|
its.koran kejora |
Oleh:
Komite Pusat Aliansi Mahasiswa Papua Dan
Aliansi Mahasiswa Papua Komite Kota Jember
Pengantar.
Rukun Tani Sumberejo, Desa pakel terletak di kecamatan licin, kabupaten Bayuanggi, provinsi Jawa timur. Dusun rukun tani ini dikenal sejak lama dengan perjuangan panjang mereka. Setan tanah menjadi satu faktor membuat warga tani pakel tidak tidur nyenyak dan nyaman namun terus berjuang untuk memperjuangkan tanah mereka.
Merujuk pada data sensus yang dikemas dalam laporan Kecamatan Licin Dalam Angka, mayoritas penduduk Pakel bekerja sebagai petani. Data terakhir di tahun 2015 menyebutkan jika sekitar 626 warga berprofesi sebagai petani, 51 di bidang industri, 181 di bidang perdagangan dan 19 di bidang angkutan, secara kumulatif warga Pakel yang bekerja sekitar 877 orang. Sementara sisanya tidak tercatat atau tidak terekam oleh sensus.
|
peta pakel
|
Sementara itu hasil dari observasi dan assessment Walhi Jawa Timur mendapatkan data yang berbeda, bahwa mayoritas penduduk Desa Pakel bekerja sebagai petani, buruh tani, buruh kebun dan pekerja sektor informal. Data yang tidak pernah diungkap oleh BPS Banyuwangi adalah banyaknya jumlah buruh tani, buruh kebun serta penduduk yang bekerja di luar desa, jika dikalkulasi hampir 1000 warga lebih yang menggeluti profesi tersebut.
Kami melihat bahwa hampir separuh lebih penduduk Desa Pakel bekerja sebagai buruh tani, buruh kebun dan sektor lain di luar pertanian dan perkebunan rakyat. Walaupun begitu sudah sekitar satu abad, dari tahun 1925, perjuangan warga pakel terus berlanjut untuk mempertahkan tanah leluhur mereka.
Beberapa bulan lalu, tiga (3), warga tani pakel di kriminalisasi oleh Pt bumi sari dengan alasan menyebarkan informasi hoakx tentang pakel. Mereka ditangkap hingga sampai saat ini. Mereka di tahan karena memperjuangakan tanah mereka. Namun gerakan warga dan solidaritas protes kriminalisasi dan teror terhadap warga pakel terus di lakukan oleh warga pakel dan solidaritas di masa luas demi menuntut keadilan bagi semua orang. Walaupun begitu, Pt Perusahaan perkebunan swasta, Perseroan Terbatas (PT) Bumisari Maju Sukses. dengan antek anteknya masih saja melakukan ulah/penebangan dan penghancuran kebun terhadap warga petani pakel di daerah mereka, hingga menyebabkan saling benci dan dendam antara warga pakel mereka.
Dusun ini, yang di kenal dengan rukun tani Pakel, menjadi incaran setan tanah, semenjak 1925 tahun silam hingga sekarang. Pt Bumi Sarimaju sukses, dengan keras kepala mengingginkan untuk mengguasai lahan tanah garapan petani pakel. Banyak warga yang protes di kriminalisasi oleh Pt Bumi Sari. Perlawanan yang menjadi cerita panjang yang masih di kenal hanggat di Pemuda, Pemudi, Anak Anak Pakel.
Bahkan saat mendekati ibu (Ri) katanya ,“Perjuangan ini tahkan pernah mati karena perjuagan ini sudah terjadi dari generasi ke generasi hingga sudah memasuki abad, untuk itu perjuangan ini takakan pernah mati dan akan selalu hidup walaupun kami di incar mati matian”.
Sehingga dalam ringkasan ini dapat ditarik sebuah pertanyaan kunci; Apa yang melatar belakangi minimnya luas lahan pertanian dan rendahnya serapan pekerjaan di sektor pertanian atau pangan? Lalu siapa yang menguasai di Desa Pakel? Siapa yang mengerjakan di Desa Pakel? Dan Siapa yang mendapatkan apa di Desa Pakel ?, bagaimana proses dan perjuangan warga pakel?, serta kenapa rakyat tertidas harus bersatu dan bersolidaritas?
Sejarah Panjang perjuangan di Desa Pakel.
Membahas tanah Desa Pakel, maka harus melihat dari sejarah panjang munculnya “commodity frontier” di Kabupaten Banyuwangi yang sudah menumbuh dengan konflik yang ada sekarang.
Terutama saat ekspansi kapital berbarengan dengan upaya penguasaan satu wilayah berjubah perang, terutama pasca perang Puputan Bayu, saat kolonial Belanda merangsek mencoba menjamah ujung timur Pulau Jawa tersebut. Runtuhnya Blambangan membuka gerbang eksploitasi terutama mulai terbukanya kawasan hutan menjadi perkebunan skala luas. Proses tersebut telah menyebabkan peminggiran atau eksklusi melalui serangkaian perampasan.
Merujuk pada Jason. W. Moore (2015), commodity frontiers mengacu pada perluasan pasar kapitalis dan penggabungan wilayah dan sumber daya baru ke dalam jaringan produksi global. Proses ini terjadi juga di Banyuwangi melalui penguasaan kolonial yang telah menyebabkan peminggiran dan merubah kondisi sosial, ekonomi dan kultural.
Proses tersebut dapat dibaca sebagai transformasi agraria yang mengacu pada proses dimana daerah pedesaan dan populasi diintegrasikan ke dalam ekonomi kapitalis, seringkali melibatkan perubahan kepemilikan lahan, hubungan kerja, dan praktik pertanian. Lebih lanjut Moore berpendapat bahwa commodity frontiers telah menjadi pusat perkembangan kapitalisme, karena mereka menyediakan sumber bahan baku baru, tenaga kerja murah, dan investasi yang menguntungkan.
|
doc. Amp Jember. tanah dan tanaman di pakel |
Mulai berkembangnya perkebunan kolonial di wilayah sekitar lereng Ijen untuk komoditas rempah seperti cengkeh dan juga komoditas lain seperti kopi, membawa pola pengaturan baru terutama dalam pengelolaan ruang, di mana masyarakat awal yang mendiami wilayah tersebut harus mengikuti pola yang diterapkan. Sekaligus awal perkebunan juga menandai serangkaian kedatangan penduduk yang kebanyakan berasal dari wilayah miskin seperti Madura. Penduduk tersebut menjadi buruh perkebunan kolonial, bermukim dan beranak pinak hingga sekarang menjadi desa. Tetapi pola yang dilakukan adalah menciptakan mereka menjadi buruh inferior yang terus menerus dieksploitasi. Pola ini dilanggengkan untuk tetap merawat “power” agar tetap bisa mengekploitasi, sehingga menubuh menjadi sebuah kultur.
Melanjutkan hal tersebut, proses peminggiran itu sejalan dengan pemikian Tania Li (2014), bahwa perluasan pertanian industri dan industri ekstraktif telah menyebabkan perampasan tanah dan sumber daya adat, serta marginalisasi masyarakat adat dalam tatanan ekonomi baru. Lalu, dalam konteks tersebut menceritakan bagaimana ekspansi kapitalis dan produksi minyak sawit telah mengubah kehidupan dan mata pencaharian masyarakat, seperti pengembangan produksi minyak sawit telah menghasilkan ketimpangan agraria yang signifikan, karena elit kaya dan perusahaan mampu mengontrol akses ke tanah dan sumber daya, sementara petani skala kecil dan masyarakat adat terpinggirkan dan dirampas.
Melihat penjelasan Tania Li, dapat ditarik sebuah garis besar bagaimana proses ketimpangan, melihat dari sejarah sampai saat ini, bagaimana proses peminggiran berawal darimana ekspansi kapital itu muncul. Sementara untuk di Pakel, hal tersebut berasal dari bagaimana kuasa perkebunan turun-temurun menjadi akar penting dalam perampasan hak bagi warga Pakel. Seperti keberadaan perkebunan Pakoeda, sampai perkebunan Sri Wedari (sejarah perkebunan versi Bumisari), sejak kolonial menguasai lahan.
|
its. amp jember. tanah pakel |
Meskipun ada catatan bahwa warga Desa Soemberedjaa ‘Alas Pakel’ mengajukan pembukaan lahan hutan pada Bupati Banyuwangi kala itu, lalu mendapatkan izin membuka kawasan atau yang dikenal sebagai akta 29. Tetapi, belum sempat ada pengakuan, terutama sejak lahirnya UUPA 60, tragedi berdarah 65 meletus, sehingga menyebabkan warga tak kunjungan diakui secara sah penguasannya, di mana hal tersebut menyebabkan warga, terutama Pakel secara turun temurun adalah tunakisma serta terpaksa menjadi buruh.
Mengenai hal tersebut, semakin menegaskan bahwa apa yang terjadi di Pakel mungkin juga terjadi pada wilayah lainnya, seperti dalam catatan Mochamad Tauchid (2009:276-278) di mana ada warga Rawa Lakbok, Ciamis yang mendapatkan hak membuka lahan dalam hal ini sebuah surat cap singa tahun 1927, yang dalam prosesnya tak kunjung mendapatkan pengakuan, dari tanah yang dibuka kemudian menjadi tanah yang berpajak landrente, sampai pada satu waktu tiba-tiba muncul onderneming, sehingga membuat warga tersisih. Baik surat cap singa 1927 ataupun akta 29 adalah bentuk pemberian hak membuka lahan, tetapi kala sudah dibuka bukan warga yang mengelola tetapi perkebunan swasta. Sehingga menggenapi bagaimana proses eksploitasi serta peminggiran hadir dan bagaimana sampai sekarang bertahan.
Perjuangan Warga Pakel Merebut Kembali Tanah Pakel .
Perjuangan warga Pakel untuk mendapatkan kembali haknya bukan dibangun sehari atau dua hari, tetapi sudah dilakukan sejak lama. Merujuk pada kronologi yang penulis susun. Bahwa perjuangan warga Pakel dimulai pada tahun 1925, di mana sekitar 2956 orang warga yang diwakili oleh tujuh orang, salah satunya yang tekun berjuang bernama Doelgani, mengajukan permohonan pembukaan hutan Sengkan Kandang dan Keseran, yang terletak di Pakel, Licin, Banyuwangi, kepada pemerintah kolonial Belanda. Berselang empat tahun, pada tanggal 11 Januari 1929, permohonan tujuh orang tersebut dikabulkan. Tujuh orang tersebut diberikan hak membuka lahan kawasan hutan seluas 4000 bahu (3000 hektar) oleh Bupati Banyuwangi, R.A.A.M. Notohadi Suryo.
Dalam perjalanannya, meski memiliki “Akta 1929” sebagai izin untuk kegiatan pembukaan hutan dan bercocok tanam yang dilakukan oleh Doelgani dkk, saat itu kerap menghadapi berbagai intimidasi dan tindakan kekerasan dari pihak pemerintah kolonial Belanda, yang berlanjut hingga era Jepang. Meski begitu, Doelgani dkk, terus mempertahankan lahan dan bercocok tanam di lahan “Akta 1929” tersebut.
Pasca kemerdekaan Republik Indonesia, Doelgani dkk, mencoba memperjuangkan hak mereka atas pembukaan hutan seperti yang tertuang dalam “Akta 1929” pada pemerintah Republik Indonesia, melalui Bupati Banyuwangi. Hingga diterbitkannya Undang-undang Pokok Agraria 1960, upaya landreform belum mencapai wilayah Banyuwangi, namun petani tetap menunggu dan melakukan aktivitas pertanian. Pada bulan September 1965 meletus peristiwa naas tragedi berdarah, dan masyarakat Sumberejo Pakel terkena imbasnya. Mereka dituduh PKI, beberapa orang seperti Doelgani tiba-tiba menghilang. Beberapa orang tidak bisa bersuara, karena ada ancaman bahwa setiap orang yang memperjuangkan haknya adalah PKI.
Pada tahun 1970-an, kawasan “Akta 1929” di desa Pakel yang secara historis diusahakan petani, telah diklaim menjadi milik perkebunan PT Bumi Sari. Lebih jauh jika melihat SK Kementerian Dalam Negeri, tertanggal 13 Desember 1985, nomor SK.35/HGU/DA/85, PT Bumi Sari disebutkan hanya mengantongi Hak Guna Usaha (HGU) dengan luas 11.898.100 meter persegi atau 1189, 81 hektar, yang terbagi dalam 2 Sertifikat, yakni: Sertifikat HGU Nomor 1 Kluncing, seluas 1.902.600 meter persegi dan Sertifikat HGU Nomor 8 Songgon, seluas 9.995.500 meter persegi. Secara jelas, dua SK tersebut memperjelas bahwa Desa Pakel, bukanlah termasuk dalam kawasan HGU PT Bumi Sari. Di tengah iklim politik rezim otoritarian Orde Baru yang represif, warga Pakel hanya memilih diam dan tidak melakukan perlawanan secara gamblang. Sementara PT Bumi Sari terus mengklaim HGU hingga Desa Pakel.
Pada tahun 1999, pasca lengsernya Soeharto, warga Pakel menduduki lahan di kawasan “Akta 1929”. Akibatnya, pada tanggal 17 Agustus 1999, warga ditangkap, dipenjara, dan mengalami berbagai tindakan kekerasan fisik dari aparat keamanan. Tak patah arang, pada tahun 2001 warga Pakel kembali menduduki kawasan “Akta 1929”. Dampaknya, seluruh pondok dan tanaman di atas lahan tersebut dibumihanguskan oleh aparat keamanan negara. Peristiwa ini menyebabkan sebagian besar pemuda Pakel putus sekolah. Beberapa kaum laki-laki dewasa juga terpaksa meninggalkan Desa Pakel untuk menghindari penangkapan dan kejaran aparat keamanan.
Terakhir, pada 24 September 2020, warga yang sebelumnya telah membangun organisasi bernama “Rukun Tani Sumberejo Pakel”, melakukan aksi pendudukan lahan yang diklaim oleh PT Bumi Sari. Aksi ini merupakan penegasan bahwa mereka berhak atas lahan tersebut. Hampir sepuluh tahun mereka berjuang dengan memohon “kebaikan” pemerintah, namun tidak membuahkan hasil. Mereka diabaikan, tidak dianggap sebagai warga negara yang benar-benar punya hak kelola atas lahan dan hak untuk hidup. Hingga mereka sadar bahwa reclaiming merupakan jalan satu-satunya untuk mendapatkan kembali hak yang terampas, sambil memperjuangkan pengakuan.
Merebut kembali tanah pakel merupakan pilihan sadar bahwa selama ini jalur yang dipilih warga Pakel tidak kunjung mendapatkan tanggapan dan respons. Kebijakan agraria hari ini masih belum bisa menyelesaikan konflik-konflik agraria yang terus berlanjut hingga sekarang, tidak hanya di Pakel tetapi juga di wilayah lainnya termasuk Kampung Bongkoran, Wongsorejo, Banyuwangi. Komitmen penyelesaian konflik agaria benar-benar dipertanyakan, karena selama ini masih belum menghasilkan hasil yang signifikan.
Padahal apa yang dipilih oleh warga Pakel adalah usaha atau upaya untuk mendapatkan hak-haknya kembali. Sebab jalan reclaiming adalah bentuk dari landreform by leverage yang menurut Wiradi (dalam Sutaryono, Nugroho & Afifi, 2014) sebagai sebuah usaha dan upaya untuk mendorong perubahan struktur penguasaan lahan tertentu yang diprakarsai langsung oleh petani secara terorganisir. Warga yang mengajukan agar tanah yang mereka kuasai diakui oleh negara, sebagai bagian dari bahwa negara akan memprioritaskannya untuk menjadi prioritas landreform serta segera diselesaikan konflik yang terjadi.
Idealnya persoalan konflik agraria di Pakel dapat diselesaikan dengan memberikan hak penuh pada warga Pakel. Merujuk pada Shohibuddin (2018)[13] dalam Perspektif Agraria Kritis: Teori, Kebijakan dan Kajian Empiris pada sub bab “Prinsip Kesejahteraan” halaman 179, secara garis besar mengungkapkan jika UUPA 60 mengupayakan kemakmuran rakyat melalui usaha yang berkaitan dengan agraria. Karena itu, maka dalam UUPA 60, negara harus menjamin pemberian akses dan aset pada petani gurem dan buruh tani, sebagai upaya untuk meningkatkan taraf kehidupan rakyat, agar mencapai kesejahteraan bersama.
Sayangnya yang terjadi malah sebaliknya, warga Pakel tidak pernah diakui haknya dengan diusir dari lahan yang seharusnya menjadi hak. Sampai saat ini warga Pakel malahan banyak memperoleh teror, intimidasi, represi dan terakhir kriminalisasi pada dua petani yang dituduh memasuki, menguasai dan merusak perkebunan yang sudah mendapatkan izin kelola kawasan. Bayang-bayang kekerasan dan jeruji besi kini mulai menghantui perjuangan warga Pakel.
Bagaimana perjuangan Warga Pakel Merebut Hak Tanah Leluhurnya?
Bagi warga pakel tanah adalah ibu, Tanah Pakel adalah tanah perjuangan yang tak akan ada habis habisnya. Melihat dari storis perjuangan untuk menjaga tanah ini sudah memasuki satu (1) satu abad.
Semenjak tahun 1925, tanah ini milik warga pakel.di mana para pendahulu penahulu mereka mengarap tanah, untuk tanah, dan hidup di tanah ini,namun pemeritah jepang mengambil ahli tanah ini.protes dan pejuangan masa masa inimemang sangat sadis.
Pada 1963, tanah ini mengoforkan tangan kepada Pt Bumi Sari,walaupun di samping itu perjuangan petani untuk mempertahankan tanah mereka sangat masif di banyuwanggi,jawa timur. berikut ini adalah rentetan fase sejarah perjuagan tanah pakel sebagai berikut:.
Era Kolonial Belanda dan Jepang
Pada tahun 1925, 2956 orang warga yang diwakili oleh tujuh orang, yakni: Doelgani, Karso, Senen (Desa Sumber Rejo Pakel), Ngalimun (Desa Gombolirang), Martosengari, Radjie Samsi, dan Etek (Desa Jajag) mengajukan permohonan pembukaan hutan Sengkan Kandang dan Keseran, yang terletak di Desa Pakel, ke pemerintah kolonial Belanda.
Empat tahun kemudian, tanggal 11 Januari 1929, permohonan mereka dikabulkan. Doelgani cs diberikan hak membuka lahan hutan seluas 4000 Bahu oleh Bupati Banyuwangi, R.A.A.M. Notohadi Suryo. Setelahnya, Doelgani cs mulai membabat hutan tersebut, kurang lebih 300 Bahu selama 3 bulan pasca terbitnya ijin.
Dalam perjalanannya, akta ijin pembukaan lahan tersebut ternyata tidak pernah sampai ke tangan Doelgani cs, karena dirampas oleh Asisten Wedono Kabat.
Atas perampasan tersebut, Doelgani cs melapor dan menghadap Wedono di Rogojampi. Dalam keterangannya, Wedono mengatakan bahwa untuk mendapatkan surat tersebut harus seijin kantor kehutanan.
Menghadapi situasi itu, Doelgani cs menghadap Asisten Wedono, dan kemudian Doelgani cs mendapatkan kembali surat tersebut. Pasca pemberian surat tersebut, Doelgani cs disuruh Asisten Wedono untuk membabat kembali lahan yang dimaksud.
Saat pembabatan, Doelgani cs didatangi oleh Asisten Wedono Kabat yang baru dan petinggi Desa Sumberejo Pakel. Kedatangan mereka untuk menghalang-halangi pembabatan. Peristiwa tersebut sempat berujung pada kasus pengikatan tangan warga.
Tak lama setelahnya, Doelgani cs ditangkap dengan tuduhan telah melakukan aksi berbau komunis. Jumlah warga yang mendapatkan tuduhan tersebut kira-kira 170 orang. Mereka selanjutnya dikirim ke Banyuwangi untuk diperiksa.
Dalam pemeriksaannya pihak penyidik menganggap Doelgani cs tidak bersalah dan berhak membuka hutan. Mereka selanjutnya dibebaskan. Namun, tiga hari pasca pembebasan tersebut, Doelgani cs ditangkap kembali oleh Asisten Wedono Kabat dan petinggi Sumber Rejo Pakel. Surat ijin pembukaan hutan milik warga juga dirampas.
Tanggal 3 Januari 1930, berkas perkara Doelgani cs diperiksa oleh pihak Kontrolir dan Wakil Asisten Residen. Dalam pemeriksaan tersebut, Wedono dan Asisten Wedono telah dipersalahkan. Dalam pemeriksaan tersebut juga ditegaskan oleh Kontrolir dan Asisten Residen, bahwa hutan Sengkan Kandang dan Keseran adalah memang benar merupakan hak Doelgani cs, sesuai surat ijin 1929. Kontrolir memerintahkan Wedono untuk memberikan surat ijin pembukaan hutan (yang bercap singa) kepada Doelgani cs, namun dalam praktiknya surat tersebut tidak juga diberikan.
Empat belas hari kemudian, Wakil Wedono (mentri hutan), datang menemui warga tanpa membawa surat, dan hanya mengatakan bahwa warga (Doelgani cs), boleh menggarap hutan.
Karena tidak menerima surat ijin pembukaan hutan, Doelgani cs menghadap kembali ke Wedono untuk meminta surat tersebut. Dalam pertemuan itu, Wedono justru menyatakan bahwa Doelgani cs dilarang menggarap dan membabat hutan.
Karena merasa keberatan dengan tindakan Wedono, Doelgani cs mengajukan permohonan kepada Asisten Residen. Namun, hasilnya juga nihil.
Karena jenuh dengan tindakan para pejabat diatas, Doelgani cs memutuskan untuk terus membabat hutan. Namun, Doelgani cs harus menghadapi hukuman kembali dalam beberapa waktu (misalnya, denda 2.5 Gulden dan hukuman 14 hari penjara atau 7 hari penjara, hingga 3.5 hari penjara, dst).
Tahun 1933, Doelgani cs menyampaikan kasus mereka ke Gubernur Jenderal di Jakarta. Selanjutnya, Gubernur Jenderal, memutuskan bahwa Doelgani cs berhak untuk membuka hutan. Namun surat dari Gubernur Jenderal ditahan oleh Asisten Wedono, dan tidak pernah diberikan kepada Doelgani cs.
Tahun 1936, Doelgani cs menghadap Residen Bondowoso untuk menyampaikan kasus mereka, sembari memohon pemberian surat ijin pembabatan hutan.
Tahun 1941, Doelgani cs menghadap mantan Bupati Banyuwangi (RAAM Notohadi Suryo) di Kalibaru. Selanjutnya, eks Bupati itu membuat surat pernyataan yang menerangkan bahwa benar dirinya telah menerbitkan surat ijin pembukaan hutan 1929. Surat itu ditujukan kepada Gubernur di Surabaya.
Tahun 1941, Doelgani cs kembali membabat hutan, namun berujung pada penangkapan 40 orang rekannya. Sementara Dulgani dan Senen sendiri, dihukum 2 bulan penjara. Di tahun 1942, Doelgani dan Senen dihukum penjara lagi selama 3 bulan karena pendudukan lahan yang terus mereka lakukan.
Era Periode1965 – ORDE BARU
Keturunan dan penerus Doelgani cs, pada tahun 1965, mengajukan permohonan untuk bercocok tanam di hutan Sengkan Kandang dan Keseran kepada Bupati Banyuwangi. Surat tersebut tidak mendapatkan jawaban dari pemerintah.
Untuk sekedar menyambung hidup, sebagian kecil warga Pakel bercocok tanam di wilayah yang dikenal dengan nama Taman Glugoh (bekas perkebunan Belanda yang tidak aktif).
Tak lama kemudian, meletus tragedi kemanusiaan ‘30 September 1965”,. Pasca peristiwa tersebut warga tidak berani menduduki kawasan hutan, karena akan dituduh sebagai anggota PKI.
Di pihak lain, lahan yang mereka kelola tiba-tiba diklaim milik perusahaan perkebunan Bumi Sari. Di awal klaimnya, Bumi Sari tidak menunjukkan tindakan pengusiran, namun mendorong warga untuk menanam tanaman kopi, kelapa, dll. Akan tetapi, tahun 1970an, saat tanaman warga tersebut tumbuh besar, Bumi Sari melakukan pengusiran terhadap warga.
Pada tanggal 13 Desember 1985, Kementerian Dalam Negeri menerbitkan HGU PT Bumi Sari di atas tanah tersebut. Hal itu tertuang dalam Surat Keputusan (SK) Menteri Dalam Negeri, Nomor SK.35/HGU/DA/85, dengan penjelasan bahwa PT Bumi Sari berhak memiliki luas 11.898.100 meter persegi atau 1189,81 hektar. SK tersebut terbagi dalam 2 Sertifikat, yakni Sertifikat HGU Nomor 1 Kluncing, seluas 1.902.600 meter persegi dan Sertifikat HGU Nomor 8 Songgon, seluas 9.995.500 meter persegi. Kedua HGU tersebut berakhir pada 31 Desember 2009.
Di luar dugaan, dalam praktiknya, PT Bumi Sari juga mengklaim mengantongi ijin pengelolaan kawasan hingga Desa Pakel. Dari sinilah konflik agraria di Pakel terus semakin kompleks.
Dalam penelusuran WALHI Jatim, ditemukan bahwa HGU PT Bumi Sari hanya terletak di desa Bayu, Kecamatan Songgon, dengan luas 1189, 81 Ha.
Tahun 1993, segelintir warga Pakel berusaha untuk menduduki lahan kembali. Namun otoritarianisme Orde Baru membuat mereka tidak berjuang dalam nafas panjang.
Era Pasca Tumbangnya Rejim Suharto
Tahun 1999, pasca 1 tahun Soeharto lengser, warga Pakel kembali menduduki lahan. Namun pada tanggal 17 Agustus 1999, buntut dari tindakan tersebut warga ditangkap, dipenjara, dan mengalami tindak kekerasan fisik.
Fakta lainnya adalah, lahan hutan yang semula hanya diklaim milik Bumi Sari, kini juga diklaim milik Perhutani. Di tengah situasi tersebut, warga mengaku Perhutani melakukan pecah belah kekuatan warga, dengan membentuk LMDH.
Tahun 2001, seluruh rumah dan tanaman warga di atas lahan tersebut dibakar dan dibabat oleh Perhutani. Peristiwa ini selain mengakibatkan kerugian material, juga telah menyebabkan sebagian besar pemuda baik laki-laki maupun perempuan putus sekolah.
Situasi tersebut semakin diperparah dengan hadirnya sekelompok orang yang mengaku akan membantu kasus warga, atas nama Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), yang selanjutnya disebut sebagai Tim 10. Dalam faktanya, menurut pengakuan warga Pakel, Tim 10 tersebut malah meminta uang yang tak sedikit (menurut warga: jumlahnya mencapai ratusan juta rupiah), sebagai amunisi untuk menyelesaikan kasus yang dihadapi warga.
Pasca Reformasi Dan Era Jokowi
Kini dalam perjalanannya, masa reformasih yang seharusnya menjamin setiap hak hak masyarakat asli/masyarakat adat namun kriminalisasi, intimidasi, teror, perampasan tanah terus terjadi di pakel.
Walaupun sesuai surat dari BPN Banyuwangi, Nomor 280/600.1.35.10/II/2018, tanggal 14 Februari 2018, ditegaskan bahwa tanah Desa Pakel tidak masuk dalam HGU PT Bumi Sari.
Mendapatkan pernyataan tersebut, warga menganggap peluang kemenangan untuk mendapatkan tanah mereka kembali telah di depan mata. Akhirnya Di akhir 2018, warga melakukan penanaman kembali di lahan tersebut dengan ribuan batang pohon pisang.
Namun Januari 2019, warga Pakel dilaporkan oleh Djohan Sugondo, pemilik PT Bumi Sari, dengan tuduhan telah menduduki lahan PT Bumi Sari. Akibatnya warga Pakel dianggap melanggar Pasal 107 huruf a Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2014 tentang Perkebunan. 26 Warga Pakel dipanggil oleh pihak kepolisian.
Atas tuduhan tersebut, sedikitnya 11 orang warga Pakel dipanggil oleh pihak kepolisian Resort Banyuwangi pada Oktober 2019 untuk dimintai keterangan.
Pada november 2023 warga pakel di tahan oleh polda jawa timur. Suwarno, Untung, dan Mulyadi; di Kriminalisasi melalui penangkapan paksa tanpa surat penahanan diDesa Pakel, Kec. Licin, Kab. Banyuwangi dihadang dan diangkut paksa oleh polisi menuju Polda Jatim pada Jumat 3 Februari 2023 pukul19.30 WIB. ketiga petani masih di dikenakan tuduhan menyiarkab kabar bohong Pasal 14 dan atau 15 Undang-undang nomor 1 Tahun 1946. Penangkapan ini diduga kuat buntut konflik lahan dengan korporasi antara warga Pakel dengan PT Bumisari Maju Sukses.
Bukan hanya itu, sebelumnya Pada November 2021, ada 11 warga Pakel yang mendapatkan surat panggilan dari pihak kepolisian, 2 diantaranya ditetapkan menjadi tersangka. Desember 2021, 2 warga Pakel juga kembali mendapatkan surat panggilan dari pihak kepolisian dengan tuduhan telah melakukan dugaan pelanggaran pasal 47 (1) UU 18 nomor 2004 serta pasal 406 (1) KUHP. Tragisnya, pada Jumat dini hari, 14 Januari 2022, warga Pakel mengalami tindak kekerasan oleh aparat kepolisian yang mengakibatkan 4 orang (warga dan tim solidaritas perjuangan) menjadi korban. Hingga kini berbagai upaya tersebut belum menunjukkan titik terang hingga terjadilah insiden pengangkutan paksa ini.
Situasi Dan Kondisi Yang Di Alami Warga Pakel
Dalam investigasi Aliansi Mahasiswa Papua (AMP) melihat bahwa adanya Permasalahan/Konflik Agraria, Dan “perjuangan tanah air leluhur yang tidak akan perna mati, dari generasi ke generasi”, begitu ucap mas (R)salah satu warga tani pakel. Walaupun Perjuangan panjang tanah pakel membuat mereka di kriminalisasi dan di teror namun warga terus bertahan, sebab tidak ada lagi jalan lain, selain bertahan dan terus melawan setan tanah di atas tanah leluhur desa pakel ini. Petani petani di desa ini,mengalami situasi yang sangat menyayangkan di tenggah banyaknya hiruk pikuk desa ini.
Dalam investigasi yang di lakukan Aliansi Mahasiswa Papua Kk Jember memperlihatkan bagaimana warga pakel yang mengalami ancaman dan kriminalisasi yang dilakukan terhadap warga pakel. Mereka di perhadapakan langsung dengan Tni Porli Dan Security serta preman preman bayaran yang ditugaskan untuk melawan warga pakel di perkebunan mereka. Di situasi demikian pula beberapa Tanaman Buah, Jagung, Pohon, Pisang Pisang di babat oleh security dan preman dan warga informen yang di bayar oleh pihak perusahan .
Tahun 2021, 11 orang warga pakel di panggil oleh pihak kepolisian banyuanggi sedangkan pada november 2023, tiga (3) warga pakel di tahan dan vonis penjara. Hingga sampai saat ini, warga dan solidaritas terus mendesak Pt bumi sari,tni porli dan semua pihak yang berwenang untuk segera di bebaskan tiga petani pakel.
Dalam informasi yang kamidapat Warga tani pakel, yang warga yang berinisial (x) menyatakan “di sini,preman dan beberapa warga yang melawan kita,mereka di bayar 200, hanya 200 saja mereka berdosa terhadap tanah mereka”.
|
doc.amp kk jember. foto saat amp jemper tiba di pos petani pakel |
Setiap preman, satpam dan warga yang di bayar untuk melawan tani pakel dan merusak tanaman tanaman wargapakel, mereka di bayar 200 ribu setiap kali mereka lakukan perlawanan dan perusakan kebun kebun di pakel. Tani pakel juga, Mereka terus di pantau oleh Pt Bumi Sari, Preman, Sicuriti di setiap perkebunan mereka. Desa di warga sini mereka juga sering di tantang perang oleh preman bayaran,dkk.
Akibat Serangan perang, teror dan kriminalisasi dari alat alat yang diunakan Pt Bumi Sari ini yang membuat tani pakel trauma dan takut untuk melakukan tindakan perlawanan, seperti melakukan perlawanan mengunakan alat tajam, mempublikasi info atau berita tentang pakel di media sosial. Karena mereka takut di panggil dari pihak kepolisian dan takut dikriminalisasi, seperti tani tani lainnya.
Bagun Solidaritas Dan Kekuatan Rakyat Untuk Melawan Setan Tanah di pakel?
Melihat sejarah panjang perjuangan warga pakel terus melawan setan tanah yang masih terus eksis dari generasi ke generasi mendiskriminasi warga dan merampas tanah pakel hingga satu abad ini.
Perjuangan untuk menjaga tanah moyang terus menjadi bagian kebudayaan yang terus dilakukan oleh warga pakel terhadap setan tanah dari generasi ke generasi. Kelas yang berkuasa menindas warga sipil yang tak bekuasa demi mengekploitasi sumber sumber daya alam warga setempat
Untuk itu Aliansi Mahasiswa Papua (AMP) komite kota Jember dan Komite Pusat AMP mendukung warga pakel dan bersolidaritas untuk berjuang melawan setan tanah sebab melihat bahwa perjuangan kelas tertindas harus di dorong, dan galang Solidaritas secara luas Harus di lakukan, perjuangan dan solidaritas antar kelas tertindas harus di dorong dan di kuatkan untuk merebut hak hak setiap warga.
Kami melihat perjuagan warga Desa pakel sama hal yang terjadi di beberapa daerah di indonesia, seperti kasus rempang, warga batur, wadas, dan lebih khusus di papua mifee,pt freeport, dan masih banyak lagi perusahan ilegal dipapua serta masih banyak lagi konflik agraria yang mengakibatkan kerusakan hutan, lingkungan, alam dan manusianya. Dan kami melewan sistem yang sama yaitu sistem yang menindas.
Maka dengan melihat perlawanan kami, kapitalisme,militerissme, dan setan tanah serta kemanusian harus di junjung tinggi oleh karena itu Pembebasan tiap kelas ploretariat dan mahasiswa harus bersatu dan bersolidaritas untuk melawan demi merebut kembali semua hak hak rakyat tertidas.
Solidaritas Tanpa batas perjuangan sampai menang
Referensi
Aprianto, T. C. (2016). Perjuangan Landreform Masyarakat Perkebunan: Partisipasi Politik, Klaim, dan Konflik Agraria di Jember. Yogyakarta: STPN Press.
Puputan Pakel Commite.(2023). Atas Nama Tanah Pakel
Ghazali, Imam. (2022). Hikayat Tanah Pakel: Dari Blambangan, Perkebunan, Hingga Konflik Agraria di Desa Sumberejo Pakel, 1925-1943. Skripsi Universitas Negeri Yogyakarta.
Li, T. M. (2020). Kisah Dari Kebun Terakhir: Hubungan Kapitalis di Wilayah Adat. Tangerang: Marjin Kiri
Margana, S. (2012). Ujung timur Jawa, 1763-1913: perebutan hegemoni Blambangan. Pustaka Ifada.
Nawiyanto, N. (2012). BERAKHIRNYA FRONTIR PERTANIAN: KAJIAN HISTORIS WILAYAH BESUKI, 1870-1970. Jurnal Masyarakat dan Budaya, 14(1), 77-98.
Shohibuddin, M. (2018). Perspektif agraria kritis: teori, kebijakan, dan kajian empiris. Sajogyo Institute and STPN Press.
Wiradi, G. (2009). Reforma Agraria: Perjalanan yang belum berakhir (rev). Konsorsium Pembaruan Agraria, Sajogyo Institute.
,