentu tak melibatkan masyarakat adat, satu pun orang papua sebagai pemilik ha katas gunung nemangkawi yang dikeruk.
Hal ini membuktikan keterlibatan negara-negara imperialis (negara-negara yang memiliki modal untuk kepentingan perdagangan yang menghasilkan keuntungan sebesar-besarnya) dalam menggabungkan paksa Papua menjadi bagian dari Indonesia. Pada rentang waktu 1960-an juga terjadi gejolak politik di Indonesia yakni kekalahan gerakan rakyat terhadap rezim fasis Soeharto (kapital-militer) terjadi sekitar 1965-1966, sehingga selain DOM di Papua, Indonesia terjadi pembataian manusia yang berasal dari gerakan rakyat. Bahkan kejahatan ini terus belanjut hingga kini, yakni militer menguasai sistem pemerintahan dan sektor-sektor lainnya.
Pada situasi 1960-an hingga 1998 perempuan Papua yang menjadi korban: budak seksual, dijadikan korban kekerasan untuk memukul mundur kaum laki-laki dalam perjuangan, dan perempuan dibunuh secara brutal. Perempuan dijadikan objek kekerasan karena perempuan adalah tenaga produktif untuk menghasilkan makanan (kehidupan trandisional rakyat papua (1961-1998), kemudian perempuanlah yang akan melahirkan.
Kondisi tersebut membuat banyak perempuan Papua terjebak dalam trauma yang mendalam. Trauma itu yang menjadi salah satu alasan, banyak perempuan yang memilih diam, memilih untuk perlindungan yang berlebihan (over protektif) kepada anggota keluarganya. Kondisi ini pula yang dapat menjawab semakin sedikit rakyat Papua membicarakan tentang hak demokrasinya. Perempuan dijadikan budak seksual kemudian terus berlanjut setelah 1998, dimana perempuan-perempuan Papua akan dikencani oleh militer untuk kepentingan memuaskan nafsunya (Nonton Video: Papua Voice ‘Surat Cinta kepada sang prada), ada pula diperkosa.
Hal ini terus terjadi seperti lingkaran setan. Perempuan dituntut untuk bersekolah namun, tidak ada perlindungan terhadap perempuan, tidak ada upaya nyata dalam mengurangi stigma buruk terhadap perempuan, sehingga perempuan Papua terus menjadi korban. Lingkaran setan ini tidak berhenti di kekerasan militerisme. Kekerasan terhadap diskriminasi dalam sistem kesehatan, pelayanan yang buruk menyebabkan banyak kerugian yang dialami perempuan Papua. Sistem budaya yang dicengkoki budaya kolonial Belanda dan Indonesia melebur menjadi satu, budaya patriarki (dominasi laki-laki), budaya patron (yang lebih tua lebih mengerti segalanya, mentokohkan seseorang) dan budaya-budaya lain yang menjadikan perempuan semakin disingkirkan.
Kondisi ini yang menjawab mengapa wilayah adat/ tanah adat di Papua, hampir tidak ada keterlibatan perempuan dalam pelepasan tanah adat kepada investor atau pemerintah. Budaya patron yang menyebabkan banyak perempuan yang menjadi sempit dalam berpikir, kesulitan kaum perempuan dalam berserikat apalagi menentukan nasibnya sendiri, kesulitan dalam mengakses banyak hal yang dapat meningkatkan tenaga produktifnya. Hal ini dikarenakan daerah domestik dan lingkungan menekan keberadaan perempuan, kemudian perempuan diikat dengan budaya-budaya yang menindas. Tahun 2001 – 2019 merupakan tahun dimana otonomi khusus (Otsus) diberlakukan di Papua, Otsus adalah anak kandung kolonial Indonesia di Papua, kebutuhan pasar dunia terhadap produk-produk pertanian, bahan mentah minyak sawit, bahan mentah minyak bumi, bahan mentah material tambang, jasa dsb, membuat kolonial Indonesia akan terus menawarkan program-program ‘pembangunan’ untuk menipu rakyat Papua. Selain perampasan tanah adat, negara juga menjadikan perempuan menjadi komoditi atau jasa seksual. Hal ini dibuktikan dengan semakin banyak pekerja seks komersial (PSK), hal ini disebabkan kebutuhan pasar adalah jasa seks sehingga mayoritas perempuan maupun laki-laki dan transgender harus dikorbankan untuk memenuhi pasar.
Kondisi ini dialami perempuan Papua, kebiasaan mendapatkan makanan di alam/hutan/wilayah adatnya, kemudian dihentikan akibat aktivitas pertambangan, perkebunan, peternakan yang bukan untuk kepentingan perempuan tersebut. Bahkan tanah yang dikelolanya sekian tahun dirampas tanpa keterlibatnya dalam mengambil keputusn, ketika perempuan ingin bersuara akan dibenturkan dengan mocong senjata, kemudian muncul stigma-stigma lainnya, sehingga perempuan Papua di masa kolonial Indonesia benar-benar hidup dalam lingkaran setan. Fenomena-fenomena ini terus terjadi, dan akan terus terjadi bila tidak ada kesadaran yang baik dari perempuan –perempuan Papua.
Kesadaran itu tidak dibentuk dari perempuan yang mendapat gelar Ph.D atau perempuan tidak perlu menjadi orang lain untuk melawan penindasan. Perempuan perlu menyadari dirinya sebagai manusia yang merdeka, manusia yang memerdekakan orang lain. Perempuan papua juga perlu sadar terhadap kebebasan yang membebaskan bangsanya dan bangsa tertindas lainnya. Alternative perjuangan harus ditawarkan oleh kaum perempuan dan kaum tertindas lainnya sebagai bentuk perlawanan terhadap kondisi penjajahan.
*Penulis adalah aktivis AMP, Perempuan Papua, Mahasiswa Yogyakarta.
___________
Sumber :
Alua, A., Papua dari pangkuan ke pangkuan.,
Pigai N.D., Evolusi Nasionalisme dan sejarah konflik politik di Papua, 2000.,
Anonim., Papua Voice Film ‘ Surat cinta kepada sang prada’