Penulis: Jambuana Jarere*
Selama ini sebagian besar rakyat Papua banyak yang mempunyai paradigma mistik atau masih terjebak dalam hal-hal gaib bahkan religius.
Banyak kejadian-kejadian alam atau kejadia besar dianggap muncul begitu saja atau turun dari langit.
Saya memakluminya karena—kondisi keberadaan sosial dibawa hegemoni penguasa—dari kecil otak mereka telah dicekoki oleh ide-ide dan pengetahuan mistik. Pengetahuan mistik itu secara sistematis ditancapkan sejak kecil, agar pikirannya penuh racun dan fallacy. Kekuasaan mempunyai tujuan jelas terhadap hal ini, yaitu agar sistem kekuasaan langgeng.
Dari sejarah dunia, telah menunjukan dengan nyata bahwa kaum penguasa sangat menyukai produksi mistik terhadap masyarakat, agar sistem struktur masyarakat tetap langgeng, yang diatas tetap diatas, yang dibawah tetap dibawah, untuk itu digunakanlah mitos-mitos mistik seperti agama, nyi roro kidul, jin, dan lain sebagainya dan masyarakat dihadapkan pada sesuatu yang tidak punya pilihan lagi, selain merenungi bahwa hidupnya di dunia sebagai takdir belaka.
Struktur agama, membuat manusia terperangkap dalam situasi yang telah disusun secara sistematis oleh lembaga-lembaga kekuasaan struktural agar stagnan/tidak mengalami perubahan. Pengetahuan kita tentang hal-hal yang barbau mistik membuat kita memandang dunia ini sebagai sesuatu yang stagnan, kita menganggap rotasi bumi mengalami konstanta 24 jam per hari, kita menganggap alam semesta bergerak secara konstan, tersistematis, dan rapi, kita menganggap bahwa semuanya seperti diam dan tidak bergerak, sehingga kejadian seperti Tsunami Aceh, gempa di Yogya, atau gempa di Nabira, Papua, dianggap sebagai suatu gejala tunggal yang digerakan oleh sumber takhyul—atau makluk gaib yang ada diatas langit sana.
Disini artinya segala gejala alam itu dianggap sebagai kemarahan kekuasaan gaib absolut (God) dan meremote alam semesta dan menggerakan kejadian tunggal.
Tentu ini paradigma manusia-manusia yang pengetahuannya level purba. Namun saya telah berkali-kali mambaca materialisme dialektik, suatu ilmu/tools analisa, yang melihat alam semesta dalam saling keterhubungan. Tepatnya dari analisa materialisme dialektik, semua gejala alam itu bukanlah suatu gejala tunggal yang muncul begitu saja, namun didahului oleh gejala-gejala kecil yang mendahuluinya terlebih dahulu. Gejala-gejala kecil ini datang dalam bentuk kuantitative yang kecil, namun kemudian gejala-gejala kecil kuantitative ini terkumpul, terkonsentrasi dan tiba-tiba meledak berubah menjadi gejala kualitatif atau lompatan besar, atau tiba-tiba terjadi kejadian besar.
Jadi jelas kiranya bahwa kejadian besar bukanlah suatu kejadian tunggal yang muncul seperti yang dipercayai oleh orang Papua selama ini yang otaknya banyak tercekoki oleh pengetahuan mistik, namun kejadian besar bermula, atau diawali dari kumpulan/kuantitative gejala kecil yang terkonsentrasi.
Saat ini dengan adanya kemajuan sains, kiranya merupakan kemenangan filsafat materialisme dialektik, sains telah menjelaskan bahwasanya 1 gunung meletus di sebuah tempat mampu mengaktifkan gunung lainnya yang semula dianggap diam/pasif. Semua hal kejadian besar ini akibat semua materi bergerak, baik materi padat, cair ataupun gas, atau akibat interaksi gerakan materi kecil terlebih dahulu. Kini jelas terketahui bahwa banyak sekali pengetahuan takhyul kita yang salah, seperti apakah benar bumi bisa berotasi 24 jam persis plekkk dalam setiap harinya?
Contoh lain tentang suatu lompatan kualitas yang berasal dari suatu gejala kecil adalah perhatian kita terhadap suatu anak bayi. Bayi semula akan melihat orang tuanya berdiri, dan setelah bisa merangkak, timbul keinginan seorang bayi untuk bisa berdiri, dari sini seorang bayi akan mencoba-coba terus, dari percobaan-percobaan untuk bisa berdiri maka pelan-pelan akan menguatkan ototnya. Namun kesuksesan seorang bayi untuk bisa berdiri tidak muncul begitu saja, namun percobaan-percobaannya akan selalu gagal terlebih dahulu, sampai kemudian terjadi 'sim salabim' atau ', suatu kalimat yang disukai oleh para kaum takhyul, bahwa seorang anak bayi tersebut tiba-tiba bisa berdiri. Kemampuan berdiri ini adalah suatu lompatan kualitative, tampak seperti mendadak, tampak seperti , tampak seperti sulap, namun sesungguhnya gejalanya sudah bisa kita lihat ketika anak bayi ini mencoba-coba terus untuk berdiri karena meniru orang yang dilihatnya bisa berdiri.
Setelah bayi bisa berdiri, maka dia akan mampu berdiri terus, karena mekanisme ototnya sudah kuat, sehingga ketika bayi telah mampu melakukan suatu revolusi terhadap dirinya sendiri, maka bayi itu mempunyai kemampuan baru yang telah dicapainya secara terus menerus.
Disinilah ketidaksadaran manusia-manusia Papua tentang pentingnya revolusi. Revolusi dianggap sebagai suatu hal yang mengerikan dan merusak tatanan. Jelas ini suatu paradigma yang keliru dan merupakan abstraksi cerminan kebodohan analisa para ahli sosial yang tidak mengerti dialektika materialisme sebagai ilmu yang mencoba menganalisa seluruh hakekat gejala alam secara realistis.
Mari kita lihat dan belajar apa yang terjadi di Eropa, setelah terjadi era age of enlightenment, yang diawali oleh rasionalisme para pemikirnya, maka segera memicu terjadinya revolusi Prancis, dan berlanjut ke revolusi besar di Russia, dan mengubah tatanan dunia baru termasuk memicu merdekanya sebuah negeri bernama Indonesia. Jadi disini nampak jelas juga bahwasanya merdekanya negara kolonial Indonesia pada waktu tidaklah berasal dari gejala tunggal terutama diakibatkan oleh Soekarno, namun perubahan besar di Eropa terutama revolusi besar di Russia memicu kesadaran negeri-negeri jajahan untuk melepaskan diri dari cengkeraman kolonialisme. Anti-kolonialisme terutama di Asia telah menjadi perhatian V.I. Lenin, dan dari Lenin terbawa oleh Tan Malaka ke Indonesia, demikian juga dengan Henk Sneevliet seorang agen komintern Soviet kemudian datang pada tahun 1912, mendirikan ISDV/PKI dan mengorganisasi perlawanan terhadap pemerintahan kolonialisme, dan lalu memicu gerakan pemberontakan para komunis gaek indonesia di tahun 1926 yang dipelopori oleh Musso, Alimin, dan Darsono, setelah gerakan komunisme diberantas oleh pemerintah Hindia Belanda, baru muncul aktivis baru bernama Soekarno dan disusul Hatta dan lain sebagainya.
Kemudian pencerahan materialisme ini juga memicu suatu perang besar yaitu perang dunia kedua, dan kita lihat Jepang, Jerman, Russia, Amerika adalah negara-negara terdepan dalam revolusi. Revolusi yang telah mereka lakukan jauh-jauh hari seperti percobaan seorang anak bayi untuk berdiri, ketika mereka telah melakukan lompatan kualitatif revolusi, maka mereka merupakan negara yang telah mampu berdiri seperti seorang anak bayi, sehingga ketika jepang dihancurkan oleh Amerika, maka jepang cepat bangkit, ketika jerman dihancurkan oleh Soviet, maka jerman cepat bangkit, atau ketika komunisme ambruk di Soviet di tahun 1991, Russia juga cepat bangkit, demikian juga analisa saya terhadap Amerika yang ambruk pada oktober 2008, mereka semua adalah negara yang telah mengetahui bagaimana cara berdiri yang benar, mereka punya otot-otot yang telah kuat untuk berdiri kokoh hasil dari percobaan-percobaan revolusi yang telah mereka lakukan jauh-jauh hari sebelumnya, sehingga mereka semua merupakan negara-negara yang akan mampu cepat bangkit dari keterpurukan, ini seperti halnya apabila anda telah mampu berdiri dan sesungguhnya telah mempunyai otot yang telah kuat untuk berdiri, lalu terantuk batu dan jatuh, maka jatuhnya anda hanya akan dalam tempo/waktu sementara, dan untuk selanjutnya maka anda akan cepat pulih untuk bisa berdiri lagi. Lain halnya kalau suatu negara belum pernah melakukan suatu lompatan kualitatif untuk mencoba untuk berdiri (revolusi), cara berdiri saja tidak tahu bagaimana negara ini akan bisa berdiri tegak? Negara yang belum pernah melakukan revolusi atau lompatan kualitatif jelasnya negara tersebut belum mempunyai otot yang kuat untuk berdiri.
Suatu lompatan kualitatif dari suatu gerak kecil yang kuantitative inilah yang menjadi kritik utama terhadap kejeniusan teori evolusinya Darwin. Darwin (bisa dimaklumi) menganggap bahwa perubahan bersifat gradual, namun ketika Karl Marx, Engels, Lenin mengadopsi kejeniusan GW Hegel terhadap teori dialektikanya, maka terungkap sudah bahwa gerakan dan perubahan selalu bersifat kuantitative menjadi kualitative dan kemudian berubah ke kuantitative lagi, atau suatu gejala bisa dijelaskan berawal dari evolusi (perubahan kecil), terkumpul dan terkonsentrasi secara kuantitative/jumlah, sehingga tiba-tiba menjadi suatu lompatan besar/kualitative/revolusi, dan kemudian balik lagi ke perubahan kecil-kecil lagi (kuantitative), dan begitulah seterusnya.
Uraian diatas bisa menjelaskan bagaimana suatu revolusi terjadi, dan bagaimana suatu revolusi dibangun. Revolusi tidak datang dengan tiba-tiba, namun Ia akan diawali oleh suatu gejala kecil terlebih dahulu, seperti lebah mengepakan sayap, ketika lebah tersebut mengepakan sayap sendirian, maka Ia seperti tidak akan bermakna apa-apa, namun lebah itu mampu menarik perhatian lebah-lebah lainnya untuk mengumpul, sampai kemudian jutaan lebah berkumpul untuk bersama saling mengepakan sayap, sehingga terjadilah badai angin.
Hanya sebuah cacatan.
Hormat kamerade
Salam Revoleusi
Penulis adalah kader Aliansi Mahasiswa Papua