Ilustrasi gambar |
Penulis: Robert William*
Melihat dari pengalaman penjajah Apartheid di Afrika Selatan, pada tahun 1978, saat Pieter W. Botha menjadi perdana menteri, Pieter menjalankan politik adu-domba dengan memecah belah persatuan rakyat Afrika selatan dengan mendirikan negara – negara boneka seperti : Transkei, negara boneka Bophuta Tswana; negara boneka Venda; dan negara boneka Ciskei.
Dalam konteks Papua Barat, pemerintah Republik Indonesia melakukan pemekaran Provinsi dan Kabupaten-Kabupaten boneka di seluruh tanah Papua untuk mengadu domba dan memecah-belah keutuhan, kebersamaan dan kekuatan serta nilai luhur orang asli papua barat yang telah di turunkan turun-temurun.
Bangsa Indonesia juga mempunyai pengalaman selama 350 tahun bersama Belanda. Kolonialisne Belanda mempunyai istilah “Politik Devide Et’impera” artinya pecah belah jajahan”.
Bukan hal yang rahasia lagi, bahwa sudah lebih dari 53 tahun pemerintah pusat memetakan Papua sebagai “wilayah bermasalah atau daerah konflik” yang tidak pernah di selesaikan hingga hari ini. Dalam hal ini penduduk asli Papua yang berbicara tentang permasalahan Papua yang sedang terjadi, dia akan di curigai sebagai “separatis” dan di posisikan sebagai “musuh berpotensial” yang harus di waspadai, karena sewaktu-waktu dapat menjadi ancaman serius bagi keutuhan NKRI. Pengkondisian seperti ini telah menimbulkan berbagai implikasi dan komplikasi yang tidak menguntungkan kehidupan penduduk asli Papua sebagai manusia--warga negara Indonesia yang caplok-- dan selama ini tidak pernah ada usaha yang sungguh-sungguh untuk menyelesaikannya.
Dulu sejak 1 Mei 1963, pemerintah Indonesia sudah menerapkan politik Devide Et’impera dan ajaran-ajaran Machiavelli dalam menangani “daerah yang baru di kuasainya itu”.
Orang asli Papua belum sempat bernafas legah di dunia kemerdekaan yang di janjikan bung karno, mereka sudah di kelompokan menjadi dua kelompok yang dengan sangat mudah dapat di adu domba, yaitu : “kelompok merah putih” yang patut di rangkul melawan “kelompok pro belanda atau pro papua merdeka” yang patut di curigai dan di lawan. Melalui politik Devide et’impera itulah di mana pelanggaran HAM dan penjajahan Bangsa Papua serta orang asli Papua sendiri di kategorikan sebagai kelompok musuh hingga hari ini. Belum pernah ada kasus pelanggaran HAM di Wilayah Papua terselesaikan secara adil dan transparan, karena memang Papua adalah wilayah bermasalah (cara indonesia meneropong papua), sehingga yang berlaku di tanah Papua adalah Hukum Perang.
Indonesia Melabeling bangsa West Papua dengan sebutan, musuh revolusi, antek-antek kolonial belanda, OPM, GPK, Clandestine, dan Separatis. semua label-label yang di sebutkan ini adalah merupakan justifikasi dari kolonialisme Indonesia untuk selalu membuat atau mempertahankan papua sebagai wilayah yang bermasalah. Oleh karena itu mereka yang di tuduh musuh-musuh Indonesia jarang ada yang di tangkap dan di adili secara terbuka melalui prosedur hukum yang berlaku, dan yang dipraktekan oleh kolonilaisme Indonesia melalui aparatur negaranya adalah “langsung tembak mati di tempat”.
Kita juga mengenal pemetaan dalam Politik Devide Et’impera yang dilakukan pemerintah Indonesia terhadap rakyat Papua, seperti “ utara vs selatan”, pantai vs pegunungan”, biak vs serui”, dan yang terakhir ”pro NKRI vs pro separatis”, bahkan yang lebih parah lagi mereka menuduh “gereja terlibat saparatis”, seolah-olah ada suku Bangsa Papua dan Papua Barat, sehingga dengan kondisi seperti ini akan terus berlanjut sebagai cara dan bentuk pemecah-belahan di Papua yang memang penduduknya sudah sangat memenuhi syarat untuk di pecah-belah berdasarkan kemajemukan suku, budaya, perbedaan tingkat pendidikan serta kesenjangan kemajuan ekonomi politik di daerah masing-masing.
Dengan memetakan penduduk asli Papua sebagai “ancaman” atau “musuh negara”, maka seluruh strategi dan kebijakan dalam bidang pemerintahan dan pembangunan di wilayah itu selanjutnya didesain untuk membuat penduduk asli papua tidak berdaya. Bukti-bukti dari implementasi kebijakan nasional yang tidak tertulis tersebut dapat di pelajari dari sejarah papua yang tidak tertulis selama integrasi 48 tahun lalu.
Di bidang pemerintahan sejarah Papua mencatat bahwa selama lebih dari empat dekade jabatan-jabatan penting di bidang pemerintahan, mayoritas di percayakan kepada orang luar karena alasan sumber daya manusia papua yang “berkualitas rendah” dan belum siap untuk menduduki jabatan-jabatan tersebut. Alasan sebenarnnya yang tak mungkin di ungkapkan secara terbuka adalah bahwa pemerintah pusat tidak mempercayai orang papua untuk menduduki jabatan-jabatan tertentu karena mencurigai mereka sebagai musuh potensial NKRI. hampir semua orang papua memiliki potensi dan kualifikasi untuk menduduki jabatan-jabatan tertentu dan juga pasti memiliki “labeling khusus” sebagai orang yang patut di curigai karena mempunyai hubungan dengan gerakan saparatis dan apabila sewaktu-waktu orang tersebut tidak di sukai atau tidak di butuhkan lagi maka identitas tersebut akan menjadi senjata pemungkas untuk menjegalnya. Contoh khusus seperti pernah di ungkapkan melalui hasil kajian DIRJEN KESBANG DEPDAGRI yang bocor, yang memetakan para elit Papua dan penduduknya menjadi dua kelompok besar yaitu mereka yang “pro NKRI” dan mereka yang “separatis atau pro kemerdekaan”
Di bidang kemasyarakatan tercatat dalam sejarah kehidupan rakyat papua bahwa selama lebih dari empat dekade pemerintah tidak mengakui secara terbuka eksistensi Masyarakat Adat Papua beserta hak-hak ulayatnya sehingga tidak pernah melibatkan mereka pada posisi setara untuk membicarakan urusan-urusan yang berkaitan dengan pemanfaatan tanah dan sumber daya alam yang berada di wilayah hak ulayatnya. Terdapat banyak kasus di mana para pemilik hak ulayat di ancam atau di paksa menerima kebijakan-kebijakan yang sudah di buat oleh penguasa NKRI. Dengan puluhan paket undang-undang yang di keluarkan pemerintah Indonesia “mengaminkan” berbagai pelanggaran hak asasi manusia di seluruh provinsi Papua terhadap rakyat yang tidak mengindahkan kemauan penguasa. Mereka akan di bunuh ataupun di penjara tanpa adanya penegakan hukum yang adil dan terbuka. Bukanlah hal baru, Stigma Saparatis dan OPM yang merupakan senjata pemungkas TNI/POLRI untuk membungkam siapa saja yang berani berbicara secara terbuka dalam memperjuangkan hak-hak masyarakat asli papua. Semua keadaan ini menjadi catatan dan alasan pembenaran bagi orang papua bahwa ia belum di akui dan di terima sebagai bagian yang utuh dari bangsa Indonesia
Oleh karena itu, kalau kita mau berbicara terus-terang terhadap diri kita sebagai bangsa , maka kita harus mengatakan yang sejujurnya bahwa pemerintah Indonesia selama lebih dari empat dekade secara sadar mengelolah wilayah Papua dengan pendekatan yang menitik-beratkan security Approach (operasi militer) dan Politik Devide Et’impera sebagai dua relasi instrument utama untuk menangani papua dengan cara yang tidak terang-terangan sebagai wilayah bermasalah”.
Selama pemerintah Indonesia belum merubah posisi Papua dari wilayah bermasalah ke “provinsi Papua yang normal” dalam peta politik nasional Indonesia maka selama itu pula penduduk asli papua akan tetap terus berlanjut menjadi korban dan kambing hitam untuk melegitimasi berbagai rekayasa dari Indonesia, dan penduduk aslinya akan terus di marginalkan sehingga kehilangan kontrol kulturalnya atas tanah dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya.
Dengan demikian maka pertanyaan refleksi yang patut di renungkan oleh kita semua untuk menawarkan solusi alternative adalah :
“Masih adakah harapan untuk memperlakukan papua dan manusianya sebagai bagian dari Indonesia yang “normal” dengan segala kekhasannya? Ataukah Indonesia sulit merubah pradigmanya karena papua memang sudah di tetapkan sebagai “kambing hitam nasional” untuk berbagai kepentingan politik di Indonesia?”
Penulis adalah aktivis Self-Desetermination, kuliah di kota Bandung
Sumber : buku pemusnahan etnis melaesia – Pdt. Socrates sofyan yoman.