PERNYATAAN SIKAP AMP: 61 Tahun Roma Agreement: Tidak Demokratis Dan Ilegal di West Papua

 

Its. Koran kejora


PERNYATAAN SIKAP

ALIANSI MAHASISWA PAPUA [AMP] 


Salam Pembebasan Nasional Papua Barat!

Nimo, Koyao, Koha, Kosa, Dormum, Foi-Moi, Tabea mufa, Nayaklak, Nare, Yepmum, Walak,  Wainambe, Amakanie, Amolongo,  Kinaonak, Wiwao, Wa...wa...wa...wa…


"61 Tahun Roma Agreement: Tidak Demokratis Dan Ilegal di West Papua"


Perjanjian Roma/Roma Agrement diadakan di Roma, Ibu Kota Italia pada 30 September 1962 setelah Perjanjian New York/New York Agreement pada 15 Agustus 1962. Kedua perjanjian tersebut dilakukan tanpa keterlibatan satupun wakil dari rakyat Papua pada hal perjanjian itu berkaitan dengan keberlangsungan hidup rakyat Papua. Berikut isi Perjanjian Roma (Roma Agreement).

Perjanjian Roma yang ditandatangani oleh Indonesia, Belanda dan Amerika Serikat merupakan perjanjian yang sangat kontroversial dengan 29 pasal yang mengatur dalam perjanjian New York, yang mengatur 3 macam hal, dimana pasal 14-21 mengatur tentang Penentuan Nasib Sendiri (Self Determination) yang didasarkan pada praktek Internasional yaitu satu orang satu suara (One Man One Vote). Dan pasal 12 dan 13 yang mengatur transfer Administrasi dari Badan Pemerintahan Sementara PBB UNTEA kepada Indonesia.

Sehingga, berdasarkan perjanjian tersebut, klaim Indonesia atas tanah Papua sudah dilakukan pasca penyerahan kekuasan Wilayah Papua Barat dari tangan Belanda kepada Indonesia melalui Badan Pemerintahan Sementara PBB UNTEA pada 1 Mei 1963. Selanjutnya Indonesia malah melakukan pengkondisian wilayah melalui operasi militer dan penumpasan gerakan prokemerdekaan rakyat Papua. Lebih ironis, sebelum proses penentuan nasib dilakukan, tepat 7 April 1967 Freeport perusahaan pertambangan milik negara imperialis Amerika telah menandatangani Kontrak Pertamannya dengan pemerintah Indonesia.

Klaim atas wilayah Papua sudah dilakukan oleh Indonesia dengan kontrak pertama Freeport dua tahun sebelum Penentuan Pendapat Rakyat (PEPERA). Sehingga, dari 809.337 orang Papua yang memiliki hak suara, hanya diwakili 1025 orang yang sebelumnya sudah dikarantina dan cuma 175 orang yang memberikan pendapat. Musyawarah untuk Mufakat melegitimasi Indonesia untuk melaksanakan PEPERA yang tidak demokratis, penuh teror, intimidasi dan manipulasi serta adanya pelanggaran HAM berat.

 teror, intimidasi, penahanan, penembakan bahkan pembunuhan terhadap rakyat Papua terus terjadi hingga dewasa ini diera reformasi-nya Indonesia. Hak Asasi Rakyat Papua tidak ada nilainya bagi Indonesia. Sebelum dan sesudah PEPERA yang ilegal di lakukan ada pun, DOM (Daerah Operasi Militer) di lakukan di seluruh tanah Papua, dari tujuan-nya Indonesia mengkoloni Papua Barat sebagai daerah jajahan sampai Saat ini dengan militeristik dan system yang ganas.

Hak atas dasar perjuangan Rakyat Papua Barat dan penentuan nasib sendiri adalah bagian dari kemenangan rakyat Papua Barat. Sejak 1 Desember 1961, Papua Barat adalah kebangsaan secara konstitusional yang dimenangkan oleh rakyat Papua Barat sendiri. Namun, ketika tepat pada 19 Desember 1961, lahirlah Tri Komando Rakyat [TRIKORA] dengan tuntutan untuk mengklaim hak kemenangan kebangsaan Papua Barat dan lahirnya perjanjian-perjanjian yang di atur sepihak mengenai status Papua Barat. Perjanjian tersebut dilakukan oleh Belanda, Amerika Serikat, dan Indonesia serta PBB tanpa keterlibatan rakyat Papua Barat sendiri.

Salah satu perjanjiannya adalah penandatanganan Perjanjian New York (New York Agreement) antara Belanda, Indonesia, dan Amerika Serikat sebagai penengah terkait sengketa wilayah West New Guinea (Papua Barat) pada tanggal 15 Agustus 1962, yang dilakukan tanpa keterlibatan satu pun wakil dari rakyat Papua Barat. Padahal perjanjian itu berkaitan dengan keberlangsungan hidup rakyat Papua Barat sebagai bangsa yang telah Merdeka.

Perjanjian ini mengatur masa depan wilayah Papua Barat yang terdiri dari 29 Pasal yang mengatur 3 macam hal, dimana pasal 14-21 mengatur tentang Penentuan Nasib Sendiri (Self Determination) yang didasarkan pada praktek hukum Internasional, yaitu satu orang satu suara (One Man One Vote). Pasal 12 dan 13 mengatur transfer administrasi dari Badan Pemerintahan Sementara PBB (UNTEA) kepada Indonesia.

Setelah transfer administrasi atau aneksasi yang dilakukan pada 1 Mei 1963 atas Papua Barat, Indonesia mendapat tanggung jawab untuk mempersiapkan pelaksanaan penentuan nasib sendiri dan pembangunan di Papua selama 25 tahun.

Namun ternyata, Indonesia tidak menjalankan kesepakatan sesuai dalam Perjanjian New York. Indonesia malah melakukan pengkondisian wilayah melalui berbagai operasi militer dan penumpasan gerakan kemerdekaan rakyat Papua Barat. Dengan itu, sebelum proses penentuan nasib dilakukan pada tahun 1969 PEPERA (Penentuan Pendapat Rakyat), tepat 7 April 1967, Freeport, perusahaan pertambangan milik negara imperialis Amerika Serikat telah menandatangani Kontrak Karya Pertamanya dengan pemerintah Indonesia secara ilegal.

Klaim atas wilayah Papua Barat sudah dilakukan oleh kolonial Indonesia dengan kontrak pertama Freeport dua tahun sebelum PEPERA. Sehingga dari 809.337 rakyat Papua Barat yang memiliki hak suara, hanya 1025 orang yang sebelumnya sudah dikarantina dan cuma 175 orang yang memberikan pendapat. Secara sistematis, Kolonial Indonesia melakukan dua musyawarah yang tidak memiliki ketentuan hukum Internasional, yang mana harus “Satu orang satu suara” (One Man One Vote), yang telah diatur juga dalam New York Agreement secara hukum Internasional. Musyawarah untuk Mufakat melegitimasi Indonesia untuk melaksanakan PEPERA yang tidak demokratis, penuh teror, intimidasi dan manipulasi serta adanya pelanggaran HAM berat selama PEPERA berlangsung adalah bentuk tidak demokratisnya Indonesia. Sehingga, hasil manipulasi kolonial Indonesia atas Papua Barat sudah diatur dalam Resolusi PBB No. 2504 (XXIV) pada November 1969, dengan alasan kolonial Indonesia telah merebut dan merekayasa hasil PEPERA yang tidak demokratis dalam resolusi yang ilegal.

Kini memasuki 61 tahun sejak penandatanganan Roma  Agreement yang ilegal tersebut. Rakyat bangsa papua di perhadapkan dengan Situasi hari ini yang semakin Parah dengan berbagai macam regulasi yang pro borjuis dan kapitalis yang disahkan dalam beberapa tahun terakhir. Seperti Omnibuslaw, Minerba, ITE, KUHP, & Otsus Jilid II serta DOB yag semakin mencekik kehidupan masyarakat Indonesia secara umum dan rakyat papua secara khusus. Implementasi dari berbagai macam regulasi ini maka pembungkaman ruang demokrasi semakin massif terjadi, kriminalisasi dan penangkapan terhadap masyarakat maupun aktivis dan pembela HAM, Eksploitasi sumberdaya alam secara massif dan berkelanjutan tanpa memperdulikan nasib masadepan masyarakat, pengiriman dan operasi militer yang terus dilakukan ke papua guna mengamankan segala kepentingan Negara kolonial Indonesia dan tuannya kapitalis.

Keadaan dari manipulasi sejarah gerakan Rakyat Papua Barat dan Masifnya penjajahan oleh Kolonial Indonesia masih terus berlangsung dan semakin kritis hingga hari ini, dengan rakyat papua sebagai korbannya. Hanya dengan Menentuan Nasib Sendiri rakyat bangsa papua barat dapat terlepas dari segala belenggu penindasan.

Maka, dalam rangka peringatan 61Tahun Perjanjian Roma  (Roma Agreement) yang Ilegal, Aliansi Mahasiswa Papua [AMP] menyatakan sikap kami kepada Rezim Jokowi-Maaruf, Belanda, Amerika Serikat dan PBB untuk segera:

1. Memberikan Kebebasan dan Hak Menentukan Nasib Sendiri sebagai Solusi Demokratis bagi Rakyat West Papua.

2. Mengakui bahwa Roma Agreement 30 September 1962 merupakan kesepakatan yang tidak sah secara yuridis maupun moral tanpa keterlibatan wakil satu pun Rakyat Papua Barat.

3. Tarik Militer (TNI-Polri) Organik dan Non-Organik dari Seluruh Tanah Papua Barat.

4. Tutup Freeport, BP, LNG Tangguh, MNC, MIFEE, dan seluruh perusahaan asing lainnya, yang merupakan dalang kejahatan kemanusiaan di atas Tanah Papua Barat.

5. PBB harus bertanggung jawab serta terlibat aktif secara adil dan demokratis dalam proses penentuan nasib sendiri, pelurusan sejarah, dan pelanggaran HAM yang terjadi terhadap bangsa West Papua.

6. Buka Ruang Demokrasi seluas-luasnya dan berikan Kebebasan bagi Jurnalis Nasional, Internasional meliput dan mengakses informasi di Papua Barat.

7. Cabut dan Tolak Otsus Jilid II, DOB, Omnibuslaw, KUHP, ITE, Minerba, dan seluruh regulasi produk Kolonial Indonesia di west papua.


Demikian pernyataan sikap ini dibuat, atas dukungan, pastisipasi, kerjasama dan solidaritas dari semua pihak, kami ucapkan banyak terima kasih.


Medan juang

Tanah Kolonial, 30 September  2023