Halloween party ideas 2015

 

Its.koran kejora 


koran kejora - Dalam  beberapa Tahun terakhir setelah Negara Kolonial Indonesia mengesahkan UU Otsus serta memaksakan DOB (Daerah Otonomi Baru) kompleksitas persoalan semakin mencekik Masyarakat papua. Pembangunan infrastruktur, eksploitasi sumber daya alam, Perampasan Lahan, masalah Buruh, operasi militer serta persoalan lainnya. Realitas penindasan ini direspon dengan perlawanan rakyat yang terpisah-pisah disetiap sector / klas masyarakat yang ditindas, oleh karena itu persatuan nasional menjadi sangat penting guna menyatukan kekuatan dan menyerang mujsuh bersama.

Tentang Persatuan

Rakyat adalah pelaku sejarah dalam perjuangan merebut demokrasi secara nasional di west papua atau papua merdeka dari cengkraman Kolonialisme Indonesia, Kapitalisme – Imperialisme Dunia dan Militerisme Indonesia.

Sejarah perjuangan rakyat papua telah mencatat bagaimana rakyat papua berjuang sejak 1961 hingga kini, rakyat papua sadar persatuan adalah kunci guna menyatukan kekuatan, Menyerang Musuh, dan merebut kemerdekaan. Berbagai macam alternatif persatuan yang di lahirkan untuk menggalang kekuatan rakyat dilakukan. Mulai dari Neuguinea Raad, KNP (komite Nasional Papua), OPM (Organisasi Papua Merdeka), WPNCL (West Papua National Coalition Liberation), PNWP (Parlemen Nasional West Papua), NRFPB (Negara Republik Federal Papua Barat), dan kini dalam Front Persatuan ULMWP (United Liberation Movement for West Papua).

Untuk memahami dinamika persatuan papua, Baca ; https://suarapapua.com/2019/08/06/dari-nieuw-guinea-raad-ke-ulmwp-tentang-persatuan/

Dari berbagai model perstuan yang lahir dari kebutuhan untuk menyatukan kekuatan rakyat ada factor internal dan eksternal yang menjadi alasan kegagalannya. Factor eksternal tentu saja dilakukan oleh negara kolonial Indonesia melalui politik inviltrasi/penyusupan, propaganda kebohongan, operasi-operasi militer (penangkapan, kriminalisasi, pembunuhan) serta pembangunan kesadaran palsu dan realitas objektif penindasan yang semakin menambah komplesitas persoalan di papua.

Sedangkan factor internalnya adalah kondisi subjektif gerakan perjuangan. Pertanyaan-pertanyaan yang muncul adalah ; Bagaimana setiap oraginasasi perjuangan Melihat Realitas Penindasan ?, Apa Alternatif jalan keluar yang ditawarkan ?, Apakah kita membutuhkan Persatuan ?, Bagaimana seharusnya persatuan dibangun ?, Dengan Mulai Menjawab pertanyaan-pertanyaan dasar ini akan membawa kita (Masing-masing Organisasi) pada muara persatuan yang tepat. 

Melihat Dinamika persatuan Gerakan perjuangan rakyat papua hari ini didalam (ULMWP) belum mampu menjadi rumah bersama yang menampung seluruh aspirasi dan keluhan rakyat yang lahir kerena realitas penindasan. Apalagi setelah perubahan signifikan ULMWP dari wadah koordinatif menjadi Trias Politica / semi pemerintahan yang semakin membuat kaku dan menutup habis ruang-ruang demokrasi. KTT II ULMWP (2023) pun tidak mampu Mengembalikan Marwah perstuan dengan menerima berbagai usulan gerakan rakyat dan semakin menambah perpecahan dari tingkat faksional hingga sektor gerakan di bawah.

Kritik dan sikap terbuka Kami tentang front persatuan nasional papua, Baca ;https://146.19.24.59/2023/11/sikap-terbuka-amp-kepada-ulmwp.html?__cpo=aHR0cHM6Ly9rb3Jhbmtlam9yYS5ibG9nc3BvdC5jb20

Poin penting yang harus dijadikan Landasan dalam membangun persatuan adalah Demokrasi yang Merakyat. Hal itu tidak dapat dicapai dalam tubuh front persatuan nasional karena kepentingan kelompok/individu lebih diutamakan dibandingkan kepentingan kolektif, Memiliki karakter yang birokratis dan kaku, ruang kebebasan berpendapat yang minim menciptakan Jarak yang jauh antara front persatuan dan rakyat yang mengalami penindasan.

Walaupun Demikian kami percaya bahwa persatuan gerakan rakyat papua akan tercipta Baik karena kondisi objektif penindasan maupun melalui tahapan konsolidasi berkelanjutan yang tentunnya merupakan hasil dari evaluasi yang objektif & Ilmiah. 

Hal yang perlu dipahami Bersama Bahwa Persatuan itu relatif dapat tercipta ataupun diciptakan namun perjuangan adalah keharusan, setiap organisasi perjuangan memiliki tugas pokok yaitu berjuang dengan setiap basis pengorganisiran dan perpektif yang yang ada. Kita tidak bisa menggantungkan harapan semu / berharap lebih tentang front persatuan yang didambakan kemudian menyepelekan kerja-kerja perjuangan (pengorganisiran, Pendidikan, Aksi, Propaganda dll) karena pada esensinya persatuan yang berwatak nasional dan kokoh dapat terbangun karena setiap organisasi yang berafiliasi memiliki basis kerja terstruktur, terdidik dan semakin meluas, maka berjuang adalah suatu keharusan.


Tentang Kebudayaan kontra Revolusi

Masalah persatuan ini juga dikarenakan kebudayaan /tradisi berjuang yang keliru dan dipelihara secara sadar maupun tidak sadar di setiap tubuh organisasi perjuangan mulai dari bagaimana mekanisme organisasi dibangun sebagai pondasi sekaligus pagar guna mengantisipasi segala ancaman yang berpotensi mengganggu perjuangan. Baik yang lahir dari dalam maupun factor dari luar.

Perkembangan Masyarakat papua yang ditekan tenaga produktifnya oleh kolonialisme Indonesia berdampak pada kebudayaan nasional yang masih Mengedepankan nilai/nilai utopis seperti adat & agama (Nilai-nilai negatifnya) yang semakin mengaburkan cara pandang kita melihat realitas objektif penindasan dan ambigu dalam menentukan Alternatif jalan keluar yang tepat.

Konsekuensi logis dari kebudayaan yang berwatak primordialisme,dan oportunisme dalam Gerakan akan melahirkan benih-benih kehancuran. Mari kita lihat contoh Ketika PKI Mengakui segala kesalahnnya dan melakukan kritik oto kritik secara terbuka.

Dalam otokritik yang buat oleh cc politbiro PKI mereka mengakui segala kelemahan dan kesalah yang dilakukan Ketika Mereka dengan mudah terlibat dalam Gerakan 30 september yang semakin mengucilkan organisasi hal itu diperparah  Ketika organisasi menjalankan garis oportunisme kanan dengan Menggantungkan Nasib organisasi ke tangan Soekarno. Ini adalah puncak kelemahan-kelemahan dan kesalahan-kesalahan berat PKI baik di bidang ideologi, politik dan organisasi.

Tidak sampai disitu ruang-ruang kritik pun dibuka tidak hanya internal pengurus pusat tetapi dibuka umum untuk menerima pandangan dari setiap partisipannya sebagai satu-satunya sarana /alternatif Menerima, megoreksi dan merubah setiap kesalahan.

Dalam kondisi gerakan perjuangan papua hari ini kebudayaan-kebudayaan kontra Revolusi seperti primordialisme, oportunisme,  masih di praktekkan dalam tubuh Gerakan yang menjadi factor internal penghambat Pembangunan kesadaran dan kemajuan perjuangan.

Banyak contoh kasus, seperti di tahun 1998 – 200an dimana gejolak semangat kemerdekaan rakyat papua dalam front nasional presidium dewan papua (PDP) yang kemudian mengalami kehancuran karena kepemimpinan politik diletakkan pada kaum oportunis, contoh lainnya di tahun 2019 ketika isu rasisme di Surabaya memantik semangat dan pemberontakan rakyat papua namun front persatuan nasional ULMWP tidak mampu mengambil kepemimpinan di dalam negeri dan mengarahkannya pada musuh rakyat.

Contoh lainnya dari praktek kebudayaan kontra revolusi dalam Gerakan sipil adalah penyerangan yang dilakukan Wene kilungga anggota Pusat (Kominte Nasional Papua Barat) KNPB terhadap 15 orang individu dan organisasi saat sedang melakukan Teklap terakhir menuju Aksi nasional 1 mei 2024. 

(Kronologi Penyerangan dan sikap korban, Baca : ) https://laolao-papua.com/2024/06/27/pernyataan-sikap-atas-serangan-brutal-wene-kilungga-anggota-knpb-pusat/

Praktek Premanisme yang dilakukan dalam tubuh Gerakan ini merupakan Gambaran Kebudayaan serta moral berjuang yang tumbuh subur dalam Organisasi. Kebingungan dalam mendorong maju perjuangan ini tidak terlepas dari kekosongan teori, politik maupun kebudayaan yang di gunakan sebagai alat yang memimpin Perjuangan. 

Ditengah kondisi kekosongan ini segala sentimen, dan kecemburuan subjektif yang tidak berdasar akan semakin berkembang dan melahirkan Berbagai macam penyakit seperti Penokohan, patron, Membuntut bahkan tindakan-tindakan reaksioner.

download file pdf: https://drive.google.com/file/d/15HvUd2G4oTiXE8WZBRQhSZwZxLODxXXI/view?usp=sharing


Tugas Kita 

Dalam Menyambut Hut ke 26 AMP, dan dengan melihat "Kenyataan bahwa kekuatan / kebudayaan kontra-revolusioner yang ada dan tumbuh di kalangan Gerakan perjuangan rakyat Papua maka kebutuhan mendesak yang harusnya dilakukan adalah membangun ruang kritik oto kritik yang ilmiah  serta mendorong pendidikan-pendidikan politik yang berkelanjutan dan meluas. Dengan mulai berani mengakui kesalahan, terbuka menerima kritik yang objektif, serta dengan kerja Pembangunan kesadaran melalui Pendidikan yang berkelanjutan niscaya akan membangun kesadaran individu dan kolektif yang lebih Maju.

Kemajuan setiap individu dan organisasi dalam teori, politik , maupun organisasi tentunya akan berdampak signifikan dan dapat menjawab kebutuhan persatuan nasional yang Demokratis dan Merakyat.


Komite Pusat Aliansi Mahasiswa Papua (KP-AMP)


Ketua Umum

 Jeeno Alfred Dogomo






Doc. AMmp Bali
saat aksi 26 tahun tragedi biak berdara


korankejora - Aksi menyikapi 26 tahun Tragedi Biak Berdara 1998 - 2024 di bali terjadi pembungkaman Ruang demokrasi dan pemutusan akses internet pada saat aksi di depan Plaza Renon Denpasar bali 06 uli 2024.  Dalam Berjalanya Aksi, Pihak kepolisian kolonialisme indonesia membatasi massa untuk tidak melanjutkan aksi ke konsulat Amerika namaun massa di arahkan ke bundara depan Plaza serta Akses internet pun di matikan. 


Walaupun kita tahu  bahwa negara indonesia adalah negara hukum dan demokrasi tetapi pada prakteknya ruang ruang demokrasi bagi rakyat dan mahasiswa masih saja di persempit dan di bungkam oleh pihak kolonialisme indonesia  terhadap bangsa papua lebih khususnya massa mahasiswa papua yang melakukan aksi demonstrasi di bali.


Bahkan saat aksi demontrasi hari ini, intel serta beberapa Polisi berpakaian biasa menahan satu (1)orang  wartawan asing  karena memantahu dan meliput aksi Papua, menolak lupa 26 tahun tragedi  biak berdara yang di lakukan oleh Amp di  bali pada 06 juli 2024. waratawan asing yang hendak meliput tersebut Cameranya di tutup lalu polisi menyuruhnya untuk pergi akhirnya polisi berpakaian preman ini membahwanya ke jahu dari massa akhirnya Wartawan tersebut di bawah ke mobil polisi dan di introgasi oleh kepolisian di bali.


Bukan hanya kali ini, Praktek praktek pembungkaman dan pemutusan akses internet terus terjadi di bali berulang kali, setiap kali aliansi mahasiswa papua kk bali melakukan aksi kami sering di perhadapkan dengan hal hal demikian. Pihak kepolisian telah melanggar kebebasan berekspresi dan menyampaikan di muka umum yang telah di atur dalam uud 1945 pasal 28f, uud 1945 28e ayat (3)  juga di jamin dalam uu nomor  39 tahun 1999 tentang hak asasi manusia.

Seharusnya pihak kepolisian mendampinggi jalannya aksi dan tidak memutuskan akses internet sebebas bebasnya.


Sisi làin, ormas reaksioner yang lagi aksi di konsulat amerika di biarkan bahkan tidak ada pembatasan terhadap mereka. Proses pembiaran terhadap Ormas reaksioner  Patriot  Garuda nusantara (PGN) juga masih di lakukan oleh kepolisian di bali, seolah olah massa aksi AMP yang selalu melakukan aksi anarkis di bali sehingga massa terus di jaga oleh Ormas reaksioner.


Kasus tragedi biak berdara tahun 1998 hingga sampai saat  ini juga masih belum terselesaikan oleh kolonialisme walapun kami tahu itu Republik indonesia negara hukum dan demokrasi. namun  negara indonesia yang di anggap sebagai negara  demokrasi tetapi pada Praktek prakteknya koloniaisme indonesia masih terus mempraktekkan kejahatan terhadap bangsa papua.


Hingga sampai saat ini, Tepat 26 tahun Pelanggaran ham berat Biak Berdara itu terjadi, Tragedi Biak Berdarah Merupakan akibat tindakan dari Aparatus militer Negara Kolonial Indonesia melakukan tindakan kekerasan terhadap rakyat Papua Barat di Biak yang menyampaikan aspirasi dan Kibarkan Bendera Bintang Kejora secara damai dan demokratis. 


Kejahatan dan kekerasan Aparat terhadap rakyat papua di biak pada tanggal 2-6 July 1998 telah mengorbankan 230 orang. 8 orang meninggal; 8 orang hilang; 4 orang luka berat dan dievakuasi ke Makassar; 33 orang ditahan sewenang-wenang; 150 orang mengalami penyiksaan; dan 32 mayat misterius ditemukan hingga terdampar di perairan Papua New Guinewa (PNG) dan sebagian korban belum terdata sejak 6 July 1998.

Kasus pelanggaran ham berat tersebut Sampai hari ini 6 July 2024 telah memasuki 26 Tahun namun Negara masih terus mengabaikan  dan sepelehkan  kasus pelanggaran ham tersebut, bahkan pelanggaran dan kekerasan terhadap rakyat dan bangsa papua  terus terjadi di mana mana.


*Kronologis Aksi


Pada jam 08:40 kawan-kawan masssa aksi melakukan doa sebelum melakukan perjalanan menuju titik aksi. doa tersebut di lakukan depan asrama denpasar bali oleh massa aksi sebelum lanjutkan perjalanan.


Pada jam 08:56 Korlap mengarahkan massa menuju titik kumpul, sebelumnya massa melakukan pengecekan lalu antar jemput menggunakan motor ke titik aksi denpasar timur renon.


Pada Jam 09:03 massa melakukan pemasangan tali komando untuk mempersiapkan massa untuk bergerak menuju ke titik aksi. Sebelum  masa bergerak, Gusyadi selaku ketua Ormas PGN dan kawannya  telah melakukan pemantauan di sekitar titik kumpul massa aksi,diparkiran timur renon.


Jam 09:39 setelah  masa  mulai bergerak menuju titik aksi,   tidak lama kemudian terlihat pihak kepolisian 8 orang yang  menggunakan motor Cross bergerak dan berhenti di belakang massa yang sedang menuju titik aksi.kemudian mereka mengikuti kawan-kawan yang sedang bergerak menuju titik aksi dengan menakuti massa dari belakang.


Pada Jam 9:50 pihak preman dan intel terlihat di sepanjang jalan Plaza Renon, kemudian intel 3 orang berdiri disamping jalan jalan  dan juga satu (1) orang Tentara ikut memantau massa aksi yang sedang menuju titik aksi.


Pada Jam 09:53 polisi memakai 2 buah mobil sabhara sudah melakukan pemalangan jalan di sekitaran bundaran Plaza samping konsulat dan pihak kepolisian mengarahkan massa untuk tidak melakukan aksi di depan konsulat amerika sebagai titik aksi massa amp kk bali.


Pada Jam 09:05 kawan-kawan mulai melakukan orasi di sekitaran bundaran depan Plaza  karena massa aksi dihadang oleh pihak kepolisian dan  di suruh tidak boleh melanjutkan aksi menuju  ke kantor konjen AS. Sedangkan ormas pgn juga melakukan aksi di depan konsulat amerika, namun  pihak kepolisian tidak membubarkan massa aksi pgn  yang sedang melakukan aksi kontra dengan massa AMP.


Pada Jam 10:22 terlihat kawan-kawan yang membagikan selebaran dipaksa dan di arahkan untuk tidak membagikan selebaran di sekitaran bundaran dengan alasan menimbulkan kemacetan di jalan. Namun selanjutnya pada Jam 10:28 terjadi penghalangan dan pemutusan jaringan internet yang dilakukan oleh pihak aparat.


Pada Jam 11:06 setelah kawan-kawan melakukan negosiasi dengan pihak kepolisian, namun masa aksi diberikan ruang untuk orasi hanya bebberapa jam saja,  namun untuk melakukan pembagian selebaran disamping  kiri dan kanan kawan-kawan massa aksi masih dihadang oleh pihak kepolisian, dan tidak di suruh bagi selebaran.


pada  Jam 11:44 saat kawan-kawan sedang melakukan aksi, orasi dan puisi, 2 0rang yang diduga aparat kepolisian berada disekitar massa aksi sedang duduk dan melakukan penghalangan dan mengontrok untuk mematikan jaringan menggunakan alat sadap yang di isi dalam sebuah tas ransel hitam.


Jam 12:05 orasi dan pembacaan puisi yang lakukan oleh peserta aksi. Setelah  jaringan internet Kembali dipulihkan Saat beberapa jam massa mengalami pemutusan akses internet. Akhirnya pada Jam 12:30 internet kambali di buka, dan massa aksi membacakan pernyataan sikap di depan bundaran Plaza


Pada Jam 12:48 setelah pembacaan pernyataan sikap kawan-kawan massa aksi mulai bergerak Kembali menuju titik kumpul. Pada saat seusai membacakan pernyataan sikap. Pada jam 12:49 pihak wartawan asing di batasi dan tidak diperbolehkan untuk meliput aksi  kawan-kawan massa aksi dan wartawan  asing tersebut dibawah keluar secara paksa keluar dari massa aksi, kemudian wartawan tersebut di bawah ke mobil polisi dan di interogasi oleh kepolisian.


Pada jam 13:21 massa balik ke titik kumpul dan  tiba di titik kumpul. Lalu pada 13:23   korlap mengarahkan massa aksi untuk balik Kembali ke asrama. Setibanya di parkiran timur renon tempat titik kumpul, 3 motor massa aksi  di rusaki tempat kunci motor. Pengrusakan motor ini di lakukan oleh orang tidak di kenal.

 

Demikian Kronologis Aksi Amp kk bali, sekian dan Terima kasih.


Denpasar ,06 Juli 2024

doc. amp kk bali.
Saat aksi 26 tahun 26 tahun tragedi biak berdara


korakejora - Tepat 26 tahun Pelanggaran ham berat Biak Berdara itu terjadi, Tragedi Biak Berdarah Merupakan akibat tindakan dari Aparatus militer Negara Kolonial Indonesia melakukan tindakan kekerasan terhadap rakyat Papua Barat di Biak yang mengibarkan Bendera Bintang Kejora secara damai dan demokratis. Kejahatan dan kekerasan Aparat terhadap rakyat papua di biak pada tanggal 2-6 July 1998 telah mengorbankan 230 orang. 8 orang meninggal; 8 orang hilang; 4 orang luka berat dan dievakuasi ke Makassar; 33 orang ditahan sewenang-wenang; 150 orang mengalami penyiksaan; dan 32 mayat misterius ditemukan hingga terdampar di perairan Papua New Guinewa (PNG) dan sebagian korban belum terdata sejak 6 July 1998.

Kasus pelanggaran ham berat tersebut Sampai hari ini 6 July 2024 telah memasuki 26 Tahun namun Negara masih terus mengabaikan  dan sepelehkan  kasus pelanggaran ham tersebut, bahkan pelanggaran dan kekerasan terhadap rakyat dan bangsa papua  terus terjadi di mana mana.

Kondisi ini, kami melihat bahwa Kekerasan oleh kolonial dan militer Indonesia di atas Tanah Rakyat Bangsa Papua Barat merupakan kekerasan yang dilakukan secara terstruktur dan sistematis terhadap rakyat Papua Barat dari tahun ke tahun tanpa hentinya,  yang mengancam berbagai korban kemanusian,  Alam,  budaya, bahkan martabat kemanusiaan. Dan tidak terlepas dari praktek Kapitalis dan kedok Imperialis antara kolonial Indonesia di Tanah bangsa Papua Barat. Akibat awal dari  Aneksasi bangsa Papua Barat sejak 1 Mei 1963 setalah Rakyat Papua Barat merebut kemerdekaan pada 1 Desember 1961 secara konstitusional de jure dan de facto secara pengakuan kebangsaan di bawa Belanda dan penyiaran Radio Autralia serta Belanda bahkan secara sah atribut kebangsaan sudah ada sejak itu. Namun, kemerdekaan bangsa Papua Barat telah dimanipulasi oleh Indonesia dan orang maupun Negara-negara yang mempunyai berbagai kepentingan di atas Tanah Papua Barat. Selanjutnya, kekerasan tragedi kemanusian terus berlanjut dalam bingkai negara kolonial Indonesai melalui beragam operasi militer tanpa hentinya, termaksud tepat pada 06 July 1998 merupakan hari peringatkan tragedi Biak Berdarah yang ke-25 Tahun hingga 06 juli 2023 tanpa penanggungjawab dan mengadili atas kekerasan Aparatus militer Indonesia oleh Negara.

Kini, telah 26 tahun berlalu tanpa proses penyelesaian kasus tragedi biak berdarah maupun seluruh tragedi kemanusiaan dan pembiaran terhadap aparat negara sebagai pelaku pembantaian tersebut. Tindakan pemeliharaan dan melindungi pelaku palanggar HAM, justru melanggengi kepentingan akses eksploitasi-an sumber daya alam dan menjaga eksistensi mengkoloni Papua Barat. dan disertakan juga, pemusnahan etnis Melanesia Papua Barat yang sangat spontanitas yang meningkat terus-menerus, terlihat jelas ketika bangsa Papua Barat di aneksasi dari 1 Mei 1963 hingga 2020 sangat cukup signifikan kekerasan oleh aparatus negara kolonial Indonesia di seluruh Tanah Papua Barat. Ketika Bangsa Papua Barat di aneksasi,  Masif-nya perampasan tanah-tanah adat, serta meningkat represifitas aparat negara disertai dengan kebrutalan penangkapan aktivis Papua Barat yang makin meningkat. Juga, militer  dan sistem di bawah kontrol negara kolonial Indonesia terus melakukan pelanggaran HAM, pembunuhan, pemerkosaan, pengejaran dan penangkapan aktivis Papua Barat, rasialisme, penganiyaiyaan, bahkan memenjarah hingga menghabisi nyawa rakyat Papua Barat tanpa henti.

Setelah Biak Berdarah, terjadi pula berbagai tragedi-teragedi mulai dari tragedi Wamena Berdarah (2000 dan 2003); Wasyor Berdarah (2001); Uncen Berdarah (2006), Nabire Berdarah (2012); Paniai Berdarah (2014),  Nduga berdarah (2017 dan 2018 sampai hari ini), Fak-Fak Berdarah [2019] dan peristiwa berdarah lainnya yang Negara kolonial Indonesia pun tak menyelesaikan kasus-kasus tersebut sampai hari ini. Bahkan Otsus [Otonomy Khusus] sejak 21 November 2001 disahkan melalui Mantan President RI [Replublik Indonesia] Soekarno Putri/Megawati Putri sampai kepemimpinan Jokowi-Maruf Amin; Tak ada satu kasus pun di selesaikan malah dalam tahapan Otsus Papua berlangsung hingga kini Tragedi berdarah terus meningkat bahkan Otsus Papua yang di berikan merupakan kebijakan yang merugikan, meresahkan Rakyat Papua Barat yang terus ditindas habis-habis sampai hari ini.

Selama tahun 1961 hingga 2021 tercatat 22 Operasi Militer yang sudah Meneror, Mengintimidasi, Mutilasi serta Memperkosa Perempuan Papua untuk mengusai seluruh asset kekayaan Alam di tanah apapua. Bahkan sepanjang tahun – tahun itu, rakyat papua harus mengungsi mencari tempat aman.

Bahkan, dalam kurun waktu 2017-2022 terjadi pengungsian secara massal di beberapa wilayah diantaranya Nduga, Timika, Intan Jaya, Puncak, Pegunungan Bintang, Maybrat, Yahukimo dan yapen. Dewan Gereja dalam laporan terbaru melaporkan lebih dari 60.000 rakyat Papua mengungsi. Artinya selama 4 tahan berturut-turut rakyat Papua tidak merayakan Natal sebagai Hari Besar umat Kristen. Selain disebutkan diatas, proses pemiskinan secara ekonomi, pelayanan kesehatan yang buruk, pendidikan yang tidak layak dan persoalan di berbagai sektor dilakukan negara dengan sadar dan terencana. 

Sisi lain, Pemekaran provinsi yang sebelumnya ada dua Provinsi Papua dan Papua Barat kini bertambah menjadi 6 provinsi yakni Barat Daya, Papua, Papua Barat, Papua Selatan, Papua Pegunungan dan Papua Pegunungan Tengah. Yang sudah tentu, ini merupakan awal kehancuran orang papua di tanah sendiri. Awal dimana perampasan tanah, air, udara, serta laut yang akan massif serta meloloskan kepentingan negara – negara maju untuk mengambil sumber daya alam serta membunuh rakyat papua atas nama Infrastruktur.

Sejak pemilihan Presiden Joko Widodo (Jokowi) pada akhir tahun 2014 hingga 2024, Kapitalisme Global dan militer [ TNI dan POLRI ] bekerja sama dan membiarkan terus mengakumulasi lebih banyak kekuasaan dan anggaran dengan melanggengkan struktur komando teritorial yang mengizinkannya mengakses SDA—secara legal maupun ilegal. Sejak lama, pemeritah pusat dan pemerintah local, militer dan kapital global  terlibat dalam kegiatan ekonomi ilegal di West Papua, termasuk di usaha penebangan kayu dan pengamanan perusahaan-perusahaan pertambangan dan perkebunan, yang juga disertai penggusuran orang-orang West Papua dari tanahnya. Militer, Pemerintah Indonesia dan elit local juga merupakan penerima alokasi dana Otsus dalam jumlah yang besar, dua per persen dari anggaran nasional Indonesia, serta dana pembangunan, dan dana infrastruktur. Bupati-bupati terpilih memiliki anggaran yang bisa diakses militer untuk melakukan operasi militer melawan dugaan ancaman pemberontak di West Papua. 

Kendati UU Otonomi Khusus Jilid I – II , G - 20, Omnibus, UU Minerba,  UU KUHP serta seluruh kebijakan negara hanya untuk kepentingan Eksploitasi Kapital Modal di Tanah West Papua.  Sehingga, aparat keamanan [ TNI dan POLRI ] menjadi anjing penjaga para pemodal untuk meraup banyak untung dari eksploitasi sumber daya alam (SDA) Papua yang melimpah, bahkan TNI dan POLRI dengan dalih operasi kontrapemberontakan dan transmigrasi terus memperlancar aktivitasnya dipapua. Hal ini menyebabkan kasus-kasus pembungkaman kebebasan berekspresi secara damai terus berlanjut. Larangan pengibaran bendera Bintang Kejora tetap diberlakukan, dan, tidak ketinggalan, tetap terjadi pembunuhan di luar hukum oleh TNI/Polri.

Bahkan setelah UU Otsus disahkan Presiden Jokowi mengizinkan militer Indonesia memperluas struktur teritorialnya dengan membangun dua komando daerah militer (kodam) baru, di Provinsi Papua dan Papua Barat, Papua Barta Daya, Papua Pegunungan serta Papua selatan. Pihak militer mengklaim bahwa hal ini diperlukan dalam rangka melawan gerakan perlawanan Papua, Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat (TPNPB). Namun, TPNPB tidak hadir dalam jumlah yang signifikan di tanah West Papua. Tampaknya militer tengah berusaha menjustifikasi penambahan struktur komando teritorial yang bisa membuat mereka terus melanggengkan kepentingan bisnisnya.

Sedangkan, rakyat papua minta untuk hak menentukan nasib sediri dan  tpnpb memintah untuk untuk perundingan agar menguranggi pelanggaran ham di papua, dilain sisi Jokowi – Maruf Amin serta Mahfud Md tidak mau mendengarkan apa keinginan TPNPB dan Rakyat Papua, untuk segera lakukan ‘’PERUNDINGAN’’ melainkan pemerintah indonesia membantah pernyataan tersebut. Banhkan hingga sekarang pembungkaman, penangkapan dan pelanggaran ham secara sadis dan masif terjadi di tanah papua barat.

Maka, untuk menyikapi Pelanggaran Berat ham “Tragedi Biak Berdarah, yang ke-26 tahun dan mengutuk Kekerasan Kolonial Indonesia di Tanah Papua Barat”, Sehingga Aliansi Mahasiswa Papua [AMP] Menuntut Indonesia Rezim Jokowi dan PBB Segera:

1. Melawan lupa 26 tahun tragedi Biak berdara di west papua: Negara Stop lakukan kekerasan  dan pemunuhan secara sitematis di papua barat

2. Tarik militer organik dan non-organik dari West Papua 

3. Hentikan segala bentuk diskriminasi dan intimidasi terhadap mahasiswa West Papua di Indonesia 

4. Tutup PT Freeport, BP, LNG Tangguh serta tolak pengembangan Blok Wabu dan eksploitasi PT Antam di Pegunungan Bintang 

5. Cabut Omnibus Law, Cabut UU otsus,  dan DOB Di papua

6. Dukung Suku Auyu di boven Dan Moi di sorong Menolak perusahan ilegal  

7. Hentikan rasisme dan politik rasial yang dilakukan Pemerintah Republik Indonesia dan TNI-Polri 

8. Hentikan operasi militer  dan pembagunan pos militer Berlebihan di Nduga, Intan Jaya, Puncak Jaya, Pegunungan Bintang, Maybrat, paniai, Maybrat, dan Seluruh Wilayah West Papua lainnya 

9. PBB harus bertanggung jawab serta terlibat aktif secara adil dan demokratis dalam proses menentukan nasib sendiri, pelurusan sejarah, dan penyelesaian pelanggaran HAM yang terjadi terhadap bangsa West Papua

10. Mendesak Pemerintah RI untuk memberikan akses seluas-luasnya kepada Komisi HAM PBB untuk meninjau situasi HAM di West Papua secara langsung 

11. Jaminan kebebasan informasi, berekspresi, berorganisasi dan berpendapat bagi bangsa West Papua 

12. Usut, Tangkap, adili, dan penjarakan jenderal-jenderal pelanggar HAM 

13.Menundukung perundigan antara  indonesia, pemerintah zelandia baru dan TPNPB OPM yang di mediasi oleh PBB demi menyelesaikan konfilk di west papua

14. Berikan Hak Menentukan Nasib Sendiri sebagai Solusi Demokratis bagi Bangsa West Papua 

Demikian penyataan sikap ini, Kami sampaikan kepada PBB, Negara RI dan seluruh Jajarannya, Atas perhatian dan dukungan seluruh Rakyat Papua Barat, kami ucap terima kasih.


Salam Pembebasan Nasional Papua Barat!

Medan Juang,

Tanah kolonial, Sabtu 06 Juli 2024

 

its.koran kejora



korankeora.blogspot.com - Tepat hari ini 61 tahun kolonial indonesia menganeksasi bangsa papua,Ke dalam negara indonesia. Kedudukan indonesia secara ilegal ini bermula ketika, Pada 1 mei 1963 Amerika Serikat, Pbb, Belanda Dan Indonesia Mempunyai kepentingan di atas tanah papua sehingga menyerahkan papua barat kepada indonesia tanpa sepengetahuan orang papua. Peralihan kekuasaan ini di lakukan oleh United Nations Temporary Executive Authority (UNTEA/PBB) kepada Indonesia Sejak 1 Mei 1963. Langkah PBB ini untuk melegalkan aktivitas Indonesia mempersiapkan Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera) tahun 1969. 


Kekuasaan indonesia atas tanah papua melalui UNTEA ini, di jadikan peluang untuk memaksimalkan berbagai upaya politik, dalam memuluskan keinginannya menguasai Papua, yang waktu itu disebut Irian Barat dan atau Nederlands New Guinea. Apa yang dilakukan oleh Indonesia? pertama, Indonesia melanggar perjanjian New York 15 Agustus 1962 (New York Agreement). Terutama ketentuan menyangkut bentuk pelaksanaan Pepera yang mewajibkan referendum secara luas, dan mengikutsertakan seluruh rakyat. Kedua, Indonesia merepresif semua gerakan-gerakan protes damai rakyat secara biadap, baik dengan menangkap, memenjarahkan, bahkan tidak sedikit yang dilaporkan terbunuh.



Pencaplokan wilayah Papua kedalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) dilakukan melalui serangkaian Operasi militer di wilayah Papua dalam rangkah menggagalkan negara West Papua yang dideklarasikan pada 1 Desember 1961. Deklarasi negara West Papua diselenggarakan oleh lembaga poltik representatif bangsa Papua yakni Nieuw Guinea Raad atas persetujuan pemerintah kerajaan Belanda yang saat itu menduduki wilayah Papua sesuai Resolusi PBB Nomor 1514 sebuah Deklarasi tentang Pemberian Kemerdekaan Kepada wilayah jajahan.


Namun, 19 Hari kemudian Presiden RI, Ir. Soekarno mengeluarkan seruan Trikora di Alun-alun Utara, Kota Yogyakarta yang menyatakan (1) Bubarkan negara boneka buatan Belanda (2) Kibarkan bendera merah putih di seluruh Tanah Papua. (3) Mobilisasi nasional merebut Irian Barat (baca: Papua). Seruan ini diikuti sabotase, infiltrasi dan mobilisasi militer dalam jumlah yang banyak ke wilayah Papua. Akibatnya terjadi perang antara Belanda dan Indonesia. Sehingga a membawah kedua negara dalam dalam perundingan difasilitasi Amerika Serikat tanpa keterlibatan orang Papua. Hasil perjanjian New York / New York Aggremeent 15 Agustus 1962 terdiri dari 29 Pasal yang mengatur 3 macam hal. Diantaranya Pasal 14-21 mengatur tentang “Penentuan Nasib Sendiri (Self Determination) yang didasarkan pada praktek Internasional yaitu satu orang satu suara (One Man One Vote)”. Dan pasal 12 dan 13 yang mengatur transfer Administrasi dari PBB kepada Indonesia, yang kemudian dilakukan pada 1 Mei 1963 dan 30 September 1962 dilaksanakan “Roma Agreement/Perjanjian Roma” yang intinya Indonesia mendorong pembangunan dan mempersiapkan pelaksanaan Act of Free Choice (Tindakan Pilih Bebas) di Papua pada tahun 1969.


Atas kesepakatan sepihak tersebut, pada 1 Mei 1963 Otoritas Sementara Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNTEA) menyerahkan wilayah Papua ke tangan pemerintah NKRI. Setelah mendapat otoritas itu, Indonesia memobilisasi militer secara besar-besaran ke Papua untuk meredam gerakan Pro-Merdeka rakyat Papua. Operasi Khusus (OPSUS) yang diketuai Ali Murtopo dilakuakan untuk memenangkan Penentuan Pendapat Rakyat (PEPERA) diikuti operasi militer lainnya yaitu Operasi Sadar, Operasi Bhratayudha, Operasi Wibawa dan Operasi Pamungkas. Akibat dari operasi-operasi ini terjadi pelanggaran HAM yang luar biasa besar, yakni penangkapan, penahanan, pembunuhan, manipulasi hak politik rakyat Papua, pelecehan seksual dan pelecehan kebudayaan dalam kurun waktu 6 tahun.


Lebih Ironis lagi, pada 7 April 1967 ditandatangi Kontrak Karya I Freeport McMoran perusahaan milik negara imperialis AS dengan rezim otoriter fasis Soeharto untuk melakukan eksplorasi dan ekspolitasi di Tanah Papua. Padahal saat itu Papua belum sah menjadi bagian Indonesia atau dua tahun sebelum dilaksanakan Pepera (Penentuan Pendapat Rakyat). Sehingga dapat dipastikan pelaksaan Pepera hanya sebagai formalitas dalam rangkah menutup sorotan internasional dan untuk menguasai dan mengeksploitasi Tanah Papua secara legal.


Pepera yang dilaksanakan pada 14 Juli – Agustus 1969 diwakili oleh 1025 orang dari 800.000 populasi penduduk Papua pada saat itu. Setelah mendapat legalitas formal melalui hasil Pepera melalui resolusi 2504 Indonesia semakin menggila. Walaupun resolusi Nomor 2504 tersebut hanya ‘dicatat’ tidak disahkan sebab keabsahan pelaksanaan Pepera dipedebatkan oleh beberapa negara anggota PBB.


Pasca Pepera rezim fasis Soeharto menjadikan Papua berada dibawah cengkraman militer dengan dwifungsi ABRI Papua dijadikan Daerah Operasi Militer diantaranya Operasi Pamungkas (1971 – 1977) di Biak dan Manokwari, Operasi Koteka (1977-1978) di Wamena Barat, Operasi Senyum (1979-1980) di wilayah perbatasan sekitar Jayapura, Operasi Gagak I (1985-1986), Operasi Gagak II (1986), Operasi Kasuari I (1987 – 1988), Operasi Kasuari II (1988-1989), Operasi Rajawali (1989 – 1990), Operasi Rajawali II (1990 -1995), Operasi Manpduma (1996-1998), Biak Berdarah (1998). Di bawah rezim Orde Baru Seharto, Budayawan Arnold Ap dan Eduard Mofu turut dibunuh. sekitar 10.000 orang mengungsi ke Papua New Guinea tanah-tanah yang ditinggalkan diizinkan perusahaan dan dibawah transmigrasi dalam jumlah yang besar, terutama di wilayah perbatasan RI – PNG Keerom dan Merauke. Dari ranah politik hingga jalannya pemerintahan hingga di desa diisi oleh militer dan doktrin militerisme. Di masa ini semua orang Papua dicap dan nama Papua dilarang. 

Setelah reformasi ditandai jatuhnya rezim Orde Baru Soeharto tidak mengubah situasi. Alih-alih memberikan Otonomi Khusus sebagai “uang darah” kejahatan kemanusiaan lebih sistemik tanpa meninggalkan pola lama yaitu Operasi Militer. Pelanggaran hak asasi manusia (HAM) masih terjadi pembunuhan terhadap tokoh Papua Theys Hiyo Eluay (2021), Wasir Berdarah (2001), Abepura Berdarah (2000), Wamena Berdarah (2003), Yawen Wayeni, Opinus Tabuni 2007, Mako Tabuni 2012, Paniai Berdarah (2014). Yang terbaru adalah Operasi Militer di Nduga sedang memaskui tahun keempat, Operasi Militer di Intan Jaya dan yang terkini di Puncak.


Di tengah rakyat Papua menolak pemberlakuan Otonomi Khusus yang merupakan paket kebijakan kolonial, dikagetkan dengan penetapan Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat (TPNPB) sebagai organisasi teroris, yang sebelumnya KKSB, KKB, KST. Ini tidak lain adalah upaya pemerintah kolonial Indonesia yang merupakan pelayan setia kapitalisme dan imperialisme untuk menjustifikasi dan membungkam habis tuntutan-tuntutan demokratis dari rakyat Papua. Dengan pelabelan ini akan memberi legitimasi kepada TNI dan Polri untuk melakukan pelanggaran HAM dalam rangkah menundukan dan menguasai serta mengeruk semua sumber daya alam Papua. Terlebih dengan disahkannya UU Omnibus Law Cipta Kerja wilayah Papua akan menjadi lahan bagi Perusahaan Multi-nasional / Multi Nation Cooperation (MNC).


Pada tahun 2000, ELSHAM Papua membuat laporan tentang kekerasan aparat keamanan yang terjadi di berbagai wilayah di West Papua. Di Paniai, tercatat 614 orang meninggal, 13 orang hilang, 94 orang diperkosa. Di Biak, 102 orang meninggal, 3 orang hilang, 37 orang dianiaya, 150 orang ditahan. Di Wamena, 475 orang meninggal. Di Sorong, 60 orang meninggal, 5 orang hilang, dan 7 orang korban pemerkosaan. Di Jayawijaya, 137 orang meninggal, 2 orang hilang, 10 orang menjadi korban pemerkosaan, 3 orang menjadi korban penganiayaan. Belum lagi pembakaran rumah ibadah, kampung, rumah, alat-alat adat istiadat. Itu pun belum termasuk wilayah-wilayah lainnya, yang belum terdata dengan baik mulai dari 01 Mei 1963 Rakyat West Papua di aneksasi hingga saat ini. 


Kondisi Hari ini, rakyat papua menghadapi situasi yang  refresif , intimidasi serta pembunuhan yang sistematis dan struktur oleh negara.paskah otonomi khsusus diberikan tahun 20001 hingga otonomi khusus jilid ll merupakan acamanan serius bagi rakyat papua. Krisis kemanussian yang sedang terjadi di papua akhir akhir ini sepeti di intanjaya,ndugama, maybrat, puncak papua, pegunungan bintang, dan bebrapa kabupaten dana kota lainya mengalami trauma berkepanjanagan di atas papua.

Akibat dari konflik berkepanjangan ini, membuat tni porli menundu warga sipil dengan sembarangan, seperti baru baru ini terjadi di Yahukimo terhadap dua pelajar, hingga sampai sekarang masih di tahan di polda papua dan pada 3 februari 2024 di puncak papua  terhadapa 3 warga sipil yang disiksa oleh  tni hingga 1 meningga dan dua masih di rumah sakit. Serta konflik antara TPNPB dan TNI PORLI mengakibatkan warga sipil lain yang mengungsi atas tanah air west papua, Jaringan internet di putuskan, di daerah konfik  dampak lain dari dari sirtuasi  di atas tanah papua  ini adalah mengakibatakan geosida,ekosida dan ernosida.

Di tanah West Papua operasi militer kolonial Indonesia dilakukan terus-menerus di beberapa tempat terutama di Nduga, Intan jaya, Pegunungan Bintang, areal PT.Freeport Timika dll. Melalui militer Indonesia terus melakukan kolonisasi yang  berlebihan melalui pembungkaman, penindasan, penembakan, pemboman, penyisiran, pemerkosaan, penangkapan, pemenjarahan dan beragam penindasan terhadap rakyat West Papua. Dari subjek ini, melalui kolonial Indonesia terus juga, membungkam pergerakan Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat [TPNPB] dengan sebutan KKB,KKBS,Teroris, Separatis; sebenarnya memperjuang untuk memperoleh Hak Penentuan Nasib sendiri dan rakyat sipil di angggap sebagai separatis hingga saat ini; termasuk pembungkaman ruang demokrasi mahasiswa, perempuan, buruh, tani, nelayan, mama-mama pasar Papua dan lain-lain. 


Maka, dari itu Untuk Menolak 61 Tahun Aneksasi Tanah Papua Barat, kami Aliansi Mahasiswa Papua [AMP] menuntut :


1.61 Tahun Kedudukan indonesia di Papua ilegal 

2.Usut tuntas pelaku Penyikasaan 3 warga sipil di puncak papua

3.Audit kekayaan freeport serta berikan pesagon untuk buruh

4.Audit cadangan tambang dan kerusakan lingkungan

5.Tarik TNI-Polri organik dan non-organik dari  seluruh Tanah West Papua

6.Hentikan rekayasa konflik seluruh Tanah West Papua

7.Buka Akses Jurnalis  dan Informasi diseluruh Tanah  West Papua

8.Usut, tangkap, adili dan penjarakan pelanggaran HAM selama keberadaan Freeport  McMoran di West Papua

9.Berikan Hak Menentukan Nasib Sendiri Solusi Demokratik Bagi Bangsa West Papua


Demikian pernyataan sikap ini dibuat, atas dukungan, pastisipasi dan kerjasama semua pihak, kami ucapkan banyak terima kasih.

 

Medan Juang, 

Tanah kolonial,1 mei  2024

 



its.koran kejora


Oleh: 

Komite Pusat Aliansi Mahasiswa Papua Dan 

Aliansi Mahasiswa Papua Komite Kota Jember



Pengantar.


Rukun Tani Sumberejo, Desa pakel terletak di kecamatan licin, kabupaten Bayuanggi, provinsi Jawa timur. Dusun rukun tani ini dikenal sejak lama dengan perjuangan panjang mereka. Setan tanah menjadi satu faktor membuat warga tani pakel tidak tidur nyenyak dan nyaman namun terus berjuang untuk memperjuangkan tanah mereka.

Merujuk pada data sensus yang dikemas dalam laporan Kecamatan Licin Dalam Angka, mayoritas penduduk Pakel bekerja sebagai petani. Data terakhir di tahun 2015 menyebutkan jika sekitar 626 warga berprofesi sebagai petani, 51 di bidang industri, 181 di bidang perdagangan dan 19 di bidang angkutan, secara kumulatif warga Pakel yang bekerja sekitar 877 orang. Sementara sisanya tidak tercatat atau tidak terekam oleh sensus.

peta pakel

Sementara itu hasil dari observasi dan assessment Walhi Jawa Timur mendapatkan data yang berbeda, bahwa mayoritas penduduk Desa Pakel bekerja sebagai petani, buruh tani, buruh kebun dan pekerja sektor informal. Data yang tidak pernah diungkap oleh BPS Banyuwangi adalah banyaknya jumlah buruh tani, buruh kebun serta penduduk yang bekerja di luar desa, jika dikalkulasi hampir 1000 warga lebih yang menggeluti profesi tersebut.

Kami melihat bahwa hampir separuh lebih penduduk Desa Pakel bekerja sebagai buruh tani, buruh kebun dan sektor lain di luar pertanian dan perkebunan rakyat. Walaupun begitu sudah sekitar satu abad, dari tahun 1925, perjuangan warga pakel terus berlanjut untuk mempertahkan tanah leluhur mereka.

Beberapa bulan lalu,  tiga (3), warga tani pakel di kriminalisasi oleh Pt bumi sari dengan alasan menyebarkan informasi hoakx tentang pakel. Mereka ditangkap hingga sampai saat ini. Mereka di tahan karena  memperjuangakan tanah mereka. Namun gerakan warga dan solidaritas protes kriminalisasi dan teror terhadap warga pakel terus di lakukan oleh warga pakel dan solidaritas di masa luas demi menuntut keadilan bagi semua orang. Walaupun begitu, Pt Perusahaan perkebunan swasta, Perseroan Terbatas (PT) Bumisari Maju Sukses.  dengan antek anteknya masih saja melakukan ulah/penebangan dan penghancuran kebun terhadap warga petani pakel di daerah mereka, hingga menyebabkan saling benci dan dendam antara warga pakel mereka.


Dusun ini, yang di kenal dengan rukun tani  Pakel, menjadi incaran setan tanah, semenjak 1925 tahun silam hingga sekarang. Pt Bumi Sarimaju sukses, dengan keras kepala mengingginkan untuk mengguasai lahan tanah garapan petani pakel. Banyak warga yang protes di kriminalisasi oleh Pt Bumi Sari. Perlawanan yang menjadi cerita panjang yang masih di kenal hanggat di Pemuda, Pemudi, Anak Anak Pakel.

Bahkan saat mendekati ibu (Ri) katanya ,“Perjuangan ini tahkan pernah mati karena perjuagan ini sudah terjadi dari generasi ke generasi hingga sudah memasuki abad, untuk itu perjuangan ini takakan pernah mati dan akan selalu hidup walaupun kami di incar mati matian”.

Sehingga dalam ringkasan ini dapat ditarik sebuah pertanyaan kunci; Apa yang melatar belakangi minimnya luas lahan pertanian dan rendahnya serapan pekerjaan di sektor pertanian atau pangan? Lalu siapa yang menguasai di Desa Pakel? Siapa yang mengerjakan di Desa Pakel? Dan Siapa yang mendapatkan apa di Desa Pakel ?, bagaimana proses dan perjuangan warga pakel?, serta kenapa rakyat tertidas harus bersatu dan bersolidaritas?


Sejarah Panjang perjuangan di Desa Pakel.


Membahas tanah Desa Pakel, maka harus melihat dari sejarah panjang munculnya “commodity frontier” di Kabupaten Banyuwangi yang sudah menumbuh dengan konflik yang ada sekarang.

Terutama saat ekspansi kapital berbarengan dengan upaya penguasaan satu wilayah berjubah perang, terutama pasca perang Puputan Bayu, saat kolonial Belanda merangsek mencoba menjamah ujung timur Pulau Jawa tersebut. Runtuhnya Blambangan membuka gerbang eksploitasi terutama mulai terbukanya kawasan hutan menjadi perkebunan skala luas. Proses tersebut telah menyebabkan peminggiran atau eksklusi melalui serangkaian perampasan.

Merujuk pada Jason. W. Moore (2015), commodity frontiers mengacu pada perluasan pasar kapitalis dan penggabungan wilayah dan sumber daya baru ke dalam jaringan produksi global. Proses ini terjadi juga di Banyuwangi melalui penguasaan kolonial yang telah menyebabkan peminggiran dan merubah kondisi sosial, ekonomi dan kultural. 

Proses tersebut dapat dibaca sebagai transformasi agraria yang mengacu pada proses dimana daerah pedesaan dan populasi diintegrasikan ke dalam ekonomi kapitalis, seringkali melibatkan perubahan kepemilikan lahan, hubungan kerja, dan praktik pertanian. Lebih lanjut Moore berpendapat bahwa commodity frontiers telah menjadi pusat perkembangan kapitalisme, karena mereka menyediakan sumber bahan baku baru, tenaga kerja murah, dan investasi yang menguntungkan.


doc. Amp Jember. tanah dan tanaman di pakel


Mulai berkembangnya perkebunan kolonial di wilayah sekitar lereng Ijen untuk komoditas rempah seperti cengkeh dan juga komoditas lain seperti kopi, membawa pola pengaturan baru terutama dalam pengelolaan ruang, di mana masyarakat awal yang mendiami wilayah tersebut harus mengikuti pola yang diterapkan. Sekaligus awal perkebunan juga menandai serangkaian kedatangan penduduk yang kebanyakan berasal dari wilayah miskin seperti Madura. Penduduk tersebut menjadi buruh perkebunan kolonial, bermukim dan beranak pinak hingga sekarang menjadi desa. Tetapi pola yang dilakukan adalah menciptakan mereka menjadi buruh inferior yang terus menerus dieksploitasi. Pola ini dilanggengkan untuk tetap merawat “power” agar tetap bisa mengekploitasi, sehingga menubuh menjadi sebuah kultur.

Melanjutkan hal tersebut, proses peminggiran itu sejalan dengan pemikian Tania Li (2014), bahwa perluasan pertanian industri dan industri ekstraktif telah menyebabkan perampasan tanah dan sumber daya adat, serta marginalisasi masyarakat adat dalam tatanan ekonomi baru. Lalu, dalam konteks tersebut menceritakan bagaimana ekspansi kapitalis dan produksi minyak sawit telah mengubah kehidupan dan mata pencaharian masyarakat, seperti pengembangan produksi minyak sawit telah menghasilkan ketimpangan agraria yang signifikan, karena elit kaya dan perusahaan mampu mengontrol akses ke tanah dan sumber daya, sementara petani skala kecil dan masyarakat adat terpinggirkan dan dirampas.

Melihat penjelasan Tania Li, dapat ditarik sebuah garis besar bagaimana proses ketimpangan, melihat dari sejarah sampai saat ini, bagaimana proses peminggiran berawal darimana ekspansi kapital itu muncul. Sementara untuk di Pakel, hal tersebut berasal dari bagaimana kuasa perkebunan turun-temurun menjadi akar penting dalam perampasan hak bagi warga Pakel. Seperti keberadaan perkebunan Pakoeda, sampai perkebunan Sri Wedari (sejarah perkebunan versi Bumisari), sejak kolonial menguasai lahan. 


its. amp jember. tanah pakel

Meskipun ada catatan bahwa warga Desa Soemberedjaa ‘Alas Pakel’ mengajukan pembukaan lahan hutan pada Bupati Banyuwangi kala itu, lalu mendapatkan izin membuka kawasan atau yang dikenal sebagai akta 29. Tetapi, belum sempat ada pengakuan, terutama sejak lahirnya UUPA 60, tragedi berdarah 65 meletus, sehingga menyebabkan warga tak kunjungan diakui secara sah penguasannya, di mana hal tersebut menyebabkan warga, terutama Pakel secara turun temurun adalah tunakisma serta terpaksa menjadi buruh.

Mengenai hal tersebut, semakin menegaskan bahwa apa yang terjadi di Pakel mungkin juga terjadi pada wilayah lainnya, seperti dalam catatan Mochamad Tauchid (2009:276-278) di mana ada warga Rawa Lakbok, Ciamis yang mendapatkan hak membuka lahan dalam hal ini sebuah surat cap singa tahun 1927, yang dalam prosesnya tak kunjung mendapatkan pengakuan, dari tanah yang dibuka kemudian menjadi tanah yang berpajak landrente, sampai pada satu waktu tiba-tiba muncul onderneming, sehingga membuat warga tersisih. Baik surat cap singa 1927 ataupun akta 29 adalah bentuk pemberian hak membuka lahan, tetapi kala sudah dibuka bukan warga yang mengelola tetapi perkebunan swasta. Sehingga menggenapi bagaimana proses eksploitasi serta peminggiran hadir dan bagaimana sampai sekarang bertahan.


Perjuangan Warga Pakel Merebut Kembali Tanah Pakel .


Perjuangan warga Pakel untuk mendapatkan kembali haknya bukan dibangun sehari atau dua hari, tetapi sudah dilakukan sejak lama. Merujuk pada kronologi yang penulis susun. Bahwa perjuangan warga Pakel dimulai pada tahun 1925, di mana sekitar 2956 orang warga yang diwakili oleh tujuh orang, salah satunya yang tekun berjuang bernama Doelgani, mengajukan permohonan pembukaan hutan Sengkan Kandang dan Keseran, yang terletak di Pakel, Licin, Banyuwangi, kepada pemerintah kolonial Belanda. Berselang empat tahun, pada tanggal 11 Januari 1929, permohonan tujuh orang tersebut dikabulkan. Tujuh orang tersebut diberikan hak membuka lahan kawasan hutan seluas 4000 bahu (3000 hektar) oleh Bupati Banyuwangi, R.A.A.M. Notohadi Suryo.

Dalam perjalanannya, meski memiliki “Akta 1929” sebagai izin untuk kegiatan pembukaan hutan dan bercocok tanam yang dilakukan oleh Doelgani dkk, saat itu kerap menghadapi berbagai intimidasi dan tindakan kekerasan dari pihak pemerintah kolonial Belanda, yang berlanjut hingga era Jepang. Meski begitu, Doelgani dkk, terus mempertahankan lahan dan bercocok tanam di lahan “Akta 1929” tersebut.

Pasca kemerdekaan Republik Indonesia, Doelgani dkk, mencoba memperjuangkan hak mereka atas pembukaan hutan seperti yang tertuang dalam “Akta 1929” pada pemerintah Republik Indonesia, melalui Bupati Banyuwangi. Hingga diterbitkannya Undang-undang Pokok Agraria 1960, upaya landreform belum mencapai wilayah Banyuwangi, namun petani tetap menunggu dan melakukan aktivitas pertanian. Pada bulan September 1965 meletus peristiwa naas tragedi berdarah, dan masyarakat Sumberejo Pakel terkena imbasnya. Mereka dituduh PKI, beberapa orang seperti Doelgani tiba-tiba menghilang. Beberapa orang tidak bisa bersuara, karena ada ancaman bahwa setiap orang yang memperjuangkan haknya adalah PKI.




Pada tahun 1970-an, kawasan “Akta 1929” di desa Pakel yang secara historis diusahakan petani, telah diklaim menjadi milik perkebunan PT Bumi Sari. Lebih jauh jika melihat SK Kementerian Dalam Negeri, tertanggal 13 Desember 1985, nomor SK.35/HGU/DA/85, PT Bumi Sari disebutkan hanya mengantongi Hak Guna Usaha (HGU) dengan luas 11.898.100 meter persegi atau 1189, 81 hektar, yang terbagi dalam 2 Sertifikat, yakni: Sertifikat HGU Nomor 1 Kluncing, seluas 1.902.600 meter persegi dan Sertifikat HGU Nomor 8 Songgon, seluas 9.995.500 meter persegi. Secara jelas, dua SK tersebut memperjelas bahwa Desa Pakel, bukanlah termasuk dalam kawasan HGU PT Bumi Sari. Di tengah iklim politik rezim otoritarian Orde Baru yang represif, warga Pakel hanya memilih diam dan tidak melakukan perlawanan secara gamblang. Sementara PT Bumi Sari terus mengklaim HGU hingga Desa Pakel.

Pada tahun 1999, pasca lengsernya Soeharto, warga Pakel menduduki lahan di kawasan “Akta 1929”. Akibatnya, pada tanggal 17 Agustus 1999, warga ditangkap, dipenjara, dan mengalami berbagai tindakan kekerasan fisik dari aparat keamanan. Tak patah arang, pada tahun 2001 warga Pakel kembali menduduki kawasan “Akta 1929”. Dampaknya, seluruh pondok dan tanaman di atas lahan tersebut dibumihanguskan oleh aparat keamanan negara. Peristiwa ini menyebabkan sebagian besar pemuda Pakel putus sekolah. Beberapa kaum laki-laki dewasa juga terpaksa meninggalkan Desa Pakel untuk menghindari penangkapan dan kejaran aparat keamanan.

Terakhir, pada 24 September 2020, warga yang sebelumnya telah membangun organisasi bernama “Rukun Tani Sumberejo Pakel”, melakukan aksi pendudukan lahan yang diklaim oleh PT Bumi Sari. Aksi ini merupakan penegasan bahwa mereka berhak atas lahan tersebut. Hampir sepuluh tahun mereka berjuang dengan memohon “kebaikan” pemerintah, namun tidak membuahkan hasil. Mereka diabaikan, tidak dianggap sebagai warga negara yang benar-benar punya hak kelola atas lahan dan hak untuk hidup. Hingga mereka sadar bahwa reclaiming merupakan jalan satu-satunya untuk mendapatkan kembali hak yang terampas, sambil memperjuangkan pengakuan.

Merebut kembali tanah pakel merupakan pilihan sadar bahwa selama ini jalur yang dipilih warga Pakel tidak kunjung mendapatkan tanggapan dan respons. Kebijakan agraria hari ini masih belum bisa menyelesaikan konflik-konflik agraria yang terus berlanjut hingga sekarang, tidak hanya di Pakel tetapi juga di wilayah lainnya termasuk Kampung Bongkoran, Wongsorejo, Banyuwangi. Komitmen penyelesaian konflik agaria benar-benar dipertanyakan, karena selama ini masih belum menghasilkan hasil yang signifikan.

Padahal apa yang dipilih oleh warga Pakel adalah usaha atau upaya untuk mendapatkan hak-haknya kembali. Sebab jalan reclaiming adalah bentuk dari landreform by leverage yang menurut Wiradi (dalam Sutaryono, Nugroho & Afifi, 2014) sebagai sebuah usaha dan upaya untuk mendorong perubahan struktur penguasaan lahan tertentu yang diprakarsai langsung oleh petani secara terorganisir. Warga yang mengajukan agar tanah yang mereka kuasai diakui oleh negara, sebagai bagian dari bahwa negara akan memprioritaskannya untuk menjadi prioritas landreform serta segera diselesaikan konflik yang terjadi.

Idealnya persoalan konflik agraria di Pakel dapat diselesaikan dengan memberikan hak penuh pada warga Pakel. Merujuk pada Shohibuddin (2018)[13] dalam Perspektif Agraria Kritis: Teori, Kebijakan dan Kajian Empiris pada sub bab “Prinsip Kesejahteraan” halaman 179, secara garis besar mengungkapkan jika UUPA 60 mengupayakan kemakmuran rakyat melalui usaha yang berkaitan dengan agraria. Karena itu, maka dalam UUPA 60, negara harus menjamin pemberian akses dan aset pada petani gurem dan buruh tani, sebagai upaya untuk meningkatkan taraf kehidupan rakyat, agar mencapai kesejahteraan bersama.

Sayangnya yang terjadi malah sebaliknya, warga Pakel tidak pernah diakui haknya dengan diusir dari lahan yang seharusnya menjadi hak. Sampai saat ini warga Pakel malahan banyak memperoleh teror, intimidasi, represi dan terakhir kriminalisasi pada dua petani yang dituduh memasuki, menguasai dan merusak perkebunan yang sudah mendapatkan izin kelola kawasan. Bayang-bayang kekerasan dan jeruji besi kini mulai menghantui perjuangan warga Pakel.


Bagaimana perjuangan Warga Pakel Merebut Hak  Tanah Leluhurnya?


Bagi warga pakel tanah adalah ibu, Tanah Pakel adalah tanah perjuangan yang tak akan ada habis habisnya. Melihat dari storis perjuangan untuk menjaga tanah ini sudah memasuki satu (1) satu abad.

Semenjak tahun 1925, tanah ini milik warga pakel.di mana para pendahulu penahulu mereka mengarap tanah, untuk tanah, dan hidup di tanah ini,namun pemeritah jepang mengambil ahli tanah ini.protes dan pejuangan masa masa inimemang sangat sadis.

Pada 1963, tanah ini mengoforkan tangan kepada Pt Bumi Sari,walaupun di samping itu perjuangan petani untuk mempertahankan tanah mereka sangat masif di banyuwanggi,jawa timur. berikut ini adalah rentetan fase sejarah perjuagan tanah pakel sebagai berikut:.




Era Kolonial Belanda dan Jepang

Pada tahun 1925, 2956 orang warga yang diwakili oleh tujuh orang, yakni: Doelgani, Karso, Senen (Desa Sumber Rejo Pakel), Ngalimun (Desa Gombolirang), Martosengari, Radjie Samsi, dan Etek (Desa Jajag) mengajukan permohonan pembukaan hutan Sengkan Kandang dan Keseran, yang terletak di Desa Pakel, ke pemerintah kolonial Belanda.

Empat tahun kemudian, tanggal 11 Januari 1929, permohonan mereka dikabulkan. Doelgani cs diberikan hak membuka lahan hutan seluas 4000 Bahu oleh Bupati Banyuwangi, R.A.A.M. Notohadi Suryo. Setelahnya, Doelgani cs mulai membabat hutan tersebut, kurang lebih 300 Bahu selama 3 bulan pasca terbitnya ijin.

Dalam perjalanannya, akta ijin pembukaan lahan tersebut ternyata tidak pernah sampai ke tangan Doelgani cs, karena dirampas oleh Asisten Wedono Kabat.

Atas perampasan tersebut, Doelgani cs melapor dan menghadap Wedono di Rogojampi. Dalam keterangannya, Wedono mengatakan bahwa untuk mendapatkan surat tersebut harus seijin kantor kehutanan.

Menghadapi situasi itu, Doelgani cs menghadap Asisten Wedono, dan kemudian Doelgani cs mendapatkan kembali surat tersebut. Pasca pemberian surat tersebut, Doelgani cs disuruh Asisten Wedono untuk membabat kembali lahan yang dimaksud.

Saat pembabatan, Doelgani cs didatangi oleh Asisten Wedono Kabat yang baru dan petinggi Desa Sumberejo Pakel. Kedatangan mereka untuk menghalang-halangi pembabatan. Peristiwa tersebut sempat berujung pada kasus pengikatan tangan warga.

Tak lama setelahnya, Doelgani cs ditangkap dengan tuduhan telah melakukan aksi berbau komunis. Jumlah warga yang mendapatkan tuduhan tersebut kira-kira 170 orang. Mereka selanjutnya dikirim ke Banyuwangi untuk diperiksa.

Dalam pemeriksaannya pihak penyidik menganggap Doelgani cs tidak bersalah dan berhak membuka hutan. Mereka selanjutnya dibebaskan. Namun, tiga hari pasca pembebasan tersebut, Doelgani cs ditangkap kembali oleh Asisten Wedono Kabat dan petinggi Sumber Rejo Pakel. Surat ijin pembukaan hutan milik warga juga dirampas.

Tanggal 3 Januari 1930, berkas perkara Doelgani cs diperiksa oleh pihak Kontrolir dan Wakil Asisten Residen. Dalam pemeriksaan tersebut, Wedono dan Asisten Wedono telah dipersalahkan. Dalam pemeriksaan tersebut juga ditegaskan oleh Kontrolir dan Asisten Residen, bahwa hutan Sengkan Kandang dan Keseran adalah memang benar merupakan hak Doelgani cs, sesuai surat ijin 1929. Kontrolir memerintahkan Wedono untuk memberikan surat ijin pembukaan hutan (yang bercap singa) kepada Doelgani cs, namun dalam praktiknya surat tersebut tidak juga diberikan.

Empat belas hari kemudian, Wakil Wedono (mentri hutan), datang menemui warga tanpa membawa surat, dan hanya mengatakan bahwa warga (Doelgani cs), boleh menggarap hutan.

Karena tidak menerima surat ijin pembukaan hutan, Doelgani cs menghadap kembali ke Wedono untuk meminta surat tersebut. Dalam pertemuan itu, Wedono justru menyatakan bahwa Doelgani cs dilarang menggarap dan membabat hutan.

Karena merasa keberatan dengan tindakan Wedono, Doelgani cs mengajukan permohonan kepada Asisten Residen. Namun, hasilnya juga nihil.

Karena jenuh dengan tindakan para pejabat diatas, Doelgani cs memutuskan untuk terus membabat hutan. Namun, Doelgani cs harus menghadapi hukuman kembali dalam beberapa waktu (misalnya, denda 2.5 Gulden dan hukuman 14 hari penjara atau 7 hari penjara, hingga 3.5 hari penjara, dst).

Tahun 1933, Doelgani cs menyampaikan kasus mereka ke Gubernur Jenderal di Jakarta. Selanjutnya, Gubernur Jenderal, memutuskan bahwa Doelgani cs berhak untuk membuka hutan. Namun surat dari Gubernur Jenderal ditahan oleh Asisten Wedono, dan tidak pernah diberikan kepada Doelgani cs.

Tahun 1936, Doelgani cs menghadap Residen Bondowoso untuk menyampaikan kasus mereka, sembari memohon pemberian surat ijin pembabatan hutan.

Tahun 1941, Doelgani cs menghadap mantan Bupati Banyuwangi (RAAM Notohadi Suryo) di Kalibaru. Selanjutnya, eks Bupati itu membuat surat pernyataan yang menerangkan bahwa benar dirinya telah menerbitkan surat ijin pembukaan hutan 1929. Surat itu ditujukan kepada Gubernur di Surabaya.

Tahun 1941, Doelgani cs kembali membabat hutan, namun berujung pada penangkapan 40 orang rekannya. Sementara Dulgani dan Senen sendiri, dihukum 2 bulan penjara. Di tahun 1942, Doelgani dan Senen dihukum penjara lagi selama 3 bulan karena pendudukan lahan yang terus mereka lakukan.


Era Periode1965 – ORDE BARU

Keturunan dan penerus Doelgani cs, pada tahun 1965, mengajukan permohonan untuk bercocok tanam di hutan Sengkan Kandang dan Keseran kepada Bupati Banyuwangi. Surat tersebut tidak mendapatkan jawaban dari pemerintah.

Untuk sekedar menyambung hidup, sebagian kecil warga Pakel bercocok tanam di wilayah yang dikenal dengan nama Taman Glugoh (bekas perkebunan Belanda yang tidak aktif).

Tak lama kemudian, meletus tragedi kemanusiaan ‘30 September 1965”,. Pasca peristiwa tersebut warga tidak berani menduduki kawasan hutan, karena akan dituduh sebagai anggota PKI.

Di pihak lain, lahan yang mereka kelola tiba-tiba diklaim milik perusahaan perkebunan Bumi Sari. Di awal klaimnya, Bumi Sari tidak menunjukkan tindakan pengusiran, namun mendorong warga untuk menanam tanaman kopi, kelapa, dll. Akan tetapi, tahun 1970an, saat tanaman warga tersebut tumbuh besar, Bumi Sari melakukan pengusiran terhadap warga.

Pada tanggal 13 Desember 1985, Kementerian Dalam Negeri menerbitkan HGU PT Bumi Sari di atas tanah tersebut. Hal itu tertuang dalam Surat Keputusan (SK) Menteri Dalam Negeri, Nomor SK.35/HGU/DA/85, dengan penjelasan bahwa PT Bumi Sari berhak memiliki luas 11.898.100 meter persegi atau 1189,81 hektar. SK tersebut terbagi dalam 2 Sertifikat, yakni Sertifikat HGU Nomor 1 Kluncing, seluas 1.902.600 meter persegi dan Sertifikat HGU Nomor 8 Songgon, seluas 9.995.500 meter persegi. Kedua HGU tersebut berakhir pada 31 Desember 2009.

Di luar dugaan, dalam praktiknya, PT Bumi Sari juga mengklaim mengantongi ijin pengelolaan kawasan hingga Desa Pakel. Dari sinilah konflik agraria di Pakel terus semakin kompleks.

Dalam penelusuran WALHI Jatim, ditemukan bahwa HGU PT Bumi Sari hanya terletak di desa Bayu, Kecamatan Songgon, dengan luas 1189, 81 Ha.

Tahun 1993, segelintir warga Pakel berusaha untuk menduduki lahan kembali. Namun otoritarianisme Orde Baru membuat mereka tidak berjuang dalam nafas panjang.


Era Pasca Tumbangnya Rejim Suharto

Tahun 1999, pasca 1 tahun Soeharto lengser, warga Pakel kembali menduduki lahan. Namun pada tanggal 17 Agustus 1999, buntut dari tindakan tersebut warga ditangkap, dipenjara, dan mengalami tindak kekerasan fisik.

Fakta lainnya adalah, lahan hutan yang semula hanya diklaim milik Bumi Sari, kini juga diklaim milik Perhutani. Di tengah situasi tersebut, warga mengaku Perhutani melakukan pecah belah kekuatan warga, dengan membentuk LMDH.

Tahun 2001, seluruh rumah dan tanaman warga di atas lahan tersebut dibakar dan dibabat oleh Perhutani. Peristiwa ini selain mengakibatkan kerugian material, juga telah menyebabkan sebagian besar pemuda baik laki-laki maupun perempuan putus sekolah.

Situasi tersebut semakin diperparah dengan hadirnya sekelompok orang yang mengaku akan membantu kasus warga, atas nama Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), yang selanjutnya disebut sebagai Tim 10. Dalam faktanya, menurut pengakuan warga Pakel, Tim 10 tersebut malah meminta uang yang tak sedikit (menurut warga: jumlahnya mencapai ratusan juta rupiah), sebagai amunisi untuk menyelesaikan kasus yang dihadapi warga.


Pasca Reformasi  Dan Era Jokowi

Kini dalam perjalanannya, masa reformasih yang seharusnya menjamin setiap hak hak masyarakat asli/masyarakat adat namun kriminalisasi, intimidasi, teror, perampasan tanah terus terjadi di  pakel.

Walaupun sesuai surat dari BPN Banyuwangi, Nomor 280/600.1.35.10/II/2018, tanggal 14 Februari 2018, ditegaskan bahwa tanah Desa Pakel tidak masuk dalam HGU PT Bumi Sari.

Mendapatkan pernyataan tersebut, warga menganggap peluang kemenangan untuk mendapatkan tanah mereka kembali telah di depan mata. Akhirnya Di akhir 2018, warga melakukan penanaman kembali di lahan tersebut dengan ribuan batang pohon pisang.

Namun Januari 2019, warga Pakel dilaporkan oleh Djohan Sugondo, pemilik PT Bumi Sari, dengan tuduhan telah menduduki lahan PT Bumi Sari. Akibatnya warga Pakel dianggap melanggar Pasal 107 huruf a Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2014 tentang Perkebunan. 26 Warga Pakel dipanggil oleh pihak kepolisian.

Atas tuduhan tersebut, sedikitnya 11 orang warga Pakel dipanggil oleh pihak kepolisian Resort Banyuwangi pada Oktober 2019 untuk dimintai keterangan.

Pada november 2023 warga pakel di tahan oleh polda jawa timur. Suwarno, Untung, dan Mulyadi; di Kriminalisasi melalui penangkapan paksa tanpa surat penahanan diDesa Pakel, Kec. Licin, Kab. Banyuwangi dihadang dan diangkut paksa oleh polisi menuju Polda Jatim pada Jumat 3 Februari 2023 pukul19.30 WIB. ketiga petani masih di dikenakan tuduhan menyiarkab kabar bohong Pasal 14 dan atau 15 Undang-undang nomor 1 Tahun 1946. Penangkapan ini diduga kuat buntut konflik lahan dengan korporasi antara warga Pakel dengan PT Bumisari Maju Sukses.

Bukan hanya itu, sebelumnya Pada November 2021, ada 11 warga Pakel yang mendapatkan surat panggilan dari pihak kepolisian, 2 diantaranya ditetapkan menjadi tersangka. Desember 2021, 2 warga Pakel juga kembali mendapatkan surat panggilan dari pihak kepolisian dengan tuduhan telah melakukan dugaan pelanggaran pasal 47 (1) UU 18 nomor 2004 serta pasal 406 (1) KUHP. Tragisnya, pada Jumat dini hari, 14 Januari 2022, warga Pakel mengalami tindak kekerasan oleh aparat kepolisian yang mengakibatkan 4 orang (warga dan tim solidaritas perjuangan) menjadi korban. Hingga kini berbagai upaya tersebut belum menunjukkan titik terang hingga terjadilah insiden pengangkutan paksa ini.


Situasi Dan Kondisi Yang Di Alami Warga Pakel


Dalam investigasi Aliansi Mahasiswa Papua (AMP) melihat bahwa adanya Permasalahan/Konflik Agraria, Dan “perjuangan tanah air leluhur yang tidak akan perna mati, dari generasi ke generasi”, begitu ucap mas (R)salah satu warga tani pakel.  Walaupun Perjuangan panjang tanah pakel membuat mereka di kriminalisasi dan di teror namun warga terus bertahan, sebab tidak ada lagi jalan lain, selain bertahan dan terus melawan setan tanah di atas tanah leluhur desa pakel ini. Petani petani di desa ini,mengalami situasi yang sangat menyayangkan di tenggah banyaknya hiruk pikuk desa ini.

Dalam investigasi yang di lakukan Aliansi Mahasiswa Papua Kk Jember memperlihatkan bagaimana warga pakel yang mengalami ancaman dan kriminalisasi yang dilakukan terhadap warga pakel. Mereka di perhadapakan langsung dengan Tni Porli  Dan  Security serta preman preman bayaran yang ditugaskan untuk melawan warga pakel di perkebunan mereka. Di situasi demikian pula beberapa Tanaman Buah, Jagung, Pohon, Pisang Pisang di babat oleh security dan preman dan warga informen yang di bayar oleh pihak perusahan .

Tahun 2021, 11 orang warga pakel di panggil oleh pihak kepolisian banyuanggi sedangkan pada november 2023, tiga (3) warga pakel di tahan dan vonis penjara. Hingga sampai saat ini, warga dan solidaritas terus mendesak Pt bumi sari,tni porli dan semua pihak yang berwenang untuk segera di bebaskan  tiga petani pakel.

Dalam informasi yang kamidapat Warga tani pakel, yang warga yang berinisial (x) menyatakan “di sini,preman dan beberapa warga yang melawan kita,mereka di bayar 200, hanya 200 saja mereka berdosa terhadap tanah mereka”.


doc.amp kk jember.
foto saat amp jemper tiba di pos petani pakel


 Setiap  preman, satpam dan warga yang di bayar untuk melawan tani pakel dan merusak tanaman tanaman wargapakel, mereka di bayar 200 ribu setiap kali mereka lakukan perlawanan dan perusakan kebun kebun di pakel. Tani pakel juga, Mereka terus di pantau oleh Pt Bumi Sari, Preman, Sicuriti di setiap perkebunan mereka. Desa di warga sini mereka juga sering di tantang perang oleh preman bayaran,dkk.

Akibat Serangan perang, teror dan kriminalisasi dari alat alat yang diunakan Pt Bumi Sari ini yang membuat tani pakel trauma dan takut untuk melakukan tindakan perlawanan, seperti melakukan perlawanan mengunakan alat tajam, mempublikasi info atau berita tentang pakel di media sosial. Karena mereka takut  di panggil dari pihak kepolisian dan takut dikriminalisasi, seperti tani tani lainnya.


Bagun Solidaritas Dan Kekuatan Rakyat Untuk Melawan Setan Tanah di pakel?


Melihat sejarah panjang perjuangan warga pakel terus melawan setan tanah yang masih terus eksis dari generasi ke generasi mendiskriminasi warga dan merampas tanah pakel hingga satu abad ini.

Perjuangan untuk menjaga tanah moyang terus menjadi bagian kebudayaan yang terus dilakukan oleh warga pakel terhadap setan tanah dari generasi ke generasi. Kelas yang berkuasa menindas warga sipil yang tak bekuasa demi mengekploitasi sumber sumber daya alam warga setempat

Untuk itu Aliansi Mahasiswa Papua (AMP) komite kota Jember dan Komite Pusat AMP mendukung warga pakel dan bersolidaritas untuk berjuang melawan setan tanah sebab melihat bahwa perjuangan kelas tertindas harus di dorong, dan galang Solidaritas secara luas Harus di lakukan, perjuangan dan solidaritas  antar kelas tertindas harus di dorong dan di kuatkan untuk merebut  hak hak setiap warga.

Kami melihat perjuagan warga Desa pakel sama hal yang terjadi di beberapa daerah di indonesia, seperti kasus rempang, warga batur, wadas, dan lebih khusus di papua mifee,pt freeport, dan masih banyak lagi perusahan ilegal dipapua serta masih banyak lagi konflik agraria yang mengakibatkan kerusakan hutan, lingkungan, alam dan manusianya. Dan kami melewan sistem yang sama yaitu sistem yang menindas.

Maka dengan melihat perlawanan kami, kapitalisme,militerissme, dan setan tanah serta kemanusian harus di junjung tinggi oleh karena  itu Pembebasan tiap kelas ploretariat dan mahasiswa harus bersatu dan bersolidaritas  untuk melawan demi merebut kembali semua hak hak rakyat tertidas.


Solidaritas Tanpa batas perjuangan sampai menang


Referensi


Aprianto, T. C. (2016). Perjuangan Landreform Masyarakat Perkebunan: Partisipasi Politik, Klaim, dan Konflik Agraria di Jember. Yogyakarta: STPN Press.

Puputan Pakel Commite.(2023). Atas Nama Tanah Pakel

Ghazali, Imam. (2022). Hikayat Tanah Pakel: Dari Blambangan, Perkebunan, Hingga Konflik Agraria di Desa Sumberejo Pakel, 1925-1943. Skripsi Universitas Negeri Yogyakarta.

Li, T. M. (2020). Kisah Dari Kebun Terakhir: Hubungan Kapitalis di Wilayah Adat. Tangerang: Marjin Kiri

Margana, S. (2012). Ujung timur Jawa, 1763-1913: perebutan hegemoni Blambangan. Pustaka Ifada.

Nawiyanto, N. (2012). BERAKHIRNYA FRONTIR PERTANIAN: KAJIAN HISTORIS WILAYAH BESUKI, 1870-1970. Jurnal Masyarakat dan Budaya, 14(1), 77-98.

Shohibuddin, M. (2018). Perspektif agraria kritis: teori, kebijakan, dan kajian empiris. Sajogyo Institute and STPN Press.

Wiradi, G. (2009). Reforma Agraria: Perjalanan yang belum berakhir (rev). Konsorsium Pembaruan Agraria, Sajogyo Institute.


 

,

 

doc.koran kejora


SIKAP ALIANSI MAHASISWA PAPUA KOMITE PUSAT  ( AMP - KP )

TERHADAP PEMILU 2024


Salam Pembebasan Nasional Bangsa West Papua! 


Amolongo, Nimo, Koyao, Koha, Kinaonak, Nare, Yepmum, Dormum, Tabea Mufa, Walak, Foi Moi, Wainambe, Nayaklak Wa…wa…wa…wa…wa…wa..wa..wa..wa..wa!


Lawan Pemilu 2024 - Lawan Militerisme - Hapuskan Kolonialisme - Hancurkan - Kapitalime – Imperialisme – Berikan Hak Menentukan Nasib Sendiri Sebagai Solusi Demokratis Bagi Bangsa West Papua.

Seperti kita ketahui bersama, Pemilihan Umum Serentak akan dilakukan beberapa hari kedepan tepatnya 14 Fabruari 2024. semua pasangan calon dari Presiden, Dewan Perwakiran Rakyat  ( DPR RI, DPRP, DPRD ) sudah dan telah melakukan kampaye politik praktisnya di hadapan masyarakat.

Sebagian kelompok gerakan sosial dan aktivis oportunis melihat momentum pemilihan umum ( Pemilu ) ini sebagai peluang dengan mencemplungkan diri ke salah satu kubu pasangan calon ( Paslon ) bahkan ikut terlibat langsug dalam partai politik praktis yang dikarsai oleh kolonialime indonesia. Mereka berharap bisa memberikan pengaruh dari dalam, dan syukur-syukur bisa membagi - bagi jabatan , jika yang didukungnya menang. 

Prake seperti ini, bukan hal yang baru - baru terjadi di tanah papua, melainkan sejak Indonesia menduduki papua secara paksa ( Aneksasi ) sejak 1 Mei 1963 melalui Penentuan Pendapat Rakyat ( PEPERA ) pada Tahun 1969 yang secara Hukum Internasional praktek tersebut tidak Demokratis.

Praktek pemilu di irian jaya ( Papua ) mulai berlaku 2 Januari 1975 dengan intruksi Mendagri Nomor 2 Tahun 1974, ditengah situasi tersebut, orang papua dipaksa untuk menjalankan aktivtas politik praktis, padahal Hak Politik Orang Papua di gadai untuk kepentingan Imperialisme Amerika Serikat serta sekutunya, bukan hanya itu;  Pembunuhan, Pemerkosaann, Perampasan Tanah, hingga pemberangusan buku - buku sejarah perjuangan papua terus di jalankan oleh militerisme indonesia sejak Presiden Sukarno, Suharto hingga hari ini Jokowi.

Dari semua pencalonan saat ini sudah tentu visi - misi mereka seolah - olah sebagai penyelamat orang papua dari rantai raksasa kolonialisme, hal seperti itu, sudah berulang kali terjadi hingga detik ini.

Sehingga, musti kita perhatikan secara bersama. Siapa orang - orang yang terlibat dalam Pencalonan  Presiden dan Wakil presiden, diantaranya; Anies Baswedan - Muhaimin Iskandar (Cak Imin), Prabowo Subianto - Gibran Rakabuming Raka serta  Ganjar Pranowo - Mahfud Md. Mari kita cek secara bersama, apakah benar niat mereka untuk menyelesaikan persoalan west papua.

Dari ketiga bakal calon, tidak ada satupun niat dalam menyelesaikan persoalan Papua, jika kita melihat dalam debat pesoalan menyelesaikan konflik di tanah papua, dari berbagai bakal calon, anis menyampaikan tidak ada keadilan di tanah papua, Prabowo menyampaikan melakukan penegakan hukum, memperkuat aparat - aparat dan mempercepat pembangunan ekonomi dan Ganjar menyampaikan pentingnya dialog.

Dari ketiga pernyataan diatas sudah tentu, ke - tiga bakal calon presiden dan wakil presiden tidak punya niat baik untuk rakyat papua, tanah papua serta generasi papua. 

Jika dilihat dari latar belakang; prabowo  adalah seorang purnawirawan juga keterlibatan langsung dengan operasi militer di tanah papua diantaranya; operasi Mapenduma 1996 dan Operasi Koteka serta berbagai operasi laiinnya. Sedangkan Anis; selama masa jabatan sebagai gubernur jakarta banyak perampasan lahan, LBH Jakarta mencatat 416 kasus penggusuran. sedangka Ganjar, jelas semasa jabatannya sebagai Gubernur Jawa Tengah pun demikian melakukan perampasan lahan dimana - mana, diantaranya; Wadas, Pegunungan Kendeng dsb.

Bahkan ang ikut terlibat dalam pendukung pasangan calon presiden, semua mempunyai kepentingan disisi lain mereka mempunyai perusahaan - perusahan multi nasional, Anis Baswedan dan Muhaimin, Prabowo dan Gibran Rakabuming Raka, serta Ganjar Pranowo - Mahfud MD. Di balik pasangan Anies-Muhaimin terdapat Surya Paloh, Jusuf Kalla, Muhammad Ali, Rahmat Gobel, Leontinus Alpha Edison, Jan Darmadi, dan Susno Duadji. Di kubu Prabowo-Gibran, terdapat Hashim Djojohadikusumo, Kaesang Pangarep, Roslan Roeslani, Titiek Soeharto, Bahlil Lahadalia, Aburizal Bakrie, Luhut Pandjaitan, Lodewijk Paulus, Garibaldi Thohir, Erick Thohir, Wisnu Wardhana, dan masih banyak lagi.  Belum lagi Prabowo dan Gibran sendiri yang punya banyak perusahaan. Di kubu Ganjar-Mahfud, terdapat Mohammad Arsjad Rasjid, Sandiaga Uno, Puan Maharani, Hary Tanoesoedibjo, Oesman Sapta Odang, Heru Dewanto, Happy Hapsoro, dan Stevano R Adranacus.

Dari semua pendukung, mereka yang paling ngotot melakukan perluasan perusahaan - perusahaan di papua, seperti kita ketahu bersama luhut binsar panjaitan yang secara resmi di ijinkan oleh negara untuk mempercepat pembangunan Blok B Wabu di Intan Jaya.

Bukan hanya itu, berdasarkan regulasi yang disepakati sepihak oleh Bank Dunia Internasional Monetary Fund (  IMF ) - Word Benk ( WB )  di Bali, Pengesahan UU – Minerba, UU – Omnibus Law, G20 ( G20 adalah kelompok yang terdiri 20 negara dengan perekonomian besar di dunia ditambah dengan satu organisasi antarpemerintah dan supranasional yaitu Uni Eropa ), UU – ITE dan UU - KUHP. Semua regulasi yang di SAHKAN merupakan indikator awal dari perampasan lahan yang akan terjadi secara serentak di Tanah West Papua.

Sehingga, disahkan Otonomi Khusus Jilid II serta Daera Otonomi Baru ( DOB ) menjadi suatu keharusan Jokowi untuk mempermudah akses Ekpansi – Eksploitasi Sumber Daya Alam di Papua. 

Jadi, jangan heran, jika kedepan kita akan melawan bengisnya kekejaman militer dipapua, karena memang tujuan utama kehadirannya untuk mengamankan aktivitas ekploitasi sumber daya alam dan itu menjadi visi dan misi bakal calon Presiden dan Wakil Presiden Indonesia.

Untuk itu, Kami mengajak Rakyat Papua tidak untuk ikut terlibat dalam Aktivitas Politik Praktis yang  dilakukan oleh Elit Papua, Elit Jakarta serta tim - tim sukses Bakal Calon Presiden dan Wakil Presiden. Orang papua akan Bahagia di atas tanahnya sendiri, seketika iya menyatakan sikap BOIKOT PEMILU DAN MENUNTUT INDONESIA MELAKUKAN REFERENDUM diatas Tanah West Papua.

Maka dengan itu, kami Aliansi Mahasiswa Papua Komite Nasional ( AMP – KP ) Bersama 14 Komite Kota Aliansi Mahasiswa Papua ( AMP - KK )  menyatakan sikap :

1.Boikot Pemilu 2024 Dan Berikan Hak Menentukan Nasib Sendiri sebagai Solusi Demokratis bagi Bangsa West Papua

2.Negara segera Bertanggung jawab atas Pelaksanaan Pepera yang Tidak Demokratis, cacat hukum dan moral.

3. Buka akses jurnalis seluas-luasnya di West Papua

4.Tarik militer organik dan non-organik dari West Papua

5. Hentikan segala bentuk diskriminasi dan intimidasi terhadap mahasiswa West Papua di Indonesia

6.Bebaskan tahanan politik West Papua tanpa syarat


7.Tutup PT Freeport, BP, LNG Tangguh serta tolak pengembangan Blok Wabu dan eksploitasi PT Antam di Pegunungan Bintang

8.Cabut UU Otonomi Khusus Jilid II dan DOB Di papua

9.Tangkap, adili, dan penjarakan jenderal-jenderal pelanggar HAM

10.Hentikan rasisme dan politik rasial yang dilakukan Pemerintah Republik Indonesia dan TNI-Polri

11.Hentikan operasi militer di Nduga, Intan Jaya, Puncak Jaya, Pegunungan Bintang, Maybrat, dan Seluruh Wilayah West Papua lainnya

2. Cabut Omnibus Law

13.Belanda harus bertanggung jawab untuk menuntaskan proses dekolonisasi West Papua sebagaimana pernah mereka janjikan

14.PBB harus bertanggung jawab serta terlibat aktif secara adil dan demokratis dalam proses menentukan nasib sendiri, pelurusan sejarah, dan penyelesaian pelanggaran HAM yang terjadi terhadap bangsa West Papua

15.Mendesak Pemerintah RI untuk memberikan akses seluas-luasnya kepada Komisi HAM PBB untuk meninjau situasi HAM di West Papua secara langsung

16.Jaminan kebebasan informasi, berekspresi, berorganisasi dan berpendapat bagi bangsa West Papua

17.Stop terror dan intimidasi Mahasiswa papua di bali dan seluruh tanah Papua

18.Mendukung perundigan antara indonesia, pemerintah zelandia baru dan TPNPB OPM yang di mediasi oleh PBB demi menyelesaikan konfilk di west papua.    

    Demikian pernyataan sikap ini. Kami menyerukan kepada seluruh Rakyat Papua untuk Bersatu  BOIKOT PEMILU 2024. Atas perhatian dan dukungan seluruh Rakyat Papua Barat, kami ucap terima kasih. Salam Pembebasan Nasional Papua Barat!


Medan Juang, 

Tanah kolonial, Senin, 12 Februari 2024


   Mengetahui


Ketua Umum AMP – KP

Jheno Alfred Dogomo 


  Sekertis Umum I dan II AMP - KP

Yance Yobee – Rudi Wonda 

Komentar Anda

[disqus][facebook]
Gambar tema oleh duncan1890. Diberdayakan oleh Blogger.
Koran Kejora View My Stats