Sikap Terbuka AMP Kepada ULMWP

Its. Koran kejora



Sikap Terbuka Aliansi Mahasiswa Papua

"Melihat Dinamika Persatuan United Liberation Movment For West Papua  ULMWP "


Perjuangan kita dalam menumbangkan penjajahan Indonesia merupakan perjuangan yang kesekian dari ulungan sejarah perjuangan pembebasan nasional di seluruh dunia. Catatan sejarah menunjukkan bahwa tuntutan pembebasan nasional merupakan kesimpulan progresif yang muncul sebagai muara dari tiap tuntutan-tuntutan demokratik yang mengalir terpisah-pisah dan beragam. 

Kolonialisme menciptakan berbagai macam persoalan muncul di tengah-tengah rakyat. Dan penindasan melahirkan perlawanan sebagai respon terhadapnya perjajahan. Perlawanan timbul dalam berbagai macam bentuk individu maupun kelompok dan organisasi serta isu dan permikiran yang berbeda-beda. Masyarakat adat tentu memiliki psikologi dan tuntutan yang berbeda dengan para pengungsi; petani memiliki psikologi dan tuntutan yang berbeda dengan mahasiswa; begitupun perempuan, nelayan, dan kelompok agama. 

Dan front persatuan mesti berdiri diposisi sentral dalam merangkul kehendak untuk melawan yang timbul di Tengah massa rakyat. Front persatuan mestinya memainkan peran penyatuan kekuatan-kekuatan lokal yang terpisah-pisah dan memajukannya menjadi kekuatan nasional. Inilah yang menjadi penting ketika berbicara mengenai persatuan nasional. 

Persatuan nasional selalu menjadi kekuatan yang paling ditakuti oleh penjajah. Di manapun persatuan nasional selalu mampu menjadi kekuatan dashyat dan meruntuhkan tembok kolonialisme yang menindas dan menghalau kemajuan bangsa yang tertindas. 

Di Vietnam, lahir persatuan nasional bernama VIETMINH “Viet-nam Doc-Lap Dong Minh atau Persatuan Pergerakan Kemerdekaan Vietnam” wadah yang melandaskan persatuannya pada ‘keinginan bersama untuk merdeka’. Front nasional yang merangkul berbagai elemen pergerakan dengan program-program yang berwatak nasional. Begitu pula CNRT (Conselho Nacional de Resistencia Timorense) di Timor Leste yang didirikan atas perbedaan mencolok antara Fretilin dan UDT (Uniao Democratica Timorense). Menganggap wadah nasional dan perjuangan kemerdekaan merupakan upaya dan kebutuhan seluruh elemen yang mengalami penindasan dan ingin bebas dari kolonialisme Indonesia. 

Rakyat Papua yang awam pun akan mengatakan bahwa, tugas mendesak untuk mewujudkan ide tentang Rakyat Papua yang Merdeka adalah membangun persatuan nasional yang kokoh, bukan mencari presiden. Persatuan nasional yang mampu membawa seluruh aspirasi, tuntutan, dan perlawanan atas perampasan tanah adat, pembunuhan, pemerkosaan, pengrusakan lingkungan, marjinalisasi, kemiskinan, dan pemusnahan. Persatuan yang mampu menggalang keterlibatan langsung rakyat sebagai objek yang mengalami penindasan secara berdiri sebagai subjek yang berhadapan dengan penindasan. 

Rakyat Papua pun memiliki sejarah persatuan nasional, sejak terbentuknya Komite Nasional Papua (KNP), panitia persiapan kemerdekaan West Papua 1960-an hingga saat ini. Salah satu pengalaman terindah dalam sejarah persatuan nasional bagi bangsa Papua adalah persatuan yang lahir di bawah payung Presidium Dewan Papua (PDP). 

Persatuan tersebut menjadi lebih riwayat yang masih dikenang hingga hari ini. Persatuan di bawah PDP adalah persatuan yang menakutkan bagi Indonesia, sebab ia mampu mendorong partisipasi rakyat secara langsung. Selain lahir sebagai jawaban dari berbagai tuntutan, mobilisasi, dan aksi massa yang dimulai sejak 1997. Dan keberhasilannya melahirkan kepemimpinan yang lahir dari kongres, menasional, dan terutama diakui oleh semua pihak. 

Walaupun kurangnya kedisiplinan secara organisasional membuat front ini mudah disabotase oleh elit birokrasi tidak memiliki keberanian dan oportunis, yang menurut Filep Karma, menyingkirkan TPN/OPM yang berhadapan langsung dengan kolonial Indonesia. 

Persatuan nasional yang demikian hilang bersama pembunuhan Theiys Eluay. Persatuan-persatuan selanjutnya yang dibangun tidak mampu menjadi jawaban atas kerinduan Rakyat Papua akan persatuan nasional. Wadah persatuan secara umum gagap dalam menjadikan dirinya sebagai pusat kekuatan perlawanan secara nasional. Persatuan yang dibangun justru terpisah dari massa yang mengalami dan melawan penindasan secara langsung. 

Persatuan nasional yang terbangun juga seringkali tidak berpatokan pada aspirasi dan kebutuhan mendesak rakyat; mengabaikan aspirasi dari bawah dalam mengambil keputusan; dan justru kehendak dari luar yang sebenarnya tidak memahami situasi di tanah air. Pemimpin yang lahir justru tidak menunjukkan karakter pemersatu dan memperlihatkan watak mendominasi, ingin menguasai dan ambisius.

Hingga persatuan paling baru ULMWP yang terbentuk tahun 2014. front persatuan nasional yang bersifat koordinatif dan dibentuk di atas 3 lembaga persatuan yang kemudian disebut faksi WPNCL, NRFPB hasil Kongres Rakyat Papua III, dan PNWP. ULMWP muncul sebagai jawaban dari persoalan persatuan-persatuan yang belum mampu tampil sebagai alternatif merangkul tuntutan-tuntutan demokratik Rakyat Papua.

Seiring berjalannya waktu, kepemimpinan dalam ULMWP masih belum sembuh dari penyakit lama yang menghambat persatuan tumbuh dan mengerdilkan ULMWP yang seharusnya menjadi wadah pemusatan kekuatan. ULMWP menjauhkan diri dari massa dan tidak berkiblat pada kebutuhan-kebutuhan mendesak perjuangan di dalam negeri. Barangkali akibat masih remaja dalam bidang politik, para pemimpin menganggap elemen-elemen gerakan yang terlibat di dalam front persatuan sama seperti organisasi paguyuban daerah tidak memiliki stratak perjuangan dan pandangan politik. Dan menuntut setiap elemen perlawanan harus mengikuti semua keputusan tanpa ada ruang untuk bertanya. Padahal front persatuan mestinya dibangun di atas kesepakatan politik, bukan pemaksaan politik.

Model pemaksaan politik dan ingin menguasai tersebut berangkat dari watak anti demokrasi. Perbedaan pandangan tidak selesai melalui mekanisme yang demokratis. Perbedaan pandangan antara menjawab tugas mendesak di dalam negeri dan memenuhi persyaratan dari luar negeri memuncak hingga KTT I digelar tahun 2017. Alih-alih menuntaskan persoalan, persatuan justru menjadi lebih birokratis dengan mengubah ULMWP dari wadah koordinatif menjadi semi negara dengan system trias politika. Di lain sisi, ruang demokrasi semakin dipersempit bagi elemen gerakan yang tidak berafiliasi dengan faksi, seperti AMP dan Gempar yang memilih independent non-faksi saat itu. Hal tersebut tentu saja memicu perpecahan, yang ditandai dengan mundurnya KNPB dari faksi PNWP. 

Persatuan mulai pecah berkeping-keping mulai dari internal faksi-faksi sampai di luar, ketika ULMWP tanpa melibatkan seluruh elemen perjuangan melahirkan Undang-Undang Dasar Sementara (UUDS) dan mendeklarasikan Pemerintahan Sementara di Inggris oleh Benny Wenda sebagai Presiden. Watak kepemimpinan yang ambisius, elitis, dan anti demokrasi memukul mundur ULMWP yang semestinya menasional, menjadi seperti organisasi lokal yang sectarian dan bingung di Tengah badai penjajahan. ULMWP menjadi tidak mampu menjangkau berbagai aksi penindasan, operasi militer, pengungsi, dan perlawanan rakyat Masyarakat adat, pengungsi, pengrusakan lingkungan, otonomi khusus jilid 2, dan pemekaran daerah otonomi baru yang terjadi di tanah air. Persatuan nasional yang rusak turut melemahkan teriakan perlawanan rakyat.

KTT II yang berlangsung beberapa waktu lalu pun sama sekali tidak menjawab persoalan yang semestinya dituntaskan, yakni mengembalikan ULMWP menjadi wadah koordinatif.

Melihat dinamika persatuan yang demikian, sebagai otokritik maupun evaluasi kita mesti menjawab pertanyaan tentang apa yang menjadi titik tolak atau landasan dari persatuan yang ingin kita bangun? Apa tujuan dari persatuan kita atau untuk apa kita Bersatu? Dan bagaimana persatuan itu diperkuat dengan menerima berbagai macam pandangan yang berbeda dari setiap elemen perlawana? Singkatnya persatuan seperti apa yang kita butuhkan? Tanpa menjawab pertanyaan ini, kita akan seperti kapas yang tidak memiliki bobot dan mudah terombang-ambing dihantam badai kolonial seperti yang terjadi beberapa tahun belakangan.

Bagi kami persatuan nasional merupakan penyatuan kekuatan yang terpisah-pisah dari berbagai tuntutan demokratik yang beragam yang timbul sebagai respon perlawanan terhadap penjajahan. Dan front persatuan nasional memiliki fungsi untuk memajukannya melalui program-program politik yang mampu mendorong maju lahirnya sebuah kebudayaan nasional. Menghapus batasan-batasan lokal: suku, agama, ras, wilayah yang dibangun colonial melalui program pemekaran dalam rangka menghambat materialisasi dari ide tentang Bangsa Papua.

Persatuan nasional yang kuat adalah persatuan yang berangkat dari bawah, berangkat dari kehendak dan partisipasi langsung dari massa rakyat, bukan hanya sebagai massa dalam demonstrasi, namum ikut bersama menyelesaikan tugas-tugas programatik. Rakyat Papua adalah rakyat pejuang, yang mengerti arti sejati dari pengorbanan demi pembebasan nasional. Front nasional mesti mampu menyediakan ruang bagi setiap individu maupun kelompok tanpa membedakan suku, kampung, ras, dan agama, menyatukan diri sebagai bagian dari sebuah bangsa yang ingin bebas dari kolonialisme Indonesia.

Sehingga, bagi kami hal mendesak hari ini yang penting diperbaiki dari wadaah persatuan yang sudah kita bangun adalah: 1) ULMWP harus menjadi wadah koordinatif. 2) ULMWP mesti bersandar pada kehendak dan tuntutan-tuntutan massa di dalam negeri. 3) ULMWP harus menjadi wadah mobilisasi berbagai elemen pergerakan, isu, maupun ideologi. 4) ULMWP harus menjadi wadah koordinatif yang demokratis, serta memberikan kebebasan bagi siapapun berbicara.

Kami juga mempertegas posisi organisasi bahwa; 1) Menolak Trias politika dan tetap mendorong ULMWP sebagai wadah koordinatif sebagai hal prinsip dalam persatuan 2) Berada diluar ULMWP dan tidak terjebak dalam kepentingan faksional. 3) jika tuntutan kami tidak di dengar kami siap membangun Alternatif persatuan yang lebih demokratis dan merakyat.

Persatuan nasional merupakan hal penting dan mendesak yang harus dipikirkan, didiskusikan, diperdebatkan, dan dikerjakan oleh semua elemen. Kita semua membutuhkan persatuan. Kita harus Bersatu, tapi tidak membuntut pada persatuan yang keliru. 

Demikan Sikap terbuka Aliansi Mahasiwa Papua ini kami buat atas dukungan dan kerja samanya, kami ucapkan banyak terima kasih.

                 

Tanah kolonial, 09 November 2023


Komite Pusat Aliansi Mahasiswa Papua


Ketua Umum                                                                      Sekretaris I & II

Jeeno Alfred Dogomo         Yance Yobee, Rudi Wonda