ilustrasi gambar negara liberal |
Negara merupakan titik api yang terus membakar perjuangan tanpa henti yang dilakukan oleh rakyat Papua. Tidak ada tawaran lain yang dapat membendung semangat pembebasan yang terus dikobarkan. Berbagai produk-produk politik dikeluarkan oleh pemerintah kolonial. Uang miliaran sampai triliunan rupiah dihamburkan ke Papua, namun tidak mampu menyurutkan perlawanan. Justru semangat perlawanan rakyat Papua semakin melangit. Bahkan rakyat Indonesia mulai terang-terangan menyatakan aspirasi agar Papua dapat lepas dari cengkeraman kekuasaan pemerintah kolonial Indonesia.
Perlawanan rakyat yang semakin meningkat—bersamaan dengan keran-keran militer terus dibuka lebar-lebar oleh pemerintah kolonial Indonesia guna melindungi aktivitas eksploitasi serta membungkam tuntutan-tuntutan demokratis rakyat. Walaupun, tuntutan tersebut telah diatur dan didukung dalam alinea pertama UUD 1945, yang secara isinya bahwa kemerdekaan ialah hak segala bangsa, pemerintah kolonial Indonesia tetap kepala batu, membungkam serta tidak memberikan kebebasan bagi rakyat Papua untuk menentukan nasibnya sendiri.
Tentu demikian, selama kelas-kelas dalam masyarakat yang merupakan akar dari hasrat untuk saling menghisap masih berjaya. Ibarat percikan api yang tercipta akibat besi yang digores-goreskan pada permukaan aspal, kontradiksi antara rakyat Papua dan pemerintah Indonesia pun menciptakan berbagai pemerhati HAM mencipratkan pandangannya terkait kekerasan kemanusiaan yang terjadi di bumi Papua. Namun demikian, pemerintah Indonesia tetap keras kepala. Tidak ada kebijakan pengurangan militer dari Papua. Militer justru diberikan keleluasaan untuk merampas lahan-lahan masyarakat adat untuk membuat camp-camp pertahanan keamanan kolonial Indonesia. Hal tersebut semakin mengiakan bahwa Sumber Daya Alam (SDA) Papua merupakan jantung daripada penjajahan yang terus berlanjut di Papua. Dalam memahami perang ekonomi yang dibungkus isu politik yang sedang terjadi, penting untuk dipahami tentang apa itu negara, yang mengakibatkan rakyat Papua dan pemerintah Indonesia tidak pernah menghentikan perang dalam memperjuangkannya.
Negara merupakan sintesis dari pro dan kontra terhadap sistem feodalisme. Menurut Lenin Negara adalah wujud daripada tidak terselesaikannya pertentangan antara tuan penghisap dengan hamba yang terhisap. Masyarakat dunia pada umumnya mulai berbicara tentang negara pada abad pertengahan. Ketika para pemikir liberal seperti Thomas Hobbes, Jhon Locke-Montesquiew, dan J. J. Rosseau mulai berpikir bahwa kekuasaan mutlak feodalisme gereja tidak masuk akal dan keliru. Kekuasaan feodal yang menempatkan raja yang memegang kekuasaan tunggal mulai dianggap memasung kebebasan individu, terutama bagi para bangsawan yang berhasrat tinggi untuk mengakumulasikan modal.
Pada abad ke-16, seiring dengan semangat otonomi manusia dalam merumuskan kebenaran pada Zaman Pencerahan, pemisahan antara pemerintahan dan agama mulai dituntut oleh para pemikir liberal. Pada masa itu peran agama mulai melemah dan orang kembali mendasarkan hidupnya pada ilmu pengetahuan yang rasional. Dampak dari perkembangan ini adalah pada proses legitimasi kekuasaan negara. Kekuasaan raja-raja dianggap sebagai sesuatu yang tidak rasional dan mengalami erosi.
Setidaknya selama 200.000 tahun manusia hidup di muka bumi, negara baru ada beberapa ribu tahun belakangan ini. Sebelum ada negara, manusia hidup bercorak produksi secara komunal. Pada era komunal primitif, manusia hidup dalam kelompok-kelompok yang disebut komune. Di Papua, negara baru lahir pada tahun 1961 yang ditandai dengan deklarasi negara West Papua, yang didorong oleh euphoria pembebasan wilayah-wilayah koloni setelah perang Imperialisme pada Perang Dunia ke-II. Dari sejarah singkat itu dapat disimpulkan bahwa semangat bernegara di Papua baru muncul sekitar setengah abad lebih yang lalu.
Negara merupakan bentuk pemerintahan baru setelah masa kekuasaan tunggal feodalisme dihancurkan. Terciptanya negara merupakan kemenangan dari kaum borjuasi menghancurkan tatanan feodalisme. Menurut Alan Woods, penulis dan peneliti di In Defence of Marxism, negara bangsa adalah produk dari kaum bourjuasi. Negara bangsa dibentuk oleh kaum borjuasi yang membutuhkan pasar nasional. Kaum borjuasi menghancurkan halangan-halangan lokal, dengan daerah-daerah lokal yang kecil, dengan pajak-pajak lokal mereka, tol-tol jalan, sistem keuangan yang beraneka ragam, sistem perhitungan dan timbangan yang berbeda-beda.
Berikut sekilas tentang cikal-bakal teori tentang negara yang dikembang oleh para pemikir liberal.
a. Thomas Hobbes tentang Negara
Pemikiran Thomas Hobbes muncul ketika masyarakat hidup dalam keadaan menderita akibat perang saudara di inggris sedang menggeliat. Thomas Hobbes merupakan seorang filsuf beraliran Empirisme pemikirannya tentang negara dikenal dengan Teori Perjanjian Negara. Teori Hobbes berpijak pada sebuah pengandaian penting menurutnya yang menyatakan bahwa sebelum adanya struktur sosial, manusia hidup dalam keadaan alamiah, bebas, dan hanya dinaungi hukum alam yang membatasi manusia.
Dalam masyarakat ini, yang berlaku adalah ius naturalis atau hukum alam, dimana tiap-tiap orang berusaha mempertahankan dirinya untuk hidup, kalau perlu dengan menyerang orang lain. Dalam keadaan seperti ini, setiap individu selalu merasa tak aman, selalu dalam keadaan ketakutan atas keselamatan dirinya, karena pada dasarnya manusia adalah serigala bagi orang lain (homi homini lupus).
Dengan dasar hidup yang tidak aman, maka dibentuklah sebuah kesepakatan atau perjanjian bersama yang bertujuan untuk membatasi dan melarang kemerdekaan alamiah dari setiap orang. Perjanjian ini lalu diserahkan kepada seorang ataupun kepada majelis. Hobbes kemudian menambahkan perlu diangkat seorang raja yang memiliki kebebasan mutlak, untuk menentukan segala-galanya. Bahkan, Hobbes melanjutkan, raja tidak dapat melanggar hukum, karena raja merupakan hukum itu sendiri.
b. John Locke
Pemikiran John Locke juga tidak berbeda jauh dengan pemikiran Hobbes, masih bertitik tolak pada keadaan alamiah manusia yang mendahului eksistensi negara. Namun Locke menghapus kekuasaan mutlak raja. Bagi Locke dalam keadaan alamiah manusia bebas menentukan dirinya dan menentukan hak miliknya. Semua manusia sama, dalam arti bahwa semua memiliki hak yang sama untuk mempergunakan kemampuannya.
Menurut Locke semua manusia mempunyai hak-hak yang tidak dapat dibatasi oleh siapapun, hak tersebut adalah hak atas kehidupan, hak atas kemerdekaan, ha katas milik pribadi. Bila ketiga hal ini dilanggar maka kekacauan akan terjadi. Menurutnya, negara diciptakan karena suatu perjanjian kemasyarakatan antara rakyat. Tujuannya ialah melindungi hak milik, hidup dan kebebasan, baik terhadap bahaya-bahaya dari luar. Orang memberikan hak-hak alamiah kepada masyarakat, tetapi tidak semuanya. Maka John Locke memisahkan kekuasaan eksekutif dan legislative, yang kemudian disempurnakan oleh Montesquieu dengan teori trias politika yang menjadi ajaran yang paling popular saat ini tentang negara.
c. Jean-Jacques Rousseau
Sama halnya dengan Hobbes dan Locke serta Montesquieu, Rosseau mengakui keadaan alamiah manusia sebelum negara terbentuk. Menurutnya manusia itu tidak ada yang baik dan tidak ada yang buruk. Yang membedakan JJ Rosseau dan Locke adalah persoalan kepemilikan pribadi, yang menurut Locke adalah sebuah keadilan, namun bagi Rosseau adalah sumber kejahatan dan ketidakadilan.
Bagi Rosseau dan Locke kekuasaan negara terletak pada rakyat yang memberikan kebebasan mereka pada negara. Negara ini pada gilirannya menjadi kehendak umum. Sejauh kehendak manusia diarahkan untuk kepentingannya sendiri atau kepentingan kelompoknya, kehendak mereka memang tidak bersatu, bahkan saling berlawanan. Tetapi sejauh diarahkan pada kepentingan umum bersama satu bangsa, semua kehendak itu bersatu dan menjadi satu kehendak, yaitu kehendak umum.
Kehendak pada kepentingan umum itulah yang menjadi basis bagi konstruksi negara Rosseau. Undang-undang harus merupakan ungkapan kehendak umum itu. Tidak ada perwakilan rakyat, kehendak rakyat tidak dapat diwakili. Rakyat sendiri harus berkumpul dan menyatakan kehendaknya melalui perundangan yang diputuskannya. Pemerintah hanya sekedar panitia yang bertugas melaksanakan keputusan rakyat. Jadi, rakyat memerintah sendiri secara langsung, apa yang dikehendaki rakyat itulah hukum. Maka, negara menjadi republik, res publica, atau urusan umum. Yang hingga kini dipakai oleh beberapa negara, salah satunya Republik Indonesia.
Tentang negara, berbagai kalangan berpandangan bahwa negara merupakan institusi pendamai, yang ada untuk mendamaikan konflik. Di samping, kaum bourjuasi yang terus menyebarkan pandangan Hobbes tentang negara sebagai struktur alamiah pengatur ketertiban masyarakat. Namun demikian, Lenin justru berkesimpulan bahwa, negara merupakan alat penindasan.
Berbagai kalangan di Papua dewasa ini menyimpulkan bahwa dengan adanya negara Papua yang terpisah dari Indonesia, dapat membebaskan Papua dari berbagai penindasan terutama kapitalisme. Berbagai kalangan mulai membahas tentang konstruksi negara yang akan dipakai ketika Papua terlepas dari kekuasaan Indonesia, hal yang terlalu dini di atas kondisi social yang masih terhegemoni dan teralienasi. Berbagai kelompok saling berambisi untuk meloloskan konstruksi negara versi masing-masing kelompok tanpa menyinkronkannya pada sisi ekonomi yang merupakan titik sentral daripada gerak dan perubahan tatanan sosial.
Kelompok tersebut secara kasar dapat dicap sebagai kelompok pencari kekuasaan dan jabatan. Seperti yang pernah dinyatakan Tan Malaka bahwa, bila hanya politik yang diperjuangkan tanpa diiringi perjuangan merebut kekuasaan rakyat atas ekonomi maka perjuangan itu tidak lebih hanya merupakan perjuangan untuk mencari jabatan dan kekuasaan. Terbukti bahwa, kemerdekaan Republik Indonesia hanya memberikan kemerdekaan bagi kaum bourjuis pribumi untuk menindas kaum proletariat pribumi itu sendiri. Penjajah Belanda dan Jepang diganti posisinya oleh kaum penindas Indonesia yang merupakan makelar-makelar pelayan Imperialisme. Hal tersebut perlu diperbincangkan lebih dalam, bahwa negara sebenarnya negara bukan solusi akhir namun solusi sementara untuk mengakhiri penindasan antar umat manusia di Papua.
Negara tidak lebih, hanyalah jembatan untuk membawa rakyat menuju pembebasan seutuhnya, yaitu dengan menghapus kelas-kelas dalam umat manusia. Negara merupakan sebuah alat yang dibangun untuk melayani kepentingan kelas tertentu. Negara Republik Indonesia merupakan salah contoh yang dapat diambil pelajaran pentingnya bahwa, kemerdekaan tidak mampu dirasakan selama kelas-kelas masih ada. 71 tahun kemerdekaan Indonesia belum mampu membawa rakyat Indonesia menuju pembebasan. Rakyat Indonesia hanya bebas mengibarkan bendera Merah Putih, sementara di sisi yang lain penindasan justru semakin masif.
Tentu hal tersebut tidak perlu ulangi oleh rakyt Papua, kemerdekaan Papua tidak boleh memberikan kebebasan bagi kaum bourjuis yang akan tumbuh di Papua untuk menindas kaum proletariat Papua melalui institusi negara. Hal ini perlu didiskusikan dengan seksama, sebab system yang berkuasa (Kapitalisme) terus memainkan peran untuk menjaga kekokohan system tersebut untuk tetap berjaya melalui kerja-kerja hegemoni. Dalam hal mempertahankan kekuasaannya Ted Sprague dalam tulisannya menjelaskan bahwa, teori-teori politik yang sudah ada ini, yang dominan di dalam masyarakat, tidak lain adalah teori-teori borjuis. Ini karena kelas yang berkuasa mempertahankan kekuasaannya tidak hanya dengan senjata dan kekerasan, tetapi terutama dengan nilai-nilai, moralitas, gagasan, dan filsafat. Mereka yang berkuasa tidak hanya dengan polisi dan tentara saja, tetapi juga dengan para nabi-nabi bayaran mereka, yang mereka tempatkan di sekolah-sekolah, kantor-kantor, media, tempat-tempat ibadah, dan di setiap sudut dimana rakyat ini mencari pengetahuan. Berikut merupakan praktik daripada negara liberal yang merupakan ladang subuh bagi kejayaan kapitalisme. Mari kita simak, wajah negara di bawah kekuasan diktatur bourjuis.
Kekuasaan Diktatur Borjuis
Sejarah umat manusia merupakan sejarah pertentangan kelas. Di masa perbudakan, terdapat kelas budak yang bertentangan kepentingan dengan tuan budak, di masa feudal ada tuan tanah dan hamba. Di bawah tatanan kapitalisme, ada dua kelas yang tercipta yaitu, kaum proletariat (buruh dan rakyat terhisap lainnya) dan bourjuis (pemilik modal). Negara merupakan alat yang dipakai oleh salah satu kelas yang terdapat di dalamnya. Kekuasaan negara yang ada di bawah kuasa kapitalis yang disebut Lenin sebagai kekuasaan diktatur borjuis, yang ada untuk menindas kaum proletariat. Segala kebijakan dibuat oleh segelintir kaum bourjuis, tanpa dikontekstualkan dengan realitas social. Kebijakan yang cenderung mendukung kepentingan kelas bourjuis itu sendiri. Negara adalah hasil dan perwujudan dari tidak terdamaikannya pertentangan kelas. Negara muncul ketika pertentangan di antara kelas tak dapat didamaikan.
Negara memiliki dua sendi terpenting yang menurut Althusser, apparatus represif dan apparatus ideology. Kedua sendi tersebut dalam tulisan Lenin tentang Negara dan Revolusi disebutkan sebagai tentara dan birokrasi yang digunakan untuk melanggengkan penindasan terhadap kaum proletariat. Lebih rinci dijelaskan dalam tulisan Leon Kastayudha, bahwa negara memiliki ciri tiga ciri khas, yaitu pemerintah alat yang digunakan untuk menciptakan dan mensahkan aturan kaum bourjuis; tentara yang bertugas sebagai keamanan aktivitas akumulasi modal; dan penjara, tempat bagi kelompok yang memberontak melawan system bourjuis.
Untuk mengelabui pandangan dan meredam kemarahan rakyat, terdapat pula lembaga-lembaga yang diciptakan untuk menurunkan panasnya konflik antara kaum tertindas dan kaum penindas. Dalam pandangan Lenin, seluruh lembaga yang terdapat dalam sebuah negara di bawah tatanan kapitalisme dikontrol langsung oleh klas borjuis. Fungsi utama lembaga-lembaga tersebut adalah untuk menggerakkan kekerasan. Misalnya kasus-kasus berdarah yang terjadi di Papua. Berbagai lembaga HAM, terutama komnas HAM berkoar-koar, untuk menenangkan kemarahan rakyat. Sementara kasus tidak pernah diselesaikan.
Segala hukum yang diberlakukan dalam negara diktatur borjuis, cenderung memihak kepada kelompok yang menindas. Hukum yang diciptakan hanya untuk membendung gejolak perlawanan yang dilakukan oleh kelompok yang tertindas, misalnya kamerad Steven Itlay yang ditangkap hanya karena menggelar ibadah, dipenjarakan tanpa bukti hukum yang jelas di Papua. Atau kawan Obby Kogoya dan kawan Hakam yang dikriminalisasi di Jawa. Berbeda dengan Mayjen Hartomo pembunuh Theiys Eluai dan Tito Karnavian pembunuh Mako Tabuni yang justru pangkatnya semakin melambung.
Segala pembangunan yang dilakukan negara hanya untuk melayani para kapitalis, tidak untuk kepentingan rakyat. Misalnya di Papua, pemerintah Indonesia membangun jalan trans Papua dan rel kereta, kebijakan penyetaraan harga BBM, dan pembangunan pembangkit listrik yang bertegangan tinggi. Hal itu dibangun tentu bukan untuk kemakmuran rakyat tetapi merupakan pembangunan fasilitas untuk memanjakan para kaum pemodal. Teringat seorang kawan dari Dayakologi mengingatkan bahwa para kapitalis TNC kini sedang menyiapkan skema untuk menghisap SDA di Papua, setelah Sumatera dan Kalimantan dijarah oleh mereka. Ratusan ribu hektar tanah adat yang dirampas negara demi pembangunan proyek pangan nasional MIFEE tanpa mempedulikan masyarakat adat pemilik tanah.
Negara merupakan objek yang digunakan untuk meloloskan kepentingan kelas. Tidak hanya di Papua, banyak kelas proletariat dan rakyat tertindas lainnya di Indonesia yang ditindas oleh kaum borjuis, hal ini dapat diterawang dengan melihat kenyataan penggusuran-penggusuran yang dilakukan di berbagai wilayah di Parang Kusumo, Cemara Sewu, Kulon Progo (Jawa pada umumnya), Bali, Sumatera, Kalimantan, dll.
Dalam hal demokrasi pun demikian. Demokrasi dalam negara bourjuis merupakan demokrasi “baku tipu”, yang dipraktikkan untuk membangun ilusi dan mengelabui pandangan umum. Demokrasi yang dipraktikkan hanya berlaku bagi pemodal dan keum yang tidak merugikan kekuasaan kapitalisme serta menjunjung kepentingan kaum bourjuis. Berpendapat di muka umum diatur dalam UU namun hanya diperuntukkan bagi kaum pemodal, misalnya aksi 411, polisi membiarkan aksi berjalan damai tanpa penyitaan peralatan seperti aksi buruh November 2015 atau penghadangan aksi 1 Desember Mahasiswa Papua pada tahun 2015 atau aksi FRI West Papua 1 Desember 2016. Kebebasan berpendapat di muka umum bagi rakyat dipasung. Kriminalisasi, stigma, dan intimidasi dilayangkan bagi rakyat ataupun ancaman DO bagi aktivis mahasiswa. Ada kebebasan pers yang diatur, namun kebebasan itu dikuasai dan diperuntukkan bagi kelas boujuasi, tidak bagi rakyat. Pers dan media digunakan menyebarkan pandangan-pandangan yang menjunjung kepentingannya, misalnya membangun moralitas, budaya, dan nilai-nilai yang mengintimidasi rakyat tertindas.
Dalam pandangan Marxis, negara tidak lebih, dipandang sebagai suprastruktur yang lahir akibat pertentangan antar kelas itu sendiri. Pertentangan antara kelas yang memiliki dan kelas yang tidak memiliki alat produksi. Sama seperti lembaga hukum, budaya, adat, dan agama yang lahir untuk mendukung kepentingan kelas tertentu. Fungsi ideologis dari suprastruktur adalah untuk melindungi kepentingan kelas yang menguasai kekuatan produksi.
Negara merupakan alat politik yang digunakan oleh segelintir orang yang berkuasa untuk menjunjung kepentingannya, terutama dalam hal ekonomi. Marx pernah menyatakan bahwa, negara sebagai sebuah instrument politik yang digunakan oleh kelas yang berkuasa. Hakekat negara sesungguhnya adalah alat pemaksaan yang digunakan oleh kelas yang sedang berkuasa untuk memadamkan kemungkinan perlawanan dari kelas yang sedang dihisap secara ekonomi. Maka tidak dapat dipungkiri bahwa kelas yang berkuasa ini akan terus mendaratkan militer tanpa henti di Papua, walau pun berbagai lembaga-lembaga HAM terus menggertak pemerintah Indonesia.
Berdiskusi tentang negara bagi Marx bukanlah sebuah gagasan atau tujuan menuju pembebasan. Pembebasan yang sesungguhnya tercipta ketika kelas-kelas dalam umat manusia, tidak hanya di Papua atau Indonesia namun di seluruh dunia telah dihapuskan. Marx menolak ide-ide liberal tentang negara, seperti yang digunakan dewasa ini. Menurut Marx negara berpersfektif liberal merupakan ladang paling subur bagi kejayaan kapitalisme. Sekalipun John Locke, Montesquiew, dan JJ Rosseau telah menetapkan lembaga yudikatif dan legislative serta rakyat umum untuk membatasi kekuasaan tunggal lembaga eksekutif.
Posisi AMP
Revolusi dalam kebangkitan rakyat bangsa Papua tidak boleh terlepas dari kesadaran rakyat itu sendiri. Rakyat memahami dan bangkit melawan! Sebab, bahwa hidup merdeka adalah hak asasi setiap manusia, yang melekat pada manusia, baik secara pribadi maupun secara kolektif. Tidak ada alasan apapun oleh siapapun, dalam bentuk apapun, dan kapanpun untuk hidup saling menjajah dan menindas. Karena, setiap manusia, baik secara pribadi maupun kolektif diciptakan hidup merdeka. Dalam kemerdekaan itu, setiap manusia mempunyai kedaulatan di dalam dirinya sendiri maupun dalam kolektifitas.
Namun, nyatanya penjajahan merajalela di seluruh dunia. Manusia yang satu menjajah manusia yang lain, baik secara pribadi maupun kolektif, sehingga tak ada nilai kemanusiaan yang dijunjung tinggi. Akibatnya, yang menjajah dan menindas terus mempertahankan eksistensinya akan kejayaannya, sementara yang terjajah dan tertindas terus berjuang untuk merdeka dari segala bentuk penjajahan dan penindasan.
Sampai hari ini, Rakyat bangsa Papua sebagai bagian dari manusia semesta berada dalam tirani penindasan, Indonesia sebagai penjajah yang terus mempertahankan sistem penjajahannya dan Ekonomi-Kapitalis yang terus mempertahankan-memperluas wilayah eksploitasinya hingga rakyat tiada henti ditindas. Akibatnya, ribuan rakyat bangsa Papua telah, sedang dan akan terus terbunuh di atas Tanah Leluhurnya. Sumber Daya Alam akan terus dieksploitasi dengan cara cantik sampai kejih, rakus, dan habis-habisan. Rakyat bangsa Papua sebagai manusia yang pada hari ini tersisa harus bangkit untuk memperjuangkan kemerdekaan penuh, tanpa ada titipan dari kapitalisme melalui pola liberalisme dalam bentuk apa pun.
Menyadari sepenuhnya kondisi keterjajahan, tirani penindasan, dan perjuangan kemerdekaan rakyat bangsa Papua untuk merdeka dan berdaulat di atas Tanah Leluhurnya, maka kita harus menghapus hal-hal “sepihak”, dan menghapus hal-hal “perbedaan”. Berhati-hati dalam perjalanan Revolusi kita sebab, kekuasaan diktatur Borjuis akan memakai nama dalam penjelmaan dirinya sebagai “Negara”.
Seperti halnya, Revolusi. Jika, Revolusi itu “gerak” maka, rakyat sebagai objek harus bergerak. Aliansi Mahasiswa Papua (AMP) Independen dan hadir untuk merevolusionerkan perjuangan Pembebasan Nasional Papua Barat. Kita harus memahami kehidupan rakyat, cara dan pola pikir dalam keseharian hidup. Dan bagi rakyat dalam perjuangan kelasnya, kita menjadi murid. Dari situlah, Kita dapat memberikan panduan agar Rakyat dapat membebaskan diri dari Tirani Penindasan Imperialisme, Kolonialisme, dan tidak takut terhadap Militerisme.
(Bersambung ….)