Aksi mahasiswa papua protes rasisme di Jakarta. Sumber: suara dot com |
Oleh : Frans Huwi )**
Rasisme adalah pengelompokan manusia berdasarkan perbedaan ras, dimana ras tertentu merasa lebih superior dan memiliki hak untuk mengatur ras yang lain. Rasisme yang paling sering terjadi ialah berdasarkan perbedaan warna kulit, dimana orang kulit putih merasa lebih superior sehingga, dapat memiliki hak atas ras kulit hitam dimuka bumi ini.
Persoalan rasisme telah terjadi cukup lama dimuka bumi ini. sejak tercipta kelas-kelas sosial dalam masyarakat dimana ada kelas yang berkuasa (kelas penindas) dan kelas yang dikuasai (Tertindas). Saat itu pula rasisme tercipta sebagai sebuah metode penindasan yang diciptakan oleh kelas yang berkuasa.
Rasisme pada masa perbudakan terjadi pengelompokan berdasarkan ras. Prakteknya lebih massif ras kulit hitam lebih banyak dijadikan budak dan ras kulit putih menjadi tuan budak karena, ras kulit putih merasa lebih superior ketimbang ras kulit hitam.
Sekarang, yang menjadi pertanyaan ialah mengapa ras kulit putih merasa lebih superior lalu memperlakukan ras kulit hitam semau mereka?
Sesuai fakta sejarah perkembangan masyarakat di dunia terutama soal terciptanya kelas-kelas sosial dalam masyarakat yang dengan jelas menerangkan bahwa, munculnya kelas-kelas sosial dalam masyarakat bermula dari Eropa sehingga, bangsa Eropa yang mayoritasnya kulit putih maka kelas penguasa dan para pedagang yang memiliki nafsu untuk mengambil keuntungan lebih itu kemudian membayar pekerja ideologi yakni, akademisi dan berbagai media untuk kemudian, menyebarkan doktrin akan rasisme ini agar kemudian dapat menindas ras kulit hitam di Afrika dan Amerika serta wilayah lainnya karena, disana menjadi sasaran untuk kemudian melakukan perluasan wilayah kekuasaan (Ekspansi), dan melakukan pengambilan (Tepatnya perampokan) sumber daya alam atau eksploitasi serta memperbudak ras kulit hitam demi kemajuan usaha mereka yang berorientasi pada menumpuk kekayaan (Akumulasi profit) dan hingga saat ini logika rasis itu masih dipelihara dengan subur oleh kelas penguasa (Borjuasi) dan pedagang (Kapitalis - Imperialis).
Sekali pun ras kulit hitam dijadikan budak oleh tuan budak terutama dalam hal menyediakan sumber bahan mentah oleh kelas penguasa dan pedagang namun, sejatinya ras kulit putih pun dijadikan buruh upahan di pabrik milik kaum pengusaha (kapitalis) di Eropa.
Artinya bahwa, ras kulit putih maupun kulit hitam sama-sama ditindas oleh kelas penguasa (Borjuasi) dan pengusaha (Kapitalis) namun, eskalasinya yang berbeda akan tetapi agar kemudian tidak dilihat kesamaan akan ketertindasan berbasis kelas ini oleh ras kulit hitam maupun ras kulit putih maka, rasisme diciptakan dan terus dipelihara dengan subur oleh kelas penguasa (Borjuasi) dan kelas pedagang (Kapitalis – Imperialis) dimuka bumi.
A. Rasisme Terhadap Orang Papua
Papua merupakan salah satu wilayah yang mayoritas penduduknya adalah ras kulit hitam, rumpun bangsa Melanesia yang hidup di wilayah pasifik selatan, Papua Barat. Papua saat ini adalah wilayah yang dikuasai secara politik (kolonisasi) oleh Indonesia dan sebagai tempat pengambilan (Perampokan) sumber daya alam sebagai bahan mentah pada berbagai industri di negara-negara maju oleh pedagang (Kapitalis Global).
Sebagai wilayah yang penuh dengan kepentingan pedagang (Kapitalis – Imperialis) ini rasisme diciptakan dan dipelihara dengan subur oleh kelas penguasa (Kolonial Indonesia) dan kelas pedagang antara rakyat Indonesia yang mayoritas penduduknya adalah ras kulit putih atau ras mongoloid, rumpun bangsa Melayu, dimana penduduk Indonesia yang mayoritasnya kulit putih itu didoktrin agar merasa diri lebih superior yang didukung oleh kelas penguasa dan pedagang untuk mengatur dan memperlakukan penduduk Papua Barat yang mayoritas penduduknya berkulit hitam secara semena-mena.
Persoalan rasisme yang menimpa rakyat Papua Barat (penduduk asli Papua Barat) telah lama terjadi berlangsung hingga saat ini.
Orang Papua dipandang masih primitif, tertinggal, bodoh, konsumtif, itu semua merupakan label berbagai stigma yang sering diungkapkan oleh penguasa (Kolonial Indonesia). Itu Cerminan daripada wujud dari logika rasis yang terus dipelihara.
Pada tahun 2015 lalu, seorang mahasiswa Papua bernama Obby Kogoya di Yogyakarta telah diperlakukan selayaknya binatang. Kogoya di injak dan hidungnya ditarik oleh aparat kepolisian dan ormas reaksioner (Organisasi kemasyarakatan yang dipelihara oleh Negara melalui aparat militer dan atau kepolisian Yogyakarta). Dalam proses hukum dalam kasus Obby Kogoya ini pun sangat diskriminatif, dimana Obby Kogoya adalah korban rasisme justru dijatuhkan hukuman sementara pelaku rasis dibiarkan tanpa proses hukum.
Selain itu pada pertengahan 2019 lalu, mahasiswa Papua di Surabaya dipersekusi dan diteriaki cacian berbau rasis oleh aparat kepolisian dan juga militer serta ormas reaksioner (Organisasi kemasyarakatan yang dipelihara oleh Negara melalui aparat militer dan atau kepolisian di Surabaya). Persekusi dan cacian berbau rasis ini kemudian menjadi viral di media sosial dalam waktu yang relatif singkat sehingga, memicu amarah rakyat Papua dan organisasi pro kemanusiaan dan demokrasi baik di Indonesia maupun di luar negeri sehingga, melahirkan berbagai protes dan kecaman atas rasisme tersebut.
Lagi-lagi penguasa (Kolonial Indonesia) tanpa menyelesaikan persoalan rasisme yang salah satunya adalah dengan cara memproses hukum pelaku rasis ini namun, merespon aksi protes rasisme itu dengan memblokade internet di seluruh Papua Barat, memobilisasi militer dan kepolisian secara massif bahkan, melakukan penembakan terhadap rakyat Papua Barat yang melakukan aksi protes, serta menangkap sebagian rakyat sipil baik rakyat Papua Barat maupun rakyat Indonesia yang mengecam rasisme dan ada juga rakyat Indonesia yang mengecam rasisme di DO atau Drop Out dari kampus serta seorang pengacara (Advokat) atau pembela HAM Veronica Koman di tetap sebagai DPO oleh penguasa (Kolonial Indonesia).
Sekalipun pada awalnya penguasa (Kolonial Indonesia) membiarkan pelaku rasis tanpa diproses hukum namun, atas desakan dari rakyat Papua Barat sendiri dan solidaritas dari rakyat Indonesia dan juga luar negeri maka, pemerintah Indonesia mulai memproses hukum pelaku rasis namun, tidak semuanya dan hukumannya pun jauh lebih ringan. Tri Susanti yang adalah salah satu anggota ormas reaksioner dan juga salah satu politisi partai gerindra di vonis bersalah namun, dihukum hanya 7 bulan penjara dan oknum aparat kepolisian dan militer dibiarkan tanpa proses hukum.
Sementara itu, 6 mahasiswa Papua dan salah satu rakyat Indonesia yang mendukung hak penentuan nasib sendiri bagi bangsa Papua Barat yang saat ini adalah sebagai juru bicara Front Rakyat Indonesia untuk West Papua, Surya Anta ditangkap dan dihukum 9 bulan penjara hanya karena, melakukan demonstrasi damai mengecam rasisme di Jakarta. Agus Kossay, Steven Itlay, Buchtar Tabuni, Alex Gobai, dan beberapa kawan-kawan lainnya masih diproses hukum, sementara Buchtar Tabuni dihukum 17 tahun penjara. Dan ada pula yang masih ditahan dan diproses hukum karena, aksi protes rasisme di Sorong, Manokwari, Nabire, Timika dan di beberapa kota lainnya di Papua Barat.
Dalam proses hukum ini pun masih sangat diskriminatif hal ini didorong oleh logika rasis yang sedang mendominasi pada penguasa (Kolonial Indonesia).
B. Jalan Keluar Untuk Mengakhiri Rasisme di Papua Barat
Persoalan rasisme akan terus bertumbuh subur di bawah kekuasaan NKRI, terutama terhadap perlakuan rasis berdasarkan ras, etnis. Sehingga memerlukan jalan keluar yang kemudian dapat mengakhiri rasisme.
Ada dua jalan keluar yang tertunda saling berhubungan yaitu, yang pertama untuk internal bangsa Papua Barat dan yang kedua adalah untuk eksternal baik Indonesia maupun luar negeri.
1. Bangun Persatuan Nasional Dalam Negeri (Internal)
Persoalan rasisme yang adalah bagian yang tak terpisahkan dari metode penjajahan atas rakyat bangsa Papua Barat oleh penguasa (Kolonial Indonesia) yang ingin terus menguasai Papua Barat secara politik dan pedagang (Kapitalis – Imperialis) yang mau terus mengambil (Merampok) sumber daya alam di Papua Barat sebagai bahan mentah pada industri milik para pedagang (Kapitalis – Imperialis) di negara-negara industri maju.
Persoalan rasisme tentu telah mengusik dan menimbulkan amarah rakyat Papua Barat sehingga, menimbulkan keinginan untuk melakukan perlawanan atas rasisme ini. Namun, satu hal, perlawanan rakyat Papua tanpa terkonsolidasi, tanpa terorganisir, tidak terpimpin dan tanpa sasaran yang tepat akan hanya menguras energi hingga mengorbankan diri sendiri tanpa ada hasil yang maksimal.
Hasil yang maksimal adalah jika militerisme di melawan, kolonialisme di Papua dapat dihapuskan, kapitalisme – imperialisme di hancur dan dibangun sebuah tatanan masyarakat yang baru tanpa fasisme, militerisme, kolonialisme dan kapitalisme - imperialisme yakni, masyarakat sosialis di Papua Barat dan dimuka bumi ini.
Namun, untuk mencapai hasil maksimal itu maka, dibutuhkan sebuah taktik yang tepat yakni, membangun persatuan nasional dalam negeri Papua Barat yang mandiri, demokratik, progresif-Revolusioner dan berjiwa kerakyatan. Sebab tanpa persatuan nasional dalam negeri yang mandiri, demokratik, progresif – revolusioner dan berjiwa kerakyatan maka, rakyat bangsa Papua tidak dapat mencapai hasil yang maksimal dan akan terus hidup dibawah bayang-bayang rasisme, militerisme, kolonialisme, kapitalisme – imperialisme.
2. Bangun Solidaritas atas Dasar Ketertindasan (Eksternal)
Secara umum manusia dimuka bumi ini terbagi dalam dua kelompok besar yakni kelompok yang menguasai dan dikuasai atau kelompok penindas dan tertindas. Kelompok penindas itu ialah kelompok penguasa (Borjuasi atau di Papua : Kolonial Indonesia) dan kelompok pedagang (Kapitalis – Imperialis) dan kelompok tertindas adalah kelas pekerja atau proletariat dan rakyat tertindas lainnya.
Penindasan yang dialami oleh manusia tanpa memandang batasan ras entah itu kulit putih maupun kulit hitam. Orang Indonesia yang berkulit putih maupun orang Papua Barat yang berkulit hitam.
Selama dia bukan bagian dari kelas yang bermilik yang memiliki sarana produksi maupun alat produksi dan atas status kepemilikan itu kemudian melakukan penindasan dengan berbagai bentuk maka, dia itu adalah kelas tertindas yang ditindas oleh kelas bermilik, biasanya penguasa (Borjuasi atau kolonial Indonesia) dan pedagang (Kapitalis – Imperialis).
Mayoritas penduduk Indonesia (sabang-Ambon) adalah kelas pekerja dan penduduk miskin. Kelas pekerja yang bekerja di pabrik milik pedagang (Kapitalis – Imperialis) dan kemiskinan yang diciptakan oleh sistem kapitalisme termasuk kaum transmigran yang kini mendominasi di tanah Papua Barat adalah korban sistem kapitalisme namun, datang ke Papua Barat karena, dicanangkan program transmigrasi oleh penguasa (Kolonial Indonesia) atas kepentingan politik (mengi-indonesia-kan) orang Papua Barat dan sambil kemudian, mendominasi di berbagai aspek kehidupan di Papua Barat sehingga, orang Papua Barat di Papua Barat terus termarjinalkan dan diperlakukan rasis dan berbagai bentuk penindasan lainnya.
Sejatinya sebagai kaum proletariat dan rakyat miskin atau rakyat tertindas adalah sama-sama sebagai kelas tertindas yang ditindas oleh kapitalisme – imperialisme. Dan mengkolonisasi Papua Barat sebagai wujud ekspansi dari watak dasar kapitalisme – imperialisme dan rasisme merupakan salah satu metode penindasan yang diciptakan dan terus dipelihara oleh kelas penindas (Penguasa: Borjuasi / Kolonial Indonesia di Papua Barat) dan Pedagang : Kapitalis – Imperialis) untuk menumpuk kekayaan bagi mereka (Akumulasi nilai lebih).
Dengan demikian membangun solidaritas antar sesama kaum tertindas tanpa memang batas ras untuk melawan militerisme, menghapuskan kolonialisme dan menghancurkan kapitalisme-imperialisme adalah salah tanggungjawab bersama bagi kelas tertindas untuk mencapai pembebasan secara bersama-sama. Sejak militerisme, kolonialisme dan kapitalisme – imperialisme dihancurkan disaat itu pula rasisme akan lenyap dari Indonesia maupun Papua dan seluruh muka bumi. (*)
* Penulis adalah Masyarakat Papua Barat, di Lembah Baliem