Halloween party ideas 2015

its.koran kejora


Oleh: 

Komite Pusat Aliansi Mahasiswa Papua Dan 

Aliansi Mahasiswa Papua Komite Kota Jember



Pengantar.


Rukun Tani Sumberejo, Desa pakel terletak di kecamatan licin, kabupaten Bayuanggi, provinsi Jawa timur. Dusun rukun tani ini dikenal sejak lama dengan perjuangan panjang mereka. Setan tanah menjadi satu faktor membuat warga tani pakel tidak tidur nyenyak dan nyaman namun terus berjuang untuk memperjuangkan tanah mereka.

Merujuk pada data sensus yang dikemas dalam laporan Kecamatan Licin Dalam Angka, mayoritas penduduk Pakel bekerja sebagai petani. Data terakhir di tahun 2015 menyebutkan jika sekitar 626 warga berprofesi sebagai petani, 51 di bidang industri, 181 di bidang perdagangan dan 19 di bidang angkutan, secara kumulatif warga Pakel yang bekerja sekitar 877 orang. Sementara sisanya tidak tercatat atau tidak terekam oleh sensus.

peta pakel

Sementara itu hasil dari observasi dan assessment Walhi Jawa Timur mendapatkan data yang berbeda, bahwa mayoritas penduduk Desa Pakel bekerja sebagai petani, buruh tani, buruh kebun dan pekerja sektor informal. Data yang tidak pernah diungkap oleh BPS Banyuwangi adalah banyaknya jumlah buruh tani, buruh kebun serta penduduk yang bekerja di luar desa, jika dikalkulasi hampir 1000 warga lebih yang menggeluti profesi tersebut.

Kami melihat bahwa hampir separuh lebih penduduk Desa Pakel bekerja sebagai buruh tani, buruh kebun dan sektor lain di luar pertanian dan perkebunan rakyat. Walaupun begitu sudah sekitar satu abad, dari tahun 1925, perjuangan warga pakel terus berlanjut untuk mempertahkan tanah leluhur mereka.

Beberapa bulan lalu,  tiga (3), warga tani pakel di kriminalisasi oleh Pt bumi sari dengan alasan menyebarkan informasi hoakx tentang pakel. Mereka ditangkap hingga sampai saat ini. Mereka di tahan karena  memperjuangakan tanah mereka. Namun gerakan warga dan solidaritas protes kriminalisasi dan teror terhadap warga pakel terus di lakukan oleh warga pakel dan solidaritas di masa luas demi menuntut keadilan bagi semua orang. Walaupun begitu, Pt Perusahaan perkebunan swasta, Perseroan Terbatas (PT) Bumisari Maju Sukses.  dengan antek anteknya masih saja melakukan ulah/penebangan dan penghancuran kebun terhadap warga petani pakel di daerah mereka, hingga menyebabkan saling benci dan dendam antara warga pakel mereka.


Dusun ini, yang di kenal dengan rukun tani  Pakel, menjadi incaran setan tanah, semenjak 1925 tahun silam hingga sekarang. Pt Bumi Sarimaju sukses, dengan keras kepala mengingginkan untuk mengguasai lahan tanah garapan petani pakel. Banyak warga yang protes di kriminalisasi oleh Pt Bumi Sari. Perlawanan yang menjadi cerita panjang yang masih di kenal hanggat di Pemuda, Pemudi, Anak Anak Pakel.

Bahkan saat mendekati ibu (Ri) katanya ,“Perjuangan ini tahkan pernah mati karena perjuagan ini sudah terjadi dari generasi ke generasi hingga sudah memasuki abad, untuk itu perjuangan ini takakan pernah mati dan akan selalu hidup walaupun kami di incar mati matian”.

Sehingga dalam ringkasan ini dapat ditarik sebuah pertanyaan kunci; Apa yang melatar belakangi minimnya luas lahan pertanian dan rendahnya serapan pekerjaan di sektor pertanian atau pangan? Lalu siapa yang menguasai di Desa Pakel? Siapa yang mengerjakan di Desa Pakel? Dan Siapa yang mendapatkan apa di Desa Pakel ?, bagaimana proses dan perjuangan warga pakel?, serta kenapa rakyat tertidas harus bersatu dan bersolidaritas?


Sejarah Panjang perjuangan di Desa Pakel.


Membahas tanah Desa Pakel, maka harus melihat dari sejarah panjang munculnya “commodity frontier” di Kabupaten Banyuwangi yang sudah menumbuh dengan konflik yang ada sekarang.

Terutama saat ekspansi kapital berbarengan dengan upaya penguasaan satu wilayah berjubah perang, terutama pasca perang Puputan Bayu, saat kolonial Belanda merangsek mencoba menjamah ujung timur Pulau Jawa tersebut. Runtuhnya Blambangan membuka gerbang eksploitasi terutama mulai terbukanya kawasan hutan menjadi perkebunan skala luas. Proses tersebut telah menyebabkan peminggiran atau eksklusi melalui serangkaian perampasan.

Merujuk pada Jason. W. Moore (2015), commodity frontiers mengacu pada perluasan pasar kapitalis dan penggabungan wilayah dan sumber daya baru ke dalam jaringan produksi global. Proses ini terjadi juga di Banyuwangi melalui penguasaan kolonial yang telah menyebabkan peminggiran dan merubah kondisi sosial, ekonomi dan kultural. 

Proses tersebut dapat dibaca sebagai transformasi agraria yang mengacu pada proses dimana daerah pedesaan dan populasi diintegrasikan ke dalam ekonomi kapitalis, seringkali melibatkan perubahan kepemilikan lahan, hubungan kerja, dan praktik pertanian. Lebih lanjut Moore berpendapat bahwa commodity frontiers telah menjadi pusat perkembangan kapitalisme, karena mereka menyediakan sumber bahan baku baru, tenaga kerja murah, dan investasi yang menguntungkan.


doc. Amp Jember. tanah dan tanaman di pakel


Mulai berkembangnya perkebunan kolonial di wilayah sekitar lereng Ijen untuk komoditas rempah seperti cengkeh dan juga komoditas lain seperti kopi, membawa pola pengaturan baru terutama dalam pengelolaan ruang, di mana masyarakat awal yang mendiami wilayah tersebut harus mengikuti pola yang diterapkan. Sekaligus awal perkebunan juga menandai serangkaian kedatangan penduduk yang kebanyakan berasal dari wilayah miskin seperti Madura. Penduduk tersebut menjadi buruh perkebunan kolonial, bermukim dan beranak pinak hingga sekarang menjadi desa. Tetapi pola yang dilakukan adalah menciptakan mereka menjadi buruh inferior yang terus menerus dieksploitasi. Pola ini dilanggengkan untuk tetap merawat “power” agar tetap bisa mengekploitasi, sehingga menubuh menjadi sebuah kultur.

Melanjutkan hal tersebut, proses peminggiran itu sejalan dengan pemikian Tania Li (2014), bahwa perluasan pertanian industri dan industri ekstraktif telah menyebabkan perampasan tanah dan sumber daya adat, serta marginalisasi masyarakat adat dalam tatanan ekonomi baru. Lalu, dalam konteks tersebut menceritakan bagaimana ekspansi kapitalis dan produksi minyak sawit telah mengubah kehidupan dan mata pencaharian masyarakat, seperti pengembangan produksi minyak sawit telah menghasilkan ketimpangan agraria yang signifikan, karena elit kaya dan perusahaan mampu mengontrol akses ke tanah dan sumber daya, sementara petani skala kecil dan masyarakat adat terpinggirkan dan dirampas.

Melihat penjelasan Tania Li, dapat ditarik sebuah garis besar bagaimana proses ketimpangan, melihat dari sejarah sampai saat ini, bagaimana proses peminggiran berawal darimana ekspansi kapital itu muncul. Sementara untuk di Pakel, hal tersebut berasal dari bagaimana kuasa perkebunan turun-temurun menjadi akar penting dalam perampasan hak bagi warga Pakel. Seperti keberadaan perkebunan Pakoeda, sampai perkebunan Sri Wedari (sejarah perkebunan versi Bumisari), sejak kolonial menguasai lahan. 


its. amp jember. tanah pakel

Meskipun ada catatan bahwa warga Desa Soemberedjaa ‘Alas Pakel’ mengajukan pembukaan lahan hutan pada Bupati Banyuwangi kala itu, lalu mendapatkan izin membuka kawasan atau yang dikenal sebagai akta 29. Tetapi, belum sempat ada pengakuan, terutama sejak lahirnya UUPA 60, tragedi berdarah 65 meletus, sehingga menyebabkan warga tak kunjungan diakui secara sah penguasannya, di mana hal tersebut menyebabkan warga, terutama Pakel secara turun temurun adalah tunakisma serta terpaksa menjadi buruh.

Mengenai hal tersebut, semakin menegaskan bahwa apa yang terjadi di Pakel mungkin juga terjadi pada wilayah lainnya, seperti dalam catatan Mochamad Tauchid (2009:276-278) di mana ada warga Rawa Lakbok, Ciamis yang mendapatkan hak membuka lahan dalam hal ini sebuah surat cap singa tahun 1927, yang dalam prosesnya tak kunjung mendapatkan pengakuan, dari tanah yang dibuka kemudian menjadi tanah yang berpajak landrente, sampai pada satu waktu tiba-tiba muncul onderneming, sehingga membuat warga tersisih. Baik surat cap singa 1927 ataupun akta 29 adalah bentuk pemberian hak membuka lahan, tetapi kala sudah dibuka bukan warga yang mengelola tetapi perkebunan swasta. Sehingga menggenapi bagaimana proses eksploitasi serta peminggiran hadir dan bagaimana sampai sekarang bertahan.


Perjuangan Warga Pakel Merebut Kembali Tanah Pakel .


Perjuangan warga Pakel untuk mendapatkan kembali haknya bukan dibangun sehari atau dua hari, tetapi sudah dilakukan sejak lama. Merujuk pada kronologi yang penulis susun. Bahwa perjuangan warga Pakel dimulai pada tahun 1925, di mana sekitar 2956 orang warga yang diwakili oleh tujuh orang, salah satunya yang tekun berjuang bernama Doelgani, mengajukan permohonan pembukaan hutan Sengkan Kandang dan Keseran, yang terletak di Pakel, Licin, Banyuwangi, kepada pemerintah kolonial Belanda. Berselang empat tahun, pada tanggal 11 Januari 1929, permohonan tujuh orang tersebut dikabulkan. Tujuh orang tersebut diberikan hak membuka lahan kawasan hutan seluas 4000 bahu (3000 hektar) oleh Bupati Banyuwangi, R.A.A.M. Notohadi Suryo.

Dalam perjalanannya, meski memiliki “Akta 1929” sebagai izin untuk kegiatan pembukaan hutan dan bercocok tanam yang dilakukan oleh Doelgani dkk, saat itu kerap menghadapi berbagai intimidasi dan tindakan kekerasan dari pihak pemerintah kolonial Belanda, yang berlanjut hingga era Jepang. Meski begitu, Doelgani dkk, terus mempertahankan lahan dan bercocok tanam di lahan “Akta 1929” tersebut.

Pasca kemerdekaan Republik Indonesia, Doelgani dkk, mencoba memperjuangkan hak mereka atas pembukaan hutan seperti yang tertuang dalam “Akta 1929” pada pemerintah Republik Indonesia, melalui Bupati Banyuwangi. Hingga diterbitkannya Undang-undang Pokok Agraria 1960, upaya landreform belum mencapai wilayah Banyuwangi, namun petani tetap menunggu dan melakukan aktivitas pertanian. Pada bulan September 1965 meletus peristiwa naas tragedi berdarah, dan masyarakat Sumberejo Pakel terkena imbasnya. Mereka dituduh PKI, beberapa orang seperti Doelgani tiba-tiba menghilang. Beberapa orang tidak bisa bersuara, karena ada ancaman bahwa setiap orang yang memperjuangkan haknya adalah PKI.




Pada tahun 1970-an, kawasan “Akta 1929” di desa Pakel yang secara historis diusahakan petani, telah diklaim menjadi milik perkebunan PT Bumi Sari. Lebih jauh jika melihat SK Kementerian Dalam Negeri, tertanggal 13 Desember 1985, nomor SK.35/HGU/DA/85, PT Bumi Sari disebutkan hanya mengantongi Hak Guna Usaha (HGU) dengan luas 11.898.100 meter persegi atau 1189, 81 hektar, yang terbagi dalam 2 Sertifikat, yakni: Sertifikat HGU Nomor 1 Kluncing, seluas 1.902.600 meter persegi dan Sertifikat HGU Nomor 8 Songgon, seluas 9.995.500 meter persegi. Secara jelas, dua SK tersebut memperjelas bahwa Desa Pakel, bukanlah termasuk dalam kawasan HGU PT Bumi Sari. Di tengah iklim politik rezim otoritarian Orde Baru yang represif, warga Pakel hanya memilih diam dan tidak melakukan perlawanan secara gamblang. Sementara PT Bumi Sari terus mengklaim HGU hingga Desa Pakel.

Pada tahun 1999, pasca lengsernya Soeharto, warga Pakel menduduki lahan di kawasan “Akta 1929”. Akibatnya, pada tanggal 17 Agustus 1999, warga ditangkap, dipenjara, dan mengalami berbagai tindakan kekerasan fisik dari aparat keamanan. Tak patah arang, pada tahun 2001 warga Pakel kembali menduduki kawasan “Akta 1929”. Dampaknya, seluruh pondok dan tanaman di atas lahan tersebut dibumihanguskan oleh aparat keamanan negara. Peristiwa ini menyebabkan sebagian besar pemuda Pakel putus sekolah. Beberapa kaum laki-laki dewasa juga terpaksa meninggalkan Desa Pakel untuk menghindari penangkapan dan kejaran aparat keamanan.

Terakhir, pada 24 September 2020, warga yang sebelumnya telah membangun organisasi bernama “Rukun Tani Sumberejo Pakel”, melakukan aksi pendudukan lahan yang diklaim oleh PT Bumi Sari. Aksi ini merupakan penegasan bahwa mereka berhak atas lahan tersebut. Hampir sepuluh tahun mereka berjuang dengan memohon “kebaikan” pemerintah, namun tidak membuahkan hasil. Mereka diabaikan, tidak dianggap sebagai warga negara yang benar-benar punya hak kelola atas lahan dan hak untuk hidup. Hingga mereka sadar bahwa reclaiming merupakan jalan satu-satunya untuk mendapatkan kembali hak yang terampas, sambil memperjuangkan pengakuan.

Merebut kembali tanah pakel merupakan pilihan sadar bahwa selama ini jalur yang dipilih warga Pakel tidak kunjung mendapatkan tanggapan dan respons. Kebijakan agraria hari ini masih belum bisa menyelesaikan konflik-konflik agraria yang terus berlanjut hingga sekarang, tidak hanya di Pakel tetapi juga di wilayah lainnya termasuk Kampung Bongkoran, Wongsorejo, Banyuwangi. Komitmen penyelesaian konflik agaria benar-benar dipertanyakan, karena selama ini masih belum menghasilkan hasil yang signifikan.

Padahal apa yang dipilih oleh warga Pakel adalah usaha atau upaya untuk mendapatkan hak-haknya kembali. Sebab jalan reclaiming adalah bentuk dari landreform by leverage yang menurut Wiradi (dalam Sutaryono, Nugroho & Afifi, 2014) sebagai sebuah usaha dan upaya untuk mendorong perubahan struktur penguasaan lahan tertentu yang diprakarsai langsung oleh petani secara terorganisir. Warga yang mengajukan agar tanah yang mereka kuasai diakui oleh negara, sebagai bagian dari bahwa negara akan memprioritaskannya untuk menjadi prioritas landreform serta segera diselesaikan konflik yang terjadi.

Idealnya persoalan konflik agraria di Pakel dapat diselesaikan dengan memberikan hak penuh pada warga Pakel. Merujuk pada Shohibuddin (2018)[13] dalam Perspektif Agraria Kritis: Teori, Kebijakan dan Kajian Empiris pada sub bab “Prinsip Kesejahteraan” halaman 179, secara garis besar mengungkapkan jika UUPA 60 mengupayakan kemakmuran rakyat melalui usaha yang berkaitan dengan agraria. Karena itu, maka dalam UUPA 60, negara harus menjamin pemberian akses dan aset pada petani gurem dan buruh tani, sebagai upaya untuk meningkatkan taraf kehidupan rakyat, agar mencapai kesejahteraan bersama.

Sayangnya yang terjadi malah sebaliknya, warga Pakel tidak pernah diakui haknya dengan diusir dari lahan yang seharusnya menjadi hak. Sampai saat ini warga Pakel malahan banyak memperoleh teror, intimidasi, represi dan terakhir kriminalisasi pada dua petani yang dituduh memasuki, menguasai dan merusak perkebunan yang sudah mendapatkan izin kelola kawasan. Bayang-bayang kekerasan dan jeruji besi kini mulai menghantui perjuangan warga Pakel.


Bagaimana perjuangan Warga Pakel Merebut Hak  Tanah Leluhurnya?


Bagi warga pakel tanah adalah ibu, Tanah Pakel adalah tanah perjuangan yang tak akan ada habis habisnya. Melihat dari storis perjuangan untuk menjaga tanah ini sudah memasuki satu (1) satu abad.

Semenjak tahun 1925, tanah ini milik warga pakel.di mana para pendahulu penahulu mereka mengarap tanah, untuk tanah, dan hidup di tanah ini,namun pemeritah jepang mengambil ahli tanah ini.protes dan pejuangan masa masa inimemang sangat sadis.

Pada 1963, tanah ini mengoforkan tangan kepada Pt Bumi Sari,walaupun di samping itu perjuangan petani untuk mempertahankan tanah mereka sangat masif di banyuwanggi,jawa timur. berikut ini adalah rentetan fase sejarah perjuagan tanah pakel sebagai berikut:.




Era Kolonial Belanda dan Jepang

Pada tahun 1925, 2956 orang warga yang diwakili oleh tujuh orang, yakni: Doelgani, Karso, Senen (Desa Sumber Rejo Pakel), Ngalimun (Desa Gombolirang), Martosengari, Radjie Samsi, dan Etek (Desa Jajag) mengajukan permohonan pembukaan hutan Sengkan Kandang dan Keseran, yang terletak di Desa Pakel, ke pemerintah kolonial Belanda.

Empat tahun kemudian, tanggal 11 Januari 1929, permohonan mereka dikabulkan. Doelgani cs diberikan hak membuka lahan hutan seluas 4000 Bahu oleh Bupati Banyuwangi, R.A.A.M. Notohadi Suryo. Setelahnya, Doelgani cs mulai membabat hutan tersebut, kurang lebih 300 Bahu selama 3 bulan pasca terbitnya ijin.

Dalam perjalanannya, akta ijin pembukaan lahan tersebut ternyata tidak pernah sampai ke tangan Doelgani cs, karena dirampas oleh Asisten Wedono Kabat.

Atas perampasan tersebut, Doelgani cs melapor dan menghadap Wedono di Rogojampi. Dalam keterangannya, Wedono mengatakan bahwa untuk mendapatkan surat tersebut harus seijin kantor kehutanan.

Menghadapi situasi itu, Doelgani cs menghadap Asisten Wedono, dan kemudian Doelgani cs mendapatkan kembali surat tersebut. Pasca pemberian surat tersebut, Doelgani cs disuruh Asisten Wedono untuk membabat kembali lahan yang dimaksud.

Saat pembabatan, Doelgani cs didatangi oleh Asisten Wedono Kabat yang baru dan petinggi Desa Sumberejo Pakel. Kedatangan mereka untuk menghalang-halangi pembabatan. Peristiwa tersebut sempat berujung pada kasus pengikatan tangan warga.

Tak lama setelahnya, Doelgani cs ditangkap dengan tuduhan telah melakukan aksi berbau komunis. Jumlah warga yang mendapatkan tuduhan tersebut kira-kira 170 orang. Mereka selanjutnya dikirim ke Banyuwangi untuk diperiksa.

Dalam pemeriksaannya pihak penyidik menganggap Doelgani cs tidak bersalah dan berhak membuka hutan. Mereka selanjutnya dibebaskan. Namun, tiga hari pasca pembebasan tersebut, Doelgani cs ditangkap kembali oleh Asisten Wedono Kabat dan petinggi Sumber Rejo Pakel. Surat ijin pembukaan hutan milik warga juga dirampas.

Tanggal 3 Januari 1930, berkas perkara Doelgani cs diperiksa oleh pihak Kontrolir dan Wakil Asisten Residen. Dalam pemeriksaan tersebut, Wedono dan Asisten Wedono telah dipersalahkan. Dalam pemeriksaan tersebut juga ditegaskan oleh Kontrolir dan Asisten Residen, bahwa hutan Sengkan Kandang dan Keseran adalah memang benar merupakan hak Doelgani cs, sesuai surat ijin 1929. Kontrolir memerintahkan Wedono untuk memberikan surat ijin pembukaan hutan (yang bercap singa) kepada Doelgani cs, namun dalam praktiknya surat tersebut tidak juga diberikan.

Empat belas hari kemudian, Wakil Wedono (mentri hutan), datang menemui warga tanpa membawa surat, dan hanya mengatakan bahwa warga (Doelgani cs), boleh menggarap hutan.

Karena tidak menerima surat ijin pembukaan hutan, Doelgani cs menghadap kembali ke Wedono untuk meminta surat tersebut. Dalam pertemuan itu, Wedono justru menyatakan bahwa Doelgani cs dilarang menggarap dan membabat hutan.

Karena merasa keberatan dengan tindakan Wedono, Doelgani cs mengajukan permohonan kepada Asisten Residen. Namun, hasilnya juga nihil.

Karena jenuh dengan tindakan para pejabat diatas, Doelgani cs memutuskan untuk terus membabat hutan. Namun, Doelgani cs harus menghadapi hukuman kembali dalam beberapa waktu (misalnya, denda 2.5 Gulden dan hukuman 14 hari penjara atau 7 hari penjara, hingga 3.5 hari penjara, dst).

Tahun 1933, Doelgani cs menyampaikan kasus mereka ke Gubernur Jenderal di Jakarta. Selanjutnya, Gubernur Jenderal, memutuskan bahwa Doelgani cs berhak untuk membuka hutan. Namun surat dari Gubernur Jenderal ditahan oleh Asisten Wedono, dan tidak pernah diberikan kepada Doelgani cs.

Tahun 1936, Doelgani cs menghadap Residen Bondowoso untuk menyampaikan kasus mereka, sembari memohon pemberian surat ijin pembabatan hutan.

Tahun 1941, Doelgani cs menghadap mantan Bupati Banyuwangi (RAAM Notohadi Suryo) di Kalibaru. Selanjutnya, eks Bupati itu membuat surat pernyataan yang menerangkan bahwa benar dirinya telah menerbitkan surat ijin pembukaan hutan 1929. Surat itu ditujukan kepada Gubernur di Surabaya.

Tahun 1941, Doelgani cs kembali membabat hutan, namun berujung pada penangkapan 40 orang rekannya. Sementara Dulgani dan Senen sendiri, dihukum 2 bulan penjara. Di tahun 1942, Doelgani dan Senen dihukum penjara lagi selama 3 bulan karena pendudukan lahan yang terus mereka lakukan.


Era Periode1965 – ORDE BARU

Keturunan dan penerus Doelgani cs, pada tahun 1965, mengajukan permohonan untuk bercocok tanam di hutan Sengkan Kandang dan Keseran kepada Bupati Banyuwangi. Surat tersebut tidak mendapatkan jawaban dari pemerintah.

Untuk sekedar menyambung hidup, sebagian kecil warga Pakel bercocok tanam di wilayah yang dikenal dengan nama Taman Glugoh (bekas perkebunan Belanda yang tidak aktif).

Tak lama kemudian, meletus tragedi kemanusiaan ‘30 September 1965”,. Pasca peristiwa tersebut warga tidak berani menduduki kawasan hutan, karena akan dituduh sebagai anggota PKI.

Di pihak lain, lahan yang mereka kelola tiba-tiba diklaim milik perusahaan perkebunan Bumi Sari. Di awal klaimnya, Bumi Sari tidak menunjukkan tindakan pengusiran, namun mendorong warga untuk menanam tanaman kopi, kelapa, dll. Akan tetapi, tahun 1970an, saat tanaman warga tersebut tumbuh besar, Bumi Sari melakukan pengusiran terhadap warga.

Pada tanggal 13 Desember 1985, Kementerian Dalam Negeri menerbitkan HGU PT Bumi Sari di atas tanah tersebut. Hal itu tertuang dalam Surat Keputusan (SK) Menteri Dalam Negeri, Nomor SK.35/HGU/DA/85, dengan penjelasan bahwa PT Bumi Sari berhak memiliki luas 11.898.100 meter persegi atau 1189,81 hektar. SK tersebut terbagi dalam 2 Sertifikat, yakni Sertifikat HGU Nomor 1 Kluncing, seluas 1.902.600 meter persegi dan Sertifikat HGU Nomor 8 Songgon, seluas 9.995.500 meter persegi. Kedua HGU tersebut berakhir pada 31 Desember 2009.

Di luar dugaan, dalam praktiknya, PT Bumi Sari juga mengklaim mengantongi ijin pengelolaan kawasan hingga Desa Pakel. Dari sinilah konflik agraria di Pakel terus semakin kompleks.

Dalam penelusuran WALHI Jatim, ditemukan bahwa HGU PT Bumi Sari hanya terletak di desa Bayu, Kecamatan Songgon, dengan luas 1189, 81 Ha.

Tahun 1993, segelintir warga Pakel berusaha untuk menduduki lahan kembali. Namun otoritarianisme Orde Baru membuat mereka tidak berjuang dalam nafas panjang.


Era Pasca Tumbangnya Rejim Suharto

Tahun 1999, pasca 1 tahun Soeharto lengser, warga Pakel kembali menduduki lahan. Namun pada tanggal 17 Agustus 1999, buntut dari tindakan tersebut warga ditangkap, dipenjara, dan mengalami tindak kekerasan fisik.

Fakta lainnya adalah, lahan hutan yang semula hanya diklaim milik Bumi Sari, kini juga diklaim milik Perhutani. Di tengah situasi tersebut, warga mengaku Perhutani melakukan pecah belah kekuatan warga, dengan membentuk LMDH.

Tahun 2001, seluruh rumah dan tanaman warga di atas lahan tersebut dibakar dan dibabat oleh Perhutani. Peristiwa ini selain mengakibatkan kerugian material, juga telah menyebabkan sebagian besar pemuda baik laki-laki maupun perempuan putus sekolah.

Situasi tersebut semakin diperparah dengan hadirnya sekelompok orang yang mengaku akan membantu kasus warga, atas nama Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), yang selanjutnya disebut sebagai Tim 10. Dalam faktanya, menurut pengakuan warga Pakel, Tim 10 tersebut malah meminta uang yang tak sedikit (menurut warga: jumlahnya mencapai ratusan juta rupiah), sebagai amunisi untuk menyelesaikan kasus yang dihadapi warga.


Pasca Reformasi  Dan Era Jokowi

Kini dalam perjalanannya, masa reformasih yang seharusnya menjamin setiap hak hak masyarakat asli/masyarakat adat namun kriminalisasi, intimidasi, teror, perampasan tanah terus terjadi di  pakel.

Walaupun sesuai surat dari BPN Banyuwangi, Nomor 280/600.1.35.10/II/2018, tanggal 14 Februari 2018, ditegaskan bahwa tanah Desa Pakel tidak masuk dalam HGU PT Bumi Sari.

Mendapatkan pernyataan tersebut, warga menganggap peluang kemenangan untuk mendapatkan tanah mereka kembali telah di depan mata. Akhirnya Di akhir 2018, warga melakukan penanaman kembali di lahan tersebut dengan ribuan batang pohon pisang.

Namun Januari 2019, warga Pakel dilaporkan oleh Djohan Sugondo, pemilik PT Bumi Sari, dengan tuduhan telah menduduki lahan PT Bumi Sari. Akibatnya warga Pakel dianggap melanggar Pasal 107 huruf a Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2014 tentang Perkebunan. 26 Warga Pakel dipanggil oleh pihak kepolisian.

Atas tuduhan tersebut, sedikitnya 11 orang warga Pakel dipanggil oleh pihak kepolisian Resort Banyuwangi pada Oktober 2019 untuk dimintai keterangan.

Pada november 2023 warga pakel di tahan oleh polda jawa timur. Suwarno, Untung, dan Mulyadi; di Kriminalisasi melalui penangkapan paksa tanpa surat penahanan diDesa Pakel, Kec. Licin, Kab. Banyuwangi dihadang dan diangkut paksa oleh polisi menuju Polda Jatim pada Jumat 3 Februari 2023 pukul19.30 WIB. ketiga petani masih di dikenakan tuduhan menyiarkab kabar bohong Pasal 14 dan atau 15 Undang-undang nomor 1 Tahun 1946. Penangkapan ini diduga kuat buntut konflik lahan dengan korporasi antara warga Pakel dengan PT Bumisari Maju Sukses.

Bukan hanya itu, sebelumnya Pada November 2021, ada 11 warga Pakel yang mendapatkan surat panggilan dari pihak kepolisian, 2 diantaranya ditetapkan menjadi tersangka. Desember 2021, 2 warga Pakel juga kembali mendapatkan surat panggilan dari pihak kepolisian dengan tuduhan telah melakukan dugaan pelanggaran pasal 47 (1) UU 18 nomor 2004 serta pasal 406 (1) KUHP. Tragisnya, pada Jumat dini hari, 14 Januari 2022, warga Pakel mengalami tindak kekerasan oleh aparat kepolisian yang mengakibatkan 4 orang (warga dan tim solidaritas perjuangan) menjadi korban. Hingga kini berbagai upaya tersebut belum menunjukkan titik terang hingga terjadilah insiden pengangkutan paksa ini.


Situasi Dan Kondisi Yang Di Alami Warga Pakel


Dalam investigasi Aliansi Mahasiswa Papua (AMP) melihat bahwa adanya Permasalahan/Konflik Agraria, Dan “perjuangan tanah air leluhur yang tidak akan perna mati, dari generasi ke generasi”, begitu ucap mas (R)salah satu warga tani pakel.  Walaupun Perjuangan panjang tanah pakel membuat mereka di kriminalisasi dan di teror namun warga terus bertahan, sebab tidak ada lagi jalan lain, selain bertahan dan terus melawan setan tanah di atas tanah leluhur desa pakel ini. Petani petani di desa ini,mengalami situasi yang sangat menyayangkan di tenggah banyaknya hiruk pikuk desa ini.

Dalam investigasi yang di lakukan Aliansi Mahasiswa Papua Kk Jember memperlihatkan bagaimana warga pakel yang mengalami ancaman dan kriminalisasi yang dilakukan terhadap warga pakel. Mereka di perhadapakan langsung dengan Tni Porli  Dan  Security serta preman preman bayaran yang ditugaskan untuk melawan warga pakel di perkebunan mereka. Di situasi demikian pula beberapa Tanaman Buah, Jagung, Pohon, Pisang Pisang di babat oleh security dan preman dan warga informen yang di bayar oleh pihak perusahan .

Tahun 2021, 11 orang warga pakel di panggil oleh pihak kepolisian banyuanggi sedangkan pada november 2023, tiga (3) warga pakel di tahan dan vonis penjara. Hingga sampai saat ini, warga dan solidaritas terus mendesak Pt bumi sari,tni porli dan semua pihak yang berwenang untuk segera di bebaskan  tiga petani pakel.

Dalam informasi yang kamidapat Warga tani pakel, yang warga yang berinisial (x) menyatakan “di sini,preman dan beberapa warga yang melawan kita,mereka di bayar 200, hanya 200 saja mereka berdosa terhadap tanah mereka”.


doc.amp kk jember.
foto saat amp jemper tiba di pos petani pakel


 Setiap  preman, satpam dan warga yang di bayar untuk melawan tani pakel dan merusak tanaman tanaman wargapakel, mereka di bayar 200 ribu setiap kali mereka lakukan perlawanan dan perusakan kebun kebun di pakel. Tani pakel juga, Mereka terus di pantau oleh Pt Bumi Sari, Preman, Sicuriti di setiap perkebunan mereka. Desa di warga sini mereka juga sering di tantang perang oleh preman bayaran,dkk.

Akibat Serangan perang, teror dan kriminalisasi dari alat alat yang diunakan Pt Bumi Sari ini yang membuat tani pakel trauma dan takut untuk melakukan tindakan perlawanan, seperti melakukan perlawanan mengunakan alat tajam, mempublikasi info atau berita tentang pakel di media sosial. Karena mereka takut  di panggil dari pihak kepolisian dan takut dikriminalisasi, seperti tani tani lainnya.


Bagun Solidaritas Dan Kekuatan Rakyat Untuk Melawan Setan Tanah di pakel?


Melihat sejarah panjang perjuangan warga pakel terus melawan setan tanah yang masih terus eksis dari generasi ke generasi mendiskriminasi warga dan merampas tanah pakel hingga satu abad ini.

Perjuangan untuk menjaga tanah moyang terus menjadi bagian kebudayaan yang terus dilakukan oleh warga pakel terhadap setan tanah dari generasi ke generasi. Kelas yang berkuasa menindas warga sipil yang tak bekuasa demi mengekploitasi sumber sumber daya alam warga setempat

Untuk itu Aliansi Mahasiswa Papua (AMP) komite kota Jember dan Komite Pusat AMP mendukung warga pakel dan bersolidaritas untuk berjuang melawan setan tanah sebab melihat bahwa perjuangan kelas tertindas harus di dorong, dan galang Solidaritas secara luas Harus di lakukan, perjuangan dan solidaritas  antar kelas tertindas harus di dorong dan di kuatkan untuk merebut  hak hak setiap warga.

Kami melihat perjuagan warga Desa pakel sama hal yang terjadi di beberapa daerah di indonesia, seperti kasus rempang, warga batur, wadas, dan lebih khusus di papua mifee,pt freeport, dan masih banyak lagi perusahan ilegal dipapua serta masih banyak lagi konflik agraria yang mengakibatkan kerusakan hutan, lingkungan, alam dan manusianya. Dan kami melewan sistem yang sama yaitu sistem yang menindas.

Maka dengan melihat perlawanan kami, kapitalisme,militerissme, dan setan tanah serta kemanusian harus di junjung tinggi oleh karena  itu Pembebasan tiap kelas ploretariat dan mahasiswa harus bersatu dan bersolidaritas  untuk melawan demi merebut kembali semua hak hak rakyat tertidas.


Solidaritas Tanpa batas perjuangan sampai menang


Referensi


Aprianto, T. C. (2016). Perjuangan Landreform Masyarakat Perkebunan: Partisipasi Politik, Klaim, dan Konflik Agraria di Jember. Yogyakarta: STPN Press.

Puputan Pakel Commite.(2023). Atas Nama Tanah Pakel

Ghazali, Imam. (2022). Hikayat Tanah Pakel: Dari Blambangan, Perkebunan, Hingga Konflik Agraria di Desa Sumberejo Pakel, 1925-1943. Skripsi Universitas Negeri Yogyakarta.

Li, T. M. (2020). Kisah Dari Kebun Terakhir: Hubungan Kapitalis di Wilayah Adat. Tangerang: Marjin Kiri

Margana, S. (2012). Ujung timur Jawa, 1763-1913: perebutan hegemoni Blambangan. Pustaka Ifada.

Nawiyanto, N. (2012). BERAKHIRNYA FRONTIR PERTANIAN: KAJIAN HISTORIS WILAYAH BESUKI, 1870-1970. Jurnal Masyarakat dan Budaya, 14(1), 77-98.

Shohibuddin, M. (2018). Perspektif agraria kritis: teori, kebijakan, dan kajian empiris. Sajogyo Institute and STPN Press.

Wiradi, G. (2009). Reforma Agraria: Perjalanan yang belum berakhir (rev). Konsorsium Pembaruan Agraria, Sajogyo Institute.


 

,

 

doc.koran kejora


SIKAP ALIANSI MAHASISWA PAPUA KOMITE PUSAT  ( AMP - KP )

TERHADAP PEMILU 2024


Salam Pembebasan Nasional Bangsa West Papua! 


Amolongo, Nimo, Koyao, Koha, Kinaonak, Nare, Yepmum, Dormum, Tabea Mufa, Walak, Foi Moi, Wainambe, Nayaklak Wa…wa…wa…wa…wa…wa..wa..wa..wa..wa!


Lawan Pemilu 2024 - Lawan Militerisme - Hapuskan Kolonialisme - Hancurkan - Kapitalime – Imperialisme – Berikan Hak Menentukan Nasib Sendiri Sebagai Solusi Demokratis Bagi Bangsa West Papua.

Seperti kita ketahui bersama, Pemilihan Umum Serentak akan dilakukan beberapa hari kedepan tepatnya 14 Fabruari 2024. semua pasangan calon dari Presiden, Dewan Perwakiran Rakyat  ( DPR RI, DPRP, DPRD ) sudah dan telah melakukan kampaye politik praktisnya di hadapan masyarakat.

Sebagian kelompok gerakan sosial dan aktivis oportunis melihat momentum pemilihan umum ( Pemilu ) ini sebagai peluang dengan mencemplungkan diri ke salah satu kubu pasangan calon ( Paslon ) bahkan ikut terlibat langsug dalam partai politik praktis yang dikarsai oleh kolonialime indonesia. Mereka berharap bisa memberikan pengaruh dari dalam, dan syukur-syukur bisa membagi - bagi jabatan , jika yang didukungnya menang. 

Prake seperti ini, bukan hal yang baru - baru terjadi di tanah papua, melainkan sejak Indonesia menduduki papua secara paksa ( Aneksasi ) sejak 1 Mei 1963 melalui Penentuan Pendapat Rakyat ( PEPERA ) pada Tahun 1969 yang secara Hukum Internasional praktek tersebut tidak Demokratis.

Praktek pemilu di irian jaya ( Papua ) mulai berlaku 2 Januari 1975 dengan intruksi Mendagri Nomor 2 Tahun 1974, ditengah situasi tersebut, orang papua dipaksa untuk menjalankan aktivtas politik praktis, padahal Hak Politik Orang Papua di gadai untuk kepentingan Imperialisme Amerika Serikat serta sekutunya, bukan hanya itu;  Pembunuhan, Pemerkosaann, Perampasan Tanah, hingga pemberangusan buku - buku sejarah perjuangan papua terus di jalankan oleh militerisme indonesia sejak Presiden Sukarno, Suharto hingga hari ini Jokowi.

Dari semua pencalonan saat ini sudah tentu visi - misi mereka seolah - olah sebagai penyelamat orang papua dari rantai raksasa kolonialisme, hal seperti itu, sudah berulang kali terjadi hingga detik ini.

Sehingga, musti kita perhatikan secara bersama. Siapa orang - orang yang terlibat dalam Pencalonan  Presiden dan Wakil presiden, diantaranya; Anies Baswedan - Muhaimin Iskandar (Cak Imin), Prabowo Subianto - Gibran Rakabuming Raka serta  Ganjar Pranowo - Mahfud Md. Mari kita cek secara bersama, apakah benar niat mereka untuk menyelesaikan persoalan west papua.

Dari ketiga bakal calon, tidak ada satupun niat dalam menyelesaikan persoalan Papua, jika kita melihat dalam debat pesoalan menyelesaikan konflik di tanah papua, dari berbagai bakal calon, anis menyampaikan tidak ada keadilan di tanah papua, Prabowo menyampaikan melakukan penegakan hukum, memperkuat aparat - aparat dan mempercepat pembangunan ekonomi dan Ganjar menyampaikan pentingnya dialog.

Dari ketiga pernyataan diatas sudah tentu, ke - tiga bakal calon presiden dan wakil presiden tidak punya niat baik untuk rakyat papua, tanah papua serta generasi papua. 

Jika dilihat dari latar belakang; prabowo  adalah seorang purnawirawan juga keterlibatan langsung dengan operasi militer di tanah papua diantaranya; operasi Mapenduma 1996 dan Operasi Koteka serta berbagai operasi laiinnya. Sedangkan Anis; selama masa jabatan sebagai gubernur jakarta banyak perampasan lahan, LBH Jakarta mencatat 416 kasus penggusuran. sedangka Ganjar, jelas semasa jabatannya sebagai Gubernur Jawa Tengah pun demikian melakukan perampasan lahan dimana - mana, diantaranya; Wadas, Pegunungan Kendeng dsb.

Bahkan ang ikut terlibat dalam pendukung pasangan calon presiden, semua mempunyai kepentingan disisi lain mereka mempunyai perusahaan - perusahan multi nasional, Anis Baswedan dan Muhaimin, Prabowo dan Gibran Rakabuming Raka, serta Ganjar Pranowo - Mahfud MD. Di balik pasangan Anies-Muhaimin terdapat Surya Paloh, Jusuf Kalla, Muhammad Ali, Rahmat Gobel, Leontinus Alpha Edison, Jan Darmadi, dan Susno Duadji. Di kubu Prabowo-Gibran, terdapat Hashim Djojohadikusumo, Kaesang Pangarep, Roslan Roeslani, Titiek Soeharto, Bahlil Lahadalia, Aburizal Bakrie, Luhut Pandjaitan, Lodewijk Paulus, Garibaldi Thohir, Erick Thohir, Wisnu Wardhana, dan masih banyak lagi.  Belum lagi Prabowo dan Gibran sendiri yang punya banyak perusahaan. Di kubu Ganjar-Mahfud, terdapat Mohammad Arsjad Rasjid, Sandiaga Uno, Puan Maharani, Hary Tanoesoedibjo, Oesman Sapta Odang, Heru Dewanto, Happy Hapsoro, dan Stevano R Adranacus.

Dari semua pendukung, mereka yang paling ngotot melakukan perluasan perusahaan - perusahaan di papua, seperti kita ketahu bersama luhut binsar panjaitan yang secara resmi di ijinkan oleh negara untuk mempercepat pembangunan Blok B Wabu di Intan Jaya.

Bukan hanya itu, berdasarkan regulasi yang disepakati sepihak oleh Bank Dunia Internasional Monetary Fund (  IMF ) - Word Benk ( WB )  di Bali, Pengesahan UU – Minerba, UU – Omnibus Law, G20 ( G20 adalah kelompok yang terdiri 20 negara dengan perekonomian besar di dunia ditambah dengan satu organisasi antarpemerintah dan supranasional yaitu Uni Eropa ), UU – ITE dan UU - KUHP. Semua regulasi yang di SAHKAN merupakan indikator awal dari perampasan lahan yang akan terjadi secara serentak di Tanah West Papua.

Sehingga, disahkan Otonomi Khusus Jilid II serta Daera Otonomi Baru ( DOB ) menjadi suatu keharusan Jokowi untuk mempermudah akses Ekpansi – Eksploitasi Sumber Daya Alam di Papua. 

Jadi, jangan heran, jika kedepan kita akan melawan bengisnya kekejaman militer dipapua, karena memang tujuan utama kehadirannya untuk mengamankan aktivitas ekploitasi sumber daya alam dan itu menjadi visi dan misi bakal calon Presiden dan Wakil Presiden Indonesia.

Untuk itu, Kami mengajak Rakyat Papua tidak untuk ikut terlibat dalam Aktivitas Politik Praktis yang  dilakukan oleh Elit Papua, Elit Jakarta serta tim - tim sukses Bakal Calon Presiden dan Wakil Presiden. Orang papua akan Bahagia di atas tanahnya sendiri, seketika iya menyatakan sikap BOIKOT PEMILU DAN MENUNTUT INDONESIA MELAKUKAN REFERENDUM diatas Tanah West Papua.

Maka dengan itu, kami Aliansi Mahasiswa Papua Komite Nasional ( AMP – KP ) Bersama 14 Komite Kota Aliansi Mahasiswa Papua ( AMP - KK )  menyatakan sikap :

1.Boikot Pemilu 2024 Dan Berikan Hak Menentukan Nasib Sendiri sebagai Solusi Demokratis bagi Bangsa West Papua

2.Negara segera Bertanggung jawab atas Pelaksanaan Pepera yang Tidak Demokratis, cacat hukum dan moral.

3. Buka akses jurnalis seluas-luasnya di West Papua

4.Tarik militer organik dan non-organik dari West Papua

5. Hentikan segala bentuk diskriminasi dan intimidasi terhadap mahasiswa West Papua di Indonesia

6.Bebaskan tahanan politik West Papua tanpa syarat


7.Tutup PT Freeport, BP, LNG Tangguh serta tolak pengembangan Blok Wabu dan eksploitasi PT Antam di Pegunungan Bintang

8.Cabut UU Otonomi Khusus Jilid II dan DOB Di papua

9.Tangkap, adili, dan penjarakan jenderal-jenderal pelanggar HAM

10.Hentikan rasisme dan politik rasial yang dilakukan Pemerintah Republik Indonesia dan TNI-Polri

11.Hentikan operasi militer di Nduga, Intan Jaya, Puncak Jaya, Pegunungan Bintang, Maybrat, dan Seluruh Wilayah West Papua lainnya

2. Cabut Omnibus Law

13.Belanda harus bertanggung jawab untuk menuntaskan proses dekolonisasi West Papua sebagaimana pernah mereka janjikan

14.PBB harus bertanggung jawab serta terlibat aktif secara adil dan demokratis dalam proses menentukan nasib sendiri, pelurusan sejarah, dan penyelesaian pelanggaran HAM yang terjadi terhadap bangsa West Papua

15.Mendesak Pemerintah RI untuk memberikan akses seluas-luasnya kepada Komisi HAM PBB untuk meninjau situasi HAM di West Papua secara langsung

16.Jaminan kebebasan informasi, berekspresi, berorganisasi dan berpendapat bagi bangsa West Papua

17.Stop terror dan intimidasi Mahasiswa papua di bali dan seluruh tanah Papua

18.Mendukung perundigan antara indonesia, pemerintah zelandia baru dan TPNPB OPM yang di mediasi oleh PBB demi menyelesaikan konfilk di west papua.    

    Demikian pernyataan sikap ini. Kami menyerukan kepada seluruh Rakyat Papua untuk Bersatu  BOIKOT PEMILU 2024. Atas perhatian dan dukungan seluruh Rakyat Papua Barat, kami ucap terima kasih. Salam Pembebasan Nasional Papua Barat!


Medan Juang, 

Tanah kolonial, Senin, 12 Februari 2024


   Mengetahui


Ketua Umum AMP – KP

Jheno Alfred Dogomo 


  Sekertis Umum I dan II AMP - KP

Yance Yobee – Rudi Wonda 

Its. Koran kejora



Sikap Terbuka Aliansi Mahasiswa Papua

"Melihat Dinamika Persatuan United Liberation Movment For West Papua  ULMWP "


Perjuangan kita dalam menumbangkan penjajahan Indonesia merupakan perjuangan yang kesekian dari ulungan sejarah perjuangan pembebasan nasional di seluruh dunia. Catatan sejarah menunjukkan bahwa tuntutan pembebasan nasional merupakan kesimpulan progresif yang muncul sebagai muara dari tiap tuntutan-tuntutan demokratik yang mengalir terpisah-pisah dan beragam. 

Kolonialisme menciptakan berbagai macam persoalan muncul di tengah-tengah rakyat. Dan penindasan melahirkan perlawanan sebagai respon terhadapnya perjajahan. Perlawanan timbul dalam berbagai macam bentuk individu maupun kelompok dan organisasi serta isu dan permikiran yang berbeda-beda. Masyarakat adat tentu memiliki psikologi dan tuntutan yang berbeda dengan para pengungsi; petani memiliki psikologi dan tuntutan yang berbeda dengan mahasiswa; begitupun perempuan, nelayan, dan kelompok agama. 

Dan front persatuan mesti berdiri diposisi sentral dalam merangkul kehendak untuk melawan yang timbul di Tengah massa rakyat. Front persatuan mestinya memainkan peran penyatuan kekuatan-kekuatan lokal yang terpisah-pisah dan memajukannya menjadi kekuatan nasional. Inilah yang menjadi penting ketika berbicara mengenai persatuan nasional. 

Persatuan nasional selalu menjadi kekuatan yang paling ditakuti oleh penjajah. Di manapun persatuan nasional selalu mampu menjadi kekuatan dashyat dan meruntuhkan tembok kolonialisme yang menindas dan menghalau kemajuan bangsa yang tertindas. 

Di Vietnam, lahir persatuan nasional bernama VIETMINH “Viet-nam Doc-Lap Dong Minh atau Persatuan Pergerakan Kemerdekaan Vietnam” wadah yang melandaskan persatuannya pada ‘keinginan bersama untuk merdeka’. Front nasional yang merangkul berbagai elemen pergerakan dengan program-program yang berwatak nasional. Begitu pula CNRT (Conselho Nacional de Resistencia Timorense) di Timor Leste yang didirikan atas perbedaan mencolok antara Fretilin dan UDT (Uniao Democratica Timorense). Menganggap wadah nasional dan perjuangan kemerdekaan merupakan upaya dan kebutuhan seluruh elemen yang mengalami penindasan dan ingin bebas dari kolonialisme Indonesia. 

Rakyat Papua yang awam pun akan mengatakan bahwa, tugas mendesak untuk mewujudkan ide tentang Rakyat Papua yang Merdeka adalah membangun persatuan nasional yang kokoh, bukan mencari presiden. Persatuan nasional yang mampu membawa seluruh aspirasi, tuntutan, dan perlawanan atas perampasan tanah adat, pembunuhan, pemerkosaan, pengrusakan lingkungan, marjinalisasi, kemiskinan, dan pemusnahan. Persatuan yang mampu menggalang keterlibatan langsung rakyat sebagai objek yang mengalami penindasan secara berdiri sebagai subjek yang berhadapan dengan penindasan. 

Rakyat Papua pun memiliki sejarah persatuan nasional, sejak terbentuknya Komite Nasional Papua (KNP), panitia persiapan kemerdekaan West Papua 1960-an hingga saat ini. Salah satu pengalaman terindah dalam sejarah persatuan nasional bagi bangsa Papua adalah persatuan yang lahir di bawah payung Presidium Dewan Papua (PDP). 

Persatuan tersebut menjadi lebih riwayat yang masih dikenang hingga hari ini. Persatuan di bawah PDP adalah persatuan yang menakutkan bagi Indonesia, sebab ia mampu mendorong partisipasi rakyat secara langsung. Selain lahir sebagai jawaban dari berbagai tuntutan, mobilisasi, dan aksi massa yang dimulai sejak 1997. Dan keberhasilannya melahirkan kepemimpinan yang lahir dari kongres, menasional, dan terutama diakui oleh semua pihak. 

Walaupun kurangnya kedisiplinan secara organisasional membuat front ini mudah disabotase oleh elit birokrasi tidak memiliki keberanian dan oportunis, yang menurut Filep Karma, menyingkirkan TPN/OPM yang berhadapan langsung dengan kolonial Indonesia. 

Persatuan nasional yang demikian hilang bersama pembunuhan Theiys Eluay. Persatuan-persatuan selanjutnya yang dibangun tidak mampu menjadi jawaban atas kerinduan Rakyat Papua akan persatuan nasional. Wadah persatuan secara umum gagap dalam menjadikan dirinya sebagai pusat kekuatan perlawanan secara nasional. Persatuan yang dibangun justru terpisah dari massa yang mengalami dan melawan penindasan secara langsung. 

Persatuan nasional yang terbangun juga seringkali tidak berpatokan pada aspirasi dan kebutuhan mendesak rakyat; mengabaikan aspirasi dari bawah dalam mengambil keputusan; dan justru kehendak dari luar yang sebenarnya tidak memahami situasi di tanah air. Pemimpin yang lahir justru tidak menunjukkan karakter pemersatu dan memperlihatkan watak mendominasi, ingin menguasai dan ambisius.

Hingga persatuan paling baru ULMWP yang terbentuk tahun 2014. front persatuan nasional yang bersifat koordinatif dan dibentuk di atas 3 lembaga persatuan yang kemudian disebut faksi WPNCL, NRFPB hasil Kongres Rakyat Papua III, dan PNWP. ULMWP muncul sebagai jawaban dari persoalan persatuan-persatuan yang belum mampu tampil sebagai alternatif merangkul tuntutan-tuntutan demokratik Rakyat Papua.

Seiring berjalannya waktu, kepemimpinan dalam ULMWP masih belum sembuh dari penyakit lama yang menghambat persatuan tumbuh dan mengerdilkan ULMWP yang seharusnya menjadi wadah pemusatan kekuatan. ULMWP menjauhkan diri dari massa dan tidak berkiblat pada kebutuhan-kebutuhan mendesak perjuangan di dalam negeri. Barangkali akibat masih remaja dalam bidang politik, para pemimpin menganggap elemen-elemen gerakan yang terlibat di dalam front persatuan sama seperti organisasi paguyuban daerah tidak memiliki stratak perjuangan dan pandangan politik. Dan menuntut setiap elemen perlawanan harus mengikuti semua keputusan tanpa ada ruang untuk bertanya. Padahal front persatuan mestinya dibangun di atas kesepakatan politik, bukan pemaksaan politik.

Model pemaksaan politik dan ingin menguasai tersebut berangkat dari watak anti demokrasi. Perbedaan pandangan tidak selesai melalui mekanisme yang demokratis. Perbedaan pandangan antara menjawab tugas mendesak di dalam negeri dan memenuhi persyaratan dari luar negeri memuncak hingga KTT I digelar tahun 2017. Alih-alih menuntaskan persoalan, persatuan justru menjadi lebih birokratis dengan mengubah ULMWP dari wadah koordinatif menjadi semi negara dengan system trias politika. Di lain sisi, ruang demokrasi semakin dipersempit bagi elemen gerakan yang tidak berafiliasi dengan faksi, seperti AMP dan Gempar yang memilih independent non-faksi saat itu. Hal tersebut tentu saja memicu perpecahan, yang ditandai dengan mundurnya KNPB dari faksi PNWP. 

Persatuan mulai pecah berkeping-keping mulai dari internal faksi-faksi sampai di luar, ketika ULMWP tanpa melibatkan seluruh elemen perjuangan melahirkan Undang-Undang Dasar Sementara (UUDS) dan mendeklarasikan Pemerintahan Sementara di Inggris oleh Benny Wenda sebagai Presiden. Watak kepemimpinan yang ambisius, elitis, dan anti demokrasi memukul mundur ULMWP yang semestinya menasional, menjadi seperti organisasi lokal yang sectarian dan bingung di Tengah badai penjajahan. ULMWP menjadi tidak mampu menjangkau berbagai aksi penindasan, operasi militer, pengungsi, dan perlawanan rakyat Masyarakat adat, pengungsi, pengrusakan lingkungan, otonomi khusus jilid 2, dan pemekaran daerah otonomi baru yang terjadi di tanah air. Persatuan nasional yang rusak turut melemahkan teriakan perlawanan rakyat.

KTT II yang berlangsung beberapa waktu lalu pun sama sekali tidak menjawab persoalan yang semestinya dituntaskan, yakni mengembalikan ULMWP menjadi wadah koordinatif.

Melihat dinamika persatuan yang demikian, sebagai otokritik maupun evaluasi kita mesti menjawab pertanyaan tentang apa yang menjadi titik tolak atau landasan dari persatuan yang ingin kita bangun? Apa tujuan dari persatuan kita atau untuk apa kita Bersatu? Dan bagaimana persatuan itu diperkuat dengan menerima berbagai macam pandangan yang berbeda dari setiap elemen perlawana? Singkatnya persatuan seperti apa yang kita butuhkan? Tanpa menjawab pertanyaan ini, kita akan seperti kapas yang tidak memiliki bobot dan mudah terombang-ambing dihantam badai kolonial seperti yang terjadi beberapa tahun belakangan.

Bagi kami persatuan nasional merupakan penyatuan kekuatan yang terpisah-pisah dari berbagai tuntutan demokratik yang beragam yang timbul sebagai respon perlawanan terhadap penjajahan. Dan front persatuan nasional memiliki fungsi untuk memajukannya melalui program-program politik yang mampu mendorong maju lahirnya sebuah kebudayaan nasional. Menghapus batasan-batasan lokal: suku, agama, ras, wilayah yang dibangun colonial melalui program pemekaran dalam rangka menghambat materialisasi dari ide tentang Bangsa Papua.

Persatuan nasional yang kuat adalah persatuan yang berangkat dari bawah, berangkat dari kehendak dan partisipasi langsung dari massa rakyat, bukan hanya sebagai massa dalam demonstrasi, namum ikut bersama menyelesaikan tugas-tugas programatik. Rakyat Papua adalah rakyat pejuang, yang mengerti arti sejati dari pengorbanan demi pembebasan nasional. Front nasional mesti mampu menyediakan ruang bagi setiap individu maupun kelompok tanpa membedakan suku, kampung, ras, dan agama, menyatukan diri sebagai bagian dari sebuah bangsa yang ingin bebas dari kolonialisme Indonesia.

Sehingga, bagi kami hal mendesak hari ini yang penting diperbaiki dari wadaah persatuan yang sudah kita bangun adalah: 1) ULMWP harus menjadi wadah koordinatif. 2) ULMWP mesti bersandar pada kehendak dan tuntutan-tuntutan massa di dalam negeri. 3) ULMWP harus menjadi wadah mobilisasi berbagai elemen pergerakan, isu, maupun ideologi. 4) ULMWP harus menjadi wadah koordinatif yang demokratis, serta memberikan kebebasan bagi siapapun berbicara.

Kami juga mempertegas posisi organisasi bahwa; 1) Menolak Trias politika dan tetap mendorong ULMWP sebagai wadah koordinatif sebagai hal prinsip dalam persatuan 2) Berada diluar ULMWP dan tidak terjebak dalam kepentingan faksional. 3) jika tuntutan kami tidak di dengar kami siap membangun Alternatif persatuan yang lebih demokratis dan merakyat.

Persatuan nasional merupakan hal penting dan mendesak yang harus dipikirkan, didiskusikan, diperdebatkan, dan dikerjakan oleh semua elemen. Kita semua membutuhkan persatuan. Kita harus Bersatu, tapi tidak membuntut pada persatuan yang keliru. 

Demikan Sikap terbuka Aliansi Mahasiwa Papua ini kami buat atas dukungan dan kerja samanya, kami ucapkan banyak terima kasih.

                 

Tanah kolonial, 09 November 2023


Komite Pusat Aliansi Mahasiswa Papua


Ketua Umum                                                                      Sekretaris I & II

Jeeno Alfred Dogomo         Yance Yobee, Rudi Wonda 



Its. Koran kejora.
Himbauan umum Persiapan Menuju 1 Desember 2023


 Himbauan Umum


Kepada Kawan di medan perjuangan, kepada kawan yang Peduli kemanusian, kepada semua kawan solidritas


"PERSIAPKAN DIRI MENUJU 1 DESEMBER 1961 - 2023"


1 Desember merupakan hari kemerdekaan bangsa west papua yang dideklarasikan oleh para pejuang terdidik papua tepatnya pada tanggal 1 desember 1961. Deklarasi kemerdekaan ini resmi secara de vakto dan jure. Hal ini merupakan manifestasi murni dari nasionalisme bangsa papua yang Merdeka dan berdaulat diatas tanah sendiri seperti negara bangsa lainnya di dunia. 


Namun sayang, ambisi dan kerakusan demi kepentingan ekonomi politik Indonesia,belanda dan amerika serikat menghancurkan embrio bangsa papua yang baru saja berumur 19 hari tersebut melalui Operasi Tri Komando Rakyat (TRIKORA).

Proses illegal yang menghancurkan nilai-nilai kemanusiaan dan hak politik bangsa papua ini kemudian diaminkan dengan berbagai macam operasi militer (Operasi militer untuk memaksa Papua berintegarasi ke dalam Indonesia tahun 1961, Operasi militer pengamanan pepera 1969, operasi militer sesudah pepera). Selain operasi militer Perjanjian-perjanjian (newyork agreement, rome agreement) juga dilaksanakan secara illegal tanpa ada keterlibatan orang papua. Padahal Dalam perjanjian tersebut membahas Nasib Hidup masa depang tanah dan manusia papua. 


Dari penjelasan singkat diatas kita bisa melihat bagaimana Indonesia, Amerika, dan belanda Menghancurkan papua demi kepentingan politik kekuasaan dan eksplotasi sumberdaya alam papua.


60 tahun lebih papua Bersama Indonesia apakah situasinya semakin membaik  ?. 


Paket kebijakan otonomi khusus jilid I dan II serta pemekaran DOB dibuat dan dipaksakan dengan dalil Pembangunan dan kesejahteraan. Namun apa yang terjadi Akhir-akhir ini situasi di papua semakin memburuk. Beberapa hari lalu 23 orang meninggal di yahukimo karena kelaparan, Masyarakat suku awyu yang berjuang melawan raksasa kelapa sawit, rencana eksploitasi minyak dan gas di Timika, rencana eksplotasi blok wabu, penangkapan dan kriminalisasi viktor yeimo, haris dan vatia, serta aktivis kemanusiaan lainnya serta masalah pengungsian yang terjadi di nduga, intan jaya, puncak papua, maybrat, pegunungan Bintang, dan daerah papua lainnya. Hal ini menunjukan menunjukan bahwa tidak ada masa depan bagi manusia dan tanah papua selama masih berada Bersama negara kolonial Indonesia. 

Satu-satunya alternatif agar menyelesaikan semua masalah di papua adalah dengan merebut kembali kemerdekaan bangsa papua, karena hanya dengan Merdeka kita dapat hidup lebih baik terlepas dari tekanan militer Indonesia dan segala bentuk eksploitasi sumberdaya alam serta menentukan masa depan yang lebih baik bagi anak cucu kita.


Bagaimana caranya untuk merebut kembali kemerdekaan  ?. 


Sejarah telah membuktikan tidak penah negara colonial memberikan kemerdekaan secara Cuma-Cuma.kemerdekaan itu harus direbut melalui perlawanan (aksi, diskusi, konsolidasi, membaca, menulis) merupakan alternatif untuk membangun kesadaran Bersama melalui organisasi revolusioner menciptakan kader mewujudkan persatuan demokratis Bersama seluruh elemen rakyat tertidas di papua, di Indonesia dan di seluruh dunia. 


Maka dari itu menuju 1 desember 2023 memperingati 62 tahun kemerdekaan bangsa papua semakin dekat, rakyat papua di papua, di indoneisa maupun diluar negeri akan memeperingati dan menuntut kembali kemerdekaan tersebut. Persiapkan ko pu diri, libatkan ko pu diri Bersama barisan perlawanan karena Sejarah adalah pengalaman, hari ini adalah penentu bagi masa depan papua yang lebih baik. 


Editor: Admin

 

Its. Koran kejora


PERNYATAAN SIKAP

ALIANSI MAHASISWA PAPUA [AMP] 


Salam Pembebasan Nasional Papua Barat!

Nimo, Koyao, Koha, Kosa, Dormum, Foi-Moi, Tabea mufa, Nayaklak, Nare, Yepmum, Walak,  Wainambe, Amakanie, Amolongo,  Kinaonak, Wiwao, Wa...wa...wa...wa…


"61 Tahun Roma Agreement: Tidak Demokratis Dan Ilegal di West Papua"


Perjanjian Roma/Roma Agrement diadakan di Roma, Ibu Kota Italia pada 30 September 1962 setelah Perjanjian New York/New York Agreement pada 15 Agustus 1962. Kedua perjanjian tersebut dilakukan tanpa keterlibatan satupun wakil dari rakyat Papua pada hal perjanjian itu berkaitan dengan keberlangsungan hidup rakyat Papua. Berikut isi Perjanjian Roma (Roma Agreement).

Perjanjian Roma yang ditandatangani oleh Indonesia, Belanda dan Amerika Serikat merupakan perjanjian yang sangat kontroversial dengan 29 pasal yang mengatur dalam perjanjian New York, yang mengatur 3 macam hal, dimana pasal 14-21 mengatur tentang Penentuan Nasib Sendiri (Self Determination) yang didasarkan pada praktek Internasional yaitu satu orang satu suara (One Man One Vote). Dan pasal 12 dan 13 yang mengatur transfer Administrasi dari Badan Pemerintahan Sementara PBB UNTEA kepada Indonesia.

Sehingga, berdasarkan perjanjian tersebut, klaim Indonesia atas tanah Papua sudah dilakukan pasca penyerahan kekuasan Wilayah Papua Barat dari tangan Belanda kepada Indonesia melalui Badan Pemerintahan Sementara PBB UNTEA pada 1 Mei 1963. Selanjutnya Indonesia malah melakukan pengkondisian wilayah melalui operasi militer dan penumpasan gerakan prokemerdekaan rakyat Papua. Lebih ironis, sebelum proses penentuan nasib dilakukan, tepat 7 April 1967 Freeport perusahaan pertambangan milik negara imperialis Amerika telah menandatangani Kontrak Pertamannya dengan pemerintah Indonesia.

Klaim atas wilayah Papua sudah dilakukan oleh Indonesia dengan kontrak pertama Freeport dua tahun sebelum Penentuan Pendapat Rakyat (PEPERA). Sehingga, dari 809.337 orang Papua yang memiliki hak suara, hanya diwakili 1025 orang yang sebelumnya sudah dikarantina dan cuma 175 orang yang memberikan pendapat. Musyawarah untuk Mufakat melegitimasi Indonesia untuk melaksanakan PEPERA yang tidak demokratis, penuh teror, intimidasi dan manipulasi serta adanya pelanggaran HAM berat.

 teror, intimidasi, penahanan, penembakan bahkan pembunuhan terhadap rakyat Papua terus terjadi hingga dewasa ini diera reformasi-nya Indonesia. Hak Asasi Rakyat Papua tidak ada nilainya bagi Indonesia. Sebelum dan sesudah PEPERA yang ilegal di lakukan ada pun, DOM (Daerah Operasi Militer) di lakukan di seluruh tanah Papua, dari tujuan-nya Indonesia mengkoloni Papua Barat sebagai daerah jajahan sampai Saat ini dengan militeristik dan system yang ganas.

Hak atas dasar perjuangan Rakyat Papua Barat dan penentuan nasib sendiri adalah bagian dari kemenangan rakyat Papua Barat. Sejak 1 Desember 1961, Papua Barat adalah kebangsaan secara konstitusional yang dimenangkan oleh rakyat Papua Barat sendiri. Namun, ketika tepat pada 19 Desember 1961, lahirlah Tri Komando Rakyat [TRIKORA] dengan tuntutan untuk mengklaim hak kemenangan kebangsaan Papua Barat dan lahirnya perjanjian-perjanjian yang di atur sepihak mengenai status Papua Barat. Perjanjian tersebut dilakukan oleh Belanda, Amerika Serikat, dan Indonesia serta PBB tanpa keterlibatan rakyat Papua Barat sendiri.

Salah satu perjanjiannya adalah penandatanganan Perjanjian New York (New York Agreement) antara Belanda, Indonesia, dan Amerika Serikat sebagai penengah terkait sengketa wilayah West New Guinea (Papua Barat) pada tanggal 15 Agustus 1962, yang dilakukan tanpa keterlibatan satu pun wakil dari rakyat Papua Barat. Padahal perjanjian itu berkaitan dengan keberlangsungan hidup rakyat Papua Barat sebagai bangsa yang telah Merdeka.

Perjanjian ini mengatur masa depan wilayah Papua Barat yang terdiri dari 29 Pasal yang mengatur 3 macam hal, dimana pasal 14-21 mengatur tentang Penentuan Nasib Sendiri (Self Determination) yang didasarkan pada praktek hukum Internasional, yaitu satu orang satu suara (One Man One Vote). Pasal 12 dan 13 mengatur transfer administrasi dari Badan Pemerintahan Sementara PBB (UNTEA) kepada Indonesia.

Setelah transfer administrasi atau aneksasi yang dilakukan pada 1 Mei 1963 atas Papua Barat, Indonesia mendapat tanggung jawab untuk mempersiapkan pelaksanaan penentuan nasib sendiri dan pembangunan di Papua selama 25 tahun.

Namun ternyata, Indonesia tidak menjalankan kesepakatan sesuai dalam Perjanjian New York. Indonesia malah melakukan pengkondisian wilayah melalui berbagai operasi militer dan penumpasan gerakan kemerdekaan rakyat Papua Barat. Dengan itu, sebelum proses penentuan nasib dilakukan pada tahun 1969 PEPERA (Penentuan Pendapat Rakyat), tepat 7 April 1967, Freeport, perusahaan pertambangan milik negara imperialis Amerika Serikat telah menandatangani Kontrak Karya Pertamanya dengan pemerintah Indonesia secara ilegal.

Klaim atas wilayah Papua Barat sudah dilakukan oleh kolonial Indonesia dengan kontrak pertama Freeport dua tahun sebelum PEPERA. Sehingga dari 809.337 rakyat Papua Barat yang memiliki hak suara, hanya 1025 orang yang sebelumnya sudah dikarantina dan cuma 175 orang yang memberikan pendapat. Secara sistematis, Kolonial Indonesia melakukan dua musyawarah yang tidak memiliki ketentuan hukum Internasional, yang mana harus “Satu orang satu suara” (One Man One Vote), yang telah diatur juga dalam New York Agreement secara hukum Internasional. Musyawarah untuk Mufakat melegitimasi Indonesia untuk melaksanakan PEPERA yang tidak demokratis, penuh teror, intimidasi dan manipulasi serta adanya pelanggaran HAM berat selama PEPERA berlangsung adalah bentuk tidak demokratisnya Indonesia. Sehingga, hasil manipulasi kolonial Indonesia atas Papua Barat sudah diatur dalam Resolusi PBB No. 2504 (XXIV) pada November 1969, dengan alasan kolonial Indonesia telah merebut dan merekayasa hasil PEPERA yang tidak demokratis dalam resolusi yang ilegal.

Kini memasuki 61 tahun sejak penandatanganan Roma  Agreement yang ilegal tersebut. Rakyat bangsa papua di perhadapkan dengan Situasi hari ini yang semakin Parah dengan berbagai macam regulasi yang pro borjuis dan kapitalis yang disahkan dalam beberapa tahun terakhir. Seperti Omnibuslaw, Minerba, ITE, KUHP, & Otsus Jilid II serta DOB yag semakin mencekik kehidupan masyarakat Indonesia secara umum dan rakyat papua secara khusus. Implementasi dari berbagai macam regulasi ini maka pembungkaman ruang demokrasi semakin massif terjadi, kriminalisasi dan penangkapan terhadap masyarakat maupun aktivis dan pembela HAM, Eksploitasi sumberdaya alam secara massif dan berkelanjutan tanpa memperdulikan nasib masadepan masyarakat, pengiriman dan operasi militer yang terus dilakukan ke papua guna mengamankan segala kepentingan Negara kolonial Indonesia dan tuannya kapitalis.

Keadaan dari manipulasi sejarah gerakan Rakyat Papua Barat dan Masifnya penjajahan oleh Kolonial Indonesia masih terus berlangsung dan semakin kritis hingga hari ini, dengan rakyat papua sebagai korbannya. Hanya dengan Menentuan Nasib Sendiri rakyat bangsa papua barat dapat terlepas dari segala belenggu penindasan.

Maka, dalam rangka peringatan 61Tahun Perjanjian Roma  (Roma Agreement) yang Ilegal, Aliansi Mahasiswa Papua [AMP] menyatakan sikap kami kepada Rezim Jokowi-Maaruf, Belanda, Amerika Serikat dan PBB untuk segera:

1. Memberikan Kebebasan dan Hak Menentukan Nasib Sendiri sebagai Solusi Demokratis bagi Rakyat West Papua.

2. Mengakui bahwa Roma Agreement 30 September 1962 merupakan kesepakatan yang tidak sah secara yuridis maupun moral tanpa keterlibatan wakil satu pun Rakyat Papua Barat.

3. Tarik Militer (TNI-Polri) Organik dan Non-Organik dari Seluruh Tanah Papua Barat.

4. Tutup Freeport, BP, LNG Tangguh, MNC, MIFEE, dan seluruh perusahaan asing lainnya, yang merupakan dalang kejahatan kemanusiaan di atas Tanah Papua Barat.

5. PBB harus bertanggung jawab serta terlibat aktif secara adil dan demokratis dalam proses penentuan nasib sendiri, pelurusan sejarah, dan pelanggaran HAM yang terjadi terhadap bangsa West Papua.

6. Buka Ruang Demokrasi seluas-luasnya dan berikan Kebebasan bagi Jurnalis Nasional, Internasional meliput dan mengakses informasi di Papua Barat.

7. Cabut dan Tolak Otsus Jilid II, DOB, Omnibuslaw, KUHP, ITE, Minerba, dan seluruh regulasi produk Kolonial Indonesia di west papua.


Demikian pernyataan sikap ini dibuat, atas dukungan, pastisipasi, kerjasama dan solidaritas dari semua pihak, kami ucapkan banyak terima kasih.


Medan juang

Tanah Kolonial, 30 September  2023


 

Its. Google. Im Not Monkey



Pernyataan Sikap 

Aliansi Mahasiswa Mahasiswa papua

Salam Pembebasan Nasional Bangsa West Papua!


Amolongo, Nimo, Koyao, Koha, Kinaonak, Nare, Yepmum, Dormum, Tabea Mufa, Walak, Foi Moi, Wainambe, Nayaklak

Wa…wa…wa…wa…wa…wa..wa..wa..wa..wa!


“04 TAHUN HARI DISKRIMINASI RASISME TERHADAP BANGSA WEST PAPUA dan BERIKAN HAK MENETUKAN NASIP SENDIRI BAGI BANGSA WEST PAPUA.”


Cikal bakal dari kerusuhan demonstrasi anti rasisme tersebut adalah pengepungan asrama mahasiswa Papua di Surabaya yang dilakukan oleh sekelompok personal Tentara Nasional Indonesia (TNI) pada 16 Agustus 2019. Asal muasalnya adalah kemarahan personel TNI karena melihat ada bendera merah putih yang dipasang pemerintah Kota Surabaya jatuh di selokan. Asrama mahasiswa Papua ini kemudian dikepung dan secara bergantian Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) dan Ormas berdatangan dengan meneriakkan makian rasis dan melempari asrama dengan batu. Pasukan Brigade Mobil kemudian datang menembaki gas air mata ke arah asrama mahasiswa sebanyak 23 kali dan kemudian menangkap secara paksa 43 mahasiswa Papua di asrama tersebut. Kisah selanjutnya adalah kerusuhan yang terjadi di berbagai kota besar di tanah Papua seperti Manokwari, Jayapura, Sorong, Nabire, Timika, hingga Fakfak. 

Tersangka kasus ujaran rasisme di Surabaya memang sudah ditetapkan tapi lambat laun tidak terdengar lagi di publik kelanjutan kasusnya. Sunyi, senyap. Yang justru terus mengemuka dan menjadi perbincangan publik di Papua dan internasional adalah dugaan makar yang disangkakan kepada Victor Yeimo. Selain kelabakan serta kegagapan negara dalam merespon pengepungan asrama dan ujaran rasisme yang kemudian berdampak terhadap aksi demonstrasi anti rasisme berujung kerusuhan tersebut, dibalik kegagapan itu semua adalah langgengnya tatapan kolonial (colonial gaze) negara dan warga negaranya terhadap orang Papua. Hal itu diterjemahkan dengan berlangsungnya ujaran rasisme sebagai naluri negara dan ditransmisikan kepada warga negaranya dalam memandang orang asli Papua. Seperti yang sering kita dengar dalam berbagai kesaksian bahwa rasisme adalah permasalahan “hari-hari”  orang asli Papua.

Diskriminasi rasial yang terjadi ke orang papua sudah terjadi dari awal Papua masih menjadi bagian dari wilayah administrasi Belanda. Pada saat New York Agreement 15 Agustus 1962, bangsa West  Papua masih dipandang rasis sebagai kaum yang belum bisa menentukan hak hidupnya sendiri sebagai sebuah bangsa yang berhak merdeka sehingga Belanda, Amerika dan Indonesia membuat kesepakatan atas hak dan masa depan bangsa Papua. Dari perjanjian tersebut, tahun 1963 Papua di ”paksa” masuk sebagai bagian dari wilayah jajahan Indonesia. Proses yang ilegal, diskriminatif dan tidak demokratis ini terbukti di tahun 1969 ketika PEPERA (Penentuan Pendapat Rakyat) papua di lakukan. Dari 800.000 ribu jiwa penduduk asli papua, hanya 1.025 laki-laki dan perempuan Papua yang menyatakan sepakat dibawah pengaruh militer Indonesia. Ditahun 2016 pun kasus rasisme di Yogyakarta diawali dengan ujaran rasis,” woe,celeng, asu, monyet”. Sampai statement rasis dari Sultan Hamengku Buwono X yang melarang tanahnya dipakai untuk melakukan Aktifitas Separatis dan Makar yang mengakibatkan ribuan mahasiswa Papua melakukan Exodus ke Papua. Jika dilihat lebih jauh, bangsa Indonesia pun dulu mengalami dikriminasi rasial ketika dijajah belanda dengan memberikan label masyarakat ”pribumi”. 

Konstruksi tentang stigma makar, secara khusus terhadap orang Papua, berakar pada bangunan pengetahuan yang diskriminatif terhadap kebudayaan orang Papua. Hal ini diperparah dengan praktik di lapangan menghadapi aneka ekspresi orang Papua yang penuh dengan kekerasan. Konstruksi kebudayaan tersebut melahirkan perlakuan yang tidak manusiawi karena kesadaran bahwa ada kasta dalam kebudayaan, ada kebudayaan atau harkat dan martabat manusia yang lebih tinggi dibandingkan manusia yang lain. Ini berlangsung secara sadar atau tidak, diakui atau tidak telah masuk dalam cara berpikir dan bertingkah laku di negara ini terhadap orang Papua. Pandangan Indonesia terhadap orang Papua tidak bisa lepas dari corak rezim kolonial yang merancang serta menentukan realitas Papua. Pada sisi lain, orang Papua sendiri tidak memiliki daya dan kuasa untuk merepresentasikan dirinya. Orang Papua dikonstruksikan tidak memiliki sejarah dan pengetahuan, tidak dianggap ada. Hal itulah yang menjadi agenda terburuk rezim kolonial, yaitu dehumanisasi subyek yang dijajah dan pemisahannya dengan sejarah, identitas, pengetahuan, dan kedaulatan atau kendali atas diri dan masa depannya.Hal ini semakin menunjukkan bahwa rezim kolonial mengontrol dan mengeksploitasi segala sesuatu yang berkaitan dengan manusia dan sumber daya alam bangsa yang dijajahnya.

Pada tanggal 21 Desember 1965, Majelis Umum PBB mengesahkan Konvensi Internasional tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Rasial (Convention on the Elimination of All Forms of Racial Discrimination/CERD). Dengan disahkannya konvensi ini, maka konvensi ini menjadi memiliki kekuatan hukum kepada negara anggota yang menandatangani konvensi ini. Pemerintah Republik Indonesia telah menandatangani konvensi ini pada tanggal 25 Mei 1999. Sebagai tindak lanjut dari diratifikasi nya CERD, maka Pemerintah Indonesia mengeluarkan Undang-undang No. 40 Tahun 2008 tentang Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis yang isinya mendukung segala bentuk penghapusan diskriminasi ras dan etnis. Dalam pasal 7a dan pasal 7c telah diberikan tanggung jawab pemerintah adalah memberikan perlindungan terhadap warga negara yang mendapatkan tindakan diskriminasi dan mendukung dan mendorong penghapusan diskriminasi ras dan etnis. 

Sekalipun Indonesia menjadi salah satu negara berkembang yang sudah meratifikasi masalah diskriminasi rasial, dan penghapusan praktek terhadap etnis dan kelompok minoritas. Namun pada kenyataannya di Negara Kesatuan Republik Indonesia, praktik perlakuan Rasisme masih terus tumbuh subur. Dan yang sangat disayangkan lagi, praktik Rasialisme ini sering dilakukan oleh para Oknum" yang bekerja sebagai Penegak Hukum di Institusi-institusi Penegakan Hukum (TNI-POLRI). 

Maka, dalam rangka peringatan 04 tahun hari diskrimansi rasial , Aliansi Mahasiswa Papua [AMP] menuntut negara kolonial Indonesia untuk segera:

1. Berikan Kebebasan dan Hak Menentukan Nasib Sendiri sebagai Solusi Demokratis bagi Rakyat West Papua.

2. Mengakui bahwa New York Agreement 15 Agustus 1962 merupakan kesepakatan yang tidak sah secara yuridis maupun moral tanpa keterlibatan wakil satu pun Rakyat Papua Barat.

3. Tarik Militer (TNI-Polri) Organik dan Non-Organik dari Seluruh Tanah Papua Barat.

4. Tutup Freeport, BP, LNG Tangguh, MNC, MIFEE, dan seluruh perusahaan asing lainnya, yang merupakan dalang kejahatan kemanusiaan di atas Tanah Papua Barat.

5. PBB harus bertanggung jawab serta terlibat aktif secara adil dan demokratis dalam proses penentuan nasib sendiri, pelurusan sejarah, dan pelanggaran HAM yang terjadi terhadap bangsa West Papua.

6. Buka Ruang Demokrasi seluas-luasnya dan berikan Kebebasan bagi Jurnalis Nasional, Internasional meliput dan mengakses informasi di Papua Barat.

7. Cabut dan Tolak Otsus Jilid II, DOB, Omnibuslaw, KUHP, ITE, Minerba, dan seluruh regulasi produk Kolonial Indonesia di west papua

8. Tangkap, adili, dan penjarakan jenderal-jenderal pelanggar HAM

9. Hentikan rasisme dan politik rasial yang dilakukan Pemerintah Republik Indonesia dan TNI-Polri

10. Hentikan operasi militer di Nduga, Intan Jaya, Puncak Jaya, Pegunungan Bintang, Maybrat, dan

11. Seluruh Wilayah West Papua lainnya

13. Belanda harus bertanggung jawab untuk menuntaskan proses dekolonisasi West Papua sebagaimana pernah mereka janjikan

12. PBB harus bertanggung jawab serta terlibat aktif secara adil dan demokratis dalam proses menentukan nasib sendiri, pelurusan sejarah, 

13. dan penyelesaian pelanggaran HAM yang terjadi terhadap bangsa West Papua

14. Mendesak Pemerintah RI untuk memberikan akses seluas-luasnya kepada Komisi HAM PBB untuk meninjau situasi HAM di West Papua secara langsung

15. Jaminan kebebasan informasi, berekspresi, berorganisasi dan berpendapat bagi bangsa West Papua

16. Stop terror dan intimidasi Mahasiswa papua di bali dan seluruh tanah Papua

17. Mendukung perundigan antara indonesia, pemerintah zelandia baru dan TPNPB OPM yang di mediasioleh PBB demi menyelesaikan konfilk di west papua


Demikian pernyataan sikap ini. Kami menyerukan kepada seluruh Rakyat Papua untuk bersatu dan berjuang demi merebut cita-cita Pembebasan Sejati Rakyat dan Bangsa Papua Barat. Atas perhatian dan dukungan seluruh Rakyat Papua Barat, kami ucap terima kasih. Salam Pembebasan Nasional Papua Barat!


Medan Juang, 

Tanah kolonial, Jumat, 16 agustus  2023



Komentar Anda

[disqus][facebook]
Gambar tema oleh duncan1890. Diberdayakan oleh Blogger.
Koran Kejora View My Stats