Doc.Edit. Koran Kejora |
“Pergunakan hakmu untuk merebut demokrasi,
agar dapat menentukan arah Bangsa kedepan dengan lebih baik”
Penulis: Marco dari Pembebasan KK Yogyakarta
Hak Menentukan Nasib Sendiri (Right to Self-Determination) merupakan hak setiap bangsa/orang untuk secara bebas menentukan kehendaknya sendiri, khususnya dalam hal prinsip mengenai status politik dan kebebasan mengejar kemajuan di bidang ekonomi, sosial, dan budaya. Kepentingan akan menentukan nasib sendiri, yaitu itu terletak pada adanya kebebasan dalam membuat pilihan. Prinsip hak menentukan nasib sendiri mulai terlihat sejak Deklarasi Kemerddekaan Amerika Serikat pada 1776, Revolusi Prancis pada 1789 dan Revolusi Rusia pada 1917. Inti dari hak menentukan nasib sendiri dalam Deklarasi kemerdekaan Amerika Serikat dan Revolusi Prancis adalah “Pemerintahan yang bertanggung jawab atas rakyatnya.”
Awalnya, Hak Menentukan Nasib Sendiri dilaksanakan melalui mekanisme Referendum ketika meletusnya Revolusi Prancis, sebagai sebuah prinsip legalitas dari masalah aneksasi sebuah wilayah kecil yang dikelilingi oleh wilayah-wilayah dari kekuasaan negara lain yang lebih besar (enclave). Pelaksanaan referendum pada saat itu dilakukan berdasarkan “no annexation without consultation” (tidak ada aneksasi tanpa konsultasi). Pada perkembangannya, praktek hak menentukan nasib sendiri digunakan sebagai dasar dekolonisasi (tercapainya kemerdekaan), seperti yang terlihat pada sikap Kaarl Marx tahun 1840-1860 dan Lenin (Partai Bolshevik) pada Oktober tahun 1917 yang mendukung hak menetukan nasib sendiri bagi Bangsa Polandia.
Semboyan “Hak Menentukan Nasib Sendiri” mencuat kembali pada abad 19, setelah adanya perjanjian Versailles yang bertujuan untuk mengakhiri perang Dunia I. Sebelumnya, Karl Marx juga pernah menyerukan hak menentukan nasib sendiri bagi Polandia pada 1840-1860, meskipun pada saat itu gerakan kemerdekaan polandia dipimpin oleh kaum reaksioner. Namun, tujuan Karl Marx adalah usaha untuk menyerang dan menghancurkan kekuasaan Tsarisme Russia (sebuah kekuatan reaksioner raksasa di Eropa, khususnya di Jerman) sebagai musuh utama kelas buruh dan demokrasi. Karena bagi Marx, kemenangan dari rakyat Polandia akan menjadi pukulan yang sangat besar bagi kekuasaan Tsarisme Russia. Begitu juga dalam masalah Irlandia pada 1867, Karl Marx mendukung hak menentukan nasib sendiri bagi rakyat Irlandia yang sedang dikuasai oleh Imperialis Inggris, agar kekuasaan para tuan tanah dan borjuis kapitalis Inggris Raya di Irlandia melemah lalu hancur. Maka, itu akan melemahkan juga posisi Tuan Tanah dan Borjuis Kapitalis di Inggris Raya, sebagai Sentral Kapitalisme Eropa. Adalah suatu keuntungan juga bagi Kelas Buruh Inggris mendukung gerakan Rakyat Irlandia dalam menentukan nasib sendiri, agar Buruh Inggris dapat merebut kekuasaan dari tangan tuan tanah dan borjuis kapitalis.
Pada mulanya prinsip menentukan nasib sendiri merupakan pedoman dalam pembangunan ulang Eropa Pasca-Perang Dunia I. Ketika sistem Eropa terdahulu mulai hancur setelah berakhirnya Perang Dunia I, prinsip menentukan nasib sendiri juga mendapat pembelaan dari tokoh Internasionale ke-II yakni Vladimir Ilyich Ulyanov (Lenin) dari 1903 sampai 1917. Tuntutan pengakuan hak bangsa untuk menentukan nasib sendiri adalah sentral bagi posisi Lenin sendiri mengenai masalah kebangsaan (Polandia) pada masanya, walaupun mendapat kritikan dari Rosa Luxemburg (Kaum Sosial Demokrat Polandia) yang menganggap bahwa hak menentukan nasib sendiri bagi bangsa polandia adalah gagasan dari kaum intelektual dan bukan lahir dari rakyat polandia. Bahkan Bukharin dan Pyatakov juga ikut menentang akan tuntutan hak menentukan nasib sendiri. Pada saat itu kaum Sosial Demokrat Polandia sedang bertentangan dengan kaum Nasionalis Polandia. Namun, Lenin sendiri sangat memahami betul bagaimana kondisi bangsa polandia yang pada saat itu dibawah kekuasaan Tsar (Kaisar Russia). Dia menegaskan kepada Kaum Sosial Demokrat Polandia: “...Tolong jangan minta kami, kamerad-kamerad Russia kalian, bahwa kami harus menghapus dari program kami tuntutan hak rakyat polandia untuk menentukan nasib sendiri. Karena sebagai kaum sosial demokrat russia, tugas pertama kami adalah melawan kaum borjuasi kami sendiri, yakni kaum borjuasi russia dan Tsarisme. Hanya dengan ini kami kaum sosial demokrat Russia dapat meyakinkan rakyat Polandia bahwa kami sama sekali tidak punya niatan untuk menindas mereka, dan dengan demikian membangun fondasi untuk persatuan antara rakyat Polandia dan Russia dalam Perjuangan Revolusioner.”
Dari sini kita bisa melihat dengan jelas bagaimana Karl Marx dan Vladimir Ilyich Lenin yang menempatkan tuntutan hak menentukan nasib sendiri, umumnya akan selalu menempati posisi yang subordinat dari perjuangan kelas dan perspektif Revolusi Proletariat. Karena bagi mereka, tindakan itu bukanlah suatu kewajiban yang absolut untuk mendukung setiap gerakan kemerdekaan untuk semua bangsa terjajah, kecuali hanya untuk kepentingan Perjunagan Kelas Buruh dan Revolusi Proletariat. Disisi lain, Karl Marx juga pernah menentang dengan keras kemerdekaan untuk Cekoslowakia dan Gerakan Pembebasan di Balkan pada paruh abad ke-19, karena ada keterlibatan dari kekuatan Negara Imperialis besar seperti; Tsarisme Russia, Jerman, dan Inggris, yang bertujuan untuk tujuan mempertahankan kepemilikan pribadi mereka atas alat produksi.
Setelah LBB (Liga Bangsa-Bangsa) dibubarkan dan digantikan dengan PBB (Perserikatan Bangsa-Bangsa) yang dibentuk pada akhir Perang Dunia ke II, selanjutnya konsep hak menentukan nasib sendiri diadopsi sebagai salah satu prinsip untuk mengembangkan hubungan persahabatan antar negara, yang kemudian dibahas dalam Sidang Umum PBB tahun 1960 yang dikenal dengan “Deklarasi Dekolonisasi”. Sehingga memberikan dua efek penting, yaitu; prinsip yang diangkat menjadi hak masyarakat, dan semua orang memiliki hak untuk menentukan nasib sendiri, berdasarrkan hak itu mereka dengan bebas menentukan status politik mereka dan bebas mengejar perkembangan ekonomi, sosial dan budaya mereka.”
Masalah Kebangsaan West Papua
Penindasan dan penjajahan nasion atas bangsa-bangsa minoritas yang sampai hari ini masih menjadi perdebatan yang sangat panjang dikalangan kaum intelektual muda revolusioner tingkat Nasional Indonesia hingga Internasional, tentu membutuhkan satu solusi kongkrit sebagai bentuk alternatif dari penerapan demokratisasi secara langsung. Agar perwujudan dari kemerdekaan yang sejati dapat dirasakan oleh semua manusia tanpa terkecuali, bukan hanya dimiliki oleh kaum bangsawan, borjuasi dan para kapitalis saja, namun juga bagi bangsa-bangsa minoritas seperti Bangsa West Papua. Yang menentukan dan mewujudkan itu semua adalah para bangsa minoritas yang teraniaya itu sendiri secara langsung, bukan diwakili oleh beberapa kaum-kaum borjuasi yang hanya mengerti penumpukan kekayaan (kapital) lewat dominasi politik elektoral dalam demokrasi liberal. Maka, Hak Menentukan Nasib Sendiri bagi suatu bangsa yang terjajah dan teraniaya, merupakan satu solusi kongkrit yang sangat demokratis. Tentu mekanismenya juga harus melalui “Referendum”, yang sesuai dengan keinginan bangsa minoritas itu sendiri tanpa harus ada pemaksaan dari dominasi (Militerisme) negera luar.
Seperti yang dialami oleh Bangsa West Papua saat ini. Mengapa Bangsa West Papua meminta “Hak Penentuan Hak Nasib Sendiri” kepada Pemerintah Indonesia? Tentunya semua itu memiliki sebab dan masalah fundamental yang sangat krusial, bukan karena mereka membenci ataupun ingin memusuhi mayoritas Bangsa Indonesia. Melainkan, Pemerintah Indonesia sendiri sedari awal tidak menjalankan kekuasaannya secara “Demokratis” terhadap Bangsa West Papua. Pemerintah Indonesia selalu memperlakukan Bangsa West Papua dengan tidak manusiawi, dengan menganggap bahwa Bangsa West papua yang tidak tau terima kasih atas UP4B dan (Anggaran) Otsus (Otonomi Khusus) yang telah diberikan kepada mereka tahun 2001. Yang sebenarnya anggaran Otsus Jilid I sebesar 4,2 Trilyun tidak didapatkan oleh masyarakat adat papua dan west papua, melainkan hanya di nikmati oleh (minoritas) elit birokrasi di papua saja yang bersahabat dengan pengusaha-pengusaha pendatang, dan Unit Percepatan Pembangunan Papua dan Papua Barat (UP4B) hanya akan menambah bercokolnya para Jenderal Purnawirawan TNI dan POLRI. Sedangkan sumber daya alam papua lebih dari 4,2 Trilyun per-tahun terkuras habis, intimidasi, pelecehan dan bentuk-bentuk kekerasan rasial hingga kekerasan fisik yang di dapatkan oleh bangsa West Papua tidak bisa dihitung dengan jari sejak tahun 1961, operasi militer indonesia di tanah papua tahun 1962 lewat “Realisasi Trikora” yang menjadi (agresi militer pertama) sumber peristiwa berdarah hingga sekarang tidak pernah dituntaskan. Belum lagi sebagian orang West Papua di kriminalisasi dan dipenjara secara paksa dengan tuduhan melanggar pasal makar, di adu domba dengan sesama Bangsa Papua oleh Militer Indonesia, bahkan media yang ingin meliput kondisi masyarakat Papua yang mengungsi dipegunungan dan hutan-hutan pedalaman diusir oleh Militer Indonesia, jaringan internet diblokir oleh Pemerintah Nasional (Jakarta) Pusat. Penempatan pasukan Militer Indonesia dalam jumlah (ribuan personil) besar di seluruh tanah Papua, mengakibatkan hak-hak politik dan hak asasi manusia dilanggar secara brutal di luar batas-batas kemanusiaan. Apakah masih mengatakan bahwa orang-orang ditanah Papua dan West Papua itu tidak tau terima kasih?
Ambisi seorang pemimpian (Bangsa) Negara Indonesia untuk menyatukan dua bangsa yang berbeda antara Bangsa “Melayunesia” (penyatuan antara Ras Proto-Melayu dan Deutero-Melayu yang mendiami kepulauan Melayu dan kepulauan Austronesia) dengan Bangsa West Papua “Melanesia” (Ras Negroid yang mendiami di Pasifik selatan) menjadi satu, yaitu lewat Aneksasi (penundukan satu wilayah yang dimulai dengan menggunakan kekuatan militer dalam jumlah besar) pada 1 Mei tahun 1963 dalam bentuk penyerahan administrasi dari pemerintahan sementara oleh PBB (UNTEA) kepada Indonesia tanpa melibatkan Bangsa Papua dan West Papua, akhirnya membawa malapetaka bagi kemanusiaan diwilayah Papua dan Papua Barat. Padahal, pada 1 Desember 1961 Bangsa Papua mendeklarasikan Kemerdekaanya dengan mengibarkan bendera Bintang Gejora diseluruh wilayah Papua dan Papua Barat. Namun, Soekarno Presiden Pertama RI menentangnya, karena dia menganggap bahwa hal tersebut adalah rencana dari Kerajaan Belanda untuk mendirikan negera boneka dan menyerang Indonesia menggunakan Irian Barat (Papua Barat). Hingga membuat Soekarno marah besar dan mengeluarkan Kebijakan Trikora (Tri Komando Rakyat). Irian Barat pada saat itu yang statusnya masih dibawah kekuasaan (penjajahan) Pemerintah Kerajaan Belanda yang berkantor pusat di Hollandia (sekarang Port Numbay), dengan batas kekuasaan mulai dari Kepulauan Raja Ampat sampai Merauke (Nederland Nieuw Guinea saat itu).
Wakil Presiden pertama RI yaitu Mohammad Hatta pun pernah menegaskan bahwa “…Bangsa Papua adalah Ras Negroid, Bangsa Melanesia, maka biarlah Bangsa Papua Menentukan Nasibnya Sendiri…”. Sementara Soekarno mengemukakan bahwa “Bangsa Papua masih primitif sehingga tidak perlu dikaitkan dengan kemerdekaan Bangsa Indonesia”, dalam salah satu persidangan BPUPKI bulan Juli 1945. Begitu juga dalam Konferensi Meja Bundar yang dilaksanakan di Den Haag Belanda tanggal 23 Agustus - 2 November 1945, status Papua Barat (Nederland Niew Guinea) secara eksplesit dinyatakan oleh Mohammad Hatta, Ketua Delegasi Indonesia, bahwa “…masalah Irian Barat tidak perlu dipersoalkan karena Bangsa Papua berhak menjadi Bangsa yang Merdeka.” Namun, semua itu tidak membuat semangat Soekarno yang ingin merebut tanah Papua Barat.
Ketidak ikut sertaan bangsa papua dan papua barat dalam New York Agreement (Perjanjian New York) pada 15 Agustus 1962 yang sudah diagendakan oleh Majelis Umum PBB atas desakan dari Soekarno (Presiden Pertama Indonesia) dan John Kennedy (Presiden Amerika Serikat), membuat status New York Agreement tidak “SAH” baik secara yuridis maupun moral. Yang sebenarnya dalam Perjanjian New York itu membicarakan status tanah dan nasib Bangsa West Papua, namun di dalam prosesnya tidak pernah melibatkan wakil-wakil resmi dari Bangsa West Papua. Belum lagi kegagalan dari penerapan “PAPERA” (Penentuan Pendapat Rakyat) tahun 1969 yang dilaksanakan dengan cara demokrasi lokal Indonesia, yaitu musyawarah yang diwakili oleh 1025 orang dari total 600.000 orang dewasa (laki-laki dan perempuan). Sedangkan dari 1025 orang yang dipilih untuk memilih, hanya 175 orang saja yang menyampaikan atau membaca teks yang telah disiapkan oleh Pemerintah Indonesia. Selain itu masyarakat West Papua yang ada di luar negeri, yang pada saat penandatangan New York Agreement tidak diberi kesempatan untuk terlibat dalam penentuan nasib sendiri tersebut.
Teror, intimidasi dan pembunuhan dilakukan oleh militer sebelum dan sesaat pelaksanaan PEPERA 1969, tujuannya untuk memenangkan PEPERA 1969 secara sepihak oleh Pemerintah dan Militer Indonesia. Buktinya adalah Surat Rahasia Komandan Korem 172, Kolonel Blego Soemarto, No.: r-24/1969, yang ditujukan kepada Bupati Merauke selaku anggota MUSPIDA Kabupaten Merauke, isi surat tersebut adalah: “Apabila pada masa poling tersebut diperlukan adanya penggantian anggota Demus (Dewan Musyawarah), penggantiannya dilakukan jauh sebelum MUSAYAWARAH PEPERA. Apabila alasan-alasan secara wajar untuk penggantian itu tidak diperoleh, sedang dilain pihak dianggap mutlak bahwa anggota itu perlu diganti karena akan membahayakan kemenangan PEPERA, harus berani mengambil cara yang ‘tidak wajar’ untuk menyingkirkan anggota yang bersangkutan dari persidangan PEPERA sebelum dimulainya sidang DEMUS PEPERA. …Sebagai kesimpulan dari surat saya ini adalah bahwa PEPERA secara mutlak harus kita menangkan, baik secara wajar atau secara ‘tidak’ wajar”. Mengingat bahwa wilayah kerja komandan Korem 172 termasuk pula kabupaten-kabupaten lain di luar Kabupaten Merauke, maka patut diduga keras surat rahasia yang isinya kurang lebih sama juga dikirimkan ke bupati-bupati yang lain. Ditambah lagi dengan Penandatangan Kontrak Karya Pada tahun 1967 Freeport-McMoRan (sebuah perusahaan Amerika Serikat) untuk bekerja sama dengan Pemerintah Indonesia agar dapat membuka Pertambangan Tembaga dan Emas di Pegunungan Bintang, Papua Barat. Freeport memulai operasinya pada tahun 1971. Kontrak Kerja kedua ditandatangani pada tanggal 30 Desember 1991.
Kepentingan Amerika Serikat di Papua Barat, yang ditandai dengan adanya penandatanganan Kontrak Kerja antara Freeport dengan pemerintah Republik Indonesia, menjadi realitas. Ini terjadi dua tahun sebelum PEPERA 1969 dilaksanakan di Papua Barat. Di sini terjadi kejanggalan yuridis, karena Papua Barat dari tahun 1962 hingga 1969 dapat dikategorikan sebagai daerah sengketa. Penentuan Pendapat Rakyat tahun 1969 tidak sah karena dilaksanakan dengan sistem “musyawarah” (sistem local Indonesia) yang bertentangan dengan isi dan jiwa New York Agreement, di samping itu PEPERA 1969 dimenangkan oleh Pemerintah Indonesia lewat terror, intimidasi, penangkapan, dan pembunuhan (pelanggaran hukum, HAM dan esensi demokrasi). Kemenangan PEPERA secara cacat hukum dan moral ini akhirnya disahkan oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa lewat Resolusi Nomor 2509 dan diratifikasi oleh Pemerintah Indonesia melalui Keppres Nomor 7 tahun 1971.
Tidak hanya sampai di situ dalam sejarah Indonesia, pada saat kekuasaan Rezim Soeharto yang otoriter militeristik, Propinsi Papua dijadikan Daerah Operasi Militer (DOM), sehingga beberapa kali terjadi Operasi Militer yang dilakukan oleh ABRI atau sekarang disebut TNI. Pada tanggal 1 Mei 1963, pemerintah Indonesia menempatkan TNI dalam jumlah besar di seluruh Tanah Papua dan dilakukan operasi besar-besaran terjadi dan menewaskan rakyat Papua dalam jumlah besar. Operasi Militer yang dimaksudkan adalah Operasi Sadar (1965–1967), Operasi Bhratayuda (1967–1969), Operasi Wibawa (1967–1969), Operasi Pamungkas (1969–1971) Operasi militer di Kabupaten Jayawijaya (1977), Operasi Sapu Bersih I dan II (1981), Operasi Galang I dan II (1982), Operasi Tumpas (1983–1984) dan Operasi Sapu Bersih (1985), Operasi Militer di Mapenduma (1996). Kemudian masih terus melakukan kekerasan setelah pemberlakukan Otonomi Khusus adalah pelanggaran HAM di Wasior (2001).
Mendukung “Hak Menentukan Nasib Sendiri” bagi Bangsa (minoritas) West Papua yang sampai saat ini terjajah oleh pemerintah negara indonesia, bukanlan suatu tindakan makar/saparatis seperti yang sebarluaskan oleh berbagai kalangan elit birokrasi dan Aparat (Militer Indonesia). Semua pandangan itu hanyalah propaganda Pemerintah Indonesia bersama Militer TNI-POLRI untuk mencuci tangan, melempar tanggungjawab dan bersembunyi atas kegagalan mereka dalam menyelesaikan masalah kebangsaan di tanah papua. Mereka melakukan pembungkaman, intimidasi, dan membunuh masyarakat ada. Seperti saat ini, dimana militer Indonesia sedang melakukan operasi di Intan Jaya, Puncak Papua, Nduga dan Wilayah Papua lainnya. Terlebih lagi, mereka ingin memperlihatkan kepada masyarakat Indonesia dan komunitas-komunitas Internasional bahwa kekerasan yang terjadi di tanah Papua itu dilakukan oleh penduduk asli papua itu sendiri, dan mereka hanya mencoba untuk menciptakan stabilitas nasional. Sehingga bagi masyarakat yang tidak pernah tahu akan sejarah Agresi Militer Pertama di Papua, Aneksasi, New York Agreement, Papera 1969 dan Operasi Militer lainnya, ikut membenci orang-orang papua dan para solidaritas yang mendukung gerakan Bangsa West Papua yang menuntuk “Hak Menentukan Nasib Sendiri”. Hal tersebut yang membuat ormas dan kelompok reaksioner lainnya, menjadikan isu makar/saparatis sebagai senjata yang ampuh untuk bersikap fasis, rasis dan premanisme terhadap Bangsa West Papua dan Solidaritas dari Indonesia.
Pemerintah Indonesia dengan sukses melembagakan secara permanen mitos makar/saparatis, agar menjadi sebuah surat ijin dan instrumen pendukung untuk melakukan tindakan-tindakan kekerasan dan kejahatan kemanusiaan terhadap masyarakat asli Papua. Ruang ketakutan sengaja diciptakan dan dipelihara oleh aparat keamanan dengan menggunakan issue makar/saparatis agar; Orang Asli Papua dibungkam dan tidak berani untuk melakukan perlawanan dalam mempertahankan martabat, masa depan yang lebih demokratis, damai diatas tanah leluhur. Agar aparat keamanan mendapatkan dana pengamanan yang lebih besar dari Pemerintah dan semakin memperkuat kekuatan Militer Indonesia.
Secara konstitusional Hak Menentukan Nasib Sendiri muncul di dalam Kovenan Internasional Hak-Hak Sipil Politik, Pasal 1 ayat 1 yang menyatakan secara pokok; bahwa “semua bangsa berhak untuk menentukan nasib sendiri”. Oleh karena itu, hak asasi manusia menjadi sangat relevan untuk dijadikan sebagai acuan dan dasar berpikir teoritis dalam menganalisis persoalan hak menentukan nasib sendiri tersebut. Jika merujuk pada Konstitusi Negara Indonesia yang memiliki kewajiban melindungi Hak Asasi Manusia, tertera dalam Pasal 1 ayat (3) UUD 1945. Pada prinsipnya, setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat sudah diperintahkan dalam Pasal 28E ayat (3) UUD 1945. Kemudian untuk mewujudkan kemerdekaan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran lewat lisan dan tulisan sudah ditetapkan dalam Konstitusi Negara (Pasal 28 UUD 1945), sehingga terbentuklah UU No. 9 Tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat Di Muka Umum sebagai landasan untuk mengimplementasikan hak berdemokrasi secara konstitusional.
Secara singkat, Hak Menentukan Nasib Sendiri (right to self-determination) merupakan hak setiap manusia untuk menentukan kehendaknya sendiri tanpa ada penekanan dan pengontrolan dari luar dirinya dalam menjalani kehidupan sebagai manusia yang merdeka, agar terwujudnya satu tatanan yang demokratis, berkeadilan sosial dan sejahtera. Misalnya; dalam prinsip memberikan hak politik, kemajuan dalam bidang ekonomi, sosial, dan budaya. Agar lebih dimengerti, hak menentukan nasib sendiri harus diletakan dalam koridor hak asasi manusia, tentu yang bersumber dari teori hak kodrati yang melekat dalam diri manusia itu sendiri.
Banyak yang berpendapat bahwa hak menentukan nasib sendiri bagi suatu bangsa adalah harus lewat Kekuasaan Pemerintah (Negara) itu sendiri, tentunya lewat birokrasi parlementer yang menjadi perwakilan dari kepentingan mayoritas atas warga Negara yang dikuasainya. Yang pada dasarnya, setiap warga negara berasal dari suku, adat, ras dan budaya yang berbeda. Tentunya mereka juga memiliki kebutuhan yang berbeda, kepentingan, cara pikir dan tujuan hidup yang berbeda pula. Namun, oleh Kekuasaan Fasis Borjuis Nasional Indonesia yang ingin mendominasi seluruh kekuatan ekonomi dan politik, memaksakan untuk penerapan sebuah kebijakan yang desentralisasi (alih-alih) demokrasi secara yuridis, yang dimana kebutuhan kaum mayoritas (warga negara) harus diwakili dan hanya bisa ditentukan oleh kaum minoritas (Elit Birokrat) dalam parlemen. Artinya kebijakan tertinggi (Pemerintahan Pusat Nasional) untuk menentukan kesejahteraan dan keadilan seluruh rakyat ada ditangan kaum (minoritas) Borjuis Birokrat. Sehingga yang terjadi hari ini adalah kesenjangan sosial; kemiskinan yang semakin bertambah, pendidikan yang semakin terbelakang, anak-anak terlantar dan pengemis tidak terurus, kerusakan alam dan penghancuran lingkungan semakin meluas, hingga masalah pelanggaran HAM berat dan kejahatan kemanusiaan masa lalu tidak pernah tertuntaskan.
Dapat kita saksikan sendiri bagaimana kekerasan dan penindasan terhadap Rakyat West Papua dari segi ekonomi, kesehatan dan pendidikan terjadi di depan mata, bagaimana perilaku Aparat Militer Indonesia terhadap Rakyat West Papua, bagaimana tanah-tanah adat rakyat West Papua dijadikan sebagai lahan (Tambang dan Perkebunan) milik perusahaan dari negara-negara Imperialis. Ekonomi tradisonal rakyat seperti Pasar, kios, toko dan ruko-ruko semuanya dikuasai oleh orang yang bukan asli dari Papua sehingga Orang Asli Papua disingkirkan dari atas tanahnya sendiri. Semua itu adalah bentuk penjajahan di Tanah Papua dan West Papua yang dilakukan oleh Pemerintah Negara Indonesia, melalui pendekatan Militerisme. Sehingga membangun Pos-pos Militer, penambahan pasukan Militer Organik maupun Non-organik, pembukaan lahan bagi perusahan asing yang tidak sesuai dengan kebutuhan Orang Asli Papua. Berangkat dari kondisi-kondisi itulah, Orang Asli Papua menuntut “Hak Menentukan Nasib Sendiri.”
Referendum untuk Bangsa West Papua
Untuk mengakhiri konflik yang berkepanjangan di tanah Papua dan West Papua harus menggunakan Referendum, bukan dengan melakukan pendekatan lewat kekuatan Militerisme dan Barbarisme. Secara singkat, Referendum berasal dari bahasa latin yang berarti suatu proses pemungutan suara (rakyat) semesta untuk mengambil sebuah keputusan, terutama dalam keputusan secara politik. Pada sebuah praktek referendum, Orang Asli Papua yang memiliki hak pilih tentu dimintai pendapat mereka. Namun, hasil referendum tersebut bisa dianggap mengikat atau tidak mengikat. Pertama; sebuah referendum akan dianggap mengikat, apabila Pemerintah Indonesia mengikuti seluruh jawaban dari Rakyat West Papua yang ada dari hasil referendum tersebut. Kedua; sebuah referendum tidak mengikat, apabila referendum tersebut hanya fungsikan sebagai penasihat saja, dimana hasil yang ada tidak harus di ikuti, tetapi menjadi salah satu bahan pertimbangan dalam pengambilan keputusan selanjutnya oleh Pemerintah Negera Indonesia.
Pada umumnya, terdapat dua jenis referendum, yaitu referendum legislatif dan referendum semesta. Referendum legislatif dilakukan apabila ingin melakukan perubahan/pembaharuan konstitusi atau undang-undang yang mewajibkan adanya persetujuan dari rakyat seluruhnya. Sedangkan referendum semesta adalah sebuah aksi referendum yang diselenggarakan berdasarkan kemauan rakyat itu sendiri, tentu didahului oleh sebuah aksi demonstrasi atau petisi yang berhasil mengumpulkan dukungan mayoritas. Saat ini, Bangsa West Papua sedang melaksanakan referendum semesta secara terbuka, meskipun direpresif dan di intimidasi oleh Militer Indonesia, bahkan penangkapan secara paksa dengan tuduhan melanggar pasal makar. Seperti Viktor Yeimo (Juru Bicara Internasional PRP dan KNPB), 19 Aktivis KNPB, Roland, Kelvin dan beberapa aktivis Papua lainnya. Tujuan Militer dan Pemerintahan Indonesia melakukan penahanan serta pemenjaraan terhadap mereka, agar proses pelaksanaan referendum semesta oleh Bangsa West Papua saat ini tidak diteruskan.
Hanya dengan pelaksanaan Referendum, Orang Asli Papua bisa memperbaiki hidup mereka sendiri, mendapatkan kehidupan yang layak sebagai kemanusiaan, bebas berpikir, berserikat, berkumpul, mengejar pengembangan ekonomi, sosial dan budaya mereka sendiri. Tentunya, selama pelaksanaan referendum tersebut berlangsung, pihak Militer dan Pemerintahan Indonesia tidak diperbolehkan untuk campur tangan. Begitu juga dengan pihak dari negara-negara Imperialis lainnya.
Tuntutan Hak Menentukan Nasib Sendiri Bagi Bangsa West Papua, merupakan suatu solusi yang demokratis bagi masalah kebangsaan ditanah West Papua. Itu juga merupakan salah satu praktek dari demokrasi dengan cara melibatkan Bangsa West Papua dalam menyelesaikan konflik yang berkepanjangan. Dimana seluruh masyarakat West Papua mengadakan suatu pemilihan dan memberikan pendapat mereka lewat pelaksanaan referendum, hingga menghasilkan sebuah kesepakatan langsung secara demokratis oleh semua rakyat West Papua. Mereka yang akan menentukan secara langsung lewat referendum, apakah mereka mau melepaskan diri atau masih ingin hidup dibawah Kekuasaan Pemerintahan Negara Republik Indonesia.
"Hak Menentukan Nasib Sendiri Sebagai Slogan Revolusioner"
Bagi kami, tidak ada kata tidak untuk tidak mendukung setiap tindakan yang memperkuat persatuan nasional dalam skala besar. Namun, jika persatuan nasional dalam skala besar itu dilaksanakan dengan cara pemaksaan dengan kekuataan militerisme dan intimidasi, hingga merenggut hidup suatu bangsa minoritas atas dasar dengan tujuan untuk mempertahankan kepemilikan pribadi atas alat produksi dan sumber daya alam oleh kaum Borjuis Nasional yang berkuasa saat ini, tentu adalah sangat bertentangan dengan koridor Hak Asasi Manusia. Maka, cara itu harus kami tentang, untuk menghentikan segala bentuk penindasan. Apa lagi perjuangan pembebasan bangsa tertindas adalah bagian dari sebuah konsep perjuangan kelas, yang memang tersubordinasi dari perjungan kelas buruh.
Kemenangan dari Bangsa West Papua dalam menentukan nasib sendiri, adalah ketika mereka berhasil menentukan sikap politik, mengembangkan ekonomi, sosial dan budaya secara mandiri. Sehingga, dapat menguasai dan memanfaatkan kembali seluruh sumber daya alam di wilayah mereka yaitu mulai dari Kepulauan Raja Ampat sampai dengan Merauke demi kepentingan seluruh rakyatnya. Itu juga merupakan kekalahan dari kaum Borjuis Nasional Indonesia dalam mempertahankan kepemilikan pribadi mereka atas Pertambangan, Perkebunan dan Sumber Daya Alam yang ada diwilayah West Papua. Hal itu akan menjadi suatu keuntungan yang sangat besar bagi Kelas Buruh di Indonesia untuk menyerang kekuasaan Fasis Borjuis-Kapitalis Nasional yang menindas mereka saat ini. Maka, Kelas Buruh di Indonesia harus sepenuhnya mendukung Bangsa West Papua dalam menentukan nasib sendiri, agar terlepas dari penindasan (penjajahan) yang dilakukan oleh borjuis-kapitalis nasional. Karena, yang menidas kelas buruh di Indonesia saat ini adalah borjuis-kapitalis nasional (antek-antek kapitalis-imperialisme Internasional). Maka, buruh juga perlu melakukan hal itu. Agar bisa melawan kapitalis dalam skala Internasional nantinya. Karena, antara Bangsa West Papua, Kelas Buruh, Tani Hamba dan Kaum Miskin di Indonesia memiliki musuh yang sama dan harus menyerang musuh yang sama pula, yaitu kaum Borjuis-Kapitalis Nasional Indonesia. Hanya dengan cara itu, mereka dapat membangun kepemerintahan yang lebih Demokratis dan Mandiri.
#Against_Imperialism
#Self_Determination
#Demokrasi_Kerakyatan