50 Tahun Pepera 1969 Ilegal, AMP Ambon Gelar Diskusi

Foto bersama usai diskusi, 2/8/2019. Doc: amp ambon
Herman Giban | Reporter Korankejora
Aliansi Mahasiswa Papua (AMP) Komite Kota (AMP KK) Ambon mengadakan diskusi rangka memperingati 50 Tahun PEPERA, Jumat (2/08/2019) di Asrama Papua.
Abner Holago yang memimpin jalannya diskusi mengatakan fakta sejarah dalam pelaksanaan Pepera pada 14 Juli - 2 Agustus 1969 ditemukan penuh kesalahan.
“Kami berdiskusi mengenai Pepera 1969 yang Ilegal, diperoleh suara yang manipulatif, dan cacat hukum internasional pula.” Kutip liris diskusi yang diterima korankejora.
Persoalan Kebangsaan telah dimulai sejak 1960an dan gagasan kebangsaan bagi Rakyat dan Bangsa Papua Barat telah merebut kemerdekaan sejak 1 Desember 1961 secara de jure dan de facto bahwa Bangsa Papua Barat telah Merdeka secara konstitusional.  Dalam era itu, kemerdekaan bangsa Papua Barat terjadi Perebutan antara Belanda dan Indonesia mempersoalkan status bangsa Papua Barat yang ketika itu juga, Presiden Ir. Soekarno Mengumandangkan Trikora (Tri Komando Rakyat) di Alun-Alun Kota Yogyakarta, 19 Desember 1961 untuk menggagalkan Negara Bangsa Papua Barat yang telah di deklarasikan kemerdekaan dan sedangkan Belanda menyiapkan militer untuk melawan Indonesia yang mana Belanda beranggap bahwa bangsa Papua Barat bagian dari kerajaan-nya. Itulah perebutan antara Belanda dan Indonesia atas Tanah Papua Barat. Sehingga, lahirnya manifesto politik antara Belanda dan Indonesia yang menghasilkan perjanjian-perjanjian tanpa keterlibatan Rakyat Asli Papua Barat seperti Perjanjian New York Agreement. Perjanjian tersebut terdiri dari 29 Pasal yang mengatur 3 macam hal. Diantaranya Pasal 14-21 mengatur tentang Penentuan Nasib Sendiri (Self Determination) yang didasarkan pada praktek Internasional yaitu “satu orang satu suara” (One Man One Vote). Dan pasal 12 dan 13 yang mengatur transfer administrasi dari Pemerintahan PBB (United Nations Temporary Executive/UNTEA) kepada Pemerintah Indonesia, yang kemudian dilakukan Aneksasi pada 1 Mei 1963. 
ABRI menangkan Pepera, lanjutnya, dengan mengintimidasi rakyat Papua, bahkan meneror 1026 orang yang dilibatkan ABRI dalam proses Pepera itu.
Pada 30 September 1962 dikeluarkan Roma Agreement/Perjanjian Roma yang merujuk agar Indonesia menduduki selama 25 tahun di Papua Barat dari 1 Mei 1963 hingga 1989 dan Point ke dua, mempersiapkan pelaksanaan Act of Free Choice (Tindakan Pilihan Bebas) di Papua Barat pada tahun 1969 dengan cara "musyawarah" tidak pada tahapan "one man one vote" yang diatur dalam New York Agreement maupun hukum Internasional itulah manipulasi sejarah rakyat Papua Barat. Namun dalam prakteknya, Indonesia justru memobilisasi Militer  ke Papua Barat untuk meredam gerakan Perjuangan Kemerdekaan bangsa Papua Barat sejak Trikora di Komandani oleh Ir. Soekarno. Dari itu, berbagai Operasi Khusus (OPSUS) yang diketuai Ali Murtopo bertugas untuk memenangkan Penentuan Pendapat Rakyat (PEPERA) ada pun operasi militer yang dilakukan Pra PEPERA, Operasi Jayawijaya (1961-1962), Operasi Wisnumurti(1963-1965), Operasi Sadar(1965), Operasi Bratayudha(1966-1967), Operasi Wibawa(1967), Operasi Khusus Penanganan Pepera(1961-1969) , selanjutnya diikuti operasi militer lainnya setelah PEPERA yaitu Operasi tumpas (1967-1970), Operasi Pamungkas(1971-1977), Operasi Koteka (1977-1978), Operasi Senyum (1979-1980), Operasi Gagak I (1985-1986), Operasi Gagak Ii (1986), Operasi Kasuari I (1987-1989), Operasi Kasuari Ii (1988-1989), Operasi Rajawali I (1989-1990), Operasi Rajawali (1990-1995).
Cara mufakat dengan dikumpulkannya 0,01 persen orang Papua dari total penduduk 800 ribu juta jiwa rakyat Papua saat itu dinilai cacat mekanisme Internasional One man One Voice (satu orang satu suara) yang disepakati dalam persetujuan New York (New York Agreement) pada 15 Agustus 1962.
Sehingga Herman Giban, anggota AMP Kota Ambon, juga menilai kenyataan ini motif terselubungnya adalah atas kepentingan ekonomi Politik As dan Indonesia.
Jelasnya, akibat dari operasi-operasi militer tersebut  terjadi berbagai pelanggaran HAM, yakni berunjuk pada penangkapan, penahanan, pembunuhan, manipulasi hak kemerdekaan rakyat dan Bangsa Papua Barat, pelecehan seksual, pelecehan kebudayaan, rasialis dan diskriminasi serta sebagainya, sejak dari antara Tahun 1961-1969 dalam kurun waktu 8 Tahun dan kejahatan kemanusian terus terjadi hingga dekade saat ini. Lebih ironis lagi, tanggal 7 April 1967 Kontrak Karya Pertama PT. Freeport McMoran, perusahaan tambang milik Negara Imperialis Amerika dan sekutu-nya, ditandatangani oleh pemerintahan rezim Soeharto. Yang mana klaim atas wilayah Papua Barat sudah dilakukan oleh Pemerintah Kolonial Indonesia 2 Tahun sebelum PEPERA dilakukan tanpa keterlibatan rakyat Asli Papua Barat. Sehingga sudah dapat dipastikan dari penjajahan itu, bagaimanapun cara-nya dan apapun alasan-nya Papua Barat harus masuk dalam kekuasaan Pemerintah Kolonialisme Indonesia. Tepat 14 Juli – 2 Agustus 1969, PEPERA dilakukan secara "Musyawarah" dengan cara Indonesia sendiri. Dari 809.337 orang Papua Barat yang memiliki hak, hanya diwakili 1025 orang yang sebelumnya sudah dikarantina dan cuma 175 orang yang memberikan pendapat. Musyawarah untuk Mufakat melegitimasi Indonesia untuk melaksanakan PEPERA yang tidak demokratis, penuh teror, intimidasi dan manipulasi serta adanya pelanggaran HAM berat yang terjadi secara sistematis.  Sehingga itulah, Praktek kolonialisme, imperialisme dan militerisme kemudian diterapkan oleh Pemerintah Indonesia hingga saat ini untuk meredam aspirasi perjuangan kemerdekaan Rakyat Papua Barat. Dimana Militer menjadi antek-antek yang paling reaksioner selama proses awal penjajahan hingga saat ini.
“Itu terlihat ketika Indonesia mengizinkan PT. Freeport mengeruk emas gunung Nemangkawi, Papua saat dua tahun sebelum Pepera dilaksanakan.” Jelasnya.
Berdasarkan fakta sejarah tersebut, AMP Ambon nyatakan sikap kepada Pemerintah Indonesia dan PBB untuk segera:
1. Berikan Kebebasan dan Hak Menentukan Nasib Sendiri Sebagai Solusi Demokratis Bagi Bangsa Rakyat Papua.
2. Berikan ruang demokrasi dan akses bagi Jurnalis dan media Internasional dan Nasional di Papua Barat.
3. PBB Harus Bertanggung Jawab Untuk Meluruskan Sejarah Pepera dan Proses Aneksasi West Papua Ke Indonesia.
4. PBB Harus Membuat Resolusi Untuk Mengembalikan Kemerdekaan Bangsa Papua Barat Yang Telah Merdeka, ! Desember 1961 Sesuai Dengan Hukum Internasional.
5. Menarik Militer Indonesia (TNI-Polri) Organik dan Non Organik dari Seluruh Tanah Papua untuk Menghentikan Segala Bentuk Kejahatan Terhadap Kemanusiaan Oleh Negara Indonesia Terhadap Rakyat Papua Barat.
6. Menutup dan Menghentikan Aktivitas Eksploitasi Semua Perusahaan Multi National Corporation (MNC) milik Negara-Negara Imperialis; Freeport, BP, LNG Tangguh, Medco, Corindo dan lain-lain dari Seluruh Tanah Papua.
7. Negara Indonesia dan PBB Bertanggung Jawab atas Kejahatan Kemanusian Di Papua Barat dan Segara Menangkap dan Mengadili Aktor Kejahatan Kemanusian.
8. Hentikan Kriminalisasi dan Diskriminasi terhadap Mahasiswa dan Rakyat Papua Barat
9. Berikan kebebasan berkumpul, berserikat, berekpresi, dan menyampai kan pendapat yang merupakan hak setiap manusia tanpa kecuali kepada Mahasiswa dan Rakyat West Papua.
Demikian pernyataan sikap ini dibuat, kami akan terus melakukan perlawanan terhadap segala bentuk penjajahan, pembungkaman,  penindasan dan penghisapan, terhadap Rakyat dan Bangsa West Papua.
Salam revolusi
Persatuan tanpa batas perjuangan sampai menang
Ambon, 02 Agustus 2019 


Editor: Jhe