Pernyataan Sikap Amp: 04 Tahun Hari Diskriminasi Rasisme Terhadap Bangsa West Papua

 

Its. Google. Im Not Monkey



Pernyataan Sikap 

Aliansi Mahasiswa Mahasiswa papua

Salam Pembebasan Nasional Bangsa West Papua!


Amolongo, Nimo, Koyao, Koha, Kinaonak, Nare, Yepmum, Dormum, Tabea Mufa, Walak, Foi Moi, Wainambe, Nayaklak

Wa…wa…wa…wa…wa…wa..wa..wa..wa..wa!


“04 TAHUN HARI DISKRIMINASI RASISME TERHADAP BANGSA WEST PAPUA dan BERIKAN HAK MENETUKAN NASIP SENDIRI BAGI BANGSA WEST PAPUA.”


Cikal bakal dari kerusuhan demonstrasi anti rasisme tersebut adalah pengepungan asrama mahasiswa Papua di Surabaya yang dilakukan oleh sekelompok personal Tentara Nasional Indonesia (TNI) pada 16 Agustus 2019. Asal muasalnya adalah kemarahan personel TNI karena melihat ada bendera merah putih yang dipasang pemerintah Kota Surabaya jatuh di selokan. Asrama mahasiswa Papua ini kemudian dikepung dan secara bergantian Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) dan Ormas berdatangan dengan meneriakkan makian rasis dan melempari asrama dengan batu. Pasukan Brigade Mobil kemudian datang menembaki gas air mata ke arah asrama mahasiswa sebanyak 23 kali dan kemudian menangkap secara paksa 43 mahasiswa Papua di asrama tersebut. Kisah selanjutnya adalah kerusuhan yang terjadi di berbagai kota besar di tanah Papua seperti Manokwari, Jayapura, Sorong, Nabire, Timika, hingga Fakfak. 

Tersangka kasus ujaran rasisme di Surabaya memang sudah ditetapkan tapi lambat laun tidak terdengar lagi di publik kelanjutan kasusnya. Sunyi, senyap. Yang justru terus mengemuka dan menjadi perbincangan publik di Papua dan internasional adalah dugaan makar yang disangkakan kepada Victor Yeimo. Selain kelabakan serta kegagapan negara dalam merespon pengepungan asrama dan ujaran rasisme yang kemudian berdampak terhadap aksi demonstrasi anti rasisme berujung kerusuhan tersebut, dibalik kegagapan itu semua adalah langgengnya tatapan kolonial (colonial gaze) negara dan warga negaranya terhadap orang Papua. Hal itu diterjemahkan dengan berlangsungnya ujaran rasisme sebagai naluri negara dan ditransmisikan kepada warga negaranya dalam memandang orang asli Papua. Seperti yang sering kita dengar dalam berbagai kesaksian bahwa rasisme adalah permasalahan “hari-hari”  orang asli Papua.

Diskriminasi rasial yang terjadi ke orang papua sudah terjadi dari awal Papua masih menjadi bagian dari wilayah administrasi Belanda. Pada saat New York Agreement 15 Agustus 1962, bangsa West  Papua masih dipandang rasis sebagai kaum yang belum bisa menentukan hak hidupnya sendiri sebagai sebuah bangsa yang berhak merdeka sehingga Belanda, Amerika dan Indonesia membuat kesepakatan atas hak dan masa depan bangsa Papua. Dari perjanjian tersebut, tahun 1963 Papua di ”paksa” masuk sebagai bagian dari wilayah jajahan Indonesia. Proses yang ilegal, diskriminatif dan tidak demokratis ini terbukti di tahun 1969 ketika PEPERA (Penentuan Pendapat Rakyat) papua di lakukan. Dari 800.000 ribu jiwa penduduk asli papua, hanya 1.025 laki-laki dan perempuan Papua yang menyatakan sepakat dibawah pengaruh militer Indonesia. Ditahun 2016 pun kasus rasisme di Yogyakarta diawali dengan ujaran rasis,” woe,celeng, asu, monyet”. Sampai statement rasis dari Sultan Hamengku Buwono X yang melarang tanahnya dipakai untuk melakukan Aktifitas Separatis dan Makar yang mengakibatkan ribuan mahasiswa Papua melakukan Exodus ke Papua. Jika dilihat lebih jauh, bangsa Indonesia pun dulu mengalami dikriminasi rasial ketika dijajah belanda dengan memberikan label masyarakat ”pribumi”. 

Konstruksi tentang stigma makar, secara khusus terhadap orang Papua, berakar pada bangunan pengetahuan yang diskriminatif terhadap kebudayaan orang Papua. Hal ini diperparah dengan praktik di lapangan menghadapi aneka ekspresi orang Papua yang penuh dengan kekerasan. Konstruksi kebudayaan tersebut melahirkan perlakuan yang tidak manusiawi karena kesadaran bahwa ada kasta dalam kebudayaan, ada kebudayaan atau harkat dan martabat manusia yang lebih tinggi dibandingkan manusia yang lain. Ini berlangsung secara sadar atau tidak, diakui atau tidak telah masuk dalam cara berpikir dan bertingkah laku di negara ini terhadap orang Papua. Pandangan Indonesia terhadap orang Papua tidak bisa lepas dari corak rezim kolonial yang merancang serta menentukan realitas Papua. Pada sisi lain, orang Papua sendiri tidak memiliki daya dan kuasa untuk merepresentasikan dirinya. Orang Papua dikonstruksikan tidak memiliki sejarah dan pengetahuan, tidak dianggap ada. Hal itulah yang menjadi agenda terburuk rezim kolonial, yaitu dehumanisasi subyek yang dijajah dan pemisahannya dengan sejarah, identitas, pengetahuan, dan kedaulatan atau kendali atas diri dan masa depannya.Hal ini semakin menunjukkan bahwa rezim kolonial mengontrol dan mengeksploitasi segala sesuatu yang berkaitan dengan manusia dan sumber daya alam bangsa yang dijajahnya.

Pada tanggal 21 Desember 1965, Majelis Umum PBB mengesahkan Konvensi Internasional tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Rasial (Convention on the Elimination of All Forms of Racial Discrimination/CERD). Dengan disahkannya konvensi ini, maka konvensi ini menjadi memiliki kekuatan hukum kepada negara anggota yang menandatangani konvensi ini. Pemerintah Republik Indonesia telah menandatangani konvensi ini pada tanggal 25 Mei 1999. Sebagai tindak lanjut dari diratifikasi nya CERD, maka Pemerintah Indonesia mengeluarkan Undang-undang No. 40 Tahun 2008 tentang Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis yang isinya mendukung segala bentuk penghapusan diskriminasi ras dan etnis. Dalam pasal 7a dan pasal 7c telah diberikan tanggung jawab pemerintah adalah memberikan perlindungan terhadap warga negara yang mendapatkan tindakan diskriminasi dan mendukung dan mendorong penghapusan diskriminasi ras dan etnis. 

Sekalipun Indonesia menjadi salah satu negara berkembang yang sudah meratifikasi masalah diskriminasi rasial, dan penghapusan praktek terhadap etnis dan kelompok minoritas. Namun pada kenyataannya di Negara Kesatuan Republik Indonesia, praktik perlakuan Rasisme masih terus tumbuh subur. Dan yang sangat disayangkan lagi, praktik Rasialisme ini sering dilakukan oleh para Oknum" yang bekerja sebagai Penegak Hukum di Institusi-institusi Penegakan Hukum (TNI-POLRI). 

Maka, dalam rangka peringatan 04 tahun hari diskrimansi rasial , Aliansi Mahasiswa Papua [AMP] menuntut negara kolonial Indonesia untuk segera:

1. Berikan Kebebasan dan Hak Menentukan Nasib Sendiri sebagai Solusi Demokratis bagi Rakyat West Papua.

2. Mengakui bahwa New York Agreement 15 Agustus 1962 merupakan kesepakatan yang tidak sah secara yuridis maupun moral tanpa keterlibatan wakil satu pun Rakyat Papua Barat.

3. Tarik Militer (TNI-Polri) Organik dan Non-Organik dari Seluruh Tanah Papua Barat.

4. Tutup Freeport, BP, LNG Tangguh, MNC, MIFEE, dan seluruh perusahaan asing lainnya, yang merupakan dalang kejahatan kemanusiaan di atas Tanah Papua Barat.

5. PBB harus bertanggung jawab serta terlibat aktif secara adil dan demokratis dalam proses penentuan nasib sendiri, pelurusan sejarah, dan pelanggaran HAM yang terjadi terhadap bangsa West Papua.

6. Buka Ruang Demokrasi seluas-luasnya dan berikan Kebebasan bagi Jurnalis Nasional, Internasional meliput dan mengakses informasi di Papua Barat.

7. Cabut dan Tolak Otsus Jilid II, DOB, Omnibuslaw, KUHP, ITE, Minerba, dan seluruh regulasi produk Kolonial Indonesia di west papua

8. Tangkap, adili, dan penjarakan jenderal-jenderal pelanggar HAM

9. Hentikan rasisme dan politik rasial yang dilakukan Pemerintah Republik Indonesia dan TNI-Polri

10. Hentikan operasi militer di Nduga, Intan Jaya, Puncak Jaya, Pegunungan Bintang, Maybrat, dan

11. Seluruh Wilayah West Papua lainnya

13. Belanda harus bertanggung jawab untuk menuntaskan proses dekolonisasi West Papua sebagaimana pernah mereka janjikan

12. PBB harus bertanggung jawab serta terlibat aktif secara adil dan demokratis dalam proses menentukan nasib sendiri, pelurusan sejarah, 

13. dan penyelesaian pelanggaran HAM yang terjadi terhadap bangsa West Papua

14. Mendesak Pemerintah RI untuk memberikan akses seluas-luasnya kepada Komisi HAM PBB untuk meninjau situasi HAM di West Papua secara langsung

15. Jaminan kebebasan informasi, berekspresi, berorganisasi dan berpendapat bagi bangsa West Papua

16. Stop terror dan intimidasi Mahasiswa papua di bali dan seluruh tanah Papua

17. Mendukung perundigan antara indonesia, pemerintah zelandia baru dan TPNPB OPM yang di mediasioleh PBB demi menyelesaikan konfilk di west papua


Demikian pernyataan sikap ini. Kami menyerukan kepada seluruh Rakyat Papua untuk bersatu dan berjuang demi merebut cita-cita Pembebasan Sejati Rakyat dan Bangsa Papua Barat. Atas perhatian dan dukungan seluruh Rakyat Papua Barat, kami ucap terima kasih. Salam Pembebasan Nasional Papua Barat!


Medan Juang, 

Tanah kolonial, Jumat, 16 agustus  2023