"Kami ingin dianggap sebagai manusia, dihargai sebagai manusia, dihargai pikiran-pikiran dan perasaan-perasaan kami. Kami mau duduk bersama dengan pihak-pihak yang telah mengacaukan kehidupan kami, [untuk] berunding dan menyelesaikan masalah."
(Ungkapan Tetua Suku Amungme, Timika, 1996)
Pic. bilong google long ilustrasim kapitalisim na militerisim |
Oleh: Adhen I. Dimi
Skandal pelanggaran HAM di tanah Amungsa terjadi seiring dengan kehadiran Freeport. Sampai beberapa waktu yang lalu, deretan kasus pelanggaran HAM yang terjadi selalu terpendam bagai lumpur galian tambang tembaga dan emasFreeport. Tak ada kekuatan yang mampu menyuarakannya kepada khalayak ramai di Indonesia dan dunia. Namun, kebisuan itu akhirnya berakhir ketika Mgr. H.F.M. Munninghoff OFM, Uskup Jayapura, membuat laporan yang menggetarkan hati siapa saja yang membacanya. Ia telah membeberkan serangkaian tindakan pelanggaran HAM yang sangat brutal di kampung-kampung sekitar kawasan konsesi Freeport.
Beberapa Peristiwa Kekerasan terhadap Warga
Beberapa kasus pelanggaran HAM itu dilaporkan uskup didasarkan atas rasa tanggung jawabnya terhadap umat. Laporan itu disampaikan uskup pada Konperensi Wali Gereja Indonesia (KWI) untuk dijadikan bahan keprihatinan kita bersama. Uskup juga mengharapkan KWI bisa menyampaikan laporan yang dibuatnya kepada Komnas HAM dan meminta Komnas HAM turun langsung melakukan investigasi di tempat kejadian peristiwa. [1]
Laporan Uskup Munninghoff membeberkan kesaksian-kesaksian para korban yang diperkuat oleh hasil investigasi terhadap rangkaian aksi bersenjata aparat keamanan kepada warga sipil di Tsinga dan Hoea. Adapun tindakan brutal aparat yang terungkap setelah dilakukan investigasi adalah (1) terjadinya serangkaian penangkapan dan penahanan yang tidak manusiawi terhadap orang-orang yang dicurigai sebagai simpatisan OPM, (2) hilangnya beberapa orang anggota keluarga dari beberapa keluarga yang salah satu saudaranya diduga ikut OPM ke hutan, (3) dilakukannya pengawasan serta pengintaian yang menimbulkan ketegangan mental berkepanjangan di kalangan penduduk, (4) terjadinya penganiayaan terhadap warga sipil, dan (5) pembakaran serta perusakan rumah dan kebun milik penduduk. Seluruh tindakan tersebut terjadi antara pertengahan tahun 1994 sampai pertengahan tahun 1995.
Berbagai pelanggaran HAM tersebut diawali dengan terjadinya protes warga di Lembah Tsinga bulan Mei 1994. Pada aksi tersebut, warga melakukan demonstrasi damai menuntut perbaikan kondisi kehidupan. Pada saat berlangsungnya demonstrasi damai itu, dengan alasan yang tak jelas sekelompok orang menaikkan bendera Papua Merdeka. Berkibarnya bendera Bintang Kejora itu memancing kemarahan aparat militer. Akibatnya, aparat mengambil tindakan keras terhadap pihak pengibar bendera yang diidentifikasi sebagai anak buah Kelly Kwalik. [2] Setelah peristiwa ini, daerah Tsinga dinyatakan sebagai daerah tertutup oleh aparat keamanan. Dalam rangka mengejar kelompok Kelly Kwalik itulah terjadi rangkaian penembakan dan pembunuhan terhadap warga sipil disertai perusakan kebun dan rumah yang terkurung di daerah tertutup tersebut. Beberapa warga menjadi korban akibat terkepung dalam lokasi tembak-menembak antara TNI dan OPM.
Salah satu peristiwa tembak-menembak antara pasukan OPM dan TNI di Timika itu terjadi pada hari Natal 1994. Sehari setelah peristiwa tersebut, masyarakat dikumpulkan secara paksa dan kemudian diajak oleh aparat untuk mengejar dan menyerbu tempat-tempat yang diduga sebagai persembunyian OPM. Siang harinya, seusai pertemuan itu, masyarakat yang digiring aparat lalu menyerbu ke tempat-tempat persembunyian OPM dan berhasil membunuh Yulius Yanempa. Sebagai bukti keberhasilan, dipotonglah tangan Yulius dan lantas potongan tangan itu diperlihatkan kepada komandan kompi yang memimpin operasi tersebut. Pada 27 Desember tahun yang sama, kembali TNI bersama rakyat menggelar operasi yang berhasil menangkap dua warga sipil, yaitu Dominikus Narkime dan Petrus Omabak. Kedua orang tersebut dituduh sebagai OPM. Operasi TNI dengan mengerahkan warga sipil ini tidak diberitakan sama sekali oleh media.Malah sebaliknya, Freeport melalui Community Development-nya yang dipimpin Surya Atmadja mengumumkan terjadinya pembakaran dan penembakan oleh OPM terhadap rumah-rumah penduduk di areal Freeport.
Kebrutalan yang terjadi itu baru terkuak ketika pada 31 Mei 1995, pasukan Yon 752 Paniai menyerbu jemaat yang sedang berdoa di kampung Hoea (sekitar 90 km arah ke timur kota Tembagapura). Dalam penyerbuan itu, kembali terjadi penembakan terhadap warga sipil dan perusakan rumah-rumah penduduk oleh pasukan yangberkedudukan di pos Jila. Dalam aksi ini, 11 orang warga sipil menjadi korban. Menurut keterangan saksi mata, mereka yang tewas sebagian berasal dari warga kampung Hoea yangsempat bertahan hidup di hutan karena ketakutan akibat seringnya terjadi penyerbuandan kontak senjata antara aparat TNI dan orang-orang yang disebut gerilyawan OPM. Kontak senjata terus berlangsung antara Juni dan Desember 1994.
Kronologi insiden tersebut adalah sebagai berikut. Pada 31 Mei 1995 berlangsung doa bersama yang dipimpin oleh Pendeta Jemaat Protestan Kingmi, Martinus Kibak, di kampung Hoea Rev. Ketika para jemaat sedang khusyuk berdoa, secara mendadak satu regu pasukan TNI dari Yon 752/Paniai yang dipimpin oleh Serda Marjaka, tanpa peringatan terlebih dahulu, langsung mengepung dan melepaskan tembakan. Melihat tindakan itu, sang pendeta langsung mengangkat tangan, namun seorang aparat bernama Prada Titus Kobogou meresponsnya dengan langsung melepaskan tembakan kepadanya. Dengan seketika pendeta itu roboh. Setelah itu, aparat melepaskan tembakan secara membabi buta ke arah warga yang ketakutan. Insiden itu mengakibatkan beberapa orang dewasa, laki-laki, dan perempuan serta anak-anak tewas di tempat. [3]
Sebelumnya, peristiwa serupa juga pernah terjadi beberapa kali terhadap warga sipil yang tak bersenjata. Misalnya, peristiwa yang menimpa Wendi Tabuni, 23 tahun. Ia ditembak mati oleh aparat pada 25 Desember 1994 di dalam bus nomor 44 milik Freeport dalam perjalanan menuju Timika dari Tembagapura. Setelah ditembak,jenazahnya dibuang di Mile 66 oleh aparat dari pasukan Yon 733 yang bertugas di pos Mile 66. Peristiwa yang sama juga terjadi di bengkel milik Freeport di Koperapoka ketika beberapa pemuda setempat, yakni Yoel Kogoya, Peregamus Wake, dan Elias Jikwa dianiaya sampai tewas oleh pasukan dari Mess Pupurima. Begitu juga di Kwamki Lama, Timika di mana dua orang tewas akibat panah dan terjangan peluru aparat dari pasukan Yon 733 Patimura pada 16 April 1995.
Tindakan brutal aparat lainnya adalah penculikan dan pengepungan terhadap warga sipil yang disangka oleh aparat memunyai hubungan keluarga dengan gerilyawan OPM. Salah satunya adalah keluarga Nawaral Deik-In. Menurut istrinya, pada 6 oktober 1994, pukul 23.00 WIT, aparat dengan senjata lengkap mendatangi rumah mereka dengan cara mendobrak pintu. Kedatangan aparat pada saat itu bertujuan mencari suaminya yang bernama Sebastianus Kwalik. Lalu, Sebastinus Kwalik diambil oleh aparat bersama ketiga adiknya, yaitu Romulus K, Marius K, dan Hosea K. Keempat orang tersebut digelandang ke mobil yang telah disiapkan sebelumnya. Mereka semua ditahan di kontainer yang dijadikan penjara di pos tentara Koperapoka, Timika. Menurut keterangan istrinya, di dalam kontainer itu telah berisi banyak orang yang juga mengalami nasib serupa.
Menurut keterangan kedua istri Sebastianus Kwalik, mereka yang ditangkap tersebut ditahan dalam kontainer dengan borgol tetap melekat di kaki dan tangannya. Selain itu mereka juga mengalami penyiksaan. Setelah seminggu ditahan, semua tahanan di pos Koperapoka itu hilang dan para istri mereka tak bisa lagi menemuinya. Menurut petugas, mereka dibawa ke hutan oleh tentara untuk melakukan operasi bersama dalam rangka mencari gerilyawan. Setelah itu mereka tak pernah muncul lagi. Kuat dugaan mereka semua dieksekusi tentara di hutan.[4]
Setelah pengibaran bendera di Tsinga itu, wilayah sekitarnya langsung dijadikan daerah operasi militer (DOM) dengan pengawasan ketat oleh TNI. Akibatnya, timbul ketegangan dan ketakutan di kalangan warga. Pengawasan dilakukan secara terbuka dengan menyebarkan tentara, mulai dari perkampungan, gereja, pasar, sampai ke kota Timika. Selain itu, aparat dengan senjata lengkap juga mengadakan razia di jalanan dengan cara mengecek siapa saja yang lewat. Pada saat itu, tak jarang aparat mengancam siapa saja yang dianggapnya membangkang. Bahkan, penangkapan tanpa surat keterangan yang jelas pun sering terjadi terhadap orang-orang yang dicurigai.
Biasanya, mereka yang ditangkap tidak pernah mendapatkan haknya untuk membela diri atau disediakan pembela buat mereka. Hal ini dialami oleh Yosepha Alomang, Yakobus Alomang, Yuliana Moagal, Mathias Kelanangame,dan Nicolas Magal yang ditangkap aparat pada 9 Oktober 1994. Selanjutnya, pada 25 dan 26 Desember 1995, penangkapan kembali terjadi terhadap 15 orang warga sipil yang kemudian ditahan di kontainer dan bengkel Freeport di Koperapoka. Mereka yang ditangkap pada tanggal 26 Desember 1995, ditahan di kontainer milik keamanan Freeport. Mereka yang ditahan tersebut kemudian dibebaskan beberapa hari kemudian setelah mengalami berbagai perlakuan tak manusiawi.
Tindakan aparat yang paling kasar adalah penyiksaan yang dilakukan terhadap orang-orang yang mereka tangkap. Semua korban menyatakan, selama mereka ditangkap, mereka diperlakukan secara tak manusiawi. Di antaranya, mereka dipaksa mengaku dan menandatangani surat berita acara pemeriksaan (BAP). Jika menolak, mereka diancam akan dibunuh. Tindakan tersebut dilakukan secara simultan dan dilakukan tanpa henti selama beberapa malam. Tanpa istirahat, korban diperiksa dan diminta mengaku sebagai orang OPM. Bentuk penyiksaan fisik yang terjadi selama ditahan–dalam beberapa kontainer di pos militer atau polisi–berupa tendangan ke arah ulu hati dan perut, kepala diinjak, pemukulan di kepala dan badan, menikam bahu dengan pisau, dilempar dengan batu, atau dipaksa memakai penjepit besi di belakang lutut. Bentuk siksaan lain juga dilakukan dengan menginjak jari-jari tangan dan dipukuli dengan bilah rotan.
Selain siksaan fisik, tak jarang para tahanan dipaksa melakukan kerja paksa dan mengerjakan beberapa hal yang tak bermartabat. Misalnya, jika disuruh istirahat, para korban dibiarkan tidur tanpa alas di antara kotoran dan genangan air di dalam kontainer tempat mereka ditahan. Semua tindakan tak manusiawi dan pelanggaran hak asasi manusia itu terjadi di areal konsesi tambang Freeport atau tepatnya di beberapa fasilitas milik Freeport, seperti kontainer dan bengkel serta pos keamanan Freeport. Akibat perlakuan aparat itu, sebagian dari korban ada yang meninggal akibat patah leher, kepala bocor, atau muka lebam membiru serta patah tulang.
Selain penyiksaan terhadap para korban, harta benda warga juga dijarah. Misalnya, penjarahan terhadap keluarga Biru Kogoya. Dalam laporannya setebal 26 halaman, Mgr. Munninghoff menuliskan, ada 17 orang penduduk tewas, empat hilang, dan 48 lainnya ditangkap, ditahan serta dianiaya. Laporan tersebut juga dilengkapi dengan nama-nama, baik saksi maupun korban, juga jenis kelamin dan umur para korban. Laporan Munninghoff dengan gamblang juga memaparkan para pelakunya, yaitu beberapa orang dari pihak militer termasuk tempat terjadinya peristiwa, yakni berbagai fasilitas Freeport.[5]
Semua yang diuraikan Uskup Munninghoff dalam laporannya bisa dikategorikan sebagai tindakan pembunuhan secara kilat (summary execution), penangkapan dan penahanan sewenang-wenang (arbitrary arrest and detention), penyiksaan (torture), penghilangan dan pengawasan secara paksa (disappearance and surveillance), dan penghancuran serta perusakan harta milik (destruction of property). Dengan dilakukannya berbagai hal tersebut terhadap warga sipil, aparat kemanan telah melakukan pelanggaran HAM dalam kategori berat. Dalam hal ini, Freeport juga turut bertanggung jawab atas terjadinya berbagai kasus pelanggaran HAM itu karena beberapa fasilitasnya telah digunakan oleh militer untuk melakukan berbagai tindakan pelanggaran HAM terhadap warga Amungme.
Pada tahun-tahun sebelumnya, pelanggaran HAM seperti ini bukan tak pernah terjadi. Namun, jika hal itu terjadi, aparat keamanan dan pihak Freeport selalu berhasil menutupinya. Caranya dengan menyatakan bahwa para korban kebrutalan tersebut adalah para pemberontak atau orang yang menghalangi pembangunan. Bilamereka telah dinyatakan sebagai pemberontak atau penghalang pembangunan, tak ada ampun,dengan sendirinya mereka langsung divonis sebagai anggota GPK-OPM. Tak hanya itu, orang yang menyuarakan ketidakadilan yang menimpa suku Amungme juga selalu dicap oleh aparat sebagai orang-orang yang tidak mengerti persoalan Irian Jaya dan dikatakan sebagai antipembangunan.[6]
Pada tahun 1996, insiden pelanggaran HAM serupa terjadi kembali di Bella, Jila, dan Alama (150 km sebelah timur Tembagapura) yang masih menjadi areal konsesi tambang Freeport. Rangkaian pelanggaran HAM di tiga kampung tersebut juga telah diadukan oleh para pimpinan tiga gereja [7] yang menjadi gembala umat ke Komnas HAM pada 27 Mei 1998 di Jakarta. Laporan setebal 44 halaman tentang rangkaian pelanggaran tersebut juga diserahkan kepada Komnas HAM untuk ditindaklanjuti dan dicarikan jalan keluarnya. Laporan itu membeberkan tindakan tak manusiawi aparat keamanan terhadap penduduk sipil selama berlangsungnya operasi pembebasan para peneliti dari WWF di Mapenduma yang disandera oleh kelompok Kelly Kwalik dan Daniel Yudas Kogaya. Operasi itu melibatkan aparat dari Kopassus, Yonif 753 Paniai, Yonif 752 Sorong, dan Yonif 751 Jayapura.
Dampak operasi yang dilakukan sepanjang bulan Desember 1996 sampai Oktober 1997 itu adalah jatuhnya 16 orang korban, 13 orang di antaranya di desa Bela dan Alama, dua orang di Jila dan seorang di Mapenduma. Rinciannya, 11 orang tewas ditembak, dua orang dinyatakan hilang, dan tiga orang mengalami luka-luka serius. Selain itu, aparat juga telah merusak 13 tempat ibadah, beberapa rumah, kebun, dan hewan piaraan warga. Laporan itu juga membeberkan bagaimana keadaan penduduk selama operasitersebut digelar di daerah mereka.
Akibat operasi yang dilakukan aparat, warga yang ketakutan lalu berusaha meningalkan rumah dan ladang mereka untuk bersembunyi digua-gua dan hutan di sekitar perkampungan. Mereka yang bersembunyi di hutan karena ketakutan itulah yang ditembaki aparat ketika mereka berusaha kembali ke rumah atau ladang. Bahkan, begitu takutnya, 18 orang dari warga meninggal di tempat persembunyian karena kehabisan bahan pangan. Kelakuan dan kegiatan aparat keamanan, dan juga karena jumlahnya yang begitu banyak, telah menjadikan mereka sebagai kekuatan teror yang mengintimidasi penduduk diperkampungan tersebut. Sampai saat ini, kasus tersebut belum jelas penyelesaiannya meskipuntelah diadukan ke Komnas HAM, DPR-RI, DPRD Papua, serta Dephankam di Jakarta.[8]
Akar Persoalan: Freeport dan Militer
Tak bisa diingkari bahwa pendekatan keamananyang begitu kentara dan jumlah pasukan yang banyak semakin memberi peluang terjadinya pelanggaran HAM di areal konsesi Freeport. Banyak pendapat mengatakan, kehadiran ratusan pasukan TNI di Timika telah menimbulkan kondisi rawan pelanggaran HAM.
Melihat rumitnya masalah Timika, Muladi, salah seoarang anggota Komnas HAM, menyatakan bahwa masalah pelanggaran HAM di Timika sama karakternya dengan yang terjadi di Timtim. Artinya, problematikanya bukan sekadar permasalahan yuridis semata, melainkan menyangkut juga masalah ekonomi, adat dan sebagainya. Oleh sebab itu, diperlukan cara-cara penyelesaian secara komprehensif agar tidak memunculkan masalah baru di kemudian hari. Lebih lanjut, ia mengatakan bahwa hak milik atas tanah bagi suku Amungme menempati kedudukan yang sangat strategis dalam hidup mereka serta adanya bagian-bagian tertentu yang dikeramatkan.
Dengan demikian, sikap perusahaan yang hanya berpegang pada legalitas dalam arti formal semata tanpa mempertimbangkan dukungan sosiologisnya akan selalu menimbulkan masalah. Demikian pula cara pandang yang selalu melihat masalah antara penduduk dan Freeport di Timika sebagai masalah keamanan semata, sampai kapan pun tidak akan menyelesaikan masalah. Karena, cara-cara keamanan adalah cara penyelesaian masalah secara sepihak tanpa mempertimbangkan keberadaan adat, sosial, dan kepentingan ekonomi warga setempat.[9]
Lebih jauh mengenai dampak penekanan padapendekatan keamanan di Timika, dapat kita simak dari pandangan Bruder Theo van Den Broek. Beliau mengatakan, banyaknya jumlah dan meningkatnya kegiatan militer di sekitar Timika membuat warga terganggu dan sekaligus membuat mereka tidak betah di tempatnya. Pendekatan keamanan dalam pandangan Bruder Theo tidak akan mampu mengajak dan membawa warga untuk terbuka dalam menyampaikan persoalannya. Akibatnya, warga Amungme kemudian tidak mudah membuka diri terhadap pembaruan dan perubahan yang datang akibat kehadiran Freeport di atas tanahnya.
Untuk membenarkan pendekatan keamanan di sekitar tambang Freeport ini, TNI selalu menyatakan bahwa kehadiran mereka hanyalahsebagai "penjamin keamanan orang setempat dan membina mereka dalam proses pembangunan," walaupun yang sering terjadi malah sebaliknya. Kehadiran TNI lebih dirasakan sebagai pembawa ketegangan karena para penduduk selalu diintai terus-menerus gerak-geriknya. Apalagi, ditambah seringnya para prajurit yang bertindak keterlaluan dalam menghadapi warga sehingga menghilangkan kepercayaan masyarakat.[10]
Semuanya itu menurut Bruder Theo diakibatkan oleh menduanya tugas TNI di areal tambang Freeport, yaitu antara tugas sebagai aparat pengamaman negara yang lazim dan sebagai aparat pengamanan operasional perusahaan pertambangan. Tugas yang mendua ini menjadikan aparat militer "mengintai dan mencurigai siapa saja" serta bertindak sebagai satu-satunya institusi yang berkuasa dan berhak untuk menentukan kebenaran. Kondisi demikianlah yang telah melahirkan serangkaian kasus pelanggaran HAM diTimika selama ini. Tanpa menyelesaikan kedua persoalan mendasar itu, persoalan pelanggaran HAM di Timika akan terus berulang sepanjang waktu.
Hal senada juga dikemukan oleh Marzuki Darusman, Ketua Komnas HAM. Ia menyatakan, Komnas HAM menganggap perlunya secara jelas menjernihkan ruang lingkup kegiatan operasional antara pemerintah daerah, TNI dan Freeport sehingga garis tanggung jawab fungsional dari ketiga badan itu menjadi jelas. Selanjutnya, tanggung jawab hukum masing-masing sebagai dasar kelembagaan bagi kemajuan dan perlindungan HAM juga bisa dipastikan sehingga tidak terjadi saling lempartanggung jawab. Ia juga menyatakan, sudah waktunya dikaji ulang kebijakan pemerintah dalam menanggulangi masalah keamanan yang telah menimbulkan stigmanisasi terhadap penduduk Papua.[11]
Oleh sebab itu, perubahan politik yang terjadi saat ini, pemerintah dan TNI perlu kembali meninjau ulang seluruh kebijakannya terhadap perusahaan tambang tembaga dan emas itu. Dengan pengertian, pertama, sebagian besar pasukan TNI di Timika perlu ditarik keluar agar warga bisa hidup tenang dan kembali ke keadaan normal dan keluar dari ketakutan yang masif. Kedua, kebijakan pemerintah secara ekonomi perlu lebih diarahkan pada suku Amungme secara khusus dan Papua secara umum, agar terjadi perbaikan kesejahteraan. Dengan kata lain, kesepakatan yang dibuat di Timika tentang keberlangsungan tambang dan fasilitas-fasilitas pendukungnya harus melibatkan suku Amungme melalui lembaga perwakilannya, yaitu LEMASA.
Perubahan yang terjadi di Timika, tepatnya di seluruh tanah Amungsa telah berlangsung begitu hebat karena kehadiran PT Freeport Indonesia yang difasilitasi secara penuh oleh pemerintah Indonesia. Namun, perubahan yangterjadi kerap kali tak berpihak kepada suku Amungme, pemilik sah tanah Amungsa. Perubahan yang terjadi telah menghadirkan konflik serius dan berkepanjangan antara suku Amungme dan Freeport. Konflik itu diperburuk ketika seluruh wilayah Amungsa dijadikan Daerah Operasi Militer (DOM) seusai perlawanan suku Amungme terhadap Freeport tahun 1977. Akibatnya, acap kali suku Amungme menjadi objek kekerasan oleh aparat keamanan yang melindungi perusahaan pertambangan itu. Bahkan, akibat protes-protes sporadis yang dilakukannya, suku Amungme semakin menderita karena selalu dihadapkan pada tuduhan sebagai OPM.12
Melalui operasi pemberantasan OPM, ketakutan ditebar secara sistematis di kalangan suku Amungme. Masyarakat menjadi frustasi. Perasaan itu semakin lama semakin dalam sehingga suku Amungme menjadi apatis dan hidup dalam ketakutan yang luar bisa. Akibatnya, suku Amungme merasakan banyak hal yang hilang dalam kehidupan mereka. Sehingga, kesempatan-kesempatan untuk mengembangkan kehidupan yang lebih baik pun punah.
Dalam pusaran perubahan itu, baik secara sosial-ekonomi maupun secara budaya, suku Amungme berhadapan dengan tantangan-tantangan baru dari berbagai kekuatan yang datang dari luar tradisi mereka. Tantangan-tantangan dan perubahan tersebut memaksa suku Amungme mencari jalan keluar untuk menyelesaikan berbagai persoalan yang ada. Sekaligus, mendefinisikan arah dan tujuan perjuangan mereka untuk meraih kembali hak-hak mereka yang telah dirampas. [ Dimibeu Mee ]
Penulis adalah aktivis AMP, Kuliah di kota Jogja
==================================================
Referensi:
1 Lihat surat pengantar Uskup Mgr.Munninghoff OFM kepada KWI.
2 Kelly Kwalik disebut-sebut sebagai Komandan Organisasi Papua Merdeka di kawasan Pegunungan Tengah. Kelly juga salah satu putra suku Amungme yang sejak tahun 1977 telah melakukan protes atas kehadiran PT Freeport.
Freeport Indonesia di atas tanah leluhurnya. Kelly kembali melakukan aksinya tahun 1996 dengan menyandera beberap orang Tim Peneliti Lorenz di Mapenduma.
3 Lihat Munninghoff, hlm. 3–5.
4 Keterangan mengenai detailnya lihat laporan Uskup Munninghoff OFM, hlm 6-9.
5 Secara lebih rinci lihat Uskup Munninghoff, Laporan Pelanggaran Hak Asasi Terhadap Penduduk Lokal, Di Wilayah Sekitar Timika, Kab. Fak-Fak, Irian Jaya Tahun 1994–1995,(Jayapura, 1 Agustus 1995).
6 Pernyataan bernada seperti ini sering dilontarkan olehGubernur Papua ketika dijabat oleh Barnabas Suebu. Lihat wawancara beliau dalam Eksekutif, 1992.
7 Ketua Daerah GKI Mimika Pendeta Isak Onawatme, Pastor Paroki Tiga Raja Timika P. Nato Gobay Pr. dan Ketua Klasis GKI Mimika Pdt. ABM Hutapea.
8 Lihat Cepos4 Juni 1998 dan Tifa Irian, Minggu pertama, Juni 1998. Laporan lengkap mengenai kasus pelanggaran HAM diserahkan kepada Komnas HAM dengan judul laporan "Pelanggaran HAM dan Bencana di Bela, Alama, dan Mapenduma Irian Jaya" Timika, Irian Jaya, Mei 1998. Disusun dan
9 Lihat Kompas19 Agustus 1995.
10 Alinea ini disadur secara bebas dari Theo van Den Broek, hlm.24.
11 Lihat Merdeka, 23 September 1995.
12 Situasi ini digambarkan oleh Yopie Kalangin dalam wawancara di Jakarta, Januari 1997.