poster melawan kekerasan terhadap perempuan papua/majalahbeko.ils. |
Yogyakarta--Kelompok belajar perempuan papua Yogyakarta melakukan diskusi terbuka kedua. Diskusi dilakukan pada jumat, 09 september 2016 bertempat di asrama putra Bintuni, yogyakarta.
Diskusi ini berlanjut selama 120 menit yang diikuti oleh 16 peserta, terdiri dari laki-laki dan perempuan. Pematik diskusi dibawakan oleh saudari yona pulalo. Beliau menjelaskan wilayah adat Mambramo-Tabi secara keseluruhan. Saudari juga menerangkan mengenai “eksistensi perempuan mamta terhadap masa depan anak-cucunya”. Bahwasanya perempuan adalah tanah, kesuburan dan kehidupan bagi anak dan cucu. Perempuan mamta menjadi tulang punggung keluarga. Ia memiliki peranan yag paling penting dalam dan luar keluarga. Ia bertugas melahirkan, merawat dan membesarkan anak-anaknya. Disamping itu, ia berperan sebagai pemberi nafkah, mencari minum, makan dari danau dan gunung yang ada. Itulah keberadaan perempuan di wilayah Mam-Ta.
Selain itu juga, mengenai bagaimana penindasan terhadap perempuan akibat tekanan budaya yang mengutamakan laki-laki. Beliau juga memberikan contoh tentang perempuan mamta yang hampir tidak pernah dilibatkan secara langsung dalam pengambilan keputusan dalam rapat adat. Dalam rapat adat tersebut perempuan hanyalah sebagai penonton setia. Mereka sama skali tidak diperhitungkan sebagai sumber daya manusia yang patut dan perlu tuk diajak berbicara dan diberdayakan.
Perempuan mam-Ta yang berada di provinsi papua seperti jayapura, keerom dll telah menjadi korban dari pembangunan di atas tanah ulayat. Dimana perempuan tidak punya hak atas tanah. Laki-lakilah yang memilki hak penuh (mandat) dan kekuasaan untuk tanah oleh para nenek moyang. Mandat bahwa ia harus menjaga dan merawat tanah. Walaupun telah diberi mandat tuk menjaga dan memelihara tanah, mereka sendiri menjualnya bagi pemodal/investasi-investasi asing. Ini yang sangat disayangkan.
Namun masalah pembangunan yang terjadi di mam-ta tidak serta-merta adalah kesalahan laki-laki karena telah menjualnya. Tapi ada sebuah sistem yang dimainkan. Sebuah sistem yang bersifat radikal sehingga mampu menggeserkan nilai-nilai sosial dan budaya yang berlaku di masyarakat setempat.
Hal yang paling ironis adalah ketika saudari yona menyatakan bahwa perempuan juga turut menindas perempuan. Ketika dalam suatu rumahtangga memiliki anak laki-laki maka segala perhatian akan diberikan untuk seorang anak laki-laki karena dianggap penerus keluarga. Sementara anak perempuan akan diajarkan untuk aktif di dapur(masak, mencuci dan melayani seisi rumah). Ini dalam hal kontruksi kebudayaan. Contoh kasus lainnya adalah sudah ada beberapa perempuan mamta yang bekedudukan di pemerintahan tapi nyatanya tidak melakukan perubahan apapun bagi kehidupan perempuan di daerahnya. Hal ini terjadi karena perempuan masih berada di bawah kekuasaan laki-laki dalam pemerintahan juga.
Perlawanan dan eksistensi perempuan Mam-Ta terasa susah karena adat belum bisa menjadi jalan tengah atas penerimaan hak-hak dasar hidup perempuan Mam-Ta. Adat masih menjadi alat legitimasi tuk memarginalisasikan perempuan selain budaya patriarki dan kolonialisasi yang sedang terjadi.
Konstruktur budaya di masyarakat Mam-Ta telah jauh dibangun dan tuk mengubahnya butuh proses yang panjang. Dalam hal ini, perempuan papua, terkhusus yang berada di wilayah Mam-ta harus memiliki kesadaran yang kritis untuk melawan itu.
Perempuan Papua
Perempuan papua bangkit dan bersuara
Notulis, Marselina Mote