Penulis: Sonny Dogopia*
Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa (DK PBB) merujuk pada anggota tetap yang mempertahankan kepentingan negaranya dan untuk mengelabuinya, menyusup di dalam Resolusi-resolusi atau Piagam persetujuan PBB dan dalam Keputusan, Ketetapan, Rancangan Peraturan, dan Undang-Undang. Sederhananya, hapuskan (reformasi) dominasi negara dan perangkat kepentingannya yang meliliti PBB. Sehingga, PBB bukan merupakan Lembaga Perdamaian Dunia yang netral. Melainkan, menjadi Lembaga Dunia yang dengan mudah melegitimasi kepentingan negara pemegang hak veto.
Bermula pada berakhirnya Perang Dunia II, ada dua pola pikir tentang bagaimana hubungan Amerika Serikat (AS) dan Uni Soviet (sekarang Rusia) terhadap negara lain, dan bagaimana hubungan antar negara. Kemudian, dengan mengamati kepentingannya, apakah Self-Determination adalah demokrasi tertinggi di dunia.
Winston Churchill, seorang realis, mengatakan “pembagian wilayah pengaruh AS dan Rusia harus jelas, khususnya di Eropa.” Sementara Roosevelt, seorang idealis mengatakan bahwa suatu kerja sama dan hubungan komplementer bagi tiap negara dengan mendudukkan negara-negara besar sebagai penjamin, penjaga perdamaian dunia. Sehingga, hasilnya dibentuklah PBB dengan menempatkan lima negara besar sebagai pemegang hak veto Pada 15 ─ 22 September 1946.
Dalam DK PBB, istilah hak veto sangat sering didengar. Hak veto adalah hak untuk membatalkan keputusan, ketetapan, rancangan peraturan dan undang-undang atau resolusi. Dalam sejarahnya, hak veto dimiliki oleh lima negara anggota tetap. Yaitu:AS, Rusia, Republik Rakyat Tiongkok(menggantikan Republik Tiongkok Taiwan) pada tahun 1979, Inggris dan Perancis. Hak veto melekat pada kelima negara tersebut berdasarkan Pasal 27 Piagam PBB.
Pada saat ini opini yang berkembang di media-media internasional menyebutkan keberadaan lima negara anggota tetap dan hak veto ditinjau kembali karena perkembangan dunia yang semakin kompleks serta sering dianggap membuat berlarut larutnya masalah internasional sampai pada tingkatan masalah kemanusiaan akibat, digunakannya hak ini oleh negara-negara besar yang dianggap membawa kepentingannya sendiri dan juga kelompok.
Karena keberadaannya merupakan warisan Perang Dunia II yang diambil dari negara-negara kuat pemenang perang, banyak suara dari tokoh-tokoh internasional agar PBB dirombak atau direformasi guna untuk mengakomodasi perkembangan dunia internasional.
Karena, pada prakteknya tujuan ideal adanya PBB tidak berjalan dengan semestinya. Karena, baik AS dan Rusia selalu memandang curiga dan merasa terancam satu sama lain. Akibatnya, terjadilah perang dingin antara Rusia sebagai blok Timur dan AS sebagai blok Barat (McNamara 1989, 23).
Perang Dingin merupakan suatu kondisi dunia yang hidup dalam bayangan perang nuklir, suatu kondisi dimana dunia diwarnai hubungan ketegangan ”damai tetapi tidak damai”. Karena, pelatuk konflik perang nuklir masing-masing pihak siap meledak (Kort 1998, 4). Dalam perkembangannya, perang dingin makin menajam seiring dengan perlombaan senjata antara AS dan Rusia. Masing-masing berusaha saling mengungguli baik dalam varitas maupun kualitas. Usaha peredaan ketegangan sudah dilakukan, namun sebegitu jauh masih bersifat ambivalen.
AS vs Rusia
Memasuki awal abad XXI seiring arus globalisasi telah terjadi perubahan signifikan, perang dingin terjadi karena ketegangan “kiri” dan “kanan”.
Menurut Robert McNamara, konflik Perang Dingin ini karena, AS telah melakukan salah persepsi (misperception) tentang ideologi Sosialis-Komunis yang menekankan “class struggle”. Menyebarkan isu bahaya komunis dan doktrin “Socialism in One Country”, yang oleh pihak Barat diartikan bahwa Rusia menghendaki sebagai satu-satunya negara sosialisme yang menguasai dunia. Menganggap sikap dari Stalin, Lenin, dan Kruschevadalah doktrin bagi negara sosialisme.
AS berusaha mengurung pengaruh Sosialisme-Komunisme Rusia dengan beberapa langkah. Secara politik, menyebarkan ideologi liberalis–demokrasi sebagai ideologi negara yang humanis dengan secara bersamaan menyebarkan isu bahaya komunis. Disamping itu, AS mengeluarkan Rusia dari kelompok Eropa. Secara ekonomi, AS memberi bantuan ekonomi pada negara-negara (dunia) ketiga, tak terkecuali negara-negara Eropa dengan program Marshall Plan sebagaimana digagas oleh sekretaris negara George C Marshall. Tindakan AS dinilai merupakan doktrin terhebat karena, dengan memberi bantuan maka telah merangkul negara penerima bantuan.
Konflik ideologi–politik berimplikasi pada persaingan militer, pergeseran politik, dan perebutan wilayah perluasan ekonomi.
AS melihat bahwa pendukung Rusia sampai pada negara-negara Eropa Timur. Melihat hal ini, AS tidak ingin “Finlandianisasi” kawasan Eropa akan terus berlangsung. Untuk itu, dibentuklah aliansi NATO (North Atlantic Treaty Organization) pada tahun 1954. Sementara pada kawasan lain AS menjalin hubungan dengan Cina Nasionalis (1954), membentuk ANZUS (1951), SEATO (1954), serta mengadakan perjanjian dengan Iran, Turki dan Pakistan (McNamara, 1989: 46). Menanggapi kondisi ini, Rusia membentuk WTO (Warsawa Treaty Organization) 1955, mendirikan Cominform (Communist Information Bureau), serta meningkatkan inovasi militer dengan berhasil diluncurkannya satelit sputnik (1957). Negara dunia ketiga dianggap menjadi obyek pertarungan mereka. Oleh karena itu, beberapa tidak mau terseret dalam kelompok ideologis antara dua super power. Lahirlah kelompok Non Blok yang ditandai dengan KTT I di Beograd (1961).
Sekitar 39 Veto yang dikeluarkan AS untuk memberikan dukungan terhadap Israel. Menurut data, dalam konflik Timur Tengah (Arab-Israel), dari 175 resolusi DK PBB tentang Israel, 97 menentang Israel, 74 netral dan 4 mendukung Israel. Tentunya, ini tidak termasuk resolusi yang diveto Amerika Serikat.
Statistik di atas tentunya menunjukkan bagaimana sebenarnya hak veto yang dimiliki kelima negara tersebut, khususnya oleh AS hanya digunakan sebagai alat untuk melanggengkan perencanaan yang tentunya mengacu pada national interestdari negara tersebut. Akibat dari pembelaan yang dilakukan AS terhadap Israel, banyak kasus pembangkangan dilakukan oleh Israel terutama implementasi resolusi 271, 298, 452, dan 673.
Penggunaan hak veto yang dimiliki oleh anggota tetap DK PBB sangat jauh atau bertentangan dengan asas keadilan dan mengingkari realitas sosial. Adakala keputusan yang ditetapkan dalam forum PBB dibatalkan oleh negara pemilik veto. Sebagai contoh, dua kali hak veto digunakan oleh Amerika Serikat untuk melapangkan jalan bagi Israel melancarkan perang. Selain itu, AS juga menggunakan hak vetonya untuk menghentikan serangan Israel ke Libanon.
Resolusi Nomor 2504 dan Kepunahan Papua
Di Papua, PBB hingga sampai hari ini belum membuka kembali isi Resolusi 2504. Padahal, di meja PBB telah banyak laporan-laporan pelanggaran HAM akibat dampak kolonisasi Indonesia di Papua dan kesalahan dalam hal memahami isi Resolusi 2504.
Apa isi Resolusi Nomor 2504. Bagaimana perjalanan Resolusi Nomor 2504. Jawaban singkat, penuh penyimpangan dan sepihak. Resolusi ini tentang PEPERA 1969.
Wilayah teritori Papua yang masih dalam perebutan, proses pengambil-alihan kekuasaan di Papua Barat dilakukan melalui jalur hukum internasional secara sah dengan dimasukkannya masalah Papua Barat ke dalam agenda Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) pada tahun 1962. Dari dalam Majelis Umum PBB dibuatlah Perjanjian New York 15 Agustus 1962 yang mengandung “Act of Free Choice” (Tindakan Bebas Memilih). Act of Free Choice kemudian diterjemahkan oleh pemerintah Republik Indonesia sebagai PEPERA (Penentuan Pendapat Rakyat) yang dilaksanakan pada tahun 1969.
Penandatanganan New York Agreement antara Indonesia dan Belanda yang disaksikan oleh Sekretaris Jenderal (Sekjend) PBB, U Thant dan Duta Besar AS untuk PBB, Ellsworht Bunker pada tanggal 15 Agustus 1962. Perjanjian New York ini diusulkan oleh AS yang dalam teknisnya disiapkan oleh Duta Besar AS untuk PBB, Ellsworht Bunker. Perjanjian ini mengatur tatacara penyelesaian sengketa status politik di Papua Barat antara Belanda dan Indonesia lewat tindakan bebas memilih (Act of Free Chice) yang akan dilaksanakan tahun 1969.
Beberapa hal pokok dalam perjanjian serta penyimpangannya (kejanggalan) adalah sebagai berikut: (Baca referensi: Agus A. Alua, Op. Cit., hal. 69-73.) Pertama, Perjanjian New York adalah suatu kesepakatan yang tidak sah, baik secara yuridis maupun moral. Perjanjian New York itu membicarakan status tanah dan nasib bangsa Papua Barat. Namun, di dalam prosesnya tidak pernah melibatkan wakil-wakil resmi bangsa Papua.
Kedua, Sejak 1 Mei 1963, bertepatan dengan Unites Nations Temporrary Executive Administratins (UNTEA) atau Pemerintahan Sementara PBB di Papua Barat menyerahkan kekuasaanya kepada Indonesia, selanjutnya pemerintah Indonesia mulai menempatkan pasukan militernya dalam jumlah besar di seluruh tanah Papua. Akibatnya, hak-hak politik dan HAM dilanggar secara brutal di luar batas-batas kemanusiaan.
Ketiga, Pasal XVIII ayat (d) New YorkAgreement mengatur bahwa “The eligibility of all adults, male and female, not foreign nationals to participate in the act of self determination to be carried out in accordance whit international practice…”. Aturan ini berarti penentuan nasib sendiri harus dilakukan oleh setiap orang dewasa Papua pria dan wanita yang merupakan penduduk Papua pada saat penandatanganan New York Agreement. Namun, hal ini tidak dilaksanakan. PEPERA 1969 dilaksanakan dengan cara lokal Indonesia. Yaitu: Musyawarah oleh 1025 orang dari total 800.000 orang dewasa laki-laki dan perempuan. Sedangkan, dari 1025 orang yang dipilih untuk memilih, hanya 175 orang saja yang menyampaikan atau membaca teks yang telah disiapkan oleh pemerintah Indonesia. Selain itu, masyarakat Papua Barat yang ada di luar negeri, yang pada saat penandatangan New York Agreement tidak diberi kesempatan untuk terlibat dalam PEPERA 1969.
Teror, intimidasi, dan pembunuhan dilakukan oleh militer Indonesia sebelum dan saat PEPERA 1969 untuk memenangkan PEPERA 1969 secara sepihak. Buktinya adalah Surat Rahasia Komandan Korem 172, Kolonel Blego Soemarto, No.: r-24/1969, yang ditujukan kepada Bupati Merauke selaku anggota Muspida kabupaten Merauke, isi surat tersebut:“Apabila pada masa poling tersebut diperlukan adanya penggantian anggota Demus (dewan musyawarah), penggantiannya dilakukan jauh sebelum musyawarah PEPERA. Apabila alasan-alasan secara wajar untuk penggantian itu tidak diperoleh, sedangkan dilain pihak dianggap mutlak bahwa anggota itu perlu diganti karena akan membahayakan kemenangan PEPERA, harus berani mengambil cara yang tidak wajar untuk menyingkirkan anggota yang bersangkutan dari persidangan PEPERA sebelum dimulainya sidang Demus PEPERA. Sebagai kesimpulan dari surat saya ini adalah bahwa PEPERA secara mutlak harus kita menangkan, baik secara wajar atau secara tidak wajar.” (Baca referensi: Ibid.: 72-73.)
Mengingat bahwa wilayah kerja komandan Korem 172 termasuk pula kabupaten-kabupaten lain di luar kabupaten Merauke, maka patut diduga keras surat rahasia yang isinya kurang lebih sama juga dikirimkan ke bupati-bupati yang lain.
Pada tahun 1967 Freeport-McMoRan (sebuah perusahaan milik AS) menandatangani kontrak Kerja dengan pemerintah Indonesia untuk membuka pertambangan tembaga dan emas di wilayah Pegunungan Papua, Papua Barat. Freeport memulai operasinya pada tahun 1971. Kontrak kerja kedua ditandatangani pada tanggal 30 Desember 1991. Kepentingan AS di Papua Barat, yang ditandai dengan adanya penandatanganan kontrak kerja antara Freeport dengan pemerintah Republik Indonesia, menjadi realitas. Ini terjadi dua tahun sebelum PEPERA 1969 dilaksanakan di Papua Barat. Di sini terjadi kejanggalan yuridis karena, Papua Barat dari tahun 1962 hingga 1969 dapat dikategorikan sebagai daerah sengketa.
Skenario PEPERA 1969, melanggar hukum, HAM dan esensi demokrasi, akhirnya diterima oleh PBB lewat Resolusi Nomor 2504 dan diratifikasi oleh Pemerintah Indonesia melalui Keppres Nomor 7 tahun 1971. Negara Indonesia mengklaim dan menjalankan praktek-praktek penjajahannya karena, Resolusi itu. Tetapi, inti dari isi Resolusi itu adalah “Mencatat Laporan, dari Sekjend PBB dan mengakui dengan apresiasi ‘pemenuhan tugas’ yang diberikan oleh Sekjend PBB kepada wakil-wakilnya atas dasar Perjanjian New York 15 Agustus 1962 antara Republik Indonesia dengan kerajaan Belanda terkait West New Guinea (Irian Barat). (Baca Referensi: Melinda Janki; West Papua dan Hak Penentuan Nasib Sendiri Dalam Hukum Internasional)
Resolusi Nomor 2504 dan diratifikasi oleh Pemerintah Indonesia melalui Keppres Nomor 7 tahun 1971, kemudian dalam pembentukan Undang-Undang (UU) Oleh Presiden Republik Indonesia, Nomor: 12 Tahun 1969 (12/1969), pada tanggal 10 September 1969 (Jakarta), Sumber: LN 1969/47; TLN NO. 2907. Tentang, Pembentukan Provinsi Otonom Irian Barat dan Kabupaten-Kabupaten Otonom di Provinsi Irian Barat.
Presiden Republik Indonesia menimbang bahwa sebagai tindak lanjut dari hasil PEPERA yang menetapkan Irian Barat tetap merupakan bagian dari NKRI dan untuk kepentingan pelaksanaan pemerintahan di Irian Barat yang efektif, demi kemajuan rakyat di Irian Barat, dipandang perlu Propinsi Irian Barat beserta Kabupaten-kabupatennya yang dibentuk dan diatur berdasarkan Penetapan Presiden No. 1 tahun 1962, Penetapan Presiden No. 1 tahun 1963, Keputusan Presiden No. 57 tahun 1963, Undang-undang No. 5 tahun 1969, segera diatur kembali sebagai Daerah-daerah Otonom, sesuai dengan ketentuan yang tercantum dalam pasal 6 Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara No. XXI/MPRS/ 1966.
Sebenarnya, hak veto tidak menjadi sebuah masalah jika digunakan sebagaimana mestinya. Namun, jika melihat kondisi saat ini hak veto digunakan untuk menentang prinsip-prinsip keadilan dan kebenaran atau merusak citra PBB sebagai penjaga perdamaian dunia. Jika, melihat lebih ke dalam lagi, serangan Israel ke Palestina jelas-jelas sudah melanggar hukum humaniter internasional yang ditetapkan sendiri oleh PBB. Tetapi, adanya veto justru membiarkan hukum humaniter dilanggar oleh Israel. Juga, pada rakyat dan bangsa Papua terkait Resolusi 2504. Hingga kini tidak ada satu proses penyelesaian untuk mengkaji ulang.
Hingga detik ini, masalah hak veto selalu membayangi legitimasi PBB. Dengan hak veto, maka setiap anggota tetap dari DK PBB dapat mempengaruhi terjadinya perubahan substansi secara besar-besaran dari suatu resolusi. Bahkan, hak veto mampu mengancam terbitnya resolusi yang dianggap tidak menguntungkan bagi negara pemegang veto.
Di kawasan regional yang sampai hari ini masih memperluas kepentingan ekonominya di Papua, ada Asia Pasifik, Eropa Barat dan lainnya, Afrika, Amerika Latin dan Karibia.
Hanya karena perluasan kepentingan ekonomi di Papua, dapat kita memahami bahwa tidak semuda membalikkan telapak tangan soal mengkaji ulang Resolusi 2504 di atas meja PBB. Tetapi, usaha-usaha unuk mengingatkan dunia adalah hal yang mendesak dan penting.
Kita dapat melihat dan memahami, seperti; BP dari UK, penghasil LNG di Teluk Bintuni: Tangguh Unit, Papua dan masih beroperasi. Conoco Phillips dari USA, penghasil LNG di Warim, Papua dan telah eksploitasi. CNOOC dari Cina, penghasil LNG di Teluk Bintuni: Tangguh Unit, Papua dan masih beroperasi. ECR Mineralsdari UK, penghasil Emas di Sungai Degeuwo, Paniai-Papua dan masih beroperasi. Freeport McMoran dari USA, penghasil Emas dan Tembaga di Timika: Grasberg Mine, Papua dan masih beroperasi. Hillgrove Resources dari Australia, penghasil Emas di Kepala Burung Peninsula, Papua dan telah eksploitasi. Killara Resources dari Australia, penghasil Batu Bara di Kepala Burung Peninsula, Papua dan Perusahaan ini baru diberitahukan. KG dari Jepang, penghasil LNG di Teluk Bintuni: Tangguh Unit, Papua dan masih beroperasi. Painai Gold dari Australia, penghasil Emas di Sungai Degeuwo, Papua dan masih beroperasi. PT. Akram Resources dari Indonesia, penghasil Emas di Kepala Burung Peninsula, Papua dan telah eksploitasi. PT. Anugerah Surya Indontama dari Indonesia, penghasil Nikel dan Kobalt di Raja Ampat: Kawe Island, Papua dan masih beroperasi. PT. Anugerah Surya Pratuma, penghasil Nikel dan Kobalt di Raja Ampat: Kawe Island, Papua dan masih beroperasi. PT. Kawe Sejahtera dari Indonesia, penghasil Nikel dan Kobalt di Raja Ampat: Kawe Island, Papua dan masih beroperasi. MI Berau dari Jepang, penghasil LNG di Teluk Bintuni: Tangguh Unit, Papua dan masih beroperasi. Nippon Oil dari Jepang, penghasil LNG di Teluk Bintuni: Tangguh Unit, Papua dan masih beroperasi. Queensland Nickel dari Australia, penghasil Nikel dan Kobalt di Raja Ampat, Papua dan masih mengimpor-impor Nikel. Rio Tinto dari Australia, penghasil Emas dan Tembaga di Timika: Grasberg Mine, Papua dan masih beroperasi. Santos dari Australia, penghasil Oli di Kau, Cross Catalina, Papua dan sudah mengeksploitasi. Talisman Energy dari Canada, penghasil LNG di Teluk Bintuni, North Semai, Papua dan masih beroperasi. West Wits Mining Ltd dari Afrika Selatan, penghasil Emas, LNG di Sungai Degeuwo,Paniai-Papua dan masih beroperasi. (Daftar perusahaan asing:Nonton BloombergTV!).
Dan melalui MP3EI, proyek MIFEE di dalamnya ada 36 investor pun masih beroperasi di Tanah Papua bagian Selatan. Di Merauke, dalam sambutan Presiden Indonesia, Jokowidodo saat di Kurik, Merauke pada 10 Mei 2015 bahwa 1,2 juta hektar harus selesai dalam waktu tiga atau empat tahun bagi pangan berbasis internasional. Dan sekitar 300 ribu lebih hektar sedang beroperasi untuk Kelapa Sawit, di luar dari 1,2juta hektar itu (Sumber: Nonton Video Ekspedisi Indonesia Biru! "The Mahuzes").
Dari data anggota tetap dan tidak tetap DK PBB hanya 20 persen negara yang belum memperluas kepentingan ekonominya di Tanah Papua. Artinya, yang menjadi fokus adalah Pertama, dalam lobi-lobi aspirasi rakyat Papua dan niat klaim Indonesia, manakah yang akan memenangkan kepentingan ekonomi salah satu negara di Asia Pasifik, Eropa Barat dan lainnya, Afrika, Amerika Latin dan Karibia di Papua. Sementara itu, AS, Inggris, dan Tiongkok sudah jauh melakukan perluasan ekonominya di Papua. Mereka adalah pemegang hak Veto atau anggota tetap DK PBB. Berinduk dari mereka, banyak negara-negara yang biasanya mendapatkan bantuan, negara-negara yang menempel pada saham asing pemegang hak veto, bahkan ada juga negara-negara yang tersendiri menaru saham ekonominya di Papua. Aspirasi rakyat Papua pada PBB ibarat melempar batu dalam lautan luas yang tidak memberikan reaksi apa pun, tenggelam dalam ombak dan asingnya air.
Negara adidaya, super power kapitalisme, AS telah menggandeng negara-negara sekutunya melalui Dana Moneter Internasional (DMI atau IMF). Sebuah organisasi internasional yang beranggotakan 188 negara yang bertujuan mempererat kerja sama moneter global, memperkuat kestabilan keuangan, mendorong perdagangan internasional, memperluas lapangan pekerjaan sekaligus pertumbuhan ekonomi berkelanjutan.
Setelah DMI didirikan, tiga fungsi utamanya adalah mengawasi kesepakatan nilai tukar tetap antar negara, membantu pemerintah mengelola nilai tukarnya sehingga memungkinkan pertumbuhan ekonomi, dan menyediakan modal jangka pendek untuk membantu neraca pembayaran.
Menurut DMI sendiri, organisasi ini berusaha mendorong pertumbuhan dan kestabilan ekonomi global dengan mengeluarkan kebijakan, saran, dan dana kepada anggota serta bekerja sama dengan negara berkembang untuk membantu mereka mencapai kestabilan ekonomi makro. DMI merundingkan syarat pinjaman sesuai kebijakan kondisionalitas yang ditetapkan tahun 1950-an. Negara berpendapatan rendah boleh meminjam dalam jangka konsesi, artinya ada periode peminjaman tanpa bunga, melalui Extended Credit Facility (ECF), Standby Credit Facility (SCF), dan Rapid Credit Facility (RCF). Pinjaman non-konsesional yang mencakup bunga disalurkan melalui Stand-By Arrangements (SBA), Flexible Credit Line (FCL), Precautionary and Liquidity Line (PLL), dan Extended Fund Facility.
DMI secara tidak langsung membunuh nurani pemerintah dan meruncingkan pada keharusan perluasan ekonomi tanpa memahami masyarakat pribumi setempat. Karena, negara peminjam diberi jatuh tempo. Jika, mendekati masa-masa jatuh tempo dan belum ada pengembalian maka ekonomi berkelanjutan sudah menjadi pasar DMI. Jangan heran jika di Indonesia, sistem pemerintahnya menindas rakyatnya, apalagi rakyat Papua. Tanah rakyat telah menjadi milik negara-negara pemodal di DMI dan rakyat kehilangan hak sipil-politik, juga hak ekonomi, sosial-budaya.
Aspirasi rakyat tumpul pada hak veto. Nurani PBB dan jiwa kemanusiaan didalamnya dikontrol kepentingan imperialisme.
Dengan demikian, Hak veto dan PEPERA 1969 (Resolusi 2504) yang salah diartikan perlu dibahas dan kaji bersama agar tidak berakibat pada pelanggaran HAM bahkan kepunahan bagi masyarakat pribumi Papua. Contoh kasus, Orang Indian di AS dan Orang Aborigin di Australia, juga Orang Papua di persaingan Imperialisme negara-negara melalui pintu Indonesia (NKRI).
Sumber data oleh Jim Elsmslie, sebuah laporan dari Universitas Sydney pada tahun 2011. Dari tahun 1971, penduduk orang Papua; 887.000 jiwa dan Pendatang; 36.000 jiwa, dengan jumlah keseluruhan penduduk; 923.000 jiwa. Pada tahun 1990, penduduk orang Papua; 1.215.897 jiwa dan pendatang; 414.210 jiwa, dengan jumlah keseluruhan penduduk; 1.630.107 jiwa. Pada tahun 2005, penduduk orang Papua; 1.558.795 jiwa dan pendatang; 1.087.694 jiwa, dengan jumlah keseluruhan penduduk; 2.646.489 jiwa. Pada tahun 2011 data penduduk orang Papua; 1.700.000 jiwa dan Pendatang; 1.980.000 jiwa, dengan jumlah keseluruhan 3.680.000 jiwa.
Jika, hal ini dibiarkan maka penduduk pendatang akan mendominasi dan penguasa Indonesia akan mempolitisasi rakyat indonesia yang jelas-jelas ditindas oleh penguasa dan presidennya sendiri hingga dibenturkan dengan rakyat Papua Barat. Sementara, tiga negara hak veto masih “keras kepala dan nurani”.
Juga, citra PBB sebagai Lembaga Perdamaian Dunia akan semakin menumpul. Sementara, akan meruncingkan pada suatu negara maupun kolektif pada kepentingan imperialisme. Hal ini seperti sebuah bom waktu yang mungkin akan memicu pada perang dunia ke-III.
Penulis adalah masyarakat pribumi Papua. Peduli Hak Menentukan Nasib Sendiri, juga aktif di Biro Politik, Pengurus Komite Pusat Aliansi Mahasiswa Papua