Halloween party ideas 2015

Gambar para tahanan politik dan korban kriminalisasi. sumber: buruh.co

KoranKejora--Mahasiswa Se-Tanah Papua di Kota Bandung, Jawa Barat, mengecam tindakan penangkapan terhadap sejumlah aktivis di Jakarta dan di Papua.

Hal itu disampaikan melalui video berdurasi 39 detik yang dipublis melalui akun facebook Andre Mokat.

"Kami mahasiswa Papua se kota Bandung menuntut negara agar segera membebaskan Dano Tabuni; Surya Anta, Juru Bicara Front Rakyat Indonesia untuk West Papua; Charles Kossay; Ambrosius mulait (ketua AMP TPI Jakarta); Isai Wenda; Ariana Lokbere; Buktar Tabuni (Wakil Ketua I ULMWP); Basoka Logo (Biro Politik ULMWP), dan Steven Itlay (ketua KNPB Timika." dikutip dari video, Kamis (12/9/2019).

Mereka juga menyerukan agar segera hentikan kriminalisasi terhadap aktivis HAM dan prodemokrasi, juga cabut status tersangka Veronica Koman.

Berikut Videonya:
Link Youtube: https://www.youtube.com/watch?v=pdZYS7kWOFc&feature=youtu.be

Reporter: Mako/Bandung

(foto : aksi demonstrasi AMP mendukung ULMWP menjadi anggota penuh di MSG)
Penulis: Wilyam Mayau*

Mahasiswa dalam lintas sejarah Papua, memang tidak sekedar  menunjukan eksistensi dirinya sebagai  manusia yang elitis dan terpelajar, seperti mereka yang menjelmahkan dirinya menjadi mesin intelektual yang hanya bekerja dan terperangkap dalam dunia-nya yang individualis dan apatis.  Keluar dari hal itu sejarah perlawanan, dinamika pergolakan, gelombang protes, dan keterlibatan dalam gejolak pembaruan adalah semangat dan peristiwa yang tidak pernah sepi dan akan selalu ada dalam gerakan Mahasiswa Papua itu sendiri. sejarah telah banyak bercerita tentang hal ini, di mana Mahasiswa Papua secara terus – menerus mengambil bagian dalam perjuangan westpaua. mulai dari mengorganisir Mahasiswa Papua di setiap basis kota, membuka ruang solidaritas, turun mengorganisir rakyat, sampai ke gerilya di hutan.

Dalam pasang surutnya gelombang perlawanan Mahasiswa Mapua dapat kita petakan dalam tiga fase:

1.Gerakan Mahasiswa Papua sekitar tahun 1934-1960.

Di Biak segelintir Mahasiswa Papua yang pernah dididik oleh pemerintah Belanda (vangaal) resmi mendirikan kantor Gubernur perwakilan Belanda di Holandia (Jayapura) kemudian menetapkan Dewan NiewGuineaaRaad dalam rangka mempercepat dekolonisasi menuju pembebasan tanah Papua, gerakan kaum terpelajar pada fase pertama ini berhasil menanamkan jiwa nasionalisme dalam hati rakyat Papua. di bawah bimbingan dewan niewguinearaad mereka berhasil merancang lambang West Papua, lagu kebangsaan, dan bentuk pemerintahan West Papua.

2.Gerakan Mahasiswa Papua tahun 1970-1980-an

Kebangkitan perlawanan mahasiswa fase kedua ini sering di sebut sebagai gerakan kebangkitan seni dan budaya westpapua (mambesak), yang di pelopori oleh Arnol Ap, Sam Kapisa dan kawan-kawan, gerakan mambesak berhasil memberikan inspirasi dalam perjuangan melalui lagu-lagu yang diciptakan oleh mereka dari berbagai bahasa, mereka juga berhasil membangkitkan Nasionalisme Papua, hasilnya penguatan basis massa sampai ke seluruh daerah Papua. Pemerintah Indonesia melihat mambesak sebagai kelompok yang berbahaya bagi negara, maka pada 26 april 1984 Arnol Ap di bunuh oleh Kopasandha (kopasus) , sebagai bentuk protes dari rakyat Papua terhadap Pemerintah Indonesia, sekitar 800 Masyarakat Papua melakukan pelarian ke perbatasan PNG dan menetap di sana karena kebiadaban Indonesia yang tidak memandang kasih terhadap rakyat Papua.

3. Gerakan Mahasiswa Papua tahun 1990-sekarang.

Ketika tingkat represif dan pembungkaman demokrasi yang di lakukan oleh negara di bawah pimpinan Soeharto membuat pergolakan politik di Indonesia semakin memanas yang pada puncaknya mahasiswa melakukan demonstrasi besar-besaran di seluruh Indonesia dan menduduki parlemen di Jakarta. disela-sela konflik yang terus berlangsung ini, Mahasiswa Papua memanfaatkan situasi untuk menyuarakan permasalahan di Papua. tepatnya di Jayapura Papua, mahasiswa melakukan demonstrasi atas kematian Thomas Wanggai yang tidak wajar, aksi ini dipimpin oleh Benny Wenda bersama Mahasisiwa Uncen, aksi ini berakhir ricuh, dalam insiden ini mobil, motor, toko-toko dan pasar raya Abepura di bakar. setelah itu tahun 1997 mahasiswa turun jalan lagi memprotes pembantaian yang di lakukan oleh TNI di Mapenduma, Jila, Bella dan Alama. aksi protes ini cukup dapat sorotan dari luar negeri dengan adanya surat dari senator Amerika Serikat kepada pemerintahan BJ Habibi untuk memberikan kesempatan kepada Timor-Timor dan Papua untuk menentukan nasib sendiri.

Di tengah situasi politik Indonesia yang semakin panas, Mahasiswa Papua yang ada di berbagai kota-kota di Indonesia bersatu kemudian membentuk sebuah organisasi politik yang akan mewadahi seluruh tuntutan-tuntutan politik Mahasiswa Papua terutama dalam membicarakan hak menentukan nasib sendiri. gerakan Mahasiswa Papua tahun 1998 ini kemudian melahirkan organisasi Mahasiswa Papua terbesar yang kemudian di beri nama “Aliansi Mahasiswa Papua (AMP)”

Perjuangan rakyat papua untuk membebaskan diri dari Kolonialisme Indonesia, Imperialisme, dan Militerisme, telah terbukti membangkitkan semangat perlawanan Mahasiswa Papua secara politis. Di tengah represifitas kolonialisme Indonesia di Nasional Papua, Nasional Indonesia dan Internasional, mahasiswa dituntut untuk tetap memupuk perlawanan yang sudah ada di tengah-tengah rakyat Papua dengan tuntutan “berikan hak menentukan nasib sendiri bagi Bangsa West Papua”.  dalam perjuangan ini tentunya Mahasiswa Papua terus membuka ruang solidaritas seluas-luasnya bagi sesame manusia yang di tindas oleh system Kapitalisme, Militerisme, Imperialism asing (yang sama-sama menindas rakyat kecil), dan juga untuk mereka yang peduli terhadap kemanusiaan di Papua, serta membangun basis mahasiswa yang kritis, ideologis, dan mau melawan bersama-sama menuju revolusi.

"Keberanian Yang Membuat Kalian Akan Tahan Dalam Situasi Apapun! Nyali Sama Harganya Dengan Nyawa. Jika Itu Hilang, Niscaya Tak Ada Gunanya Kau Hidup".
__Ernesto Che Guevara__

Penulis adalah Ketua Aliansi Mahasiswa Papua Komite Kota Bandung

Foto bersama usai pemilihan dan pelantikan amp kk Bandung, di asrama Timika, 10 September 2017. Sumber: Doc. Panitia pelaksana

Aliansi Mahasiswa Papua Komite Kota (AMP KK) Bandung telah menggelar pergantian pengurus Komite Kota baru pada, Minggu, 10 September 2017, di Asrama Mimika, kota Bandung. Berakhirnya masa kepemimpinan Kamerad Pian Pagawak (ketua) dan Miton Jigibalon (sejken) serta kawan-kawan pengurus lama, melalui voting, kamerad Robert Wilyam Mayau Terpilih sebagai Pengurus AMP Bandung.

Dalam waktu dekat, ucap Wilyam di akhir simbol serah terima, akan dilakukan penyusunan sturktur untuk melengkapi kerja-kerja kolektif kota.  

Panitia Pelaksana, Natto M Pigai dan Arnold Meage, mengundang/peserta di hadiri dari masing-masing utusan setiap paguyuban, organisasi kedaerahan asal Papua di Bandung, anggota komite kota dan perwakilan Komite Pusat AMP. Kegiatan tersebut diakhiri dengan Doa dan salam serta sayonara, setelah pengucapan sumpah dan janji organisasi. (J)

ilustrasi kapitalisme tidak sama dengan demokrasi/ sumber: wiratno81 - WordPress.com

Judul tulisan ini telah dijadikan topik pendiskusian AMP Bandung, melihat situasi terakhir yang berkembang ditengah masyarkat yang kemudian, juga, mengalihkan pandangan titik fokus masyarakat umum, untuk kepentingan para elite politik dalam pesta mokrasi yang dislogankan bahwa pesta rakyat.

Pandangan AMP Bandung bahwa, atas  situasi dan kondisi saat ini di atas Teritori West Papua dengan pesta demokrasi colonial Indonesia tidak ada pengaruhnya bagi Bangsa Papua dan Tanahnya—sebab penindasan dan penjajahan terus berlanjut—kenapa?  Karena, fakta hari ini jelas!  Pesta Demokrasi yang di lakukan oleh sistim Negara (baca: Indonesia) yang sedang menjajah kepada Rakyat West Papua, yang adalah bangsa yang sedang di jajah, itu logikanya sangat konyol. Karena tindakan penjajah, apa pun itu wujudnya, yang jelas dan pastinya akan berujung pada tindakan kolonisasi dan kepentingan Indonesia beserta negara-negara kapitalis yang punya kepentingan langsung dan tak langsung di West Papua.

Melihat kembali Sejarah Aneksasi dan Pepera 1969 yang dilakuakan bersadarkan Hukum Internasional—dan pada prakteknya cacat hukum—adalah tindakan legalitas dimata dunia. Selanjutnya, sistim pemerintahan kolonial Indonesia menduduki di West papua dengan tindakan-tindakan militeristik, juga, dengan berbagai rangkaian operasi yang hard sampai soft.

Atas semua rentetan sejarah yang telah terjadi dan sedang terjadi di periode ini, Rakyat West Papua sangat sadar dan telah mengetahui akar persoalan; status politik dan sejarah yang pernah di sabotase oleh Indonesi, Belanda, Amerika dan PBB melalui UNTEA: atas kongkalingkong demi kepentingan ekonomi politik bagi mereka.

Jadi sekarang siapa mau tipu siapa, atau masih mau berbohong? Bangsa West Papua sangat mengenal watak Negara colonial Indonesia dengan system negaranya yang berpaham demokrasi ‘’Liberal’’ ini.

Menjelang pesta Demokrasi colonial Indonesia diatas Teritori West Papua, yang belakangan ini kita ikuti, pernyataan-pernyataan yang di lontarkan Lukas Enembe sebagai gubernur kolonial Indonesia di Teritori West Papua, yang memberikan pernyataan dipublik, bahwa, "Saya hanya mengurus rakyat. Saya dari dulu mengurus rakyat Papua, itu tugas saya.” 

Analisa pernyataan para birokrat Papua pasca jelang Pilkada Serentak di West Papua, dari keberadaan sosial yang sangat krusial, keterasingan, keresahaan atas tindakan pemerintahan yang tak pro kepada kemauan rakyat Papua dan tindakan-tindakan militeristik, bahwa pernyataan-pernyataan itu hanya untuk menipu rakyat west Papua, dan justru para birokrat itu pun ada di barisan kolonial.

Sebab, misalnya, Enembe mengaku dirinya mengurus rakyat, bagaimana dengan tragedi Paniai Berdarah, yang telah menewaskan 4 Pelajar Sekolah Menengah Atas (SMA), pada 08 Desember 2014 silam, kasus pembunuhan Musa Mako Tabuni pada 2012, Kasus Pembunuhan Robert Jitmau, dan segalah macam persoalan, penindasan, pembunuhan, genosida yang telah dan sedang tamu rakyat west Papua? Atau kasus Sweeping di Dogiai yang baru-baru ini terjadi, ada intervensi dirinya secara nyata dalam penanganan kasus ini? Jangankan penanganan kasus, mencoba untuk menjaga rakyat agar tak mengulangi atau meminimalizir penindasan—seperti pernyataannya—saja tak mampu.

Bila kita mengamati kasus kekerasaan di Dogiai yang baru-baru ini terjadi adalah murni kepentingan para elit politik (Birokrat) dan bisnis militer. Bila dilihat dari kronologi kejadian, pertama, Polda Papua mengirim satuan Polisi gabungan Brigadil Mobil, yang diberi-nama GOMPRA, untuk menjaga berlangsungnya Pemilu serentak di Papua. Kedua, adalah kehadiran GOMPRA di Dogiai, telah meresahkan keberadaan masyarakat hingga satu pemuda meninggal dunia dan puluhan masyarakat mengalami luka-luka. Ketiga, kehadiran satuan Gompra di Dogiai untuk mengamankan berjalannya Pesta Demokrasi namun justru menciptakan kisru di tengah-tengah keberadaan sosial masyarkat Dogiai.

Militer mampu menciptakan konflik, meresahkan masyarakat, tetapi Proses persiapan Pemilihan Umum dijalankan dengan baik.

Ini kan jelas! Pesta demokrasi yang di buat dalam 5 tahun sekali—hanyalah bersifat seremonial dan momentul replay tindakan yang sama dan, bahkan, lebih sadis penjajahan Indonesia di West Papua. Bahwa, Demokrasi Hanya demi kepentingan Ekonomi-politik pusat Kolonial Indonesia di Jakarta, dan demi posisi kedudukan dan jabatan di daerah koloni Teritori West Papua, yang menurut kolonial Indonesia sebut Provinsi Indonesia timur Papua dan Papua barat.

Lalu dengan pemilu Pesta Demokrasi yang akan dilakukan serentak di West Papua, yang sedang ramai-ramai sedang mempersiapkan diri kandidat dan sedang menyibukan masyarakat dalam kegiatan kampanye para elit, yang tentu mereka adalah wajah-wajah Indonesia, dapat memberikan suatu sprite bagi kolonial untuk meredamkan arus gerak perjuangan politik Rakyat West Papua.
Sehingga sangat tidak perlu dan, bukan waktunya Rakyat West Papua bersikap munafik. Hari ini kita yang masih bernafas, adalah yang tersisah, sehingga dengan kesempatan ini dapat kami mengingatkan kembali, terutama untuk rakyat West Papua agar tidak terhanyut tenggelam dan terlenah dengan situasi ini. Arus gerak pergerakan perjuangan politik kita rakyat West Papua, jalan tidak bisa dihentikan oleh siapa pun. Diam berarti terhenti... Tidak!

Solusinya hanya satu! Hak menentukan Nasib Sendiri Bagi Rakyat West Papua.
Salam pembebasan!

Tulisan diatas ini adalah hasil diskusi bersama Komite Kota Bandung, Aliansi Mahasiswa Papua [KK Bandung-AMP]

Kekerasan Militer Indonesia Di West Papua (Foto/Google)
Oleh,Natho M Pigai**

Lingkaran kekerasan di Tanah yang di berkati” yaitu “Tanah Papua”, mencerminkan personalan yang serius. Tragedi kekerasan hadir silih berganti, tetapi perjuangan sejarah politik papua tetap ada dalam hati seluruh rakyat Papua.

Kenyataan sejarah Papua memperlihatkan secara jelas bahwa hingga kini masalah Papua belum di tuntaskan secara menyeluruh, Terhadap orang Papua hingga kini tidak yakin bahwa hidup bersama Negara Kolonialisme ini, Karena rakyat Papua mempelihatkan bahwa  kekerasan tidak pernah menyelesaikan di Papua, Kekerasan malah menambah jumlah korban dan memperbanyakan masalah di Tanah Papua. Di samping itu, interkoneksi global lewat kuasa Kapital telah mencengkram Tanah Papua untuk kepentingan isi perut negara Indonesia dan negara-negara luar.

Dengan jalannya kekerasan ini telah mengakibatkan jatuhnya korban Dulu,Sekarang dan Saat ini. Orang Papua hidup dalam ketraumaan rakyat Papua di berbagai kampung-kampung dapat menceritakan pengalaman pahitnya yang di alami, misalnya Operasi Militer, Maka Pemerintah dan aparat keamanan juga perlu memberikan jaminan keamanan agar rakyat Papua dapat menyampaikan dan mengungkapkan hak sebagai Bangsa PAPUA dan kehidupan tanpa rasa takut akan intimidasi atau teror di muka public.

Pemerintah telah melakukan aksi-aksi jahat terhadap orang Papua dan sejumlah operasi militer secara besar-besaran di Tanah Papua Seperti; Opersi Sadar (1965-1967), Operasi Brathayudha (1967-1969), Operasi Wibawa (1969), Operasi Militer di Kabupaten Jayawijaya (1977), Operasi Sapu Bersih I dan II (1981), Operasi Galang I dan II (1982), Operasi Tumpas (1983-1984), Operasi Sapu Bersih (1985), Operasi Militer dilancarkan di Mapundauman (1996) dan peristiwa pelanggaran HAM di Wasior Biak (2011) Setelah Undang-Undang Otonomi Khusus Papua di berlakukan sejak 2001, Kekerasan masih di pakai militer Indonesia melalui Operasi militer di Wamena Tahun 2003 dan di Kabupaten Puncak Jaya Tahun 2004, Peristiwa pelanggaran HAM Uncen Berdarah 2006, dan Paniai Berdarah 2014.

Peristiwa-Peristiwa Pelanggaran HAM Ringan maupun yang Berat lain-nya, saya tidak ungkapkan melalui tulisan ini, Tetapi kita sudah mengetahui keadaan saat ini di seluruh Tanah Papua Bahkan di Tingkat Nasional, Internasional, sudah mengetahui kekerasan demi kekerasan yang kelakuan oleh negara ini terhadap manusia Papua. 

Saya sangatlah yakin bahwa  orang Papua akan bangkit dan memimpin dirinya sendiri berlandaskan semangat gerakan perjuangan dan mengorganisasikan diri secara militan.


Penulis adalah Anggota AMP Komite Kota Bandung Jawa Barat 





Foto: Ilustrasi

Oleh, Wenas Kobogau

SELAMA ini, Karl Marx lebih dikenal sebagai pemikir ekonomi- politik dari pada pemikir pendidikan. Buktinya, sampai saat ini, jarang dijumpai diskursus yang menyandingkan Marx dengan dunia pendidikan.

Padahal, sebagaimana diungkap dalam buku Metode Pendidikan Marxis-Sosialis, Marx bukan hanya pemikir ekonomi-politik, tapi juga seorang pemikir pendidikan terkemuka. Bahkan, menurut Nurani Soyomukti, penulis buku tersebut, Marx adalah pelopor dan peletak dasar teori pendidikan kritis dan pembebasan, bukan Paulo Freire sebagaimana diyakini banyak kalangan (Soyomukti: 136).

Dalam konteks pendidikan, Marx menyingkapkan bahwa basis dari gerak sejarah sistem pendidikan dunia ditentukan oleh kapital (ekonomi). Teori ini disebut dengan determinisme ekonomi. Tampaknya, ramalan Marx itu benar, khususnya di Indonesia. Regulasi kebijakan pendidikan pemerintah, dalam hal ini Undang- Undang Badan Hukum Pendidikan (UU BHP), tidak lain merupakan penjelmaan perselingkuhan antara dunia pendidikan dengan kepentingan kapital.

Munculnya Sekolah Menengah Kejuruan (SMK), baik yang berkonsentrasi di dunia mesin, listrik, arsitektur, administrasi perkantoran, akuntansi, kesekretariatan maupun berbagai bidang lain, merupakan pemenuhan atas nafsu kapitalisme. Kehadiran SMK diharapkan meluluskan peserta didik yang siap pakai dan sesuai dengan kebutuhan praktis di bidang kerja infrastruktur pembangunan.

Sekolah kejuruan menjadi idaman dan pilihan para orangtua yang ingin yang ingin melihat anaknya cepat mendapat kerja. Penekanan keterampilan teknis seperti ini menyebabkan pendidikan terjerumus dalam pragmatisme. Pragmatisme pendidikan adalah malapetaka besar bagi masa depan kemanusiaan.

Sebab, pragmatisme pendidikan akan melahirkan manusia yang tidak berbobot untuk kepentingan bangsaan. Pragmatisme pendidikan hanya mencetak generasi yang ingin cepat mendapatkan gelar sarjana dan memperoleh profesi yang bergengsi.

Buku ini berusaha menggagas dan menjabarkan metode pendidikan berbasis Marxis-Sosialis yang menjadi counterpart atas pendidikan kapitalisme yang selama ini menjadi ideologi sistem pendidikan internasional. Ideologi pendidikan yang digagas Marx adalah bentuk gugatan atas merasuknya budaya kapitalisme dan pragmatisme dalam tubuh pendidikan.

Dalam pendidikan berbasis Marxis-Sosialis, tujuan (ideologi) pendidikan adalah membangun karakter (character building) manusia yang tercerahkan; suatu kondisi mental yang dibutuhkan untuk membangun suatu masyarakat yang berkarakter progresif, egaliter, demokratis, berkeadilan dan berpihak terhadap kaum-kaum tertindas (the oppressed).

Menurut Marx, pendidikan bukan lahan basah untuk merenggut keuntungan, melainkan sebagai instrumen membebaskan manusia dari belenggu dehumanisasi serta menempatkan manusia dalam esensi dan martabat kemanusiaannya yang sejati.

Marx mengidealkan terciptanya pendidikan kritis (critical pedagogy), pendidikan radikal (radical education) dan pendidikan revolusioner (revolutionary education) yang pada gilirannya mampu mencetak manusia yang betul-betul mau memperjuangkan kaum-kaum miskin. Pendidikan yang terjebak pada pragmatisme untuk kepentingan kapitalisme merupakan eksploitasi atas esensi terbentuknya lembaga pendidikan.

Bagi Marx, pendidikan bertujuan menciptakan kesadaran kritis,bukan pengetahuan dan keterampilan teknis yang mendukung proyek kapitalisme. Apa yang diidealkan Marx itu sangat kontras dengan karakter objektif para pelajar bangsa ini.

Penulis adalah anggota AMP Komite Kota Bandung

---------------------------
Referensi:

Soyomukti. N, 2008: Pendidikan Marxis Sosialis (Antara Teori dan Praktek): Ar-Ruzz Media – Yogyakarta


Mahasiswa Papua Pejuang, Hiller Ts  (foto, kobogaunews.com)
Oleh, Sem Karoba

Dipublikasikan kembali oleh Wenas Kobogau

Setelah mengetahui dan memahami perjalanan panjang, aksi penjajahan nation-state lain atas wilayah Papua Barat dan perjuangan kemerdekaan Papua Barat dalam menghadapi penjajahan, maka mahasiswa di hadapkan kepada tiga pilihan kepeberpihakan secara umum. Pertama, memihak kepada penjajah; kedua, memihak kepada rakyat Papua Barat dan ketiga, tidak memihak apa-apa dan siapa-siapa (netral atau tidak tau apa-apa).

Untuk mengambil sikap, pertama-tama harus mengetahui dan mengevaluasi diri kita masing-masing mengenai, “dimana” letak kita sebagai mahasiswa selama ini dalam perjuangan kemerdekaan Papua Barat. Setelah itu kita akan menetukan sikap kita dalam perjuangan kemerdekaan Papua Barat. Untuk itu, berikut ini dijelaskan jenis-jenis mahasiswa Papua dalam perjuangan kemerdekaan Papua Barat dan sikap yang diambil kedepan.

I. Jenis Mahasiswa Papua Barat
Secara umum mahasiswa Papua Barat dikategorikan dalam enam jenis mahasiswa dalam memandang dan mengapai perjuangan kemerdekaan Rakyat Papua Barat untuk merdeka lepas dari NKRI dan pendukungnya (terutama Negara Dunia Pertama). Walaupun sama-sama menyandang intel “ mahasiswa” dan walaupun sama-sama merasa diri sebagai orang Papua, tetapi mempunyai perbedaan yang cukup tajam antara satu sama lain. Keenam jenis mahasiswa Papua Barat itu adalah:

1. Jenis Mahasiswa Cari Makan
Jenis mahasiswa cari makan adalah mereka yang hanya memikirkan perut mereka. Mereka ini mempunyai banyak urusan dengan Negara Indonesia untuk mendatangkan keuntungan bagi mereka, kebanyakan dari mereka anak-anak para pejabat yang mempunyai kedudukan yang sangat penting di Negara Indonesia, atau mempuyai perusahan, LSM dan lainnya. Kebanyakan dari jenis mahasiswa ini selalu mendukung Otonomi Khusus Papua, Pemekaran Provinsi/Kabupaten dan lainnya sebagai “ lahan” untuk mencari makan.

2. Jenis Mahasiswa Papua Malas Tahu
Jenis mahasiswa malas tahu adalah jenis mahasiswa yang kalau Papua Barat merdeka mereka terima, kalau tidak merdeka juga mereka tidak mempermasalahkannya. Kebanyakan mereka adalah orang yang mau tahu tentang sekarang, bukan besok (masa depan). Kalau kelompok yang mendukung Otonomi Khusus dan Pemekaran Provinsi/Kabupaten mempengaruhinya mereka mau ikut juga, tetapi tidak sepenuh hati, hanya sekedar saja.

3.   Jenis Mahasiswa Ikut Ramai ( Panas-Panas Tahi Ayam)
Jenis mahasiswa Ikut Ramai adalah mahasiswa yang bersemangat, mereka teriak merdeka atau Otonomi Khusus atau Pemekaran. Mereka muncul dengan semangat yang membara, malah ada yang bersumpah akan mati demi Papua Barat Merdeka. Tetapi kalau ada program Otonomi Khusus dan Pemekaran Provinsi/Kabupaten, mereka selalu ajukan permohonan bantuan dalam bentuk apa saja, atau terlibat dalam urusan pemerintah NKRI dengan semangat yang membarapula. Kelompok ini muncul dengan sikap seperti itu karena kurangnya pendidikan politik.

4.   Jenis Mahasiswa Menunggu Uluran Tangan
Jenis mahasiswa Menunggu Uluran Tangan adalah jenis mahasiswa yang selalu menunggu dukungan dari pihak lain. Mereka selalu memasang telinga untuk mendengar berapa orang non-Papua yang medukung kemerdekaan Papua Barat, berapa LSM yang mendukung kemerdekaan Papua Barat, beberapa Negara yang mendukung kemerdekaan Papua Barat, dan lainnya. Jika ada dukungan mereka akan bersemangat dan akan menjadikannya sebagai buah bibir, tetapi jika tidak ada dukungan dari pihak lain mereka akan selalu diam. Kelompok ini adalah mahasiswa yang tidak percaya diri dan menggantungkan kemerdekaan Papua Barat kepada pihak lain di luar dari mereka.

5.   Jenis Mahasiswa Nekat (Membabi-buta)
Jenis mahasiswa Nekat (Membabi-buta) adalah mereka yang tidak peduli dengan apapun juga. Yang mereka mau adalah Papua Barat harus merdeka dengan cara apa saja. Mereka cenderung membenci orang Jawa, orang Islam, orang barat dan lainnyayang merugikan hidup mereka atau mengorbankan perjuangan mereka. Perjuangan dengan jalan membabi-buta dan membenci orang lain sangat sulit untuk mendapakan dukungan dari pihak lain, karena kecenderungan mereka bukan untuk Papua Barat merdeka tetapi karena membenci orang, golongan dan negara lain yang mengorbankan kemerdekaan Papua Barat.

6.   Jenis Mahasiswa Pejuang
Jenis mahasiswa Pejuang adalah mahasiswa yang telah mengetahui dan memahami “ masalah Papua Barat” . Mereka matang dalam pendidikan politik, peduli dengan penderitaan Rakyat Papua Barat, sadar bahwa mereka dan rakyat mereka sedang dijajah. Mereka ini selalu memperjuangkan kemerdekaan Papua Barat kapan saja, dimana saja dengan jalan yang efektif dan efisien dengan pemahaman dan pengetahuan yang matang tentang perjuangan kemerdekaan Papua Barat. Mereka inilah yang secara nyata terlihat dalam barisan rakyat Papua Barat untuk memperjuangkan kemerdekaan bangsanya. Mereka mempunyai satu cita-cita dan tujuan bangsa dan rakyatnya, yaitu “ Papua Barat Merdeka”, karena itu mereka sangat sulit untuk dipengaruhi oleh musuh, sehingga mereka akan selalu dibenci oleh musuh perjuangan mereka. Inilah mahasiswa Papua Barat yang tulen dalam perjuangan kemerdekaan Papua Barat.

II. Sikap Mahasiswa Papua Barat
Sebuah kenyataan yang tak dapat dipungkiri bahwa mahasiswa Papua Barat adalah orang Papua, berkebangsaan Papua, mempu mempunyai ras negroid dari rumpun Melanesia dengan ciri fisik berkulit hitam dan berambut keriting. Ini adalah sebuah kenyataan. Mahasiswa Papua Barat juga adalah orang yang mempunyai wilayah sebagai tempat tinggalnya dan hidup di wilayah itu. Ini juga kenyataan.

Walaupun demikian, tidak semua mahasiswa sadar bahwa mereka adalah orang Papua. Mereka tidak sadar bahwa rakyatnya, yaitu orang tua dan sanak-saudaranya sendiri sedang terjajah, dan lebih gawat adalah mereka sendiri sering menggadaikan diri sambil menyangkal bahwa mereka bukan orang Papua. Ini sesuatu yang ironi.

Untuk itu, agar dapat sadar diri sebagai orang Papua, dan memahami dinamikan kebudayaan bangsanya dan rakyatnya, maka mahasiswa Papua Barat harus mempunyai sikap yang tegas dalam menaggapi dinamika kehidupan yang terjadi di Papua Barat tanpa harus menjadi orang munafik. Untuk sampai kepada pengambilan sikap secara tegas dan konsisten dalam perjuangan kemerdekaan Papua Barat, maka beberapa langkah harus dilakukan, yaitu :

1. Sadar Diri
Pertama-tama harus duduk dan merenung sebentar dan sadarlah bahwa kita adalah orang Papua. Sadarlah bahwa kita tidak sama dengan orang lain. Sadarlah bahwa kita mempunyai pengalaman hidup yang berbeda dalam segala hal. Setelah itu ambillah kesimpulan bahwa kita mempunyai harga diri, kita mempunyai bangsa, kita berhak menjadi negara merdeka, dan lainnya yang mengingatkan dan menyadarkan kita bahwa kita mempunyai harga diri sebagai manusia, yaitu manusia Papua yang mempunyai kedudukan yang sama dengan manusia dan bangsa lain di dunia ini.

2. Menlihat Kondisi Obyektif
Mahasiswa sebagai kaum intelektual, tentu tidak akan terlepas dari cara berpikir secara obyektif, yaitu memandang sebuah masalah secara nyat tanpa memihak apa-apa dan siapa-siapa. Karna itu lihatlah masalah Papua Barat dari sisi obyektifitasnya, lihat pula penjajahan Papua Barat oleh nation-state lain secara obyektif pula. Disana kita bisa menemukan letak kebenaran sebuah persoalan, misalnya letak kebenaran masalah Papua Barat berkaitan dengan tuntutan kemerdekaannya.

3. Belajar
Selain harus berpikir dan bertindak secara obyektif kita juga diharapkan untuk banyak belajar. Belajar tidak harus di kampus (pendidikan formal), tetapi belajarlah diluar kampus, belajarlah untuk memahami realita sosial, belajarlah untuk mendengarkan rapat tangis Rakyat Papua Barat, dan belajar untuk memetahkan sebuah persoalan secara benar. Pelajaran yang kita butuhkan di luar kampus misalnya adalah pendidikan politik, pelatihan jurnalistik, manajemen sumber daya manusia, latihan kepemimpinan dan lainnya. Disanalah kita bisa mengambil banyak ilmu dan pengetahuan untuk bekal perjuangan kita ke depan.

4. Berjuang
Menjadi pejuang dalam memperjuangkan kemerdekaan Papua Barat tidak sulit. Cukupkanlah kita mempunyai kemauan yang sungguh-sungguh bahwa kita mempunyai cita-cita kebenaran di masa depan, bahwa Papua Barat harus merdeka. Sementara mengenai taktik dan strategis perjuangan kita bisa menggunakan banyak cara asalkan kita tahu cara-cara tersebut. Untuk memulai menjadi pejuang kita harus memulai dengan cara kita masing-masing, sedikit demi sedikit, dan dari diri kita masing-masing. Sehingga dengan cara masing-masing sedikit demi sedikit, dan diri kita sendiri, kita akan menciptakan barisan pejuang yang panjang, banyak cara yang efektif dan akan membawa kemerdekaan Papua Barat itu kesebuah alam yang nyat, yaitu di atas “ Tanah Tumpah Darah Papua Barat yang kita cintai.”
Selamat Bekerja***



Salam Pembebasan
“ Persatuan Tanpa Batas Perjuangan Sampai Menang’"

Salam Revolusi
“ Bersama Kebenaran Sejarah Sang Bintang Kejora”


Penulis adalah penulis buku Papua Menggugat; Demokrasi Kesukuan (Demsuk), dan beberapa buku tentang perjuangan Papua Merdeka.

Wenas Kobogau adalah anggota Aliansi Mahasiswa Papua [AMP] Komite Kota Bandung.

--------------------------------
Catatan: sebenarnya menurut Sem Karoba, dkk, ada tujuh jenis orang Papua tentang cara pandang dan cara tindak dalam menepatkan diri terhadap perjuangan kemerdekaan Papua Barat. 

Ilustrasi Siswa SD di West Papua (foto. google)
Dimensi lain tentang mitos konsientitasi baik oleh kellompok yang lebih koopratif ataupun kelompok naïf adalah usah mereka untuk mengubah masalah pendidikan menjadi masalah metodologi semata, dengan menganggap metode sebagai suatu yang netral.ini akan mrnghilangkan atau pura-pura menghilangkan seluruh dimensia politik dalam pendidikan, sehingga istilah pendidikan untuk kebebasan menjadi tidak berarti apa-apa.

Sebenarnya, sepanjang pendidikan dibatasi hanya pada metode dan teknik pengajaran bagi anak didik, sedangkan guru dalam mencermati realitas social jika mereka benar-benar mau melakukannya tidak lebih dari sekedar dengan mengunakan proyektor dan kecanggihan sarana teknologi lainnya yang tawarkan sesuatau kepada perseta didik yang berasal dari latar belakang apapun.Namun, sebagai sebuah praksisi sosial, pendidikan berupaya memberikan bantukan untuk membebasakan manusia di dalam kehidupan objektif dari penindas yang mencekikmereka. Oleh karenanya, ia merupakan pendidikan politik, sebagaimana pendidikan lain bahkan yang mengklaim diri bersifat netral, meski sebenarnya merupakan budak dari elit kekuasaan. Jadi pendidikan politik hanya bisa diterapkan secara sistematis, jika masyarakat sudah mengalami transpormasi atau perubahan yang radikal. Hanya orang yang tidak tahu yang mengira bahwa elit kekuasaan akan mendorong terlaksananya suatu jenis pendidikan yang mengejek mereka secara lebih jalas daripada segala kontradiksi yang ada dalamstruktur kekuasaan. Pandangan naïf semacam ini juga memunculkan sikap yang meremehkan kemampuan dan keberanian kaum elit yang justru sangat berbahaya. Pendidikan yang benar-benar membebaskan hanya bisa diterapkan di luar sistem kehidupan yang sekarang ada, dan dilakukan dengan cara yang sangat hati-hati oleh mereka yang sanggup menghilangkan pandangan naifnya dan mempunyai komitmen untuk benar-benar melakukan pembebasan.

Orang Papua yang makin kurang di West Papua dalam berpendidikan  Pembebasan harus menetukan sikap : apakah mengubah pandangan naïf mereka lebih kooperatif dan dengan sadar bergabung dengan ideologi  yang dominan, atau bergabung dengan kaum tertindas dan dengan penuh dedikasi bersama mereka mencari kebebasan yang sesungguhnya.Seandainya mereka meninggalkan kepatuhan kepada kelompok yang dominan, metode belajar mereka yang baru beserta masyarakat sebagai peserta didik akan menimbulkan tantangan tersendiri; dalam usah ini mereka ketahui.

Selama belajar dengan metode yang baru ini, banyak orang Papua cepat menyadari bahwa dulunya ketika mereka melakukan aksi-aksi artifisial baik social maupun relijius (misalnya, memegan erat pepatah kuno yang mengatakan, “ Keluarga yang di dunia melakukan ibada secara bersama-sama, kelak juga akan tinggal bersama-sama di akhirat”) masih di hargai karna nilai Kristen mereka. Namun sekarang mereka mulai menyadari bahwa keluarga yang taat beribadah memerlukan rumah, pekerjaan, pangan, sandang, kesehatan juga kesehatan bagi anak-anak mereka, bahwa mereka perlu medis untuk mengekspresikan diri dan mereka perlu membangun dan melukis dunia, bahwa raga, jiwa dan harga diri mereka harus diharga, jika mereka mau hidup tanpa penderitaan dan duka. Ketika mereka mulai mengetahui semua ini, mereka akan menyadari bahwa keyakinan mereka dipertanyakan oleh orang-orang yang menginginkan kekuasaan politik, ekonomi dan kekuatan relijius untuk membangun kesadara manusia lain.

Karena metode belajar yang baru ini mulai bisa lebih menjelaskan situasi dramatis di mana mereka tinggal, dan menyebabkan mereka melakukan aksi-aksi yang tidak lagi paternalistik, akhrinya mereka terkesan kejam. Padahal sebelumnya mereka dicela, karena menjadi budak kekuatan jahan Internasional yang mengancam peradaban orang Papua, sebuah peradaban yang dalam kenyataan tidak dipedulikan oleh orang Papua itu sendiri.

Melalui praktik pendidikan yang baru ini, mereka menemukan bahwa kesucian yang mereka pertahankan selama ini,  tidak sedikit pun bentuk kejujuran. Namun, banyak orang yang merasa takut untuk mengakuinya; mereka kehilangan keberanian menghadapi resiko yang pasti ada,  ketika mereka patuh kepada suatu komitmen historis. Akhirnya mereka kembali kepada ilusi idealistik, tetapi dalam kapasitasnya sebagai anggota kelompok yang lebih kooperatif.

Mereka  perlu pengakuan atas semua itu. Oleh karena itu, mereka mengklaim bahwa massa, yang tak berpendidikan dan tidak berkemampuan, harus dilindungi arag tidak kehilangan kepercayaan mereka kepada Tuhan, yang sangat indah, nikmati dan membawa perbaikan; mereka harus dilindungi dari kejahatan subversife orang Kristen yang kagum terhadap Revolusi Kebudayaan di Cina dan Kuba. Mereka siap membelah tanah air mereka demi kepentingan anak-anak cucu mereka di kemudia hari. Demikian Budaya, Agama dan cinta tanah air menjadi no satu bagi mereka.

Kebanyakan kaum mudah di West Papua ini mayadari betul bahwa masalah yang mendasar di Wets Papua bukan terletak pada kemalasan masyarakatnya, atau inferioritas mereka,  atau tingkat pendidikan mereka yang rendah,  namun masalahnya adalah karna penjajah. Dan mereka tahu bahwa penjajah ini bukan sebua abstraksi ataupun slogan, tetapi sebuah realitas yang nyata, suatu keadaan yang menjajah dan merusak. Sebelum masalah ini dapat di pecahkan, West Papua dan Negara-negara ketiga di dunia tidak bisa berkembang. Mereka hanya bisa melakukan proses modernisasi, bukan pembebasan. Tanpa pembebasan, tidak akan ada pembangunan masyarakay West Papua yang sesungguhnya0.


Penulis adalah Wenas Kobogau Anggota AMP KK Bandung
-----------------------------------------

Pustaka:

Buku Paulo Freire Politik Pendidikan: Kebudayaan.Kekuasaan dan Pembebasan (hal.208-212)

AMP Foto; Edited by Angin Selatan;list
Yogyakarta, AMP--Sesuai seruan yang di keluarkan oleh Pimpinan AMP Pusat, Jefry Wenda, kemarin, hari ini, Senin, 27 Juli 2015,  Aliansi Mahasiswa Papua (AMP) Se-Jawa dan Bali memperingati  HUT AMP ke 17 secara serentak di masing-masing kota, dengan Thema Nasional: “Mempertegas Garis Perjuangan Organisasi Dalam Perjuangan Pembebasan Nasional Bangsa Papua Barat.” Dan Sub-Thema: “Dengan HUT Aliansi Mahasiswa Papua Bersama Kebenaran Sejarah, Memperjuangkan Cita-Cita  Sejati Pembebasan Nasional Rakyat Bangsa Papua Barat.”

AMP Komite Kota (KK) Yogyakarta bersama Komite kota Semarang-Sala Tiga, telah menggelar Ibadah Syukuran di Kali Baliem dengan aksi “Bakar-Bakar” sebagai persembahan.

Dikabarkan pula kepada AMPNEWS.ORG melalui Telepon Seluler dan Media social (fb), AMP KK Surabaya dan Malang melakukan Ibadah syukuran bersama di Asrama PANA (Paniai Nabire), Malang.

Kemudian, AMP KK Jakarta pun melakukan ibadah yang sama, bertempat di Asrama Tolikara, Condek Jakarta.

AMP KK Bandung juga melakukan Ibadah syukuran bersama di Asrama Timika, Bandung.
Dan KK Solo dan Bogor juga melakukan Ibadah yang sama.
Kemudian KK Nabire-Paniai, KK Numbai, KK Agisiga pun demikian, melakukan kegiatan yang sama.

Wenda mengatakan, “Saya ucapkan selamat merayakan HUT ke-17 Aliansi Mahasiswa Papua disetiap komite-kota, dan Komisariat. Salut kepada seluruh anggota AMP dimanapun Kawan – kawan berada dalam pengabdiannya melakukan kerja membangkitkan, menggerakan dan mengorganisasikan kesadaran massa Rakyat Papua untuk memperjuangkan hak – hak demokratis Rakyat Papua.” Di tulis dalam Suratnya Kepada kawan-kawan.

Lanjut Wenda, “Kawan-kawan tetap konsisten berada di garis terdepan massa dan terus menggelorakan, membangkitkan, mengorganisasikan dan mengerakkan massa untuk melawan tiga musuh rakyat papua.”

Hari HUT AMP yang ke 17 ini telah digelar Ibadah secara serentak di masing- masing Komite kota kemudian diakhir dengan sayonara. (P. Gobai/AMP)

Saat masa aksi melakukan long murch di depan Gedung Sate, Bandung. (Foto: Pembebasan)

Saat kordinator umum membacakan pernyataan sikap. (Foto: Pembebasan)


AMP -- Lagi, di depan Gedung Sate, Bandung kembali didatangi 30an demonstran dari Aliansi Mahasiswa Papua (AMP) Komite Kota Bandung.

Seperti dikutip dari pembebasan.org, Senin, 06/07/2015, mereka hendak mengingatkan kepada seluruh rakyat bahwa 17 tahun lalu, tepatnya 6 Juli 1998 telah terjadi peristiwa anti kemanusiaan yang dilakukan aparat militer Indonesia. Peristiwa tersebut dikenal dengan nama Biak Berdarah. Diawali dengan aksi damai yang diikuti 500-1000 rakyat Papua, berakhir dengan pembantaian.

Pemerintah Indonesia melalui aparat militer melakukan pembantaian terhadap rakyat Papua karena menuduh bahwa aksi demonstrasi adalah gerakan separatis. Alhasil, represi berupa pemukulan dan penembakan terjadi secara brutal, korban dari para demonstran berjatuhan. 230 massa menjadi korban, 8 meninggal, 3 orang hilang, 4 luka berat, 33 ditahan sewenang-wenang, dan 150 orang mengalami penganiayaan.

Peristiwa pelanggaran HAM ini sudah diproses di pengadilan, bahkan sudah ke Mahkamah Agung. Tapi, jangan ditanya kelanjutan proses hukumnya, toh, kekejaman militer di Papua sejak tahun 1963 tidak pernah ada ujungnya. Bahkan pembangunan markas-markas komando TNI maupun Polri semakin diperbanyak, dan diperluas.

Hingga kini, kekerasan di Papua tak pernah berhenti. Penyiksaan, pemukulan, penahanan sewenang-wenang terus terjadi. Rakyat bangsa Papua hidup dalam asuhan kekejian tentara dan tindak kekerasan polisi.

Massa aksi satu per satu melakukan orasi politik untuk menjelaskan kepada masyarakat tentang apa yang terjadi di Papua, dan apa yang sejatinya dikehendaki oleh rakyat Papua.
Dalam pernyataan sikapnya, AMP KK Bandung menuntut:

Pertama: Buka ruang demokrasi seluas-luasnya, berikan kebebasan dan hak menentukan nasib sendiri bagi rakyat Papua sebagai solusi demokratis.

Kedua: Tarik militer (TNI-Polri), organik dan non-organik dari seluruh tanah Papua sebagai syarat damai.

Ketiga: Tutup Freeport, BP, LNG Tangguh dan MNC lainnya yang merupakan dalang kejahatan kemanusiaan di atas tanah Papua.

Setelah pembacaan statement, massa AMP kembali ke asrama dengan berjalan kaki serempak. (M3/AMP)

Aliansi Mahasiswa Papua (AMP) didirikan pada tanggal 30 Mei 1998 di Jl. Guntur Kawi, Manggarai, Jakarta Selatan. Organisasi ini lahir ditengah situasi represi Negara di Tanah Papua Barat, khususnya di Biak, yang kita kenal dengan Peristiwa Biak Berdarah. Ditengah situasi politik Indonesia yang mulai goyah akibat tekanan-tekanan politik dari gerakan prodemokrasi Indonesia terhadap regime Soeharto dan mulai menguatnya tuntutan Reformasi Politik bagi sebuah perubahan yang berkeadilan serta terbukanya ruang demokrasi.

Selama berdiri, AMP telah tiga kali menyelenggarakan Kongres Nasional. Kongres I diselenggarakan di Kaliurang – Yogyakarta, November 2005. 
Lima tahun kemudian tepatnya Januari 2010 diselenggarakan Kongres II di Port Numbay – Papua Kemudian Kongres Nasional ketiga di Bogor Jawa Barat pada November 2014 dan menegaskan sikap dan pandangan organisasi sebagai organisasi massa mahasiswa yang terbuka tanpa memandang latar belakang pandangan, suku, agama, dan ras dan mendukung perjuangan untuk merebut hak – hak demokratik Rakyat Papua.

Komentar Anda

[disqus][facebook]
Gambar tema oleh duncan1890. Diberdayakan oleh Blogger.
Koran Kejora View My Stats