Oleh: Jesus Anam*
Tulisan ini diterbitkan kembali di media online ampnews.org setelah diterbitkan di media cetak koran Kejora Edisi I, berthema memupuk Nasionalisme West Papua.
Sejak tahun 1969, sejak Indonesia “meresmikan diri” menjadi penjajah bagi bangsa Papua, hampir setiap hari terjadi penindasan, diskriminasi ras, dan bahkan pembunuhan. Laporan dari Sydney University, dalam pengadilan yang diberi nama Biak Massacre Citizen, sebuah pengadilan yang didasarkan pada penyelidikan atas kasus yang terjadi di Biak tahun 1998 lalu, menyebutkan bahwa telah terjadi pembantaian terhadap warga sipil secara diam-diam di Biak, bahwa sepasukan tentara telah menembaki anak-anak berseragam sekolah, melakukan pemerkosaan, menyiksa warga sipil dan bahkan memutilasi mereka, sebelum akhirnya pasukan bersenjata itu membuang jasad-jasad tersebutke laut. Kisah-kisah semacam ini akan membuat bulu kuduk manusia beradab berdiri. Dan semua ini adalah perwujudan dari imoralitas negara borjuis Indonesia yang memperlakukan rakyat Papua sebagai bukan manusia.
Ribuan orang Papua telah tewas dalam praktik imperialisasi ini, ribuan yang lain terluka, dan ribuan lagi menjadi yatim-piatu. Pembantaian dan teror menakutkan sudah dilakukan oleh borjuis Indonesia sejak tahun 1969—di awal pemerintahan Orde Baru. Saat itu, pada bulan Juli-Agustus 1969, Republik (Borjuis) Indonesia melakuan pemungutan suara, yang dikenal dengan nama Pepera (Penentuan Pendapat Rakyat), dengan cara mengangkat tangan di depan pasukan beringas tentara. Di bawah todongan senjata berat, perwakilan rakyat Papua, yang berjumlah 1025 orang, dipaksa untuk memilih integrasi dengan Indonesia.
Pembantaian dan teror menakutkan terus berlanjut. Dari tahun 1969 hingga berakhirnya Orde Baru terus-menerus terjadi serangkaian pembantaian yang dilakukan oleh tentara terhadap rakyat Papua. Pada bulan Juni 1971, misalnya, Henk de Mari, seorang jurnalis De Telegraaf, melaporkan bahwa telah terjadi pembantaian terhadap rakyat Papua oleh tentara. Berita ini diterbitkan oleh De Telegraaf pada bulan Oktober 1974 (dalam “Reportage van Henk de Mari over Irian-Jaya in De Telegraaf van 11, 12 en 19 Oktober 1974”). Di era Reformasi pembantaian juga masih terus terjadi, mulai dari pembunuhan yang bersifat terang-terangan hingga yang diam-diam, di antaranya dengan dalih tabrak lari.
Penjarahan yang disertai dengan pembantaian di tanah Papua harus dilawan! Bergunung-gunung makanan ada di tanah yang subur dan indah ini, namun diambil dengan paksa oleh borjuasi Indonesia, sehingga mayoritas rakyat Papua menderita kelaparan, kekurangan gizi, dan kemiskinan. Anak-anak Papua banyak yang mati karena busung lapar. Pada tahun 2013, misalnya, 95 anak Papua dari Kabupaten Tambrauw meninggal dunia akibat busung lapar. Dan hasil dari berbagai riset mengenai kemiskinan di Papua sungguh memilukan: Papua masih terus menyandang gelar sebagai daerah termiskin.
Kami, kaum Marxis, sangat mengecam praktik imperialisasi brutal tersebut. Kami mendorong rakyat Papua untuk terus melawan praktik perbudakan ini. Orang-orang Romawi kuno menganggap budak sebagai "perkakas yang dapat berbicara" (instrumentum vocale), dan kini, rakyat Papua, oleh borjuis Indonesia, sepertinya juga sedang dianggap seperti itu, sebagai budak, sebagai instrumentum vocale, sebagai “perkakas yang dapat berbicara”.Seharusnya rakyat Papua sudah hidup dalam peradaban yang modern, merdeka dan makmur. Tapi, sejauh ini, orang Papua masih berada dalam peradaban yang tertinggal, terisolasi, dan diperbudak.Hidupnya tertekan dan ketakutan. Kekayaannya digerogoti. Jiwanya diancam.
“Marxisme kami” mendukung perjuangan pembebasan rakyat Papua dengan perspektif “kelas” dan internasionalisme, yaitu mendorong gerakan Papua Merdeka untuk terlibat aktif di dalam persatuan perjuangan kelas proletar internasional. Ini sebagai langkah politik yang tepat untuk menumbangkan segala bentuk penindasan di tanah Papua dan di seluruh dunia. Kamerad Lenin, dalam The Revolutionary Proletariat and the Right of Nations to Self-Determination, mengatakan bahwa kaum Marxis harus mendorong persatuan kelas proletar dunia dan mendukung semua bangsa tertindas untuk menentukan nasibnya sendiri. Jadi, “Marxisme kami” mendukung hak bangsa Papua untuk menentukan nasibnya sendiri, termasuk hak untuk membentuk sebuah negara merdeka. Namun kami tidak mendukung adanya kolaborasi kelas dalam perjuangan ini. Pembebasan bangsa Papua dari penjarahan borjuasi Indonesia hanya bisa dicapai dengan perjuangan yang bebasis kelas tertindas dan berkoneksi dengan perjuangan proletariat di seluruh dunia.
Perjuangan kelas adalah fakta bagi rakyat tertindas Papua. Seluruh sejarah menunjukkan bahwa kelas penguasa tidak dengan begitu saja melepaskan kekuasaannya, dan akan selalu mempertahankan kekuasaannya dengan jalan yang paling brutal, jika dianggap perlu. Jangan berharap pada kebaikan borjuasi, melalui diplomasi atau lobi. Bagi borjuasi, masa depan rakyat Papua menjadi perbincangan di nomor sekian dibandingkan dengan kepentingan mereka untuk menjarahnya.
Mari kita kibarkan bendera Bintang Fajar di atas pundak rakyat tertindas, melalui perlawanan massa, yang terkoneksi dengan massa tertindas di seluruh dunia. Hanya dengan cara ini rakyat Papua akan melihat dirinya sebagai manusia, dirinya yang sanggup mengendalikan takdirnya sendiri, dan bukan sebagai instrumentum vocale—atau budak.Namun semua ini tidak akan tercapai, tidak akan sampai pada kemenangan, kecuali terlebih dahulu membangun organisasi perlawanan yang kokoh, yang di dalamnya bersemanyam teori dan praksis revolusioner, sebuah organisasi yang akan menjadi medium politik seluruh rakyat tertindas Papuadan memimpin perlawanannya hingga ke garis kemenangan. Perjuangan untuk pembebasan tidak bisa dilakukan dengan asal-asalan dan dengan strategi-taktik yang sederhana, tapi harus menghubungkan, secara dialektis, antara teori revolusioner dan praksis revolusioner, antara diskusi yang ketat dan aksi massa yang kuat; ini seperti kombinasi kerja revolusioner antara tangan dan nalar. "Nec manus, nisi intellectus, sibi permissus, multum valent,"begitu tulis Francis Bacon; “Baik tangan, maupun nalar, jika dipisahkan satu sama lain, tidak akan bernilai apa-apa.”
Bogor, 25 Oktober 2016.
Penulis adalah komandan Militan Indonesia