SISTEM PENDIDIKAN INDONESIA DI PAPUA SEBAGAI UPAYA NASIONALISME NKRI



 

Oleh : Midi Villexz Kogoya

 

Pendidikan ialah sebuah institusi yang sangat penting dalam membangun peradaban suatu bangsa. Kemajuan suatu bangsa cepat atau lambat ditentukan oleh bagaimana Pendidikan generasi muda di dalamnya dirumuskan, dan diterapkan. Kualitas sebuah bangsa diukur dari kemampuan bagaimana negara itu menerapkan sistem pendidikan yang tepat untuk menjawab ragam masalah kehidupan yang mempengaruhi keberlangsungan hidup masyarakatnya.

Melalui Pendidikan seseorang dibentuk karakternya, kepribadiannya, sudut pandang tentang dirinya dan dunia sekeliling dia, dan melalui proses pendidikan dalam bidang tertentu yang ditekuninya pula seseorang itu mempunyai kemampuan dalam melihat suatu peristiwa, menganalisis peristiwa itu, dan memberikan argumentasi-argumentasi sesuai dengan bidang kepakarannya mengenai peristiwa itu. Melalui Pendidikan seseorang dibentuk karakternya, kepribadiannya, sudut pandang tentang dirinya dan dunia sekeliling dia, dan melalui proses pendidikan dalam bidang tertentu yang ditekuninya pula seseorang itu mempunyai kemampuan dalam melihat suatu peristiwa, menganalisis peristiwa itu, dan memberikan argumentasi-argumentasi sesuai dengan bidang kepakarannya mengenai peristiwa itu.

Mencerdaskan kehidupan bangsa (UUD - RI  alinea ke- 4, 1945) merupakan cita- cita pendiri negara Indonesia. Pada awal kemerdekaan tahun 1945 jumlah penduduk buta aksara mencapai 97 persen, namun pada tahun 2015, jumlah penduduk buta aksara telah berkurang menjadi 3,4 persen atau sebanyak 5,6 juta orang.

Founding Fathers Indonesia Muhammad Yamin, Soepomo, dan Soekarno sangat percaya bahwa dengan adanya kemerdekaan bangsa indonesia, maka angka buta haruf akan menurun, dengan adanya sistem pendidikan yang berbasis budaya indonesia maka harkat martabat bangsa indonesia akan di angkat setera dengan negara lain.

Artinya bahwa cita- cita kemerdekaan bangsa papua dari indonesia adalah jaminan untuk mencerdaskan  bangsa papua, menghidupkan budaya, menjaga dan melindungi alam, dan mengangkat harkat martabat orang papua dari rasial penjajahan. Bila kita presentasekan angka buta huruf awal kemerdekaan  RI  tahun 1945,  97 persen dari populasi 61 jt orang, artinya lebih dari 50 Jt orang indonesia saat itu masih primitif  dalam kebodohan. Sedangkan angka buta huruf bangsa west papua tahun  2019, 22.8 persen dari populasi 4 jt orang , artinya kurang dari 1 Jt orang masih belum mendapatkan pendidikan yang layak.

Konsep pendidikan indonesia Mencetus dan pelopor lewat   Ki Hajar Dewantara mengatakan pendidikan harus didasarkan pada asas kemerdekaan, memiliki arti bahwa manusia diberi kebebasan dari Tuhan yang Maha Esa untuk mengatur kehidupannya dengan tetap sejalan dengan aturan yang ada di masyarakat, selanjutnya diberi nama “Tri Pusat Pendidikan”, yaitu suatu pelaksanaan pendidikan dengan melibatkan alam keluarga, alam perguruan, dan alam masyarakat untuk membentuk manusia-manusia yang unggul, berbudi pekerti dan cerdas.

Artinya dalam pelaksanaan proses pendidikan harus melibatkan ilmu pengetahuan sosial masyarakat sekitar yaitu tentang  pengetahuan alam, budaya, bahasa, sejarah dan lainnya, jadikan sebagai bahan materi dalam proses mengajar belajar  di sekolah maupun di perguruan tinggi.

Akan tetapi sejak indonesia mengkoloni wilayah West Papua pada 19 Desember 1961 dan 1 Mei 1963 semua buku- buku sejarah manifesto perjuangan bangsa papua di bakar habis termasuk berbagai pembangunan infrastruktur fasilitas lain, hal itu di ungkapkan dalam buku (Dr. Socratez Sofyan Yoman, pemusnahan etnis melanesia. 2007.)

Pegiat sastra dan pemerhati pendidikan di Papua Andy Tagihuma dalam seminar yang diselenggarakan oleh mahasiswa Papua di kampus FISIPOL UGM Yogyakarta 2019 mengatakan  Sistem pendidikan di Indonesia dinilai tak cocok diterapkan di Tanah Papua. Awal tahun 1930-an, banyak buku-buku tentang Papua yang diterbitkan oleh para misionaris dalam bahasa Biak. Lalu kemudian, banyak buku-buku dari bahasa Melayu kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Biak. Buku-buku itu kemudian didistribusikan dari Biak hingga Raja Ampat, pada waktu itu para misionaris membuat sekolah untuk mengajar anak-anak Papua.

Sistem pendidikan yang diterapkan saat itu juga sangat baik sehingga mereka yang didik pada zaman itu jauh lebih pintar. “Karena sistem pendidikan yang diterapkan sangat tepat. Yaitu menyesuaikan dengan kondisi rill dan kebutuhan yang sangat penting bagi anak-anak papua. Kalau pada saat Papua sudah bersama Indonesia sistem pendidikan rusak. Karena sistem pendidikan menggunakan standar secara merata (pendidikan sentralistik) tanpa melihat kondisi-kondisi yang ada di lapangan, termasuk kondisi sosial dan budaya setempat.

 Undang-undang dasar 1945 dalam pasal 31 ayat 1 dan 2 bahwa setiap warga negara berhak mendapatkan Pendidikan, dan setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya. Akan tetapi pemerintah merealisasiskannya jauh dari kenyataan. Yang terjadi justru pemerintah sibuk mengurusi urusan-urusan ekonomi pasar, politik kepentingan, dan mengkapitalisasi pendidikan. Banyak aturan turunan dari sistem Pendidikan itu sendiri, dengan demikian hingga saat ini Pendidikan itu masih terus mengalami banyak persoalan dan layanan pemerintah dalam penyelenggaraan pendidikan bermutu pun masih hanya dalam angan-angan.

Berdasarkan  survei yang dilakukan change.org oleh Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI, 2017). Survei tersebut dilakukan terhadap 27.298 responden Sebanyak 14,33 persen responden penduduk luar Papua menyatakan rendahnya kualitas pendidikan merupakan masalah utama. Kemudian, untuk responden penduduk Papua nonasli, kualitas pendidikan rendah menempati posisi kedua dengan 11,8 persen. Sedangkan untuk responden Papua asli, kualitas pendidikan rendah menempati posisi ketiga dengan 9,8 persen. Permasalahan di bidang pendidikan semakin diperkuat dengan keinginan responden untuk memperbaiki sumber daya manusia (SDM) di Papua bila menjadi pihak berwenang.

Peningkatan SDM menempati posisi paling atas dari tiga kelompok responden. Sebanyak 26 persen responden luar Papua ingin meningkatkan SDM provinsi yang terletak di Indonesia paling Timur itu. Kemudian, 18 persen penduduk Papua nonasli dan 20 persen penduduk Papua asli ingin meningkatkan SDM. Peningkatan SDM yang diinginkan semua responden ini sangat menarik, karena sangat berkaitan dengan kualitas pendidikan rendah seperti survei tadi.

Faktor Gagalan Pendidikan di Papua

a)      Logica Fallacy: Membaca, menulis dan menghitung

Pemerintah selalu melakukan sosialisasi dimana-mana, baik sekolah-sekolah. Juga pasang poster, dan iklan  di jalan-jalan raya, pasar dan lainnya hingga terus menerus menyadarkan orang melalui media masa—cetak maupun eletronik guna mengutamakan bahasa Indonesia dan melestarikan bahasa daerah. Bahasa Indonesia mereka terus dorong dalam kehidupan sehari-hari, mulai di sekolah, kantor dan lainnya. Tetapi tidak dengan bahasa daerah.

Bahasa daerah di Papua tidak dianggap sebagai sesuatu yang harus dilindungi dan dilestarikan. Mereka menerapkan aturan secara sistematis supaya orang Papua lupa bahasanya, budayanya, agamanya dan lain sebagainnya. Hingga beberapa suku di Papua, terutama daerah atau suku-suku asli di pesisir pantai dan daerah transmigran seperti kota Jayapura, Keerom, Merauke, Nabire, Manokwari, Fak-Fak dan lainnya nyaris punah.

Hampir kota-kota besar, seperti kota/kabupaten Jayapura, Wamena, Nabire, Merauke, Timika, Biak, Manokwari, Sorong, dan Fak-Fak sekarang berada dalam tahap ancaman dan kepunahan bahasa, budaya dan lain sebagainnya. Sebagain besar penutur sudah meninggal dunia akibat kawin paksa dan juga akibat dari tidak pernah memproteksi masyarakat adat pribumi setempat.

b)      Eksploitasi Sumber Daya Alam Lewat Pendidikan

Bagi kolonial, kapitalis dan imperialis, pendidikan adalah senjata yang paling mematikan, terutama untuk menipu orang, merekayasa keadaan, memutarbalikan fakta, data, kebenaran dan sejarah yang berhubungan dengan benduan yang identik tak berdaya, terbelakang, tidak mampu bersaing dan melawan mereka. Mereka akan membangun sistem ketergantungan pendidikan yang pada awalnya membuka akses dengan beragam dalil yang baik-baik dan seolah-olah akan menguntung kaum yang tak berpendidikan.

Mereka akan menggunakan racun pendidikan supaya orang-orang yang menghambat mereka kehilangan kesadaran, mudah ditipu, direkayasa, dan melakukan sesuatu sesuka hati oleh seorang bidan, petugas medis, dan atau penguasa. Supaya mudah membeda, operasi dan melakukan apa saja dengan bebas tanpa ada perdebatan dan perlawanan. Itulah yang bukan tidak mungkin kalau bisa saja pendidikan bisa menjadi senjata paling ampuh—mematikan bagi penguasa untuk menjajah kaum budaknya dengan dalil segala kebaikan.

c)      Kepentingan Politik Campur Aduk Dengan Sistem Pendidikan Nasional

Masalah lain adalah pemerintah selalu memaksakan kaum minoritas kulit hitam di Indonesia untuk belajar sejarah perjuangan pemuka negara itu, tetapi mereka tidak pernah memasukan materi dalam kurikulum sejarah pendidikan politik yang berhubungan dengan pergerakan, perjuangan dan perlawanan orang Papua terhadap orang asing. Mereka tidak pernah memberikan kebebasan pendidikan kepada orang Papua untuk mempelajari sejarahnya sendiri.

Pemerintah selalu memasukan kisah perjuangan orang Papua kecuali itu berpihak dan menguntungkan kepada negara. Ada pula nilai-nilai kearifan lokal, seperti dalam mata pelajaran ketrampilan atau muatan lokal. Namun, itu terkesan hanya untuk bahan yang sifatnya menguntungkan mereka dan tidak sama sekali mendorong secara sistematis dan berkelanjutan guna menghormati derajat orang Papua di Indonesia. Sistem pendidikan di Indonesia bukan mendidik, membina dan mempersiapkan orang dengan baik; tidak lagi memanusiakan manusia; tidak menyadarkan orang dan lainnya. Tetapi justru melalui sistem pendidikan yang bagus diatas kertas itu menghasilkan orang yang bermoral hancur, mentalitas tidak benar dan seterusnya.

Sekolah seolah-olah diarahkan untuk menjadi pegawai negeri, politikus dan negarawan yang koruptor. Tapi juga sekaligus bukan menjawab persoalan atau mengisi lapangan kerja. Justru pendidikan melahirkan angka kemiskinan, pengangguran dan kejahatan luar biasa. Kalau tanah Papua disebut surga kecil yang jatuh ke bumi, orang Papua tidak harus hidup miskin, melarat dan mati sana sini seperti binatang dengan berbagai cara.

d)      Daerah atau wilayah operasi militer

Penyelenggaraan pendidikan di Wilayah atau daerah konflik sangat terbatas, bahkan tidak ada sama sekali , karena gedung- gedung sekolah di isi oleh aparat militer kolonail indonesia dan warga setempat terjadi pengungsian besar-besaran. Misalnya kabupaten Nduga, Yahukimo, Maybrat, dan Pegunungan Bintang, Intan jaya dan juga Puncak Jaya.

e)      Program Beasiswa

Kebijakan Program beasiswa bagi Orang Asli  Papua  (OAP) bersifat politiks, di sertai dengan syarat nasionalisasi dan ideologisasi tentang NKRI harga mati, Misalnya beasiswa Afirmasi Pendidikan Menengah Papua (ADEM), (ADIK), beasiswa otsus dan lainnya, artinya pendidikan masih bersifat fasis dan komersial.

f)       Rendahnya Partisipasi Anak dan Guru

Di Papua, angka partisipasi sekolah dikatakan rendah, karena masyarakat sendiri tidak mendukung anaknya untuk bersekolah. Dimana ada beberapa kabupaten di Papua yang sampai sekarang, anak–anak usia sekolah justru tidak bersekolah. Misalnya di Kabupaten Nduga, Puncak dan Puncak Jaya. Bahkan, ada beberapa kabupaten sampai sekarang anaknya tidak sekolah seperti kabupaten Nduga, Puncak dan Puncak Jaya atau hampir 20 kabupaten di Papua IPM (Indeks Pembangunan Manusia) masih rendah.

Untuk kabupaten yang tingkat buta aksara masih rendah di kabupaten Nduga. Namun masih ada beberapa kabupaten lagi yang masih rendah,” tambahnya. Banyak faktor yang mempengaruhi kualitas pendidikan dan IPM di Papua rendah. Salah satunya adalah banyak guru yang meninggalkan tugas serta jarak sekolah dengan pemukiman masyarakat jauh. Selain itu, kualitas guru juga sangat menopang kualitas pendidikan. Untuk itu saat ini solusi yang dilakukan Dinas pendidikan adalah pemberantasan buta aksara di Papua.

g)      Pengaruh Lingkungan Keluarga dan Sosial

Kehidupan masyarakat yang kompleks, dengan tingkat kesadaran pentingnya pendidikan yang terbatas, serta dorongan motivasi maupun biaya, serta akses jangkauan aktivitas pendidikan. Hal ini menjadi kendala bagi peserta didik.

 

h)      Pendidikan Tidak Di Perhatikan Oleh Pemerintah

Pemerintah terkesan hanya membangun konsep pendidikan yang sangat kering dan itu tidak mampu membuat apalagi merubah grafik peningkatan kesadaran orang Indonesia, termasuk Papua yang dari tahun ke tahun berada dalam zona degradasi. Otoritas setempat jarang menerapkan konsep pendidikan yang membuat orang berada dimana saja—taxi, bus, bandara, pesawat, rumah sakit, kebun dll biasakan untuk membaca dan menulis sesuatu.

 

Undang-Undang Otonomi Khusus Nomor 21 Tahun 2001 perubahan tahun 2021 ini, yang dibangga-banggakan dan dipaksan pemerintah, kalau berhasil memanusiakan atau menindonesiakan, maka tidak perlu ada lagi tuntutan Papua merdeka, referendum, pengakuan kedaulatan politik dan perundingan internasional.

Sistem pendidikan Indonesia di Papua menjadi alat atau senjata paling ampuh untuk menipu, merekayasa, memutarbalikan fakta, data, kebenaran sejarah dan mendukung sistem kolonialisme, kapitaslisme dan imperialisme.

Orang yang sekolah dalam sistem pendidikan nampak tidak memiliki komitmen untuk membela masyarakat adat dengan cara bekerja di Lembaga Swadaya Masyarakat dan lainnya. Mereka selalu seolah-olah diarahkan untuk bekerja di dalam birokrasi, partai politik, perusahaan, kontraktor dan konsultan yang selalu mempermudah akses bagi sistem kolonialisme, kapitalisme dan imperialisme di Papua.

 

Di masa Otsus sekalipun, bahkan generasi Otsus sekalipun terasa tidak mampu memberdayakan, dan melindungi hak-hak masyarakat adat dengan kekuatan hukum dan kebijakan sendiri. Semua kebijakan yang sifatnya memanusiakan dan menyelesaikan masalah kemanusiaan sekalipun masih dikendalikan oleh pemerintah pusat. Sehingga mau harapkan perkembangan dan kemajuan pendidikan di Papua sangat susah.

 

Kurangnya perhatian dari pemerintah, secara fisik bangunan dan fasilitas yang tidak memadai, beserta kurangnya para tenaga pengajar, kemudian ditambah lagi dengan anggaran pendidikan yang tidak tepat sasaran. Bagian ini terus menjadi perdebatan dan pengupayaan dari pemerintah sendiri untuk pemerataan Pendidikan di tanah Papua hingga saat ini yang dilakukan belum maksimal.

 

i)       Metode Mengajar Bergaya Militer

 

Metode pengajarnnya sama dengan bagaimana semua atasan selalu saja mengarahkan bawahan untuk menghafal ilmu matematika mengenai perkalian, pembagian, pengurangan dan lainnya. Juga mengarahkan orang untuk menghafal pengertian semata tanpa memahami teks, konteks dan hingga minimnya kemampuan untuk mengkontekstualisasi dalam kehidupan sehari-hari.

Sungguh metode pengajaran model ini memang melatih dan mendidik orang, tetapi dengan kualitas yang sangat terbatas. Tidak hanya menyiksa orang, akan tetapi juga pada saaat yang sama, secara sadar atau tidak sadar, secara langsung atau tidak langsung membosankan, menyiksa, membodohkan dan bahkan tidak efektif. Mau bilang ikut menindas tetapi harus hati-hati karena memang ini sistem yang cukup membingungkan dan memabukkan.

 

Sebagian sekolah dasar di daerah lain pun memiliki indikasi yang sama. Namun, peristiwa penutupan sekolah akibat keterbatasan guru, fasilitas dan lainnya tidak dapat dijangkau oleh semua pihak terkait, seperti jurnalis, dan pihak terkait dalam birokrasi. Beberapa sekolah yang ditutup di Wamena, Jayawijaya selama 20 tahun belakangan ini bersamaan dengan waktu dimana Otsus Papua jilid pertama diberlakukan ini setidaknya mewakili beberapa sekolah yang nasibnya sama tetapi belum di publis.

Dalam posisi krisis seperti ini aparat keamanan dan militer kolonial Indoensia sering masuk mengisi kekosongan itu. mereka berdalih bahwa mengajar anak-anak karena tidak ada guru, peduli dan lain sebagainnya. Bagian perbatasan antara Papua New Guinea dan Indonesia, aparat disana sudah ambil bagian. Selain menjaga keutuhan, mereka juga menjadi tenaga pengajar disana. Ini sangat membantu pemerintah daerah dalam keterbatsan yang diakibatkan oleh pemekaran dan lainnnya di samping meningkatkan mutu pendidikan setempat.

 

Barang kali memang sangat tertolong bagi anak sekolah yang membutuhkan guru di tengah krisis pendidikan di Papua  di samping menanamkan nasionalisme Indonesia terhadap anak-anak sekolah di tanah Papua. Tetapi di lain sisi, sesungguhnya partisipasi dan intervensi aparat keamanan dan militer kolonial menunjukkan sebuah fakta bahwa pendidikan di Papua tidak baik-baik saja—menggambarkan bentuk lain tentang penindasan lewat pendidikan yang melibatkan TNI/Polri.

 

KESIMPULAN

Penerapan Sistem pendidikan di papua lebih politik hanya demi keutuhan NKRI, sedangkan pengetahuan lingkungan sosial pernah di libatkan dalam kurikulum, akibatnya 5 penutur bahasa dan budaya punah di Papua Barat. Sistem pendidikan di Papua merupakan murni bagian dari penjajahan, dikarenakan selama perlakukan UU OTSUS di Papua sejarah orang papua tidak pernah mengajarkan di sekolah, di kampus. Sehingga pendidikan di papua adalah bagian dari genosida.

 

 

Referensi

1.    https://www.cnnindonesia.com/nasional/20171214205030-20-262499/survei-lipi-kualitas-pendidikan-masalah-utama-papua.

2.      https://jubi.co.id/sistem-pendidikan-di-papua-masih-rendah/
https://jubi.co.id/sistem-pendidikan-indonesia-tak-cocok-di-papua/

3.      https://www.kemdikbud.go.id/main/blog/2019/08/jumlah-penduduk-buta-aksara-turun-menjadi-329-juta#:~:text=Pada%20awal%20kemerdekaan%20tahun%201945,sebanyak%205%2C6%20juta%20orang.

4.      https://www.cnnindonesia.com/nasional/20171214205030-20-262499/survei-lipi-kualitas-pendidikan-masalah-utama-papua

5.      https://laolao-papua.com/2021/02/08/praktek-penindasan-dalam-liberalisme-sistem-pendidikan/

6.      https://laolao-papua.com/2021/09/28/penjajahan-lewat-pendidikan-di-papua/

 

 

    Penulis adalah Anggota Aktif di AMP Komite Kota Jember