ilustrasi kapitalisme tidak sama dengan demokrasi/ sumber: wiratno81 - WordPress.com |
Judul tulisan ini telah dijadikan topik pendiskusian AMP Bandung, melihat situasi terakhir yang berkembang ditengah masyarkat yang kemudian, juga, mengalihkan pandangan titik fokus masyarakat umum, untuk kepentingan para elite politik dalam pesta mokrasi yang dislogankan bahwa pesta rakyat.
Pandangan AMP Bandung bahwa, atas situasi dan kondisi saat ini di atas Teritori West Papua dengan pesta demokrasi colonial Indonesia tidak ada pengaruhnya bagi Bangsa Papua dan Tanahnya—sebab penindasan dan penjajahan terus berlanjut—kenapa? Karena, fakta hari ini jelas! Pesta Demokrasi yang di lakukan oleh sistim Negara (baca: Indonesia) yang sedang menjajah kepada Rakyat West Papua, yang adalah bangsa yang sedang di jajah, itu logikanya sangat konyol. Karena tindakan penjajah, apa pun itu wujudnya, yang jelas dan pastinya akan berujung pada tindakan kolonisasi dan kepentingan Indonesia beserta negara-negara kapitalis yang punya kepentingan langsung dan tak langsung di West Papua.
Melihat kembali Sejarah Aneksasi dan Pepera 1969 yang dilakuakan bersadarkan Hukum Internasional—dan pada prakteknya cacat hukum—adalah tindakan legalitas dimata dunia. Selanjutnya, sistim pemerintahan kolonial Indonesia menduduki di West papua dengan tindakan-tindakan militeristik, juga, dengan berbagai rangkaian operasi yang hard sampai soft.
Atas semua rentetan sejarah yang telah terjadi dan sedang terjadi di periode ini, Rakyat West Papua sangat sadar dan telah mengetahui akar persoalan; status politik dan sejarah yang pernah di sabotase oleh Indonesi, Belanda, Amerika dan PBB melalui UNTEA: atas kongkalingkong demi kepentingan ekonomi politik bagi mereka.
Jadi sekarang siapa mau tipu siapa, atau masih mau berbohong? Bangsa West Papua sangat mengenal watak Negara colonial Indonesia dengan system negaranya yang berpaham demokrasi ‘’Liberal’’ ini.
Menjelang pesta Demokrasi colonial Indonesia diatas Teritori West Papua, yang belakangan ini kita ikuti, pernyataan-pernyataan yang di lontarkan Lukas Enembe sebagai gubernur kolonial Indonesia di Teritori West Papua, yang memberikan pernyataan dipublik, bahwa, "Saya hanya mengurus rakyat. Saya dari dulu mengurus rakyat Papua, itu tugas saya.”
Analisa pernyataan para birokrat Papua pasca jelang Pilkada Serentak di West Papua, dari keberadaan sosial yang sangat krusial, keterasingan, keresahaan atas tindakan pemerintahan yang tak pro kepada kemauan rakyat Papua dan tindakan-tindakan militeristik, bahwa pernyataan-pernyataan itu hanya untuk menipu rakyat west Papua, dan justru para birokrat itu pun ada di barisan kolonial.
Sebab, misalnya, Enembe mengaku dirinya mengurus rakyat, bagaimana dengan tragedi Paniai Berdarah, yang telah menewaskan 4 Pelajar Sekolah Menengah Atas (SMA), pada 08 Desember 2014 silam, kasus pembunuhan Musa Mako Tabuni pada 2012, Kasus Pembunuhan Robert Jitmau, dan segalah macam persoalan, penindasan, pembunuhan, genosida yang telah dan sedang tamu rakyat west Papua? Atau kasus Sweeping di Dogiai yang baru-baru ini terjadi, ada intervensi dirinya secara nyata dalam penanganan kasus ini? Jangankan penanganan kasus, mencoba untuk menjaga rakyat agar tak mengulangi atau meminimalizir penindasan—seperti pernyataannya—saja tak mampu.
Bila kita mengamati kasus kekerasaan di Dogiai yang baru-baru ini terjadi adalah murni kepentingan para elit politik (Birokrat) dan bisnis militer. Bila dilihat dari kronologi kejadian, pertama, Polda Papua mengirim satuan Polisi gabungan Brigadil Mobil, yang diberi-nama GOMPRA, untuk menjaga berlangsungnya Pemilu serentak di Papua. Kedua, adalah kehadiran GOMPRA di Dogiai, telah meresahkan keberadaan masyarakat hingga satu pemuda meninggal dunia dan puluhan masyarakat mengalami luka-luka. Ketiga, kehadiran satuan Gompra di Dogiai untuk mengamankan berjalannya Pesta Demokrasi namun justru menciptakan kisru di tengah-tengah keberadaan sosial masyarkat Dogiai.
Militer mampu menciptakan konflik, meresahkan masyarakat, tetapi Proses persiapan Pemilihan Umum dijalankan dengan baik.
Ini kan jelas! Pesta demokrasi yang di buat dalam 5 tahun sekali—hanyalah bersifat seremonial dan momentul replay tindakan yang sama dan, bahkan, lebih sadis penjajahan Indonesia di West Papua. Bahwa, Demokrasi Hanya demi kepentingan Ekonomi-politik pusat Kolonial Indonesia di Jakarta, dan demi posisi kedudukan dan jabatan di daerah koloni Teritori West Papua, yang menurut kolonial Indonesia sebut Provinsi Indonesia timur Papua dan Papua barat.
Lalu dengan pemilu Pesta Demokrasi yang akan dilakukan serentak di West Papua, yang sedang ramai-ramai sedang mempersiapkan diri kandidat dan sedang menyibukan masyarakat dalam kegiatan kampanye para elit, yang tentu mereka adalah wajah-wajah Indonesia, dapat memberikan suatu sprite bagi kolonial untuk meredamkan arus gerak perjuangan politik Rakyat West Papua.
Sehingga sangat tidak perlu dan, bukan waktunya Rakyat West Papua bersikap munafik. Hari ini kita yang masih bernafas, adalah yang tersisah, sehingga dengan kesempatan ini dapat kami mengingatkan kembali, terutama untuk rakyat West Papua agar tidak terhanyut tenggelam dan terlenah dengan situasi ini. Arus gerak pergerakan perjuangan politik kita rakyat West Papua, jalan tidak bisa dihentikan oleh siapa pun. Diam berarti terhenti... Tidak!
Solusinya hanya satu! Hak menentukan Nasib Sendiri Bagi Rakyat West Papua.
Salam pembebasan!
Tulisan diatas ini adalah hasil diskusi bersama Komite Kota Bandung, Aliansi Mahasiswa Papua [KK Bandung-AMP]