Halloween party ideas 2015

 



Oleh: R Wonda


Otsus dibuat menjadi usaha mandiri yang diatur lansung dari Jakarta atas nama Rakyat Papua tanpa disentuh oleh Rakyat Papua. 

Disini hanya sedikit penjelasan tentang kebebasan atau kemerdekaan Bangsa itu terletak pada kedaulatan politik. Jadi untuk mengukur kesejahteraan, kemakmuran, dan kebahagiaan Rakyat itu ada pada kedaulatan Politik.

Kata lain dari Politik adalah, strategis atau konsep yang diatur sesuai kebutuhan yang ada pada setiap individu ataupun kelompok. Maka yang harus Pemerintah Indonesia berikan kepada kami Rakyat Papua itu adalah, Hak atas kedaulatan Politik.

Aristoteles bilang: politik adalah segala sesuatu tentang proses perumusan dan pelaksanaan kebijakan disetiap bidang atau lembaga yang diatur oleh Rakyat.

Sependapat dengan itu bahwa, Kedaulatan politik adalah hak untuk mengatur diri sendiri dan segala macam hal yang dimiliki oleh kita sendiri. Ini harus diperhatikan baik-baik oleh Mahasiswa Papua.

Otsus atas nama Ekonomi mandiri itu wacana basih yang pernah membuat nyawa Rakyat Papua jadi tumpal kepentingan Elite Borjuasi Jakarta.Jangan sekali-kali percaya pada Jakarta.

Papua itu korban dari Segala macam lini kehidupan. Jika kita percaya dengan wacana Ekonomi mandiri, coba bayangkan 20 tahun Otsus Jilid satu diberikan kepada Papua itu, apakah MRP, lembaga adat, dan seluruh masyarakat sudah sukses dalam ekonomi mandiri?

Seluruh elemen masyarakat Papua bersatu dan nyatakan sikap melalui PRP untuk menolak Otsus JILID II, itu karena masyarakat tidak punya kedaulatan Politik untuk mengatur sektor ekonomi dipapua.

Jadi yang bermasalah itu adalah, kedaulatan politik, bukan Ekonomi Mandiri. 

Maksud Aristoteles itu, bukan hanya merumuskan kebijakan ekonomi, tapi juga merumuskan konsep pendidikan yang sesuai dengan kondisi dan budaya masyarakat setempat.

Kalo pergi ke Papua, anda pasti bingung dengan TNI-POLRI, Sebenarnya mereka itu keamanan, guru, perawat/dokter, penjual Miras, atau bandar togel. Mengapa? 

Karena semua yang ada disana termasuk MRP juga lembaga adat telah diatur dibawa pengawasan TNI-POLRI, bahkan diambil alih. Itu artinya kedaulatan politik tidak ada ditangan Rakyat Papua.

Dengan kenyataan seperti itu, bagaimana anda mau yakin dengan ekonomi mandiri versi Indonesia sebagai Penjajah. Itu adalah kenyamanan yang Membunuh pikiran Anda. 

Ekonomi, pendidikan, kebudayaan, kesehatan, dan lainnya bisa dikelola oleh Rakyat Ketika kedaulatan Politik itu ada ditangan Rakyat Papua sebagaimana yang maksud Aristoteles. 

Kalo Otsus itu bagian dari politik Jakarta untuk tetap mempertahankan kekuasaannya di Papua, maka wacana Ekonomi Mandiri itu hanyalah ilusi yang menyesatkan pikiran generasi muda Papua ditengah-tengah pembasmian Ras Melanesia.

Anda menghargai konsep penjajah dan melupakan Perjuangan Rakyat Papua dari tahun 1960an hingga saat ini, Perjuangan yang masih dilakukan oleh orang tua di hutan rimba, dipedalaman, diplomasi luar Negeri, dan gerakan mahasiswa (AMP) ditanah Kolonial ini.

Satu hal yang harus kita imani Bahwa, Perjuangan Pembebasan Nasional itu ada dalam diri kita sendiri. Pembebasan itu tidak datang dari Bangsa lain, juga tidak datang dari langit. Tapi harus diperjuangkan oleh kita, untuk masa depan kita.

Maka kita harus membawa diri dan terlibat dalam aktivitas Perjuangan. Entah itu gerakan gerlya, gerakan sipil kota, gerakan diplomasi luar Negeri, dan gerakan Mahasiswa. Kita harus berjuang.

Berjuang merebut kembali kedaulatan Politik untuk merumuskan hidup Bangsa Papua tanpa Indonesia!.



Tanah Kolonial - 25 Jan 2023.


Catatan:

Politik Yang dimaksud bukan politik praktis (pemilu). tapi politik ini adalah, Hak penentuan Nasib Sendiri. Atau Merdeka Lepas dari NKRI.



Oleh: Maner_Kay 


Kita semua pasti sudah tau bahwa Akhir-akhir ini kasus pelanggaran HAM di Indonesia semakin hari-semakin meningkat, terutama daerah-daerah konflik seperti di Papua.  Komnas HAM mencatatat bahwa di tahun 2021 kemarin sebanyak 3.578 aduan kasus terkait pelanggaran HAM, berkas itu terkumpul mulai dari bulan januari sampai september 2021.  Lebih lanjut Ketua Komnas HAM Ahmad Taufik mengungkapkan data bahwa aduan kasus kekerasan pelanggaran HAM di indonesia justru lebih banyak dilakukan oleh aparat negara yaitu: TNI dan Polri. Sumber: Detiknews. Dengan banyak-nya kasus pelanggaran HAM yang kian meningkat di Indonesia, Slogan  NKRI harga mati perlu dipertanyakan.  

Kita coba keluar lebih jauh untuk membuat pertanyaan seputar NKRI harga mati. misal: apakah keharmonisan antara sesama warga negara terjalin dengan baik ?apakah tidak ada kasus rasisme dan diskriminasi? apakah ada keadilan di NKRI?  

Saya memahami bahwa selama ini hubungan kerhamonisan antara sesama warga negara tidak berjalan  baik, faktanya apa? kasus diskriminasi dan rasisme masih bertumbuh subur di NKRI- Bhineka Tunggal Ika.    Kasus Diskriminasi & Rasisme  tidak hanya terjadi pada eksistensi  manusia berdasarkan ras, akan tetapi merambat juga ke perbedaan Budaya dan Agama. persoalan ini terjadi secara masif meliputi lembaga formal: Sekolah, Kampus, dunia kerja  dan lain sebagainya.   

Lalu bagaimana dengan keadilan, saya memahami bahwa keadilan di negeri ini hanya milik golongan elit-elit dan ras tertentu. sedangkan  keadilan dalam pancasila butir ke 5  masih menjadi mitos. lebih jauh keadilan di negara ini hanya  di nikmati oleh segelintir manusia, sedangkan kita yang lain hanya sebagai Objek penghisapan. 

Dengan pernyataan di atas,maka  kita perlu  menelusuri tujuan dari NKRI harga mati diciptakan sebagai slogan nasionalisme indonesia. apakah slogan  NKRI harga mati benar-benar nasionalisme indonesia atau justru hanya sebagai "kata"?  

Menurut sejarahnya..slogan NKRI harga mati dipelopori oleh seorang Kyai bernama KH.Moeslim Rifa’I Amsmpuro atau sering disapa Mbah liem. Slogan ini tercipta kemudian menyebar luas ke masyarakat publik. dalam pemaknaan kalimat ini cukup beragam, namun titik penekanan paling fokus adalah membangkitkan semangat nasionalisme untuk mencegah perpecahan kekuasan negara kolonial Indonesia atas daerah-daerah lain.  

Dengan slogan NKRI harga mati kemudiaan sebuah kalimat klaim dikeluarkan bahwa kekuasan negara indonesia ini sudah final di semua sektor, tidak bisah diganggu gugat oleh pihak manapun. klaim-klaim ini kemudiaan dianggap paling baik dan benar oleh seluruh lapisan masyarakat. untuk meyakinkan publik bahwa slogan ini paling baik dan benar maka upaya-upaya lain ditempuh oleh pemangku kebijakan. jalur yang ditempuh untuk menyebar dokrin ini tidak lain melalui  lembaga-lembaga formal. lembaga formal yang ditempuh meliputi: lembaga sekolah, kampus, gereja, masjid dan lain-lain. Disitulah penyebaran Doktrin NKRI Harga mati bertumbuh.  

Sedangkan kita tinjau dari aktor- aktor yang terlibat dalam penyebaran dokrin ini tidak lain adalah Tokoh-tokoh agama, aparat sipil negara, TNI, Polri, elit-elit borjus kapitalis, kolega, keluarga dekat dll. Mereka bekerja sama menyebarluaskan Dokrin/ pemahaman NKRI harga mati supaya melahirkan basis yang banyak, disaat itupula agenda-agenda kepentingan bisah berjalan di seluruh wilayah kekuasaan NKRI.  

Tujuan dari penyebaran slogan NKRI harga mati  untuk mempertahankan wilayah  kekuasan negara indonesia terhadap daerah-daerah lain. dengan adanya kekuasaan negara terhadap daerah lain maka semua agenda kepentingan bisah dijalankan oleh pemangku kebijakan. kebijakan yang dijalankan adalah mode eksploitatif pada sumber daya manusia dan sumber daya alam.  

Jikalau di Pahami: Diksi tentang NKRI Harga Mati seakan-akan meninggikan keselamatan negara daripada keselamatan umat manusia, padahal penempatan semacam ini sangat keliru. Justru keselamatan umat manusia (HAM) itu yang harus ditinggikan, bukan NKRI harga mati. dari kekeliruan semacam inilah yang mengakibatkan lahirnya pelanggaran berat di seluruh indonesia, terutama di Papua.  

Saya mehamai bahwa slogan NKRI harga mati dan Bhineka Tunggal ika adalah kalimat bernuansa politik yang didalamnya terdapat kepentingan obejektif dari segelintir manusia. kepentingan segelinir manusia itulah yang nantinya ditempuh dengan kalimat-kalimat pemersatu atas nama Bhineka Tunggal ika dan NKRI harga mati, padahal realisainya nol besar.  

Negara dengan kekuatan militer kapan saja dan dimana saja akan membasmi rakyat jikalau mereka melawan negara. dari sini kita bisah lihat dengan jelas bahwa kedudukan negara-pemerintah merupakan panggung politik atas dasar kepentingan, yang dimana dikendalikan oleh oligarki negara dan elit-elit borjuis.  

Upaya doktrinisasi NKRI harga mati akan mengarah pada penaklukan Manusia lain, ketika penaklukan Manusia selesai ditempuh dengan segala cara maka semua sumberdaya yang ada di dalamnya akan dieksploitasi habis-habisan. disaat yang sama, kita tidak hanya kehilangan sumber daya, tetapi kita jga akan kehilangan jati diri sebagai mahluk manusia yang otentik. Semua aset yang melekat pada diri kita akan terkikis lama-kelamaaan dan hancur.  

Kalau kita lihat slogan NKRI harga mati dari sudut pandang humanis, maka kebanyakan kasus pelanggaran HAM justru tercipta karena slogan ini. kenapa bisah demikian? coba kita lihat  kasus-kasus pelanggaran HAM di bawah:  

Pertama: Kontak tembak antara TNI-Polri dan TPNPB di Papua yang berlangsung selama bertahun-tahun sudah menelan banyak korban nyawa, namun negara belum menyelesaikan Pelanggaran HAM di Papua. katanya ...negara melakukan oprasi militer dengan alasan menjaga keutuhan NKRI, padahal di bulan Agustus tahun 2021 kemarin ada 10 lembaga resmi di Indonesia antara lain: #BersihkanIndonesia, YLBHI, WALHI, Eksekutif Nasional, Pusaka Bentara Rakyat, WALHI Papua, LBH Papua, KontraS JATAM, Greenpeace Indonesia, Trend Asia. melakukan penelitian di papua, tepatnya di Blok Wabu.   

Data hasil riset/ penelitian mengungkapkan bahwa konflik bersenjata yang terjadi di Papua di picu oleh kepentingan kelas-kelas tertentu, yang dimana pihak negara dan perusahan melakukan perlawanan kepada rakyat sipil untuk menjalankan investasi dan eksploitasi sumber saya alam di Blok wabu. Tidak lain perusahan yang bersemayam di dalamnya adalah milik Luhut Binsar Panjaitan. dari data ini bisah kita pahami bahwa operasi militer di Papua bukan lagi untuk nasionalisme  NKRI, melainkan  untuk kepentingan elit-elit.  

Kedua: Negara-pemerintah Indonesia melakukan kriminalisasi, penangkapan dan pembunuhan sewenang-wenang diluar jalur hukum pada kawan-kawan aktivias di beberapa kota studi. motif-motif pelangggran HAM sangat keji, disni kita melihat bahwa negara ini bukan lagi negara demokrasi tapi negara fasis yang menolak kebebasan berpendapat. pada kenyataan kawan-kawan menyuarakan kebenaran sesuai hati nurani Rakyat namun mereka dibungkam oleh kekuatan negara dengan pasal-pasal karet di dalamnya.  

Kasus semacam ini tidak hanya dihadapi oleh kawan-kawan Mahasiswa yang Pro Demokrasi, akan tetapi kasus ini menimpa kedua tokoh besar aktivias HAM Haris Azhar dan Fatia. mereka dijerat pasal-pasal dari  UU ITE dengan alasan penyebaran nama baik Luhut Binsar Panjaitan, padahal mereka bicara berdasarkan fakta dan data terkait pelanggaran HAM di Papua.  

Artinya negara ini terlalu sensitif dengan hal-hal berbau kebenaran, jikalau ada rakyat yang menyuarakan kebenaran maka mereka dianggap orang yang paling berbahaya sehingga harus ditangkap, diadili dan dikenakan pasal-pasal karet lalu dibunuh secara gelap.  

Dari ulasan singkat di atas dapat kita pahami bahwa slogan NKRI harga mati telah merambat ke semua sektor publik. secara tidak langsung slogan itu mengorbankan banyak nyawa manusia, terutama orang Papua. kebebasan Rakyat Manusia dalam berdemokrasi dikebiri, demokrasi tidak lagi berjalan normal. dengan begitu tidak ada tanda-tanda kehidupan dan keharmonisan di dalamnya, justru tanda-tanda kematian. terkait hal ini Rocky Gerung juga perna bilang bahwa  konsep tentang NKRI harga mati itu buang jauh-jauh, bikin  dulu NKRI yang menghidupkan Rakyat. dengan kalimat  Rocky Gerung  maka dialektika kehidupan  dunia menjadi masuk akal.  

Apalagi dalam hukum dialektika kita kenal bahwa hidup ini akan terus berubah-ubah, tidak ada yang menetap, maka semua ini belum final. akan tetapi sistem pemerintahan di indonesia semua dibuat final oleh rezim-rezim serakah, maka sistem ini bertantangan dengan hukum alam, bertentangan juga dengan HAM.    

Pertentangan ini jikalau diteruskan maka  watak  kolonialisme abad modern muncul dengan sendirinya. yang ada justru  fasisme, diskriminasi, rasisme dan eksploitatif terhadap manusia dan sumber daya alam. Rakyat Indonesia memang saat ini berada dalam sistem  kolonialisme abad  Modern, cuman  sistem kolonialisme  saat ini dia bertopeng.  

Jadi..begitu kawan-kawan, Tugas kita bersama adalah melawan Sistem yang menindas sesama manusia.


Terima kasih..   


Referensi:

Safitri, E. (2021, oktober 04). Komnas HAM Terima 2.331 Aduan Sepanjang 2021, Tertinggi Terkait Polri. Retrieved maret 28, 2022, from news.detik.com: https://news.detik.com/berita/d-5752092/komnas-ham-terima-2331-aduan-sepanjang-2021-tertinggi-terkait-polri#BersihkanIndonesia, YLBHI, W. E., WALHI Papua, L. P., & Greenpeace Indonesia, T. A. (2021). EKONOMI-POLITIK PENEMPATAN MILITER DI PAPUA. JURNAL RISET , 2-9.  

Taher, A. P. (2021, september 21). Haris Azhar & Fatia Dipolisikan Luhut, Kuasa Hukum: Salah Alamat. Retrieved maret 28, 2022, from tirto.id: https://tirto.id/haris-azhar-fatia-dipolisikan-luhut-kuasa-hukum-salah-alamat-gjK7  

Briantika, A. (2022, maret 19). Haris Azhar & Fatia jadi Tersangka Pencemaran Nama Baik Luhut. Retrieved maret 28, 2022, from tirto.id: https://tirto.id/haris-azhar-fatia-jadi-tersangka-pencemaran-nama-baik-luhut-gp4a  

Isnanto, B. A. (2017, agustus 16). Mbah Liem, Ulama Kharismatik Pencetus Slogan 'NKRI Harga Mati'. Retrieved maret 24, 2022, from news.detik.com: https://news.detik.com/berita-jawa-tengah/d-3602059/mbah-liem-ulama-kharismatik-pencetus-slogan-nkri-harga-mati


 

Doc.Edit. Koran Kejora

“Pergunakan hakmu untuk merebut demokrasi,

agar dapat menentukan arah Bangsa kedepan dengan lebih baik”


Penulis: Marco dari Pembebasan KK Yogyakarta

Hak Menentukan Nasib Sendiri (Right to Self-Determination) merupakan hak setiap bangsa/orang untuk secara bebas menentukan kehendaknya sendiri, khususnya dalam hal prinsip mengenai status politik dan kebebasan mengejar kemajuan di bidang ekonomi, sosial, dan budaya. Kepentingan akan menentukan nasib sendiri, yaitu itu terletak pada adanya kebebasan dalam membuat pilihan. Prinsip hak menentukan nasib sendiri mulai terlihat sejak Deklarasi Kemerddekaan Amerika Serikat pada 1776, Revolusi Prancis pada 1789 dan Revolusi Rusia pada 1917. Inti dari hak menentukan nasib sendiri dalam Deklarasi kemerdekaan Amerika Serikat dan Revolusi Prancis adalah “Pemerintahan yang bertanggung jawab atas rakyatnya.”

Awalnya, Hak Menentukan Nasib Sendiri dilaksanakan melalui mekanisme Referendum ketika meletusnya Revolusi Prancis, sebagai sebuah prinsip legalitas dari masalah aneksasi sebuah wilayah kecil yang dikelilingi oleh wilayah-wilayah dari kekuasaan negara lain yang lebih besar (enclave). Pelaksanaan referendum pada saat itu dilakukan berdasarkan “no annexation without consultation” (tidak ada aneksasi tanpa konsultasi). Pada perkembangannya, praktek hak menentukan nasib sendiri digunakan sebagai dasar dekolonisasi (tercapainya kemerdekaan), seperti yang terlihat pada sikap Kaarl Marx tahun 1840-1860 dan Lenin (Partai Bolshevik) pada Oktober tahun 1917 yang mendukung hak menetukan nasib sendiri bagi Bangsa Polandia.

Semboyan “Hak Menentukan Nasib Sendiri” mencuat kembali pada abad 19, setelah adanya perjanjian Versailles yang bertujuan untuk mengakhiri perang Dunia I. Sebelumnya, Karl Marx juga pernah menyerukan hak menentukan nasib sendiri bagi Polandia pada 1840-1860, meskipun pada saat itu gerakan kemerdekaan polandia dipimpin oleh kaum reaksioner. Namun, tujuan Karl Marx adalah usaha untuk menyerang dan menghancurkan kekuasaan Tsarisme Russia (sebuah kekuatan reaksioner raksasa di Eropa, khususnya di Jerman) sebagai musuh utama kelas buruh dan demokrasi. Karena bagi Marx, kemenangan dari rakyat Polandia akan menjadi pukulan yang sangat besar bagi kekuasaan Tsarisme Russia. Begitu juga dalam masalah Irlandia pada 1867, Karl Marx mendukung hak menentukan nasib sendiri bagi rakyat Irlandia yang sedang dikuasai oleh Imperialis Inggris, agar kekuasaan para tuan tanah dan borjuis kapitalis Inggris Raya di Irlandia melemah lalu hancur. Maka, itu akan melemahkan juga posisi Tuan Tanah dan Borjuis Kapitalis di Inggris Raya, sebagai Sentral Kapitalisme Eropa. Adalah suatu keuntungan juga bagi Kelas Buruh Inggris mendukung gerakan Rakyat Irlandia dalam menentukan nasib sendiri, agar Buruh Inggris dapat merebut kekuasaan dari tangan tuan tanah dan borjuis kapitalis.

Pada mulanya prinsip menentukan nasib sendiri merupakan pedoman dalam pembangunan ulang Eropa Pasca-Perang Dunia I. Ketika sistem Eropa terdahulu mulai hancur setelah berakhirnya Perang Dunia I, prinsip menentukan nasib sendiri juga mendapat pembelaan dari tokoh Internasionale ke-II yakni Vladimir Ilyich Ulyanov (Lenin) dari 1903 sampai 1917. Tuntutan pengakuan hak bangsa untuk menentukan nasib sendiri adalah sentral bagi posisi Lenin sendiri mengenai masalah kebangsaan (Polandia) pada masanya, walaupun mendapat kritikan dari Rosa Luxemburg (Kaum Sosial Demokrat Polandia) yang menganggap bahwa hak menentukan nasib sendiri bagi bangsa polandia adalah gagasan dari kaum intelektual dan bukan lahir dari rakyat polandia. Bahkan Bukharin dan Pyatakov juga ikut menentang akan tuntutan hak menentukan nasib sendiri. Pada saat itu kaum Sosial Demokrat Polandia sedang bertentangan dengan kaum Nasionalis Polandia. Namun, Lenin sendiri sangat memahami betul bagaimana kondisi bangsa polandia yang pada saat itu dibawah kekuasaan Tsar (Kaisar Russia). Dia menegaskan kepada Kaum Sosial Demokrat Polandia: “...Tolong jangan minta kami, kamerad-kamerad Russia kalian, bahwa kami harus menghapus dari program kami tuntutan hak rakyat polandia untuk menentukan nasib sendiri. Karena sebagai kaum sosial demokrat russia, tugas pertama kami adalah melawan kaum borjuasi kami sendiri, yakni kaum borjuasi russia dan Tsarisme. Hanya dengan ini kami kaum sosial demokrat Russia dapat meyakinkan rakyat Polandia bahwa kami sama sekali tidak punya niatan untuk menindas mereka, dan dengan demikian membangun fondasi untuk persatuan antara rakyat Polandia dan Russia dalam Perjuangan Revolusioner.”

Dari sini kita bisa melihat dengan jelas bagaimana Karl Marx dan Vladimir Ilyich Lenin yang menempatkan tuntutan hak menentukan nasib sendiri, umumnya akan selalu menempati posisi yang subordinat dari perjuangan kelas dan perspektif Revolusi Proletariat. Karena bagi mereka, tindakan itu bukanlah suatu kewajiban yang absolut untuk mendukung setiap gerakan kemerdekaan untuk semua bangsa terjajah, kecuali hanya untuk kepentingan Perjunagan Kelas Buruh dan Revolusi Proletariat. Disisi lain, Karl Marx juga pernah menentang dengan keras kemerdekaan untuk Cekoslowakia dan Gerakan Pembebasan di Balkan pada paruh abad ke-19, karena ada keterlibatan dari kekuatan Negara Imperialis besar seperti; Tsarisme Russia, Jerman, dan Inggris, yang bertujuan untuk tujuan mempertahankan kepemilikan pribadi mereka atas alat produksi.

Setelah LBB (Liga Bangsa-Bangsa) dibubarkan dan digantikan dengan PBB (Perserikatan Bangsa-Bangsa) yang dibentuk pada akhir Perang Dunia ke II, selanjutnya konsep hak menentukan nasib sendiri diadopsi sebagai salah satu prinsip untuk mengembangkan hubungan persahabatan antar negara, yang kemudian dibahas dalam Sidang Umum PBB tahun 1960 yang dikenal dengan “Deklarasi Dekolonisasi”. Sehingga memberikan dua efek penting, yaitu; prinsip yang diangkat menjadi hak masyarakat, dan semua orang memiliki hak untuk menentukan nasib sendiri, berdasarrkan hak itu mereka dengan bebas menentukan status politik mereka dan bebas mengejar perkembangan ekonomi, sosial dan budaya mereka.”

Masalah Kebangsaan West Papua

Penindasan dan penjajahan nasion atas bangsa-bangsa minoritas yang sampai hari ini masih menjadi perdebatan yang sangat panjang dikalangan kaum intelektual muda revolusioner tingkat Nasional Indonesia hingga Internasional, tentu membutuhkan satu solusi kongkrit sebagai bentuk alternatif dari penerapan demokratisasi secara langsung. Agar perwujudan dari kemerdekaan yang sejati dapat dirasakan oleh semua manusia tanpa terkecuali, bukan hanya dimiliki oleh kaum bangsawan, borjuasi dan para kapitalis saja, namun juga bagi bangsa-bangsa minoritas seperti Bangsa West Papua. Yang menentukan dan mewujudkan itu semua adalah para bangsa minoritas yang teraniaya itu sendiri secara langsung, bukan diwakili oleh beberapa kaum-kaum borjuasi yang hanya mengerti penumpukan kekayaan (kapital) lewat dominasi politik elektoral dalam demokrasi liberal. Maka, Hak Menentukan Nasib Sendiri bagi suatu bangsa yang terjajah dan teraniaya, merupakan satu solusi kongkrit yang sangat demokratis. Tentu mekanismenya juga harus melalui “Referendum”, yang sesuai dengan keinginan bangsa minoritas itu sendiri tanpa harus ada pemaksaan dari dominasi (Militerisme) negera luar.

Seperti yang dialami oleh Bangsa West Papua saat ini. Mengapa Bangsa West Papua meminta “Hak Penentuan Hak Nasib Sendiri” kepada Pemerintah Indonesia? Tentunya semua itu memiliki sebab dan masalah fundamental yang sangat krusial, bukan karena mereka membenci ataupun ingin memusuhi mayoritas Bangsa Indonesia. Melainkan, Pemerintah Indonesia sendiri sedari awal tidak menjalankan kekuasaannya secara “Demokratis” terhadap Bangsa West Papua. Pemerintah Indonesia selalu memperlakukan Bangsa West Papua dengan tidak manusiawi, dengan menganggap bahwa Bangsa West papua yang tidak tau terima kasih atas UP4B dan (Anggaran) Otsus (Otonomi Khusus) yang telah diberikan kepada mereka tahun 2001. Yang sebenarnya anggaran Otsus Jilid I sebesar 4,2 Trilyun tidak didapatkan oleh masyarakat adat papua dan west papua, melainkan hanya di nikmati oleh (minoritas) elit birokrasi di papua saja yang bersahabat dengan pengusaha-pengusaha pendatang, dan Unit Percepatan Pembangunan Papua dan Papua Barat (UP4B) hanya akan menambah bercokolnya para Jenderal Purnawirawan TNI dan POLRI. Sedangkan sumber daya alam papua lebih dari 4,2 Trilyun per-tahun terkuras habis, intimidasi, pelecehan dan bentuk-bentuk kekerasan rasial hingga kekerasan fisik yang di dapatkan oleh bangsa West Papua tidak bisa dihitung dengan jari sejak tahun 1961, operasi militer indonesia di tanah papua tahun 1962 lewat “Realisasi Trikora” yang menjadi (agresi militer pertama) sumber peristiwa berdarah hingga sekarang tidak pernah dituntaskan. Belum lagi sebagian orang West Papua di kriminalisasi dan dipenjara secara paksa dengan tuduhan melanggar pasal makar, di adu domba dengan sesama Bangsa Papua oleh Militer Indonesia, bahkan media yang ingin meliput kondisi masyarakat Papua yang mengungsi dipegunungan dan hutan-hutan pedalaman diusir oleh Militer Indonesia, jaringan internet diblokir oleh Pemerintah Nasional (Jakarta) Pusat. Penempatan pasukan Militer Indonesia dalam jumlah (ribuan personil) besar di seluruh tanah Papua, mengakibatkan hak-hak politik dan hak asasi manusia dilanggar secara brutal di luar batas-batas kemanusiaan. Apakah masih mengatakan bahwa orang-orang ditanah Papua dan West Papua itu tidak tau terima kasih?

Ambisi seorang pemimpian (Bangsa) Negara Indonesia untuk menyatukan dua bangsa yang berbeda antara Bangsa “Melayunesia” (penyatuan antara Ras Proto-Melayu dan Deutero-Melayu yang mendiami kepulauan Melayu dan kepulauan Austronesia)  dengan Bangsa  West Papua “Melanesia” (Ras Negroid yang mendiami di Pasifik selatan) menjadi satu, yaitu lewat Aneksasi (penundukan satu wilayah yang dimulai dengan menggunakan kekuatan militer dalam jumlah besar) pada 1 Mei tahun 1963 dalam bentuk penyerahan administrasi dari pemerintahan sementara oleh PBB (UNTEA) kepada Indonesia tanpa melibatkan Bangsa Papua dan West Papua, akhirnya membawa malapetaka bagi kemanusiaan diwilayah Papua dan Papua Barat. Padahal, pada 1 Desember 1961 Bangsa Papua mendeklarasikan Kemerdekaanya dengan mengibarkan bendera Bintang Gejora diseluruh wilayah Papua dan Papua Barat. Namun, Soekarno Presiden Pertama RI menentangnya, karena dia menganggap bahwa hal tersebut adalah rencana dari Kerajaan Belanda untuk mendirikan negera boneka dan menyerang Indonesia menggunakan Irian Barat (Papua Barat). Hingga membuat Soekarno marah besar dan mengeluarkan Kebijakan Trikora (Tri Komando Rakyat). Irian Barat pada saat itu yang statusnya masih dibawah kekuasaan (penjajahan) Pemerintah Kerajaan Belanda yang berkantor pusat di Hollandia (sekarang Port Numbay), dengan batas kekuasaan mulai dari Kepulauan Raja Ampat sampai Merauke (Nederland Nieuw Guinea saat itu).

Wakil Presiden pertama RI yaitu Mohammad Hatta pun pernah menegaskan bahwa “…Bangsa Papua adalah Ras Negroid, Bangsa Melanesia, maka biarlah Bangsa Papua Menentukan Nasibnya Sendiri…”. Sementara Soekarno mengemukakan bahwa “Bangsa Papua masih primitif sehingga tidak perlu dikaitkan dengan kemerdekaan Bangsa Indonesia”, dalam salah satu persidangan BPUPKI bulan Juli 1945. Begitu juga dalam Konferensi Meja Bundar yang dilaksanakan di Den Haag Belanda tanggal 23 Agustus - 2 November 1945, status Papua Barat (Nederland Niew Guinea) secara eksplesit dinyatakan oleh Mohammad Hatta, Ketua Delegasi Indonesia, bahwa “…masalah Irian Barat tidak perlu dipersoalkan karena Bangsa Papua berhak menjadi Bangsa yang Merdeka.” Namun, semua itu tidak membuat semangat Soekarno yang ingin merebut tanah Papua Barat.

Ketidak ikut sertaan bangsa papua dan papua barat dalam New York Agreement (Perjanjian New York) pada 15 Agustus 1962 yang sudah diagendakan oleh Majelis Umum PBB atas desakan dari Soekarno (Presiden Pertama Indonesia) dan John Kennedy (Presiden Amerika Serikat), membuat status New York Agreement tidak “SAH” baik secara yuridis maupun moral. Yang sebenarnya dalam Perjanjian New York itu membicarakan status tanah dan nasib Bangsa West Papua, namun di dalam prosesnya tidak pernah melibatkan wakil-wakil resmi dari Bangsa West Papua. Belum lagi kegagalan dari penerapan “PAPERA” (Penentuan Pendapat Rakyat) tahun 1969 yang dilaksanakan dengan cara demokrasi lokal Indonesia, yaitu musyawarah yang diwakili oleh 1025 orang dari total 600.000 orang dewasa (laki-laki dan perempuan). Sedangkan dari 1025 orang yang dipilih untuk memilih, hanya 175 orang saja yang menyampaikan atau membaca teks yang telah disiapkan oleh Pemerintah Indonesia. Selain itu masyarakat West Papua yang ada di luar negeri, yang pada saat penandatangan New York Agreement tidak diberi kesempatan untuk terlibat dalam penentuan nasib sendiri tersebut.

Teror, intimidasi dan pembunuhan dilakukan oleh militer sebelum dan sesaat pelaksanaan PEPERA 1969, tujuannya untuk memenangkan PEPERA 1969 secara sepihak oleh Pemerintah dan Militer Indonesia. Buktinya adalah Surat Rahasia Komandan Korem 172, Kolonel Blego Soemarto, No.: r-24/1969, yang ditujukan kepada Bupati Merauke selaku anggota MUSPIDA Kabupaten Merauke, isi surat tersebut adalah: “Apabila pada masa poling tersebut diperlukan adanya penggantian anggota Demus (Dewan Musyawarah), penggantiannya dilakukan jauh sebelum MUSAYAWARAH PEPERA. Apabila alasan-alasan secara wajar untuk penggantian itu tidak diperoleh, sedang dilain pihak dianggap mutlak bahwa anggota itu perlu diganti karena akan membahayakan kemenangan PEPERA, harus berani mengambil cara yang ‘tidak wajar’ untuk menyingkirkan anggota yang bersangkutan dari persidangan PEPERA sebelum dimulainya sidang DEMUS PEPERA. …Sebagai kesimpulan dari surat saya ini adalah bahwa PEPERA secara mutlak harus kita menangkan, baik secara wajar atau secara ‘tidak’ wajar”. Mengingat bahwa wilayah kerja komandan Korem 172 termasuk pula kabupaten-kabupaten lain di luar Kabupaten Merauke, maka patut diduga keras surat rahasia yang isinya kurang lebih sama juga dikirimkan ke bupati-bupati yang lain. Ditambah lagi dengan Penandatangan Kontrak Karya Pada tahun 1967 Freeport-McMoRan (sebuah perusahaan Amerika Serikat) untuk bekerja sama dengan Pemerintah Indonesia agar dapat membuka Pertambangan Tembaga dan Emas di Pegunungan Bintang, Papua Barat. Freeport memulai operasinya pada tahun 1971. Kontrak Kerja kedua ditandatangani pada tanggal 30 Desember 1991.

Kepentingan Amerika Serikat di Papua Barat, yang ditandai dengan adanya penandatanganan Kontrak Kerja antara Freeport dengan pemerintah Republik Indonesia, menjadi realitas. Ini terjadi dua tahun sebelum PEPERA 1969 dilaksanakan di Papua Barat. Di sini terjadi kejanggalan yuridis, karena Papua Barat dari tahun 1962 hingga 1969 dapat dikategorikan sebagai daerah sengketa. Penentuan Pendapat Rakyat tahun 1969 tidak sah karena dilaksanakan dengan sistem “musyawarah” (sistem local Indonesia) yang bertentangan dengan isi dan jiwa New York Agreement, di samping itu PEPERA 1969 dimenangkan oleh Pemerintah Indonesia lewat terror, intimidasi, penangkapan, dan pembunuhan (pelanggaran hukum, HAM dan esensi demokrasi). Kemenangan PEPERA secara cacat hukum dan moral ini akhirnya disahkan oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa lewat Resolusi Nomor 2509 dan diratifikasi oleh Pemerintah Indonesia melalui Keppres Nomor 7 tahun 1971.

Tidak hanya sampai di situ dalam sejarah Indonesia, pada saat kekuasaan Rezim Soeharto yang otoriter militeristik, Propinsi Papua dijadikan Daerah Operasi Militer (DOM), sehingga beberapa kali terjadi Operasi Militer yang dilakukan oleh ABRI atau sekarang disebut TNI. Pada tanggal 1 Mei 1963, pemerintah Indonesia menempatkan TNI dalam jumlah besar di seluruh Tanah Papua dan dilakukan operasi besar-besaran terjadi dan menewaskan rakyat Papua dalam jumlah besar. Operasi Militer yang dimaksudkan adalah Operasi Sadar (1965–1967), Operasi Bhratayuda (1967–1969), Operasi Wibawa (1967–1969), Operasi Pamungkas (1969–1971) Operasi militer di Kabupaten Jayawijaya (1977), Operasi Sapu Bersih I dan II (1981), Operasi Galang I dan II (1982), Operasi Tumpas (1983–1984) dan Operasi Sapu Bersih (1985), Operasi Militer di Mapenduma (1996). Kemudian masih terus melakukan kekerasan setelah pemberlakukan Otonomi Khusus adalah pelanggaran HAM di Wasior (2001).

Mendukung “Hak Menentukan Nasib Sendiri” bagi Bangsa (minoritas) West Papua yang sampai saat ini terjajah oleh pemerintah negara indonesia, bukanlan suatu tindakan makar/saparatis seperti yang sebarluaskan oleh berbagai kalangan elit birokrasi dan Aparat (Militer Indonesia). Semua pandangan itu hanyalah propaganda Pemerintah Indonesia bersama Militer TNI-POLRI untuk mencuci tangan, melempar tanggungjawab dan bersembunyi atas kegagalan mereka dalam menyelesaikan masalah kebangsaan di tanah papua. Mereka melakukan pembungkaman, intimidasi, dan membunuh masyarakat ada. Seperti saat ini, dimana militer Indonesia sedang melakukan operasi di Intan Jaya, Puncak Papua, Nduga dan Wilayah Papua lainnya. Terlebih lagi, mereka ingin memperlihatkan kepada masyarakat Indonesia dan komunitas-komunitas Internasional bahwa kekerasan yang terjadi di tanah Papua itu dilakukan oleh penduduk asli papua itu sendiri, dan mereka hanya mencoba untuk menciptakan stabilitas nasional. Sehingga bagi masyarakat yang tidak pernah tahu akan sejarah Agresi Militer Pertama di Papua, Aneksasi, New York Agreement, Papera 1969 dan Operasi Militer lainnya, ikut membenci orang-orang papua dan para solidaritas yang mendukung gerakan Bangsa West Papua yang menuntuk “Hak Menentukan Nasib Sendiri”. Hal tersebut yang membuat ormas dan kelompok reaksioner lainnya, menjadikan isu makar/saparatis sebagai senjata yang ampuh untuk bersikap fasis, rasis dan premanisme terhadap Bangsa West Papua dan Solidaritas dari Indonesia. 

Pemerintah Indonesia dengan sukses melembagakan secara permanen mitos makar/saparatis, agar menjadi sebuah surat ijin dan instrumen pendukung untuk melakukan tindakan-tindakan kekerasan dan kejahatan kemanusiaan terhadap masyarakat asli Papua. Ruang ketakutan sengaja diciptakan dan dipelihara oleh aparat keamanan dengan menggunakan issue makar/saparatis agar; Orang Asli Papua dibungkam dan tidak berani untuk melakukan perlawanan dalam mempertahankan martabat, masa depan yang lebih demokratis, damai diatas tanah leluhur. Agar aparat keamanan mendapatkan dana pengamanan yang lebih besar dari Pemerintah dan semakin memperkuat kekuatan Militer Indonesia.

Secara konstitusional Hak Menentukan Nasib Sendiri muncul di dalam Kovenan Internasional Hak-Hak Sipil Politik, Pasal 1 ayat 1 yang menyatakan secara pokok; bahwa “semua bangsa berhak untuk menentukan nasib sendiri”. Oleh karena itu, hak asasi manusia menjadi sangat relevan untuk dijadikan sebagai acuan dan dasar berpikir teoritis dalam menganalisis persoalan hak menentukan nasib sendiri tersebut. Jika merujuk pada Konstitusi Negara Indonesia yang memiliki kewajiban melindungi Hak Asasi Manusia, tertera dalam Pasal 1 ayat (3) UUD 1945. Pada prinsipnya, setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat sudah diperintahkan dalam Pasal 28E ayat (3) UUD 1945. Kemudian untuk mewujudkan kemerdekaan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran lewat lisan dan tulisan sudah ditetapkan dalam Konstitusi Negara (Pasal 28 UUD 1945), sehingga terbentuklah UU No. 9 Tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat Di Muka Umum sebagai landasan untuk mengimplementasikan hak berdemokrasi secara konstitusional.

Secara singkat, Hak Menentukan Nasib Sendiri (right to self-determination)  merupakan hak setiap manusia untuk menentukan kehendaknya sendiri tanpa ada penekanan dan pengontrolan dari luar dirinya dalam menjalani kehidupan sebagai manusia yang merdeka, agar terwujudnya satu tatanan yang demokratis, berkeadilan sosial dan sejahtera. Misalnya; dalam prinsip memberikan hak politik, kemajuan dalam bidang ekonomi, sosial, dan budaya. Agar lebih dimengerti, hak menentukan nasib sendiri harus diletakan dalam koridor hak asasi manusia, tentu yang bersumber dari teori hak kodrati yang melekat dalam diri manusia itu sendiri.

 Banyak yang berpendapat bahwa hak menentukan nasib sendiri bagi suatu bangsa adalah harus lewat  Kekuasaan Pemerintah (Negara) itu sendiri, tentunya lewat birokrasi parlementer yang menjadi perwakilan dari kepentingan mayoritas atas warga Negara yang dikuasainya. Yang pada dasarnya, setiap warga negara berasal dari suku, adat, ras dan budaya yang berbeda. Tentunya mereka juga memiliki kebutuhan yang berbeda, kepentingan, cara pikir dan tujuan hidup yang berbeda pula. Namun, oleh Kekuasaan Fasis Borjuis Nasional Indonesia yang ingin mendominasi seluruh kekuatan ekonomi dan politik, memaksakan untuk penerapan sebuah kebijakan yang desentralisasi (alih-alih) demokrasi secara yuridis, yang dimana kebutuhan kaum mayoritas (warga negara) harus diwakili dan hanya bisa ditentukan oleh kaum minoritas (Elit Birokrat) dalam parlemen. Artinya kebijakan tertinggi (Pemerintahan Pusat Nasional) untuk menentukan kesejahteraan dan keadilan seluruh rakyat ada ditangan kaum (minoritas) Borjuis Birokrat. Sehingga yang terjadi hari ini adalah kesenjangan sosial; kemiskinan yang semakin bertambah, pendidikan yang semakin terbelakang, anak-anak terlantar dan pengemis tidak terurus, kerusakan alam dan penghancuran lingkungan semakin meluas, hingga masalah pelanggaran HAM berat dan kejahatan kemanusiaan masa lalu tidak pernah tertuntaskan.

Dapat kita saksikan sendiri bagaimana kekerasan dan penindasan terhadap Rakyat West Papua dari segi ekonomi, kesehatan dan pendidikan terjadi di depan mata, bagaimana perilaku Aparat Militer Indonesia terhadap Rakyat West Papua, bagaimana tanah-tanah adat rakyat West Papua dijadikan sebagai lahan (Tambang dan Perkebunan) milik perusahaan dari negara-negara Imperialis. Ekonomi tradisonal rakyat seperti Pasar, kios, toko dan ruko-ruko semuanya dikuasai oleh orang yang bukan asli dari Papua sehingga Orang Asli Papua disingkirkan dari atas tanahnya sendiri. Semua itu adalah bentuk penjajahan di Tanah Papua dan West Papua yang dilakukan oleh Pemerintah Negara Indonesia, melalui pendekatan Militerisme. Sehingga membangun Pos-pos Militer, penambahan pasukan Militer Organik maupun Non-organik, pembukaan lahan bagi perusahan asing yang tidak sesuai dengan kebutuhan Orang Asli Papua. Berangkat dari kondisi-kondisi itulah, Orang Asli Papua menuntut “Hak Menentukan Nasib Sendiri.”

Referendum untuk Bangsa West Papua

Untuk mengakhiri konflik yang berkepanjangan di tanah Papua dan West Papua harus menggunakan Referendum, bukan dengan melakukan pendekatan lewat kekuatan Militerisme dan Barbarisme. Secara singkat, Referendum berasal dari bahasa latin yang berarti suatu proses pemungutan suara (rakyat) semesta untuk mengambil sebuah keputusan, terutama dalam keputusan secara politik. Pada sebuah praktek referendum, Orang Asli Papua yang memiliki hak pilih tentu dimintai pendapat mereka. Namun, hasil referendum tersebut bisa dianggap mengikat atau tidak mengikat. Pertama; sebuah referendum akan dianggap mengikat, apabila Pemerintah Indonesia mengikuti seluruh jawaban dari Rakyat West Papua yang ada dari hasil referendum tersebut. Kedua; sebuah referendum tidak mengikat, apabila referendum tersebut hanya fungsikan sebagai penasihat saja, dimana hasil yang ada tidak harus di ikuti, tetapi menjadi salah satu bahan pertimbangan dalam pengambilan keputusan selanjutnya oleh Pemerintah Negera Indonesia.

Pada umumnya, terdapat dua jenis referendum, yaitu referendum legislatif dan referendum semesta. Referendum legislatif dilakukan apabila ingin melakukan perubahan/pembaharuan konstitusi atau undang-undang yang mewajibkan adanya persetujuan dari rakyat seluruhnya. Sedangkan referendum semesta adalah sebuah aksi referendum yang diselenggarakan berdasarkan kemauan rakyat itu sendiri, tentu didahului oleh sebuah aksi demonstrasi atau petisi yang berhasil mengumpulkan dukungan mayoritas. Saat ini, Bangsa West Papua sedang melaksanakan referendum semesta secara terbuka, meskipun direpresif dan di intimidasi oleh Militer Indonesia, bahkan penangkapan secara paksa dengan tuduhan melanggar pasal makar. Seperti Viktor Yeimo (Juru Bicara Internasional PRP dan KNPB), 19 Aktivis KNPB, Roland, Kelvin dan beberapa aktivis Papua lainnya. Tujuan Militer dan Pemerintahan Indonesia melakukan penahanan serta pemenjaraan terhadap mereka, agar proses pelaksanaan referendum semesta oleh Bangsa West Papua saat ini tidak diteruskan.

Hanya dengan pelaksanaan Referendum, Orang Asli Papua bisa memperbaiki hidup mereka sendiri, mendapatkan kehidupan yang layak sebagai kemanusiaan, bebas berpikir, berserikat, berkumpul, mengejar pengembangan ekonomi, sosial dan budaya mereka sendiri. Tentunya, selama pelaksanaan referendum tersebut berlangsung, pihak Militer dan Pemerintahan Indonesia tidak diperbolehkan untuk campur tangan. Begitu juga dengan pihak dari negara-negara Imperialis lainnya.

Tuntutan Hak Menentukan Nasib Sendiri Bagi Bangsa West Papua, merupakan suatu solusi yang demokratis bagi masalah kebangsaan ditanah West Papua. Itu juga merupakan salah satu praktek dari demokrasi dengan cara melibatkan Bangsa West Papua dalam menyelesaikan konflik yang berkepanjangan. Dimana seluruh masyarakat West Papua mengadakan suatu pemilihan dan memberikan pendapat mereka lewat pelaksanaan referendum, hingga menghasilkan sebuah kesepakatan langsung secara demokratis oleh semua rakyat West Papua. Mereka yang akan menentukan secara langsung lewat referendum, apakah mereka mau melepaskan diri atau masih ingin hidup dibawah Kekuasaan Pemerintahan Negara Republik Indonesia.

"Hak Menentukan Nasib Sendiri Sebagai Slogan Revolusioner"

Bagi kami, tidak ada kata tidak untuk tidak mendukung setiap tindakan yang memperkuat persatuan nasional dalam skala besar. Namun, jika persatuan nasional dalam skala besar itu dilaksanakan dengan cara pemaksaan dengan kekuataan militerisme dan intimidasi, hingga merenggut hidup suatu bangsa minoritas atas dasar dengan tujuan untuk mempertahankan kepemilikan pribadi atas alat produksi dan sumber daya alam oleh kaum Borjuis Nasional yang berkuasa saat ini, tentu adalah sangat bertentangan dengan koridor Hak Asasi Manusia. Maka, cara itu harus kami tentang, untuk menghentikan segala bentuk penindasan. Apa lagi perjuangan pembebasan bangsa tertindas adalah bagian dari sebuah konsep perjuangan kelas, yang memang tersubordinasi dari perjungan kelas buruh.

Kemenangan dari Bangsa West Papua dalam menentukan nasib sendiri, adalah ketika mereka berhasil menentukan sikap politik, mengembangkan ekonomi, sosial dan budaya secara mandiri. Sehingga, dapat menguasai dan memanfaatkan kembali seluruh sumber daya alam di wilayah mereka yaitu mulai dari Kepulauan Raja Ampat sampai dengan Merauke demi kepentingan seluruh rakyatnya. Itu juga merupakan kekalahan dari kaum Borjuis Nasional Indonesia dalam mempertahankan kepemilikan pribadi mereka atas Pertambangan, Perkebunan dan Sumber Daya Alam yang ada diwilayah West Papua. Hal itu akan menjadi suatu keuntungan yang sangat besar bagi Kelas Buruh di Indonesia untuk menyerang kekuasaan Fasis Borjuis-Kapitalis Nasional yang menindas mereka saat ini. Maka, Kelas Buruh di Indonesia harus sepenuhnya mendukung Bangsa West Papua dalam menentukan nasib sendiri, agar terlepas dari penindasan (penjajahan) yang dilakukan oleh borjuis-kapitalis nasional. Karena, yang menidas kelas buruh di Indonesia saat ini adalah borjuis-kapitalis nasional (antek-antek kapitalis-imperialisme Internasional). Maka, buruh juga perlu melakukan hal itu. Agar bisa melawan kapitalis dalam skala Internasional nantinya. Karena, antara Bangsa West Papua, Kelas Buruh, Tani Hamba dan Kaum Miskin di Indonesia memiliki musuh yang sama dan harus menyerang musuh yang sama pula, yaitu kaum Borjuis-Kapitalis Nasional Indonesia. Hanya dengan cara itu, mereka dapat membangun kepemerintahan yang lebih Demokratis dan Mandiri.

#Against_Imperialism

#Self_Determination

#Demokrasi_Kerakyatan


 

Edit Doc.AMP

MELAWAN LUPA

 Kasus Peristiwa Biak Berdarah Adalah Pelanggaran HAM Berat

Penulis: Marco dari Pembebasan KK Yogyakarta

Konflik politik antara Kolonialisme Belanda dengan Indonesia atas wilayah Irian Barat (Papua Barat), mendorong Amerika Serikat dibawah Kepemimpinan John F. Kennedy dan PBB sebagai sebuah Forum Imperialis Dunia terlibat dalam pesta pembagian wilayah penguasaan atas sumber daya alam. Membuat Rakyat Papua Barat terpaksa untuk medeklarasikan kemerdekaannya sebagai sebuah bangsa yang berbeda dari bangsa Indonesia pada 1 Desember 1961, dengan mengibarkan bendera Bintang Kejora sebagai sikap politik untuk keluar dari konflik politik tersebut. Namun, ditanggapi dengan kekerasan dan pembunuhan oleh Pemerintah Indonesia (bekerja sama dengan CIA) lewat Agresi militer pertama oleh pasukan ABRI lewat Operasi TRIKORA. Akibat dari desakan AS, Belanda terpaksa tunduk untuk menyerahkan Papua Barat kepada PBB secara sepihak tanpa ada persetujuan dari Papua Barat. Sehingga, ditandatanganilah Perjanjian New York pada 15 Agustus 1962 sebagai landasan untuk memperlancar Aneksasi Papua Barat oleh Pemerintah Borjuis-Kapitalis Indonesia dan Belanda pada 1 Mei 1963.

Setelah semua peristiwa penting itu terjadi, rakyat Papua merasa, bahwa tindakan dari Pemerintah Indonesia adalah menjajah bangsa dan rakyat Papua Barat. Sebab, pelaksanaan Pepera sejak 14 Juli-2 Agustus 1969 sangatlah tidak Demokratis. Mengapa, karena selama persiapan sampai dengan pelaksanaan Pepera adalah dibawah intimidasi hingga ancaman pembunuhan oleh ABRI. Hingga keberhasilan dari Pepera tersebut, merupakan kemenangan dari ABRI dalam merebut paksa dan bukan kemenangan dari rakyat Papua Barat.

Di Biak, Bendera Bintang Kejora di kibarkan diatas menara setinggi 35 meter dekat pelabuhan laut Kota Biak. Pengibaran Bendera Bintang Kejora yang dilakukan oleh Ribuan massa dari Rakyat Papua Barat, dianggap saparatis oleh Pemerintah dan Angkatan Bersenjata RI (Militer). Sehingga ratusan rakyat sipil Papua yang tinggal disekitar menara dan massa aksi dikepung hingga ditembaki dengan membabi buta dini hari pada 6 Juli 1998. Semua rakyat sipil di Kecamatan Biak, dikumpulkan dan digiring menuju pelabuhan laut Biak. Kemudian mereka disiksa dan dianiaya. Ratusan orang ditangkap sewenang-wenang, dan diculik. Puluhan orang mengalami luka tembak, bahkan korban yang dibawa oleh Militer Indonesia di RSUD Biak-Numfor dan RSAL (Rumah Sakit Angkatan Laut) Biak, tidak diberikan pelayanan. Sekitar 6 orang korban yang meninggal yang sempat dibawa ke RSAL Biak, sampai pada tahun 1999 jenazahnya tidak dikembalikan kepada keluarganya, malahan dibuang ke laut.

Meskipun setelah peristiwa pembantaian itu terjadi, masyarakat Biak tetap saja mendapatkan intimidasi dari pihak Militer Nasional Indonesia. Sehingga membuat para pencari fakta dan data terkait korban Kekerasan dan Pembunuhan oleh Militer Nasional Indonesia sangatlah susah. Ditambah dengan keresahan masyarakat Biak dengan terdamparnya puluhan mayat misterius diperairan Biak.

Tindakan Kekerasan Negara oleh Aparat Militer Nasional Indonesia terhadap masyarakat sipil Papua Barat merupakan Pelanggaran HAM Berat, namun para (Jenderal-Jenderal) pelaku tak pernah diadili dan diberikan hukuman yang setimpal. Malahan, mereka diberikan jabatan yang tinggi dalam struktuk Kepemerintahan Negara Indonesia, diberikan kekayaan (tanah) yang melimpah, dan bahkan menguasai perusahaan-perusaan swasta.

Semua peristiwa yang terjadi di wilayah Papua Barat sampai hari ini, tidak bisa dilepaskan dari sejarah yang pernah terjadi sebelumnya di wilayah Papua, mulai Trikora tahun 1961 hingga Pepera tahun 1969 yang tidak demokratis. Sehingga membuat rakyat dan bangsa Papua Barat membangun berbagai bentuk gerakan politik dalam mempertahankan kedaulatan mereka sebagai satu bangsa yang mandiri dan merdeka. Berbagai pelanggaran HAM dan Kejahatan Kemanusiaan pun terjadi di wilayah Papua Barat, dan itu tak pernah terselesaikan termasuk Peristiwa “Biak Berdarah” yang terjadi pada 06 Juli 1998. Sekitar Ribuan rakyat Papua Barat yang Pro-kemerdekaan melakukan aksi damai di pulau Biak, untuk mempertahankan pengibaran bendera Bintang Gejora. Aksi tersebut juga terjadi di Jayapura, Sorong, Manokwari dan Jayawijaya sepanjang bulan Juli sampai dengan Oktober 1998. Namun, ABRI berusaha meredam dan menggagalkannya aksi tersebut dengan melakukan kekerasan hingga pembunuhan terhadap rakyat Papua Barat. Hingga 230 massa aksi menjadi korban. Diantaranya, 8 orang meninggal dunia, 3 menghilang, 4 luka berat, 33 luka ringan, 150 yang ditanah dan di siksa sewenang-wenang, dan 32 mayat misteruis (menurut data ELS HAM Irian Jaya: Juli 1999).

Aksi damai yang dilakukan oleh ribuan Rakyat Papua Barat bertujuan untuk menjaga pengibaran Bendera Bintang Kejora, yang merupakan bentuk kekecewaan atas tindakan Penganeksasian Papua Barat oleh Pemerintah Indonesia. Tentunya, tindakan Aneksasi oleh Pemerintah Indonesia atas Papua Barat merupakan tindakan yang Inskonstitusional, karena melanngar “Hak Menentukan Nasib Sendiri” sesuai dengan Convenan Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik dan Hukum Internasional lainnya mengenai Hak Asasi Manusia, tidak demokratis dan cacat hukum.

Aksi damai tersebut juga dilakukan untuk menanggapi berbagai Pelanggaran HAM dan Kemanusiaan yang dilakukan oleh ABRI (Militer Indonesia) selama operasi militer di wilayah Papua dan Papua Barat sejak Agresi Pertama Militer sampai sebelum tahun 1998, dengan cara kilat diluar hukum dan tersistematis (crime against humanity).

Sudah hampir 68 tahun semenjak Aneksasi wilayah Papua Barat oleh Pemerintah Indonesia, hak-hak bangsa dan rakyat Papua terpasung. Berbagai pembunuhan, pemerkosaan, penembakan, penangkapan sewenang-wenang dan penyiksaan diluar hukum oleh TNI-POLRI (dulu ABRI) merupakan tindakan yang merampas hak-hak masyarakat adat dan pelanggaran HAM Berat, menempatkan rakyat Papua Barat dalam situasi yang menakutkan, hilang rasa percaya diri, gangguan psikolog dan trauma yang sangat mendalam.

Berbagai usaha yang dilakukan oleh rakyat Papua Barat dan Aktivis HAM maupun Demokrasi Papua dalam membebaskan diri dari rantai penindasan yang tersistematis lewat gerakan politik dan aksi mimbar bebas selalu mendapat respon yang berlebihan dari Pemerintahan dan Militer Indonesia, sehingga mengakibatkan Pelanggaran HAM dan Kejahatan Kemanusiaan di Papua Barat semakin menumpuk.

Penangkapan atas Anggota AMP KK Jakarta yaitu Roland, Kelvin, JUBI Internasional KNPB dan PRP (Petisi Rakyat Papua) Victor dan Beberapa Aktivis Papua lainnya menandakan bahwa semakin sempitnya ruang demokrasi di papua maupun diwilayah Indonesia. Usaha untuk meredam gerakan rakyat Papua dalam Menentukan Nasib Sendiri semakin direpresif dan kerap mendapatkan diskriminasi dari pihak Kepolisian Indonesia. Penggunaan pasal makar terhadap gerakan rakyat papua bersama solidaritas dari Indonesia, sungguh tidak sesuai dengan prosedural dan mekanisme Hukum Internasional lewat DUHAM oleh Majelis Umum PBB yaitu Convenan Internasiona tentang Hak-Hak Sipil dan Politik, Covenan Internasional tentang Hak-Hak Ekonomi, Sosial dan Budayabahkan sangat bertentangan dengan Konstitusi Negara Indonesia sendiri seperti; UUD 1945 Amandemen ke II yaitu dalam Pasal 28 E ayat (2), UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia Pasal 22 ayat (3), UU No. 11 Tahun 2005 tentang Pengesahan Kovenan Internasional Tentang Hak-Hak Ekonomi, Sosial Dan Budaya dan UU No. 12 Tahun 2005 tentang Pengesahan Kovenan Internasional Tentang Hak-Hak Sipil Dan Politik.

Sampai saat ini, berbagai bentuk Pelanggaran HAM dan Kejahatan Kemanusiaan tak pernah diusut tuntas oleh Pemerintah Indonesia, hingga membuat berbagai Aktivis HAM dan Demokrasi mengecam dengan keras atas tindakan Aparat Negara yang selalu sewenang-wenang atas berbagai kebebasan politik di wilayah Papua dan Indonesia. Sampai kapanpun, tidak solusi alternatif yang paling demokratis untuk masalah yang terjadi diatas tanah Papua Barat, kecuali Pemerintah Indonesia memberikan “Hak Menentukan Nasib Sendiri untuk Bangsa West Papua” sesuai dengan hukum dan konstitusi yang berlaku di Indonesia maupun Internasional. Karena, hanya itu solusi yang tidak bisa diwakili oleh siapapun atas konflik politik Papua Barat dengan Indonesia saat ini. Agar rakyat dan bangsa Papua barat dapat beraktivitas selayaknya manusia yang memiliki kebebasan politik; berserikat, berpikir, berdiskusi, menyampaikan aspirasi, dan bebas menentukan kebijakan untuk pengembangan ekonomi, sosial serta budaya mereka sebagai pribumi.

Marco

Yogyakarta, 5 Juli 2021


 


Photo Pemukulan Oleh Militer Indonesia gabungan Ormas Reaksioner di Jakarta terhadap masa aksi AMP KK Bali, 01 July 2021

Kronologis Pembungkaman dan Represifitas Aparat kepolisian Indonesia Terhadap Massa Aksi Aliansi Mahasiwa Papua (AMP) kk Jakarta.

Kamis 01 Juli 2021.

Masa aksi tiba di titik aksi patung kuda jakarta pukul 11-00, setelah tiba di TKP Masa aksi mulai membuka spanduk dan poster. masa aksi yg tergabung sebanyak 28 orang, pada saat korlap mulai pimpin masa aksi untuk  menuju ke  titik aksi, pasukan kepolisian datang dan tanpa negosiasi langsung perintahkan untuk menangkap dan membubarkan masa aksi yg tergabung dalam Aliansi Mahasiswa Papua (AMP). Namun, masa aksi masih tetap bertahan dan melakukan aksi dengan yel-yel Papua Merdeka.

Pihak kepolisian terus berupaya melakukan pembubaran serta melakukan tindakan represif terhadap Massa aksi Aliansi Mahasiswa Papua (AMP). Sehingga Pada saat itu, korlap sempat negosiasi dengan pihak kepolisian agar beri waktu untuk massa aksi membaca peryataan sikap. Namun kepolisian secara paksa menarik dan menangkap sebagian masa dari dalam tali komando.  

15menit kemudian, kelompok reaksioner yang dibentuk untuk aksi tandingan datang dan melakukan provakasi dan serangan fisik terhadap massa aksi AMP. Namun polisi membiarkan itu terjadi dan polisi juga serta melakukan kekerasan. Masa aksi  ditarik dan yg lain ditendang bahkan di pukul secara membabibuta.

Selain itu, saat massa aksi dan kepolisian saling mendorong, pihak kepolisian melontarkan kalimat ‘’tembak mati’’ sambil memukul satu orang massa aksi dan menodong senjata laras panjang hingga mengenai kepalanya.

Refresifitas ini terjadi dari pukul 11-05 sampai pukul 12-00.  kemudian  masa aksi di angkut paksa dan dibawa pakai dua mobil dalmas polda metro jaya dan 14 motor kepolisian.

Pukul 12:47, masa aksi di bawa ke taman BKN jakarta timur oleh kepolisian, setelah di BKN masa aksi di ancam oleh kepolisian dengan kalimat yang sama  ‘’saya tembak’’ hanya karena masa aksi menolak salah satu anggota polisi yang mengambil gambar. 

Sekitar delapan orang massa aksi AMP mengalami luka-luka yang cukup berat. Dan juga perangkat aksi berupa poster, bener, dan microphone dirampas dan dirusak oleh Aparat kepolisian Republik Indonesia.

Medan Juang

Jakarta Pusat,  01 juli 2021.



 

Gambar Ils.oleh Danil Pravda

"The International Solidarity Movement for Liberation"

Oleh: Danil Pravda

PENINDASAN NEGARA (BANGSA) MAYORITAS ATAS BANGSA MINORITAS.


Ditengah masifnya serangan militer dari negara yang memegang tampuk kekuasaan, rakyat (bangsa) tertindas hanya mampu bisa bertahan dan tersenyum diatas tumpukan mayat yang diberondong oleh peluru. Tak banya yang bisa mereka lakukan untuk bertahan hidup, melakukan perlawanan dengan cara menyampaikan setiap penderitaan yang dialami oleh mereka sendiri dengan harapan, bahwa pemerintah negara (Kolonialis) dapat segera menghentikan pertumpahan darah atau perdamaian, sewalaupun itu masih kecil kemungkinannya.

Bagi pihak pemerintahan negara yang berkuasa, tentu tidak akan pernah menyerah begitu saja, selama masih ada rakyat yang mereka injak-injak memiliki kesadaran untuk bersuara dan membangun gerakan perlawanan, selama itu juga peluru dan pasukan militer diperbanyak.

Dalam pandangan kekuasaan yang otoriter seperti di Israel dan Indonesia, HAM dan Demokrasi tidak pernah ada artinya jika itu menghalangi agenda dan program Imperialisme. Suatu Program yang bertujuan untuk menguasai Pasar Dunia dan Sumber Daya Alam, dengan cara menjajah wilayah (Negara) Bangsa Minoritas yang lemah akan tingkat keamanannya.

Peristiwa tersebut mengambil perhatian dari berbagai kalangan aktivis, Organisasi, dan Individu Merdeka diberbagai negara (Asia-Eropa) yang peduli akan HAM dan Demokrasi. Mereka terus membangun gerakan solidaritas dari hari ke hari, lewat mimbar bebas. Mengecam tindakan militer yang bertindak sewenang-wenang terhadap rakyat; menangkap, memukul, menginjak, menembak, bahkan membunuhnya dengan cara yang begitu keji. Seperti yang dialami oleh Rakyat Palestina dan Bangsa West Papua saat ini.

Tidak ada solusi yang lain untuk mengakhiri operasi dan penjajahan yang menggunakan kekuatan angkatan militer, yaitu dengan "Memberikan Hak Menentukan Nasib Sendiri Bagi Bangsa-Bangsa Tertindas". Sebab, Konflik tersebut sudah terlalu banyak memakan korban, dan sudah masuk dalam kategori Pelanggaran HAM Berat hingga Kejahatan Kemanusiaan yang tak pernah terselesaikan. Jika tidak, Rakyat Palestina dan Papua akan musnah. 

#Free_Palestine

#Free_Papuan

#Against_Militarism

#Against_Imperialism

 


Penulis, Zusan C. Griapon**
(Penulis adalah Aktivist Perempuan West Papua dan self Determination)

Melihat dari Perspektif Kolonialisme, Militerisme, dan Imperialisme

Pemerintahan Indonesia di Papua adalah Illegal. Pendudukan paksa Indonesia di wilayah Niew Guinea Barat/West Papua, dilakukan dengan pendekatan militerisme. Pemerkosaan, perampasan tanah, intimidasi, terror, pemukulan, pembunuhan merupakan cara Indonesia untuk menghancurkan kekuatan Rakyat Papua. Pemerintah Indonesia mengirimkan militer untuk memusnahkan ras/suku secara sengaja (genosida) di Papua Barat. Militerisasi Indonesia kepada West Papua didasari oleh perpektif rasis, dampaknya adalah kematian dan trauma, berdampak pada kehidupan sekarang. 

Papua Barat dijajah oleh pemerintah Indonesia. Penjajahan dibuktikan dengan dua kesepakatan Internasional yang dibuat tanpa melibatkan orang Papua sebagai Subjek. Dua kesepakatan tersebut adalah New York Agreement pada 15 Agustus 1962 dan Roma Agreement Pada 30 September 1962. Pemerintah Indonesia membohongi publik tentang nasionalisme orang Papua Barat,atau ‘Tidak ada keterlibatan orang Papua dalam perjuangan mendirikan negara Indonesia’. PEPERA sebagai langkah demokratis yang ditawarkan untuk menyelesaikan konflik Indonesia-Papuadimanipulasi oleh pemerintah Indonesia.

Sumberdaya lama dan manusia Papua di eksploitasi oleh pemerintah Indonesia.Militerisasi Indonesia yang diawali dengan Tri Komando Rakyat (TRIKORA) 1961. TRIKORA dilakukan sebagai landasan awal untuk penjajahan Indonesia terhadap rakyat Papua. Tentara Indonesia melakukan pemerkosaan dan pembunuhan terhadap Perempuan West Papua. Pola perampasan lahan yang dilakukan oleh TNI adalah menyebarkan ketakutan, intimidasi dan stigma separatis kepada Perempuan sehingga perempuan dan anak meninggalkan tanah. Tanah tersebut merupakan tanah darisuku/marga mereka (ICP, 2015). Tanah tersebut akan digunakan untuk kepentingan perusahaan multi nasional melakukan eksploitasi tambang, kelapa sawit, dsb.

        Bagaimana Militerisme, Kolonialisme dan Imperialisme mengeksploitasi Perempuan Papua?

Militerisme Indonesia memperkosa Perempuan Papua Barat

Perempuan adalah ‘mama’ adalah tanah sebuah analogisosial – budaya. Analogi ini menggambarkan masyarakat komunal Papua/ Melanesia dalam melihat Perempuan. Perspektif Perempuan adalah tanah, menggambarkan Perempuan sebagai sumber kehidupan. ‘Mama’ atau Perempuan akan melahirkan anak-anak untuk keberlangsungan suku atau marga dari wilayah Perempuan itu atau suami Perempuan itu. Proses mengandung hingga persalinan menguatkan kontak batin antara mama dengan anaknya, sementara itu kehidupan komunal menguatkan naluri perempuan dikomunitas untuk ikut merawat anak-anak di suku/klannya.  Tidak semua perempuan Papua pada situasi komunal mengelola tanah, laut,  meramu untuk menyajikan makanan sehingga suku/klannya bertahan hidup ada pula Perempuan yang melakukan pemburuan juga memiliki keahlian khusus yang tidak berkaitan dengan menyajikan makanan.

Tentara Nasional Indonesia (TNI) tidak memahami analogi sosial-budaya masyarakat adat Papua Barat. Rasisme adalah semangat militer Indonesia melakukan pendudukan paksa wilayah Papua.Militer Indonesia beranggapan  ‘rakyat Papua tidak beradap dan tidak berbudaya’. TRIKORA 19 Desember 1961 menjadi fakta Indonesia tidak berperspektif bahwa Papua adalah subjek yang hidup di atas tanah leluhurnya. Mobilisasi militer Indonesia tercatat 15 operasi militer yang dilakukan sejak 1962 –2004. Pelapor khusus Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) melaporkan bahwa pemerkosaan oleh militer Indonesia di Wilayah West Papua secara brutal di daerah tambang Grasberg (GunungNemangkawi). Laporan ini juga mengungkapkan bahwa pemerkosaan digunakan sebagai instrumen penyiksaan oleh pasukan tentara dan polisi Indonesia, ketika mengintrogasi Perempuan tentang keberadaan suami mereka yang diduga berafiliasi dengan Organisasi Papua Merdeka (OPM). Pemerkosaan yang dilakukan oleh Komando Pasukan khusus (KOPASUS) di sebuah desa sekitar Grasberg juga diungkapkan oleh Internasional Center for Transitional Justice, 2012. 

Indonesia adalah Negara keji. Pemerkosaan, indimidasi dan teror dilakukan oleh militer Indonesia secara terus-menerus. Para Peneliti (John Braithwaitedkk 2010:63) berpendapat kekerasan yang dilakukan oleh pasukan militer Indonesia terhadap penduduk Papua sangat keji. Kesaksian tentang penis pria yang dipotong dan vagina perempuan yang dipotong kemudian disuapi kepada suami mereka adalah fakta kekejian tersebut.

Negara terbukti melakukan pemerkosaan (merendahkan martabat/harga diri) Perempuan Papua Barat untuk kepentingan eksploitasi sumber daya alam dan manusia di Papua. Pemerkosaan secara sosial-budaya dan seksual memberikan dampak trauma bagi seluruh masyarakat Papua.

Aneksasi Papua : perjanjian- perjanjian Internasional

1 Desember 1961 adalah deklarasi kemerdekaan Rakyat Papua. Rakyat Papua bersatu menyatakan bebas dari belenggu kolonialisme Belanda maupun Indonesia. Soekarno merespon peristiwa tersebut dengan mengumandangkan Tri Komando Rakyat (TRIKORA) 1961. Sementara mobilisasi militer pemerintah Indonesia melakukan lobi internasional untuk memperkuat klaim sepihak atau penggabungan paksa terhadap wilayah West Papua. Dua perjanjian internasional yang mengikat Papua dengan Indonesia adalah:

a. Perjanjian New York tanggal 15 Agustus 1962

b. Perjanjian Roma tanggal 30 September 1962

Perjanjian New York tanggal 15 Agustus 1962 mengatur Hak asasi penduduk Irian Barat (Tanah Papua) dengan ketentuan bahwa pada tahun 1969 akan diadakan Hak Penentuan Nasib Sendiri (Act of Free Choice), apakah rakyat Irian Barat (West Papua) ingin tetap dengan Indonesia atau memisahkan diri dengan mendirikan negara yang merdeka. Pelaksanaan perjanjian ini dipenuhi tindakan rekayasa dan intimidasi dari pemerintah Indonesia dengan mengirimkan militer Indonesia ke Tanah Papua sehingga pelaksanaannya tidak adil dan tidak menghargai Hak Asasi Manusia Papua.

Kelompok atau Individu yang dianggap tidak mendukung upaya aneksasi Indonesia ditangkap dan dipenjarakan serta langsung diadili melalui pengadilan-pengadilan di seluruhIrian Barat (Tanah Papua).
Pembentukan dewan – dewan musyawarah Penentuan Pendapat Rakyat (PEPERA) dimana keanggotaanya ditentukan sendiri oleh pemerintah Indonesia jumlah peserta musyawarah seluruhnya 1.020 orang, dengan menggunakan cara voting dimana tim pemerintah telah mempersiapkan satu ‘ keputusan’, kemudian dibacakan dimuka sidang dan dinyatakan kepada semua peserta dengan bulat menyatakan ‘bergabung ‘ dengan orang Republik Indonesia.

Tindakan atau cara tersebut sangat merugikan rakyat Irian Barat (Tanah Papua), sebab dari jumlah penduduk 800.000 orang saat itu, hanya 1.020 yang memberikan suara, bukti bahwa Indonesia mengabaikan unsur demokrasi dan keadilan. 

Perjanjian Roma 30 September 1962 dibuat setelah perjanjian New York perjanjian ini ditandatangani oleh tiga negara, yaitu Republik Indonesia, Keranjaan Belanda dan Amerika Serikat. Perjanjian ini ditentukan bahwa ‘Indonesia berkuasa atas tanah Papua selama 25 tahun (dua puluh lima) tahun terhitung sejaktanggal 1 Mei 1963, setelah itu Indonesia melepaskan Tanah Papua untuk membentuk satu pemerintahan sendiri (merdeka). Pemerintah Amerika Menunjang dengan menyediakan dana sebesar USD 25 juta setiap tahun. Pemerintah Indonesia diperkenankan untuk mendatangkan transmigrasi ke Tanah Papua, membuka pertambangan, pengelolahan hasil hutan dan lain sebagainya. Kenyataannya, pemerintah Indonesia melakukan transmigrasi, sedangkan sektor pertambangan dan kehutanan diberikan untuk dikelolah oleh investor-investor asing.

Kedua perjanjian ini tidak disebutkan keterlibatan orang asli Papua, sedangkan persetujuannya membicarakan tentang nasib manusia dan teritori Papua dan segala isinya, sehingga Indonesia terbukti menjajah Papua. Penjajahan ini membuka akses transmigrasi, dan eksploitasi sumber daya alam yang berdampak pada peminggiran masyarakat Papua. Perempuan dan anak menjadi kelompok sosial yang sangat dirugikan karena akses tanah (alatproduksi) hilang. Perampasan lahan berakibat padah ilangnya sosial-budaya masyarakat Papua, etnosida, serta genosida.

Kepentingan Imperialisme di Papua Barat
Walhi (Lembaga Non Pemerintah) pada tahun 2016-2017 terdeteksi 48, 6 ribu hektar dibabat habis, untuk tujuan perkebunan kelapa sawit, pertambangan, dan lain sebagainya. Padatahun 2014 pelepasan 3 juta hektar tanah di Merauke oleh Pemerintah Indonesia untuk lahan padi. 1970-an perampasan lahan masyrakat adat Keerom oleh PT. PN II oleh Tentara Nasional Indonesia (TNI) untuk pembangunan kelapa sawit. 1967 Kontrak karya PT. Freeport Mc yang dilakukan oleh Presiden Indonesia, Soeharto dengan pemilik saham. Semua kontrak merupakan perusahaan multi nasional yang modal di beberapa Negara lainnya. Kontrak dilakukan sepihak tanpa melibatkan rakyat Papua, dirampas dengan cara kekerasan. Perempuan diperkosa, dibunuh, dipukuli, didiskriminasi.

Haluk 2019 menuliskan negara mempertahankan kedudukannya dengan melakukan Operasi Militer; Operasi Sadar (1965-1967), Operasi Brathayudha (1967-1969), Operasi Wibawa (1969), Operasi Militer di Kabupaten Jayawijaya (1977), Operasi Sapu Bersih I dan II ( 1980), Operasi I dan II (1982), Operasi Tumpas (1983-1984), Operasi Sapu Bersih (1985), Operasi Militer Pembebasan Mapnduma (1996), Operasi Militer Biak Berdarah (1998), Operasi dan Pelanggaran HAM di Wamena Berdarah (Oktober 2000), Pelanggaran HAM penurunan bendera Bintang Kejora di Kabupaten Merauke, Nabire, Manukwari, Kota Sorong (2000), Peristiwa Pelanggaran HAM Abepura Berdarah (2000), Peristiwa Pelanggran HAM Wasior Berdarah (2001),Operasi Militer Wamena (2003), Operasi Militer Kabupaten Puncak Jaya (2004), Peristiwa Pelanggaran HAM Abepura (2006), Operasi Timika Tembagapura (2017- 2018), Pelanggaran HAM Lanny Jaya (2016, 2018), Operasi Nduga (2018). Operasi ini menyebabkan kerugian material dan trauma bagi rakyat Papua khususnya Perempuan.

Referensi: 
Haluk, M,. 2018., TragediKemanusianNduga, Denpasar :PustakaLarasan.
ICTJ, 2012.,ISBN: 978-602-97558-4-8., New York
Braithwaite,J.. 2010., Anomie and Violance.,Canbera : ANU E-press
International Coalition Of Papua Team. 2015. Hak asasi manusia di Papua 2015. laporan keempat yang meliput kejadian sepanjang bulan april 2013 hingga desember 2015.






Ilust. Photo Jakarta aksi Tolak Rasisme


Karya, Wo Yao Ziyou

Gunung pernah tumpah darah
Pantai pun pernah tumpah darah,
Gunung pernah air mata jatuh
Pantai pun pernah air mata jatuh
Demi tanah ini,
Tanah Papua yang kita cinta ini

Gunung dipanggil monyet,
Pantai dipanggil monyet
Gubernur di panggil monyet
Bupati di panggil monyet
Pejabat di panggil monyet
Rakyat dipanggil monyet
Pengkhianat di panggil monyet

Apa kita sadar dengan panggilan itu?
Apa kita menerima dengan lapang hati?
Apa kita anggap semua telah berlalu? Dan
Dan semua baik-baik saja?
Oh tidak,

Jangan kakatan rasis telah berlalu,
Jangan katakan darah tak kan menetes lagi,
Jangan katakan air mata tak akan mengalir lagi
Jangan katakan kita tetap satu
Jangan katakan kita hidup sejahterah
Jangan katakan keadilan berlaku bagi kita,
Jangan katakan hidup kita aman dan damai

SEBAB
Selagi kita hidup bersama manusia,
Nyawa kita terus melayang
Darah kita terus mengalir
Air mata kita terus berlinang
Rasis terus mendera kita
Hidup kita tak kan aman dan sejahterah
Keadilan tak kan berpihak kita

Monyet tak layak tidur sekelambu dengan manusia,
Kini tibalah saatnya monyet hidup bebas diluar manusia
Dengan cara menolak OTSUS jilid II

Gunung, pantai, pejabat dan seluruh rakyat Papua
Yang berdiam di atas tanah Papua ini
Ayo mari kita TOLAK OTSUS Jilid II dan
Menuntut Hak Menentukan Nasib Sendiri bagi bangsa Papua,

Jika kita tak menolak OTSUS jilid II dan
Kita lewatkan kesempatan ini
MAKA
Entah berapa nyawa yang akan melayang di atas tanah Papua ini,
Mereka memperlakukan kita lebih dari hewan dan binatang,
Mereka menganggap kita anak  kecil yang mudah dibujuk dengan uang dan bangunan (seperti anak kecil bujuk dengan bunga ketika anak kecil menangis) ketika nyawa manusia melayang.

Tolak OTSUS Jilid II dan Berikan Hak Menentukan Nasib Sendiri Bagi Bangsa Papua Barat

Ilst. Gambar dari Prantara Media

Karya, Wo Yao Ziyou

Sekuat-kuatnya kau coba sembunyikan sejarah
Sekuat-kuatnya pula kau tutupi kebenaran
Demi menguras apa yang ku miliki

Kau pinta ku lupakan sejarah dan kebenaran
Tapi bagaimana aku bisa?
Semakin sukar bagiku untuk melupakannya
Meski kau bayar aku dengan bangunan dan uang 

Sejarah dan kebenaran tak dibeli dengan harta
Sejarah tetap sejarah dan
Kebenaran tetap kebenaran

Ku lupakan sejarah dan kebenaran
Sama halnya dengan aku melupakan TUHAN
Sebab sejarah dan kebenaran dibuat oleh TUHAN

Maka lebih baik bagimu
Akuilah sejarah dan kebenaran
Yang kau coba sembunyikan dan
Menutupinya sekian tahun ini
Karena tidak ada ruang dan tempat
Yang mampu kau sembunyikan

Free West Papua

Ilst.Perantara Media
Karya, Wo Yao ziyou

Yang haus akan Merdeka semakin haus,
Yanng lapar akan Bebas semakin lapar,
Yang ingin akan merdeka semakin ingin,

Yang rindu akan Lepas semakin rindu,
Yang berduka atas melayangnya nyawa manusia tak berdosa semakin berduka,

Tetapi
Yang bahagia di atas penderitaan orang lain semakin bahagia,
Yang rakus akan jabatan dan pangkat semakin rakus

Yang suka makan uang dan harta semakin suka
Tak peduli kepada mereka
yang haus, lapar, ingin, dan
Menderita akan bebas,

Yang dibutakan dan dibisukan
oleh uang darah semakin buta dan bisu
Melihat dan mendengar tangisan dan ratapan anak negeri di jalanan.

Begitulah nasib surga kecil kini dan besok
Lusa nasibnya lebih buruk lagi
bila tidak di atasi dengan bijak dan gigih...

FreeWestPapua

Ilst. Photo dari Internet
Karya, Wo Yao Ziyou

Aku terlahir di pulau ini
Pulau yang paling indah
Bagai surga kecil ini   

Bukan untuk dibunuh,
Bukan untuk dijajah
Bukan pula untuk dirasis

Ketahuilah
Kau yang buta dan bisu
Kau yang tak tahu hargai ciptaan TUHAN

Pulau yang indah ini
Dihuni oleh manusia seperti dirimu
Seperti dirimu yang ingin bebas kala kau dijajah
Seperti dirimu yang ingin dihargai kala kau di rasis 

Aku ditempatkan pulau yang indah ini 
Untuk menjaga dan melestarikan alam ini
Alam indah yang TUHAN ciptakan ini 
Untuk bebas menentukan nasibnya sendiri
Sebagaimana kau menentukan nasibmu sendiri

Pulau ini bukan dihuni oleh Kera dan Gorila
Yang seenaknya kau bunuh dan buru
Yang seenaknya kau tangkap dan penjarakan
Bebaskan aku sebab aku terlahir untuk hidup bebas.

Free West Papua

Aksi mahasiswa papua protes rasisme di Jakarta. Sumber: suara dot com

Oleh : Frans Huwi )**

Rasisme adalah pengelompokan manusia berdasarkan perbedaan ras, dimana ras tertentu merasa lebih superior dan memiliki hak untuk mengatur ras yang lain. Rasisme yang paling sering terjadi ialah berdasarkan perbedaan warna kulit, dimana orang kulit putih merasa lebih superior sehingga, dapat memiliki hak atas ras kulit hitam dimuka bumi ini.

Persoalan rasisme telah terjadi cukup lama dimuka bumi ini. sejak tercipta kelas-kelas sosial dalam masyarakat dimana ada kelas yang berkuasa (kelas penindas) dan kelas yang dikuasai (Tertindas). Saat itu pula rasisme tercipta sebagai sebuah metode penindasan yang diciptakan oleh kelas yang berkuasa.

Rasisme pada masa perbudakan terjadi pengelompokan berdasarkan ras. Prakteknya lebih massif ras kulit hitam lebih banyak dijadikan budak dan ras kulit putih menjadi tuan budak karena, ras kulit putih merasa lebih superior ketimbang ras kulit hitam.

Sekarang, yang menjadi pertanyaan ialah mengapa ras kulit putih merasa lebih superior lalu memperlakukan ras kulit hitam semau mereka? 

Sesuai fakta sejarah perkembangan masyarakat di dunia terutama soal terciptanya kelas-kelas sosial dalam masyarakat yang dengan jelas menerangkan bahwa, munculnya kelas-kelas sosial dalam masyarakat bermula dari Eropa sehingga, bangsa Eropa yang mayoritasnya kulit putih maka kelas penguasa dan para pedagang yang memiliki nafsu untuk mengambil keuntungan lebih itu kemudian membayar pekerja ideologi yakni, akademisi dan berbagai media untuk kemudian, menyebarkan doktrin akan rasisme ini agar kemudian dapat menindas ras kulit hitam di Afrika dan Amerika serta wilayah lainnya karena, disana menjadi sasaran untuk kemudian melakukan perluasan wilayah kekuasaan (Ekspansi), dan melakukan pengambilan (Tepatnya perampokan) sumber daya alam atau eksploitasi serta memperbudak ras kulit hitam demi kemajuan usaha mereka yang berorientasi pada menumpuk kekayaan (Akumulasi profit) dan hingga saat ini logika rasis itu masih dipelihara dengan subur oleh kelas penguasa (Borjuasi) dan pedagang (Kapitalis - Imperialis).

Sekali pun ras kulit hitam dijadikan budak oleh tuan budak terutama dalam hal menyediakan sumber bahan mentah oleh kelas penguasa dan pedagang namun, sejatinya ras kulit putih pun dijadikan buruh upahan di pabrik milik kaum pengusaha (kapitalis) di Eropa. 

Artinya bahwa, ras kulit putih maupun kulit hitam sama-sama ditindas oleh kelas penguasa (Borjuasi) dan pengusaha (Kapitalis) namun, eskalasinya yang berbeda akan tetapi agar kemudian tidak dilihat kesamaan akan ketertindasan berbasis kelas ini oleh ras kulit hitam maupun ras kulit putih maka, rasisme diciptakan dan terus dipelihara dengan subur oleh kelas penguasa (Borjuasi) dan kelas pedagang (Kapitalis – Imperialis) dimuka bumi.

A. Rasisme Terhadap Orang Papua  

Papua merupakan salah satu wilayah yang mayoritas penduduknya adalah ras kulit hitam, rumpun bangsa Melanesia yang hidup di wilayah pasifik selatan, Papua Barat. Papua saat ini adalah wilayah yang dikuasai secara politik (kolonisasi) oleh Indonesia dan sebagai tempat pengambilan (Perampokan) sumber daya alam sebagai bahan mentah pada berbagai industri di negara-negara maju oleh pedagang (Kapitalis Global).

Sebagai wilayah yang penuh dengan kepentingan pedagang (Kapitalis – Imperialis) ini rasisme diciptakan dan dipelihara dengan subur oleh kelas penguasa (Kolonial Indonesia) dan kelas pedagang antara rakyat Indonesia yang mayoritas penduduknya adalah ras kulit putih atau ras mongoloid, rumpun bangsa Melayu, dimana penduduk Indonesia yang mayoritasnya kulit putih itu didoktrin agar merasa diri lebih superior yang didukung oleh kelas penguasa dan pedagang untuk mengatur dan memperlakukan penduduk Papua Barat yang mayoritas penduduknya berkulit hitam secara semena-mena.

Persoalan rasisme yang menimpa rakyat Papua Barat (penduduk asli Papua Barat) telah lama terjadi berlangsung hingga saat ini. 

Orang Papua dipandang masih primitif, tertinggal, bodoh, konsumtif, itu semua merupakan label berbagai stigma yang sering diungkapkan oleh penguasa (Kolonial Indonesia). Itu Cerminan daripada wujud dari logika rasis yang terus dipelihara.

Pada tahun 2015 lalu, seorang mahasiswa Papua bernama Obby Kogoya di Yogyakarta telah diperlakukan selayaknya binatang. Kogoya di injak dan hidungnya ditarik oleh aparat kepolisian dan ormas reaksioner (Organisasi kemasyarakatan yang dipelihara oleh Negara melalui aparat militer dan atau kepolisian Yogyakarta). Dalam proses hukum dalam kasus Obby Kogoya ini pun sangat diskriminatif, dimana Obby Kogoya adalah korban rasisme justru dijatuhkan hukuman sementara pelaku rasis dibiarkan tanpa proses hukum.

Selain itu pada pertengahan 2019 lalu, mahasiswa Papua di Surabaya dipersekusi dan diteriaki cacian berbau rasis oleh aparat kepolisian dan juga militer serta ormas reaksioner (Organisasi kemasyarakatan yang dipelihara oleh Negara melalui aparat militer dan atau kepolisian di Surabaya). Persekusi dan cacian berbau rasis ini kemudian menjadi viral di media sosial dalam waktu yang relatif singkat sehingga, memicu amarah rakyat Papua dan organisasi pro kemanusiaan dan demokrasi baik di Indonesia maupun di luar negeri sehingga, melahirkan berbagai protes dan kecaman atas rasisme tersebut.

Lagi-lagi penguasa (Kolonial Indonesia) tanpa menyelesaikan persoalan rasisme yang salah satunya adalah dengan cara memproses hukum pelaku rasis ini namun, merespon aksi protes rasisme itu dengan memblokade internet di seluruh Papua Barat, memobilisasi militer dan kepolisian secara massif bahkan, melakukan penembakan terhadap rakyat Papua Barat yang melakukan aksi protes, serta menangkap sebagian rakyat sipil baik rakyat Papua Barat maupun rakyat Indonesia yang mengecam rasisme dan ada juga rakyat Indonesia yang mengecam rasisme di DO atau Drop Out dari kampus serta seorang pengacara (Advokat) atau pembela HAM Veronica Koman di tetap sebagai DPO oleh penguasa (Kolonial Indonesia).

Sekalipun pada awalnya penguasa (Kolonial Indonesia) membiarkan pelaku rasis tanpa diproses hukum namun, atas desakan dari rakyat Papua Barat sendiri dan solidaritas dari rakyat Indonesia dan juga luar negeri maka, pemerintah Indonesia mulai memproses hukum pelaku rasis namun, tidak semuanya dan hukumannya pun jauh lebih ringan. Tri Susanti yang adalah salah satu anggota ormas reaksioner dan juga salah satu politisi partai gerindra di vonis bersalah namun, dihukum hanya 7 bulan penjara dan oknum aparat kepolisian dan militer dibiarkan tanpa proses hukum.

Sementara itu, 6 mahasiswa Papua dan salah satu rakyat Indonesia yang mendukung hak penentuan nasib sendiri bagi bangsa Papua Barat yang saat ini adalah sebagai juru bicara Front Rakyat Indonesia untuk West Papua, Surya Anta ditangkap dan dihukum 9 bulan penjara hanya karena, melakukan demonstrasi damai mengecam rasisme di Jakarta. Agus Kossay, Steven Itlay, Buchtar Tabuni, Alex Gobai, dan beberapa kawan-kawan lainnya masih diproses hukum, sementara Buchtar Tabuni dihukum 17 tahun penjara. Dan ada pula yang masih ditahan dan diproses hukum karena, aksi protes rasisme di Sorong, Manokwari, Nabire, Timika dan di beberapa kota lainnya di Papua Barat.

Dalam proses hukum ini pun masih sangat diskriminatif hal ini didorong oleh logika rasis yang sedang mendominasi pada penguasa (Kolonial Indonesia). 

B. Jalan Keluar Untuk Mengakhiri Rasisme di Papua Barat

Persoalan rasisme akan terus bertumbuh subur di bawah kekuasaan NKRI, terutama terhadap perlakuan rasis berdasarkan ras, etnis. Sehingga memerlukan jalan keluar yang kemudian dapat mengakhiri rasisme.

Ada dua jalan keluar yang tertunda saling berhubungan yaitu, yang pertama untuk internal bangsa Papua Barat dan yang kedua adalah untuk eksternal baik Indonesia maupun luar negeri.

1. Bangun Persatuan Nasional Dalam Negeri (Internal)

Persoalan rasisme yang adalah bagian yang tak terpisahkan dari metode penjajahan atas rakyat bangsa Papua Barat oleh penguasa (Kolonial Indonesia) yang ingin terus menguasai Papua Barat secara politik dan pedagang (Kapitalis – Imperialis) yang mau terus mengambil (Merampok) sumber daya alam di Papua Barat sebagai bahan mentah pada industri milik para pedagang (Kapitalis – Imperialis) di negara-negara industri maju.

Persoalan rasisme tentu telah mengusik dan menimbulkan amarah rakyat Papua Barat sehingga, menimbulkan keinginan untuk melakukan perlawanan atas rasisme ini. Namun, satu hal, perlawanan rakyat Papua tanpa terkonsolidasi, tanpa terorganisir, tidak terpimpin dan tanpa sasaran yang tepat akan hanya menguras energi hingga mengorbankan diri sendiri tanpa ada hasil yang maksimal.

Hasil yang maksimal adalah jika militerisme di melawan, kolonialisme di Papua dapat dihapuskan, kapitalisme – imperialisme di hancur dan dibangun sebuah tatanan masyarakat yang baru tanpa fasisme, militerisme, kolonialisme dan kapitalisme - imperialisme yakni, masyarakat sosialis di Papua Barat dan dimuka bumi ini.

Namun, untuk mencapai hasil maksimal itu maka, dibutuhkan sebuah taktik yang tepat yakni, membangun persatuan nasional dalam negeri Papua Barat yang mandiri, demokratik, progresif-Revolusioner dan berjiwa kerakyatan. Sebab tanpa persatuan nasional dalam negeri yang mandiri, demokratik, progresif – revolusioner dan berjiwa kerakyatan maka, rakyat bangsa Papua tidak dapat mencapai hasil yang maksimal dan akan terus hidup dibawah bayang-bayang rasisme, militerisme, kolonialisme, kapitalisme – imperialisme.

2.  Bangun Solidaritas atas Dasar Ketertindasan (Eksternal)

Secara umum manusia dimuka bumi ini terbagi dalam dua kelompok besar yakni kelompok yang menguasai dan dikuasai atau kelompok penindas dan tertindas. Kelompok penindas itu ialah kelompok penguasa (Borjuasi atau di Papua : Kolonial Indonesia) dan kelompok pedagang (Kapitalis – Imperialis) dan kelompok tertindas adalah kelas pekerja atau proletariat dan rakyat tertindas lainnya.

Penindasan yang dialami oleh manusia tanpa memandang batasan ras entah itu kulit putih maupun kulit hitam. Orang Indonesia yang berkulit putih maupun orang Papua Barat yang berkulit hitam. 

Selama dia bukan bagian dari kelas yang bermilik yang memiliki sarana produksi maupun alat produksi dan atas status kepemilikan itu kemudian melakukan penindasan dengan berbagai bentuk maka, dia itu adalah kelas tertindas yang ditindas oleh kelas bermilik, biasanya penguasa (Borjuasi atau kolonial Indonesia) dan pedagang (Kapitalis – Imperialis).

Mayoritas penduduk Indonesia (sabang-Ambon) adalah kelas pekerja dan penduduk miskin. Kelas pekerja yang bekerja di pabrik milik pedagang (Kapitalis – Imperialis) dan kemiskinan yang diciptakan oleh sistem kapitalisme termasuk kaum transmigran yang kini mendominasi di tanah Papua Barat adalah korban sistem kapitalisme namun, datang ke Papua Barat karena, dicanangkan program transmigrasi oleh penguasa (Kolonial Indonesia) atas kepentingan politik (mengi-indonesia-kan) orang Papua Barat dan sambil kemudian, mendominasi di berbagai aspek kehidupan di Papua Barat sehingga, orang Papua Barat di Papua Barat terus termarjinalkan dan diperlakukan rasis dan berbagai bentuk penindasan lainnya.

Sejatinya sebagai kaum proletariat dan rakyat miskin atau rakyat tertindas adalah sama-sama sebagai kelas tertindas yang ditindas oleh kapitalisme – imperialisme. Dan mengkolonisasi Papua Barat sebagai wujud ekspansi dari watak dasar kapitalisme – imperialisme dan rasisme merupakan salah satu metode penindasan yang diciptakan dan terus dipelihara oleh kelas penindas (Penguasa: Borjuasi / Kolonial Indonesia di Papua Barat) dan Pedagang : Kapitalis – Imperialis) untuk menumpuk kekayaan bagi mereka (Akumulasi nilai lebih).

Dengan demikian membangun solidaritas antar sesama kaum tertindas tanpa memang batas ras untuk melawan militerisme, menghapuskan kolonialisme dan menghancurkan kapitalisme-imperialisme adalah salah tanggungjawab bersama bagi kelas tertindas untuk mencapai pembebasan secara bersama-sama. Sejak militerisme, kolonialisme dan kapitalisme – imperialisme dihancurkan disaat itu pula rasisme akan lenyap dari Indonesia maupun Papua dan seluruh muka bumi. (*)

* Penulis adalah Masyarakat Papua Barat, di Lembah Baliem

Komentar Anda

[disqus][facebook]
Gambar tema oleh duncan1890. Diberdayakan oleh Blogger.
Koran Kejora View My Stats