Edit Doc.AMP |
MELAWAN LUPA
Kasus Peristiwa Biak Berdarah Adalah Pelanggaran HAM Berat
Penulis: Marco dari Pembebasan KK Yogyakarta
Konflik politik antara Kolonialisme Belanda dengan Indonesia atas wilayah Irian Barat (Papua Barat), mendorong Amerika Serikat dibawah Kepemimpinan John F. Kennedy dan PBB sebagai sebuah Forum Imperialis Dunia terlibat dalam pesta pembagian wilayah penguasaan atas sumber daya alam. Membuat Rakyat Papua Barat terpaksa untuk medeklarasikan kemerdekaannya sebagai sebuah bangsa yang berbeda dari bangsa Indonesia pada 1 Desember 1961, dengan mengibarkan bendera Bintang Kejora sebagai sikap politik untuk keluar dari konflik politik tersebut. Namun, ditanggapi dengan kekerasan dan pembunuhan oleh Pemerintah Indonesia (bekerja sama dengan CIA) lewat Agresi militer pertama oleh pasukan ABRI lewat Operasi TRIKORA. Akibat dari desakan AS, Belanda terpaksa tunduk untuk menyerahkan Papua Barat kepada PBB secara sepihak tanpa ada persetujuan dari Papua Barat. Sehingga, ditandatanganilah Perjanjian New York pada 15 Agustus 1962 sebagai landasan untuk memperlancar Aneksasi Papua Barat oleh Pemerintah Borjuis-Kapitalis Indonesia dan Belanda pada 1 Mei 1963.
Setelah semua peristiwa penting itu terjadi, rakyat Papua merasa, bahwa tindakan dari Pemerintah Indonesia adalah menjajah bangsa dan rakyat Papua Barat. Sebab, pelaksanaan Pepera sejak 14 Juli-2 Agustus 1969 sangatlah tidak Demokratis. Mengapa, karena selama persiapan sampai dengan pelaksanaan Pepera adalah dibawah intimidasi hingga ancaman pembunuhan oleh ABRI. Hingga keberhasilan dari Pepera tersebut, merupakan kemenangan dari ABRI dalam merebut paksa dan bukan kemenangan dari rakyat Papua Barat.
Di Biak, Bendera Bintang Kejora di kibarkan diatas menara setinggi 35 meter dekat pelabuhan laut Kota Biak. Pengibaran Bendera Bintang Kejora yang dilakukan oleh Ribuan massa dari Rakyat Papua Barat, dianggap saparatis oleh Pemerintah dan Angkatan Bersenjata RI (Militer). Sehingga ratusan rakyat sipil Papua yang tinggal disekitar menara dan massa aksi dikepung hingga ditembaki dengan membabi buta dini hari pada 6 Juli 1998. Semua rakyat sipil di Kecamatan Biak, dikumpulkan dan digiring menuju pelabuhan laut Biak. Kemudian mereka disiksa dan dianiaya. Ratusan orang ditangkap sewenang-wenang, dan diculik. Puluhan orang mengalami luka tembak, bahkan korban yang dibawa oleh Militer Indonesia di RSUD Biak-Numfor dan RSAL (Rumah Sakit Angkatan Laut) Biak, tidak diberikan pelayanan. Sekitar 6 orang korban yang meninggal yang sempat dibawa ke RSAL Biak, sampai pada tahun 1999 jenazahnya tidak dikembalikan kepada keluarganya, malahan dibuang ke laut.
Meskipun setelah peristiwa pembantaian itu terjadi, masyarakat Biak tetap saja mendapatkan intimidasi dari pihak Militer Nasional Indonesia. Sehingga membuat para pencari fakta dan data terkait korban Kekerasan dan Pembunuhan oleh Militer Nasional Indonesia sangatlah susah. Ditambah dengan keresahan masyarakat Biak dengan terdamparnya puluhan mayat misterius diperairan Biak.
Tindakan Kekerasan Negara oleh Aparat Militer Nasional Indonesia terhadap masyarakat sipil Papua Barat merupakan Pelanggaran HAM Berat, namun para (Jenderal-Jenderal) pelaku tak pernah diadili dan diberikan hukuman yang setimpal. Malahan, mereka diberikan jabatan yang tinggi dalam struktuk Kepemerintahan Negara Indonesia, diberikan kekayaan (tanah) yang melimpah, dan bahkan menguasai perusahaan-perusaan swasta.
Semua peristiwa yang terjadi di wilayah Papua Barat sampai hari ini, tidak bisa dilepaskan dari sejarah yang pernah terjadi sebelumnya di wilayah Papua, mulai Trikora tahun 1961 hingga Pepera tahun 1969 yang tidak demokratis. Sehingga membuat rakyat dan bangsa Papua Barat membangun berbagai bentuk gerakan politik dalam mempertahankan kedaulatan mereka sebagai satu bangsa yang mandiri dan merdeka. Berbagai pelanggaran HAM dan Kejahatan Kemanusiaan pun terjadi di wilayah Papua Barat, dan itu tak pernah terselesaikan termasuk Peristiwa “Biak Berdarah” yang terjadi pada 06 Juli 1998. Sekitar Ribuan rakyat Papua Barat yang Pro-kemerdekaan melakukan aksi damai di pulau Biak, untuk mempertahankan pengibaran bendera Bintang Gejora. Aksi tersebut juga terjadi di Jayapura, Sorong, Manokwari dan Jayawijaya sepanjang bulan Juli sampai dengan Oktober 1998. Namun, ABRI berusaha meredam dan menggagalkannya aksi tersebut dengan melakukan kekerasan hingga pembunuhan terhadap rakyat Papua Barat. Hingga 230 massa aksi menjadi korban. Diantaranya, 8 orang meninggal dunia, 3 menghilang, 4 luka berat, 33 luka ringan, 150 yang ditanah dan di siksa sewenang-wenang, dan 32 mayat misteruis (menurut data ELS HAM Irian Jaya: Juli 1999).
Aksi damai yang dilakukan oleh ribuan Rakyat Papua Barat bertujuan untuk menjaga pengibaran Bendera Bintang Kejora, yang merupakan bentuk kekecewaan atas tindakan Penganeksasian Papua Barat oleh Pemerintah Indonesia. Tentunya, tindakan Aneksasi oleh Pemerintah Indonesia atas Papua Barat merupakan tindakan yang Inskonstitusional, karena melanngar “Hak Menentukan Nasib Sendiri” sesuai dengan Convenan Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik dan Hukum Internasional lainnya mengenai Hak Asasi Manusia, tidak demokratis dan cacat hukum.
Aksi damai tersebut juga dilakukan untuk menanggapi berbagai Pelanggaran HAM dan Kemanusiaan yang dilakukan oleh ABRI (Militer Indonesia) selama operasi militer di wilayah Papua dan Papua Barat sejak Agresi Pertama Militer sampai sebelum tahun 1998, dengan cara kilat diluar hukum dan tersistematis (crime against humanity).
Sudah hampir 68 tahun semenjak Aneksasi wilayah Papua Barat oleh Pemerintah Indonesia, hak-hak bangsa dan rakyat Papua terpasung. Berbagai pembunuhan, pemerkosaan, penembakan, penangkapan sewenang-wenang dan penyiksaan diluar hukum oleh TNI-POLRI (dulu ABRI) merupakan tindakan yang merampas hak-hak masyarakat adat dan pelanggaran HAM Berat, menempatkan rakyat Papua Barat dalam situasi yang menakutkan, hilang rasa percaya diri, gangguan psikolog dan trauma yang sangat mendalam.
Berbagai usaha yang dilakukan oleh rakyat Papua Barat dan Aktivis HAM maupun Demokrasi Papua dalam membebaskan diri dari rantai penindasan yang tersistematis lewat gerakan politik dan aksi mimbar bebas selalu mendapat respon yang berlebihan dari Pemerintahan dan Militer Indonesia, sehingga mengakibatkan Pelanggaran HAM dan Kejahatan Kemanusiaan di Papua Barat semakin menumpuk.
Penangkapan atas Anggota AMP KK Jakarta yaitu Roland, Kelvin, JUBI Internasional KNPB dan PRP (Petisi Rakyat Papua) Victor dan Beberapa Aktivis Papua lainnya menandakan bahwa semakin sempitnya ruang demokrasi di papua maupun diwilayah Indonesia. Usaha untuk meredam gerakan rakyat Papua dalam Menentukan Nasib Sendiri semakin direpresif dan kerap mendapatkan diskriminasi dari pihak Kepolisian Indonesia. Penggunaan pasal makar terhadap gerakan rakyat papua bersama solidaritas dari Indonesia, sungguh tidak sesuai dengan prosedural dan mekanisme Hukum Internasional lewat DUHAM oleh Majelis Umum PBB yaitu Convenan Internasiona tentang Hak-Hak Sipil dan Politik, Covenan Internasional tentang Hak-Hak Ekonomi, Sosial dan Budayabahkan sangat bertentangan dengan Konstitusi Negara Indonesia sendiri seperti; UUD 1945 Amandemen ke II yaitu dalam Pasal 28 E ayat (2), UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia Pasal 22 ayat (3), UU No. 11 Tahun 2005 tentang Pengesahan Kovenan Internasional Tentang Hak-Hak Ekonomi, Sosial Dan Budaya dan UU No. 12 Tahun 2005 tentang Pengesahan Kovenan Internasional Tentang Hak-Hak Sipil Dan Politik.
Sampai saat ini, berbagai bentuk Pelanggaran HAM dan Kejahatan Kemanusiaan tak pernah diusut tuntas oleh Pemerintah Indonesia, hingga membuat berbagai Aktivis HAM dan Demokrasi mengecam dengan keras atas tindakan Aparat Negara yang selalu sewenang-wenang atas berbagai kebebasan politik di wilayah Papua dan Indonesia. Sampai kapanpun, tidak solusi alternatif yang paling demokratis untuk masalah yang terjadi diatas tanah Papua Barat, kecuali Pemerintah Indonesia memberikan “Hak Menentukan Nasib Sendiri untuk Bangsa West Papua” sesuai dengan hukum dan konstitusi yang berlaku di Indonesia maupun Internasional. Karena, hanya itu solusi yang tidak bisa diwakili oleh siapapun atas konflik politik Papua Barat dengan Indonesia saat ini. Agar rakyat dan bangsa Papua barat dapat beraktivitas selayaknya manusia yang memiliki kebebasan politik; berserikat, berpikir, berdiskusi, menyampaikan aspirasi, dan bebas menentukan kebijakan untuk pengembangan ekonomi, sosial serta budaya mereka sebagai pribumi.
Marco
Yogyakarta, 5 Juli 2021