gambar ilustrasi. Sumber: Pinda |
“Media Masa Corong Pengembangan
Watak Militerisme Berbasis
Diskriminasi Rasial”
PENDAHULUAN
Pers yang
independen pastinya mampu menyalurkan berita sesuai dengan yang terjadi dan bersumber
langsung dari para pihak yang terlibat dalam suatu peristiwa yang disiarkan. Apabila
dalam pemberitaan tidak melakukan sebagaima diatas dan lebih menyiarkan dari
satu pihak sesuai dengan pandangan pihak tersebut maka sudah pasti
pemberitaannya tidak berimbang dan tentunya objektifitasnya diragukan.
Dalam kasus
tembagapura, pemberitaan antara media nasional dan media lokal
sangat jauh berbeda sehingga melahirkan sekian banyak narasi yang menimbulkan
ragam pandangan dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara di
Indonesia. Ragam pandangan itu, terus dibangun dengan pendekatan politik
masing-masing dapur pemberitaan sehingga menciptakan opini publik yang semakin tidak
objektif dan sarat akan muatan “siar kebencian” dan bahkan “rasisme” dengan
mengunakan embel-embel kedaerahan. Semua politik pemberitaan yang tidak
objektif itu, nampaknya ingin membangun sentiment rasial dan nasionalisme
indonesia yang menguatkan dominasi militerisme semata demi membenarkan pendekatan
kemanan dalam menyelesaikan kasus tembagapura.
Sampai saat ini, narasi pembebasan 1.300 sandera yang dibangun
militer (TNI-POLRI) yang terus di dorong menjadi
topik umum yang dihembuskan oleh media nasional dan lokal
baik cetak maupun elektorik. Narasi pembebasan sandera, sebenarnya telah terklarifikasi oleh masyarakat sipil yang berdomisi di
kampung yang disebut disandera oleh TPN-PB.[1]
Klarifikasi masyarakat setempat itu dikuatkan juga oleh klarifikasi yang
disebutkan oleh “Kapolres Mimika”
melalui media masa nasional dan lokal.[2]
Sekalipun
sudah ada klarifikasi, namun anehnya beberapa
dapur pemberitaan terus mewartakan pemberitaannya dengan topik penyanderaan.
Berdasarkan kenyataan itu membuktikan bahwa media masa menjadi sarana
penyaluran informasi bohong dengan tujuan untuk terus menciptakan watak
militerisme secara umum di indonesia. Melalui pemberitaan itu, pada prakteknya dikhawatikan
akan menjadi sarana terciptanya konflik horizontal yang berbasis pada watak
militerisme yang terbangun dari sentiment rasis dan perbedaan pandangan politik
di kota lainnya baik dalam wilayah papua maupun di luar papua.
Sesuai dengan UU
Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers
sesungguhnya yang memiliki peran untuk menetralkan kesimpangsiuran pemberitaan
ini adalah dewan pers,[3]
namun sikap diam dewan pers selama ini melahirkan kecurigaan bahwa dewan pers
telah diintervensi oleh pihak dominan sehingga memilih sikap diam. Melalui
sikap tersebut telah memuluskan terjadinya tindakan pelanggaran kode etik
jurnalis secara terus menerus untuk membangun watak militerisme dan bahkan ada seorang
wartawan yang dianiaya oleh pihak kemanan di
tembagapura papua
namun dewan pers masih diam saja.
Berdasarkan kodisi diatas, apabila pada prakteknya nanti melalui pemberitaan yang tidak objektif dengan tujuan untuk menanamkan
watak militerisme yang bermuatan rasis dan perbedaan pandangan politik itu
melahirkan pelanggaran HAM ?. Maka sudah pasti media, wartawan dan
pemilik media wajib dimintai pertanggungjawaban atas tindakan pelanggaran HAM
yang sudah atau bakal terjadi. Selain itu, pastinya dewan pers juga akan
diadukan ke organisasi wartawan internasional atas sikap diam yang diduga atas intervensi
militer sehingga terkesan mendukung terciptanya hal yang dikhawatirkan diatas.
MEDIA MASA MEMBANGUN WATAK MILITERISME BERBASIS
DISKRIMINASI RASIS
Dalam UUD 1945,
pasal 27 ayat (3) setiap warga negara berhak dan wajib ikut serta dalam upaya
pembelaan negara. Amanah konstitusi itu, diterjemahkan kedalam proyek Bela
negara yang dicangkan oleh kementrian pertahanan kemanan dengan tujuan untuk menciptakan
tindakan patriotism atas negara indonesia. Untuk mencapai patriotisme itu, alat
kemanan negara indonesia (TNI-POLRI) diberikan kewenangan untuk merekrut
masyarakat sipil menjadi sukarelawaan sehingga banyak sekali organisasi
masyarakat (ormas) yang berpaham nasionalis indonesia lahir dimana-mana baik
yang berkafer agamis, budaya maupun nasionalis itu sendiri.[4]
Semua ormas itu, pada waktu tertentu akan di bina oleh badan dalam mentri
pertahanan dan kemanan yang bertanggungjawab untuk menjalankan program bela
negara yang telah dicanangkan mentri pertahanan dan keamanan pada tahun 2016
lalu.[5]
Pasca militer indonesia (TNI-POLRI) mewacanakan penyaderaan 1.300 warga di 2 (dua) kampung, ada beberapa media nasional dan lokal baik
cetak maupun elektronik di beberapa daerah yang secara langsung memberikatan kasus tembagapura sesuai dengan pandangan dapur mediannya masing-masing. Secara khusus, pemberitaan media lokal di beberapa daerah di indonesia, pastinya tidak didukung oleh sumber yang pasti sebab yang
jelas media lokal tersebut tidak memiliki wartawan di tempat kejadian
perkara (TKP). Peran media lokal tanpa kontributor atau peliput
lapangan diatas, dalam pemberitaannya mayoritas dikemas dengan menyebutkan nama daerah serta pandangan politik tertentu sehingga
sanggat memungkinkan lahirkan sentimen kedaerahan dan
nasionalisme yang rentan menciptakan konflik horisontal yang bemuatan rasis dan nasionalis.
Ada beberapa judul pemberitaan yang
dipublikasikan oleh media lokal yang disimpulkan bermuatan diskriminasi rasis dan dpandangan
politik, seperti :
“Warga Demak Disandera di
Papua, Polda Jateng Sudah Koordinasi Dengan Polisi Setempat,[6]
Kondisi Warga Sulsel yang Disandera di Mimika Masih Aman[7] dan Kelompok Papua Merdeka Aksi di salatiga”.[8]
Berkaitan dengan
kekhawatiran lahirnya sentiment diatas. Secara praktis, awalnya lahir dari ragam
pandangan orang yang membaca berita yang disajikan oleh media lokal sebagaimana
judul diatas, selanjutnya akan membentuk sebuah kesimpulan dalam menanggapi apa
yang telah dibaca tadi. Salah satu tanggapannya yang pasti akan terbangun adalah
“sentiment kedaerahan dan nasionalisme” disitulah yang dimaksudkan melahirkan
watak militerisme.
Dapat dibayangkan
melalui pemberitaan yang bermuatan rasis berdasarkan penyebutan nama daerah
diatas, pastinya orang sulsel (Sulawesi selatan) akan dendam dengan orang papua
begitupula orang demak (jawa tengah) akan dendam dengan orang papua. Selain
itu, masyarakat indonesia dimanapun akan jengkel dengan aktifitas kemederkaan
menyampaikan pendapat di muka umum yang dilakukan oleh mahasiswa papua karena
stiqma anti terhadap papua merdeka. Secara khusus pastinya akan terbangun semangat
nasionalisme dalam diri anggota ormas binaan alat kemanan negara dalam program
bela negara diatas sehingga akan mengobarkan semangat patriotisme. Mengingat sejauh
ini, telah banyak pelajar dan mahasiswa papua yang menimba ilmu di seluruh
wilayah indonesia termasuk di Sulawesi, jawa tengah dan telah banyak masyarakat
indonesia yang mendukung perjuangan demokratis orang papua di seluruh wilayah
indonesia.
Berdasarkan
pemberitaan, secara umum melalui narasinya telah membagi masyarakat ke dalam 2
(dua) kelompok besar. Kedua kelompok masyarakat dimaksud, yaitu :
- Kelompok orang
papua dan pendukung perjuangan demokrasi orang papua;.
- Kelompok masyarakat
indonesia yang telah termakan dengan pemberitaan profokatif diatas akan
membentuk satu kekuatan sesuai dengan landasan pandangannya.
Pada prinsipnya,
semua itu diterwujudkan oleh pemberitaan yang bermuatan diskriminasi rasis dan
pandangan politik. Disinilah fakta yang membuktikan bahwa militer indonesia
mengunakan pemberitaan kasus tembagapura untuk menanamkan watak militerisme dalam
masyarakat sipil di indonesia.
Media-media
yang menjadi sarana pengembangan watak militerisme, sudah sepatutnya
mendapatkan sangksi yang terberat sebab melalui pemberitaannya akan membangun
kelompok pro kontra dalam kehidupan bermasyarakat yang mudah bermuara pada konflik
horizontal berdasarkan sentiment rasisme dan perbedaan pandangan politik. Fakat
keraguan itu, secara jelas terlihat dalam peristiwa pembentangan beberapa
spanduk di LBH Jakarta usai FRI WP dan AMP mengelar konferensi pers untuk
meluruskan pemberitaan yang simpang siur terkait kasus tembagapura.
Sudah pasti,
sikap politik pemberitaan beberapa media lokal
yang memproduksi pemberitaan dengan judul yang bermuatan diskriminasi rasis dan
hak politik jelas-jelas bertentangan dengan prinsip-prinsip kebebasan pers yang
dijamin dalam UU Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers sehingga dewan pers wajib
mengambil langkah yang tegas sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang
berlaku. Apabila dewan pers tidak mengambil langkah yang efektif sesuai dengan
usulan diatas diragukan ke depan akan melahirkan persitiwa lain yang akan
mencederai nilai martabat kemanusiaan sebab sampai saat ini beberap media local
dan nasional masih terus mengembangkan pemberitaan tentang kasus tembagapura
dengan tujuan untuk membangun watal militerisme dalam diri masyarakat sipil di Indonesia.
KONFERENSI PERS FRI-WP DAN AMP SERTA PERNYATAAN SIKAP GEDOR BUKTIKAN MEDIA
MASA KEMBANGKAN WATAK MILITERISME
Selama 2 (dua) bulan
lebih pembangunan opini untuk membangun watak militerisme indonesia dilakukan
secara berturut-turut oleh media masa nasional dan local baik cetak mapun
elektronik. Pengembangan watak militerisme itu secara umum di indonesia terbukti
melalui konferensi pers yang dilakukan oleh FRI-WP dan AMP di LBH Jakarta pada
tanggal 15 November 2017.[9]
Dalam konferensi
pers disebutkan dengan jelas bahwa sedang bertikai dalam kasus tembagapura adalah TNI/POLRI
melawan TPN-PB. Atas klarifikasi itu, sudah dapat memberikan kejelasan
identitas para pihak yang sedang berperang adalah “Kemanan Negara Indonesia dan
Kemanan Negara West Papua” dengan tujuan yang jelas, yaitu :
·
Bagi
TNI/POLRI menjaga keutuhan negara kesatuan republik negara indonesia dan
·
Bagi
TPN-PB adalah membebaskan wilayah kedaulatan west papua dari kolonialisme
negara indonesia.
Selain
menjelaskan identitas dan tujuan perang di tembagapura, melalui konferensi pers
itu juga disebutkan bahwa :
- Tuduhan penyanderaan
1.300 orang di 2 (dua) kampun dalam wilayah disktrik tembagapura kabupaten
timika oleh TPN-PB yang santer diberikan oleh beberapa media masa nasional
dan lokal baik cetak maupun elektronik adalah pembohongan publik sebab
orang-orang yang tinggal di kedua kampung itu tidak merasa disandera. Hal itu,
dikuatkan dengan keterangan kapolres timika bahwa sejauh ini masyarakat di
dua kampong bebas melakukan aktifitas seperti biasanya.
- Pemberitaan
tentang TPN-PB melakukan pemerkosaan terhadap warga sipil juga merupakan
pembohongan publik. Hal itu, dibenarkan sendiri oleh korban dalam
pengakuannya kepada adik perempuannya bahwa yang melakukan tindakan
tersebut bukan TPN-PB.
Mengingat semua
pembohongan publik itu, disukseskan oleh beberapa media masa nasional maupun
local baik cetak maupun elektronik yang giat mewartakan pembohongan publik itu
maka gerakan masyarakat sipil yang tergabung dalam wadah Gerakan Rakyat Untuk
Demokrasi (GEDOR) dalam pernyataan sikapnya menegaskan kepada :
“Dewan Pers
untuk segerah memberikan sangksi tegas kepada media masa baik cetak maupun
elektronik yang memberikan berita pembohongan publik tentang penyanderaan”.[10]
Dalam rangka
menghentikan konflik politik antara indonesia dan west papua yang terus
memberikan ruang terbangunnya watak militerisme dalam kehidupan masyarakat
indonesia maka FRI-WP dan AMP mendesak negara indonesia untuk menyelenggaran Hak
Menentukan Nasib Sendiri Bagi Bangsa Papua sebagai solusi demokratis.[11]
MILITER
INDONESIA MENGUBAH NARASI UNTUK TERUS MEMBANGUN
WATAK MILITERISME
Setelah melihat
beberapa keterangan media masa nasional dan local baik cetak maupun elektronik
yang memberikan klarifikasi dan dikuatkan dengan konferensi pers yang dilakukan
oleh FRI WP dan AMP serta adanya Pernyataan sikap Gedor maka ada beberapa
purnawiraan yang menjabat posisi strategis dan penentu dalam bidang pertahanan
dan kemanan terlihat mencari narasi baru
untuk diwacanakan pengembangan watak militerisme.
Narasi baru yang
mulai dinaikan sebagimana terlihat dalam penyataan Purnawirawan jenderal TNI yang
menjabat jabatan mentri pertahanan dan kemanan bahwa “ada pihak tertentu yang
memprofokasi dalam kasus tembagapura”.[12]
Selain itu, dalam penyataan Purnawirawan jenderal TNI yang menjabat jabatan
menkopolhukan terkesan mengklarifikasi kondisi di tembagapura terkait “penyanderaan”
dengan menyebutkan bahwa “bukan menyandera warga
tapi mengisolasi warga 2
(dua) kampung”.[13]
Selain
menyebutkan profokasi, mentri pertahanan dan kemanan juga menyebutkan tentang perihal
HAM menjadi hambatan dalam proses penyelesaian kasus tembagapura.[14]
Selain itu, dia juga menambahkan bahwa ada perbedaan pandangan antara TNI dan
POLRI sehingga menghambat pembangunan. Perihal HAM juga disebutkan militer aktif
yang menjabat jabatan strategis terkait pertahanan kemanan di papua jauh
sebelum pak mentri pertahanan dan kemanan menyebutkannya.
Dengan melihat
pernyataan KASAD terkait menanggani kasus tembagapura pihaknya menunggu sikap
presiden mengeluarkan kebijakan untuk mengatasi kasus tembagapura.[15]
Mungkin inilah, bagian dari narasi baru yang dimaksudkan untuk terhindari dari
hambatan HAM yang disinggung oleh mentri pertahanan dan kemanan serta panglima
daerah militer cenderawasi diatas. Melalui harapan kebijakan presiden diatas, tentunya
yang ingin dibangun secara umum adalah watak militerisme dan yang akan tergerak
duluan adalah mereka yang tertabung dalam kantong-kantong nasionalisme diatas
fakta alat kemanan negara memiliki kewenangan untuk mendidik masyarakat sipil
menjadi sukarelawan yang di dukung oleh Proyek Bela Negara milik kemetrian
pertahanan dan kemanan Republik Indonesia.
Dengan dasar pengembangan
watak militerisme dalam benak masyarakat indonesia yang telah dibangun melalui
proyek bela negara akan diefektifkan selanjutnya pastinya akan menuai konflik
horizontal di luar timika sehingga aparat kemanan akan menjadi “pahlawan
kesiangan” untuk untuk menetralkan kondisi dalam konflik yang terjadi antara
masyarakat sipil sesuai dengan amanah UU Penanganan Konflik Sosial. Fakta sikap
nasionalisme yang ditunjukan beberapa orang dengan mendatangi LBH Jakarta dan
menempel beberapa spanduk yang bermuatan fitnah terhadap juru bicara FRI-WP dan
kader AMP Jakarta menjadi satu fakta capaian pengembangan watak militerisme
dalam proyek bela negara. Sebelumnya alat kemanan negara sudah melakukan
beberapa tindakan teror kepada mahasiswa papua di Bandung, Malang dan Menado dengan
cara mendatangi tempat tinggal mahasiswa papua dan juga tempat kegiatan
mahasiswa papua dengan alasan yang tidak masuk akal yang semuanya bermuatan
politik sehingga melahirkan kesan adanya diskriminasi papua berdasarkan ras dan
pandangan politik.
Narasi baru dengan
kemungkinan target diatas, sudah difasilitasi oleh media masa nasional dan
local baik cetak maupun eletronik yang ditunjukan melalui fitnahan oleh
redaktur media yang menyimpulkan bahwa aksi demostrasi mahasiswa mendesak
pemerintah untuk mengelar hak menentukan nasib sendiri bagi bangsa papua
sebagai solusi demokratis di salatiga dengan tuduhan pendukung papua merdeka.
Selain itu, dapat dilihat melalui fitnahan kepada juru bicara FRI-WP dan kader
AMP Jakarta sebagai pendukung OPM dan TPN-PB dalam tulisan pada spanduk yang
dibawah menunjukan narasi baru dengan isu nasionalisme indonesia.
Pengubahan
narasi yang bakal dilakukan oleh alat kemanan negara serta fitnahan-fitnahan kepada
pejuang HAM dan Demokrasi, pastinya akan didukung sukses oleh “Media
Masa Nasional dan Lokal Baik Cetak Mapun Elektronik Berwatam Militerisme”
dengan kebiasaan mewartakan pemberitaan tanpa mengkroscek angenda aksi serta
memastikan pengertian serta tanpa mempertimbangkan dampak buruk bagi kenyamanan
hidup bermasyarakat seperti yang biasanya dilakukan sebelumnya. Melalui realitas
diatas, sudah bisa dibayangkan jika media masa nasional dan local baik cetak
maupun elektronik terus dibiarkan mengembangkan Pemberitaan kasus tembagapura untuk Membangun watak militerisme indonesia, pastinya akan memuluskan
terjadi konflik horizontal dimana-mana.
Dengan
terjadinya konflik konflik horizontal merata dimana-mana maka scenario dalam
membangun narasi baru akan terwujud sebab TNI- POLRI akan mendapatkan ruang lebar
untuk menjadi pahlawan kesiangan berdasarkan UU Penaggunlangan Konflik Sosial.
Melaluinya akan mendorong DPR-RI memberikan rekomendasi kepada Presiden untuk
menerbitkan Keputusan Presiden untuk menetapkan situasi darurat dan selanjutnya
militer (TNI-POLRI) akan melakukan tugasnya tanpa menghiraukan pelanggaran HAM
berdasarkan Keputusan Presiden.
HAK ASASI MANUSIA SENJATA MEMATIKAN WATAK MILITERISME
Pengembangan
watak militerisme dalam tubuh masyarakat sipil melalui program bela negara
sebagai pengembangan amanah konstitusional diatas merupakan bukti “ketakutan
militer (TNI-POLRI)” atas HAM dalam negara hukum yang memiliki kewajiban
melindungi HAM. Ketakutan itu, secara jelas terukur dari konsep pelanggaran HAM
yang menegaskan bahwa jika dalam pemenuhan Hak Sipil Politik negara pasif,
artinya dalam pemenuhan Hak Sipil Politik negara katif maka dinyatakan sebagai
pelanggaran HAM. Melaluinya sudah menunjukan bahwa para meter untuk mengukur terjadinya
pelanggaran HAM terfokus pada pemerintah sebab pihak yang bertanggungjawab
dalam pemenuhan HAM seluruh warga negara.
Berdasarkan pernyataan
2 (dua) purnawirawan jenderal TNI yang memangku jabatan strategis dalam
eksekutif diatas sudah mampu menunjukan ketakutan militer terhadap HAM. Untuk
menghindari ketakutan itu, maka militer berkepentingan untuk membangun
scenario-skenario salah satunya adalah pengembangan watak militerisme melalui
kewenangan yang diberikan undang-undang, yaitu : “menyiapkan sukarelawan dari
kalangan masyarakat sipil selanjutnya difasilitasi untuk membentuk organisasi
masyarakat”.
Secara teknis
implementasi dan ruang lingkup kerjanya pengembangan scenario pengembangan
watak militerime dalam masyarakat sipil indonesia, sebagai berikut :
Sukarelawan dan
organisasi masyarakat dibangun dengan paham itu nasionalisme indonesia dan
memiliki watak militerisme yang dipersiapkan dengan tujuan jika ada sekelompok
masyaerakat sipil yang mengunakan hak konstitusinya melakukan kegiatan yang
kritis maka akan distiqma bertentangan dengan paham nasionalisme indonesia
sehingga ormas dan sukarelawan berpaham nasionalis akan diturunkan untuk
melakukan tindakan militerisme. Ditengah kondisi itu militer (TNI-POLRI) akan
datang dengan mengedepankan pengamanan sehingga dengan logika itu secara
otomatis yang akan dipersalahkan adalah kelompok masyarakat sipil yang
mengunakan hak konstitusinya melakukan kegiatan kritis. Sementara kelompok
ormas yang melakukan tindakan militerisme dibebaskan untuk terus melakukan
tindakan arogansinya dengan tujuan untuk membangun rasa takut.
Skenario dengan
ruang lingkup kerja diatas sengaja dilakukan militer (TNI-POLRI) hanya untuk menghindarkan mereka
dari jeratan pelanggaran HAM. Disitulah menjadi potret nyata sumber ketakutan
militer atas HAM.
Ditengah kondisi
itu, apabila ada sikap media masa nasional dan local baik cetak maupun
elektornik memberikan ruang kepada militer untuk mengambangkan watak
militerisme maka pastinya militer (TNI-POLRI) sanggat beryukur dan merasa
diuntungkan karena melaluinya akan menuai manfaat yang sanggat besar bagi
mereka. Manfaat dimaksud, tidak hanya dalam kasus tembagapura namun kasus
lainnya baik isu nasionalis, agamis dan kebudayaan sebagaimana yang sudah
biasanya mereka lakukan dalam meneror segala sendi kehidupan sipil dan politik
masyarakat sipil mengunakan watak militerisme di indonesia.
Untuk itu, disarankan
kepada media masa nasional dan local baik cetak maupun elektronik agar dapat
bersama-sama mengkampenyekan penegakan HAM dan melawan pelanggaran HAM yang
disuburkan melalui pengembangan watak militerisme di indonesia sebab jika tidak
dipikirkan dari sekarang melalui kasus tembagapura maka dapat dipastikan wartawan
media nasional dan local baik cetak maupun elektronik bakal menjadi korban
militerisme dari alat kemanan negara sebagaimana yang dialami wartawan di
timika beberapa waktu lalu.[16]
MEMUTUSKAN
PENGEMBANGAN WATAK MILITERISME DENGAN PENEGAKAN
HUKUM
Berdasarkan
realita yang ada, tindakan yang dilakukan oleh seseorang yang berwatak militerisme
secara umum mengandung muatan kekerasan dan melanggar ketentuan hukum yang ada.
Dengan kenyataan itu, jika waktak militerisme terus dikembangkan dengan cara memberikan
ruang kepada pihak-pihak yang sering menanamkan pandangan militerisme maka
pastinya tindakan kekerasan yang selalu dilakukan secara illegal menjalar
kemanan-mana dan pasti akan mengancam kenyamanan manusia dimanapun dan
kapanpun.
Sebagai negara hukum
pastinya penegakan hukum menjadi satu-satunya jalan yang nyaman untuk
menciptkan kestabilan hidup dalam bermasyarakat. Melalui penegakan hukum, tentunya
akan menghindari tindakan main hakim sendiri. Selain itu, melalui penegakan
hukum juga akan memberikan efek jelas bagi pelaku dan juga bagi pihak lain
untuk tidak melakukan tindakan serupa.
Pada prinsipnya
semua tindakan yang dilakukan oleh beberapa media masa baik cetak maupun
elektronik diatas telah menunjukan fakta pelanggaran kode etik jurnalistik.
Melalui tindakan pelanggaran kode etik jurnalistik itu, secara langsung
menunjukan media dimaksud menjadi sarana yang memuluskan pengembangan watak
militerisme dan bahkan dapat disimpulkan bahwa media tersebut berwatak
militerisme. Selain itu, melalui sekian pernyataan yang disampaikan oleh aparat
negara dalam mempertahankan penyanderaan sebagai wacana, diatas fakta
klarifikasi yang membuktikan wacana tersebut merupakan pembohongan publik.
Atas fakta
pembohongan itu secara langsung membuktikan bahwa aparat negara secara pasti
menjadi pengagas utama lahirnya watak militerisme berdasarkan pernyataan-pernyataan
yang tidak objektif. Melalui tindakan peliputan penyataan yang tidak objektif oleh
media masa nasional dan local baik cetak dan elektronik sehingga menunjukan
tidak bersama-sama antara aparat negara dan media masa dalam memproduksi watak
militerisme melalui pemberitaan bohong. Atas pemberitaan bohong itu selanjutnya
melahirkan sikap politik dalam diri masyarakat sipil yang berwatak militerime untuk
melakukan tindakan fitnah sebagaimana yang dialami oleh juru bicara FRI-WP dan
kader AMP Jakarta yang dituduh sebagai pendukung OPM dan TPN-PB padahal
faktanya keduanya sedang berusaha meluruskan pemberitaan karena Dewan Pers yang
diberikan tugas untuk mengklarifikasi hanya diam menatap semua kebohongan yang
diproduksikan secara sitematik dan structural melalui media masa yang legal di
indonesia.
Dari runtutan
fakta pengembangan watak militarisme diatas, secara langsung menunjukan fakta
hukum “adanya kerja sama antara wartawan dan media, aparat negara dan masyarakat
sipil untuk melakukan tindak pidana permusuhan terhadap golongan-golongan rakyat indonesia sebagaimana
diatur pada pasal 157 KUHP”.[17]
Selain itu, melalui pengembangan watak militerisme dengan mengunakan wacana
penyandera bohong itu secara langsung telah melahirkan ketidaknyamanan dalam
kehidupan masyarakat yang dapat melahirkan sentiment kedaerahan dan perbedaan
pandangan politik dimana hal itu dilarang berdasarkan UU Nomor 40 tahun 2008
tentang penghapusan diskriminasi ras dan etnik dan juga UU Nomor 40 Tahun 1999
tentang Pers.
Dengan demikian,
untuk mematikan pengembangan watak militerisme yang berbahaya bagi siapapun dan
dapat dilakukan oleh siapapun pada waktu dan tempat yang sulit diprediksikan mengingat
“manusia
adalah serigala bagi manusia lainnya”. Atas dasar itu, penegakan hukum
menjadi salah satu alternative yang tepat demi melindungi harkat dan martabat
manusia dari ancaman watak militerisme. Secara khusus bagi media masa nasional
dan local baik cetak maupun elektronik yang telah sukses mengembangkan
pemberitaan untuk menamkan watak militerisme berbasis rasial dan pandangan
politik menjadi sarana utama terbentuknya watak militerisme secara nasional
indonesia sehingga terhadap media masa yang bersangkutan serta wartawan penyaji
berita tanpa mematuhi etika jurnalistik wajib diberikan sangksi yang lebih
berat sebab merekalah kunci kesuksesan pengembangan watak militerisme yang
sanggat berbahaya bagi kehidupan bermasyarakat di indonesia.
PENUTUP
Dari uraian
panjang diatas sudah dapat disimpulkan bahwa dalam kebebasan pers di indonesia
terdapat wartawan dan media masa nasional dan local baik cetak maupun
elektronik yang berwatak militerisme. Hal itu dapat diukur melalui politik
pemberitaan yang diproduksikan oleh media masa tersebut. untuk diketahui bahwa Sejarah
pernah mencatat fakta pengadilan HAM Internasional menetapkan sebuah media masa karena
pemberitaaannya yang memicu sekaligus pengarah terciptanya konflik horizontal
yang berujung pelanggaran HAM Berat.
Pertanggungjawaban media profokasi itu terjadi dalam kasus Rwanda saat konflik
horizontal antara suku tuski dan suku mbutuh yang berujung pada terjadi tindakan
genosida yang masuk dalam kategori pelanggaran HAM Berat.
Berkaitan dengan
semua pemberitaan media masa nasional dan lokal baik cetak mapun elektronik
yang sukses membangun watak militerisme yang berbasis pada diskriminasi rasis dan
pandangan politik secara terang-terang membuktikan bahwa wartawan dan media
masa penyalurnya berwatak militerisme sehingga turut serta mengembang watak
militerisme secara nasional indonesia. atas tindakan itu, secara terang-terang
membuktikan bahwa wartawan dan media masa tersebut telah melanggar UU Nomor 40
tahun 2008 tentang penghapusan diskriminasi ras dan etnik. Sampai saat ini
tindakan itu bisa dilakukan secara leluasa oleh media masa karena tidak adanya
penegakan kode etik jurnalis oleh dewan pers sesuai dengan arahan UU Nomor 40
tahun 1999 tentang Pers. Sikap diam dewan pers nasional membuktikan bahwa dewan
pers telah diintervensi oleh militer (TNI-POLRI) atau jangan-jangan dewan pers
juga berwatak militerisme sehingga terus berikap diam ditengah kesimpangsiuran
pemberitaan dalam kasus tembagapura.
Sekalipun
demikian melalui fakta ini yang dapat diambil manfaat pentingnya adalah “militer
(TNI-PORI) sangat ketakutan jika berhadapan dengan HAM. Dengan politik bela
negara yang dijadikan scenario pengembangan watak militerisme semakin
membuktikan ketakutan militer atas HAM dimaksud. Atas dasar itu, sudah sewajibnya
para wartawan berpikir dua kali dalam memberikan berita ke dapur media
masing-masing sebab pada prakteknya profesi wartawan sangat rentan menjadi
korban tindakan watak militerisme seperti yang sudah terjadi pada beberapa
wartawan senior yang kritis.[18]
Melalui kenyataan itu, pengembangan HAM dan mengungkapkan kasus dalam rangka penegakan
HAM menjadi satu cara yang paling relefan untuk mematikan pengembangan watak
militerisme yang akan mensandera kenyaman masyarakat sipil di seluruh wilayah
indonesia terkhusunya ditempat-tempat yang menjadi korban tindakan watak
militerisme sepeti Bandung, Malang, Menado, Salatiga, Jakarta dan Papua secara
umum dan khususnya Tembagapura.
Akhirnya
ditegaskan kepada dewan pers untuk memberikan sangksi seberat-beratnya kepada
wartawan dan media yang telah melepaskan etika jurnalisme untuk mengembangkan
watak militerisme melalui pemberitaan yang bermuatan diskriminasi rasis dan
pandangan politik yang bertentangan dengan UU Nomor 40 tahun 2008 tentang
Penghapusan Ras dan Etnik yang juga dilarang oleh UU Nomor 40 Tahun 1999
tentang Pers demi mematikan pengembangan watak militerisme yang dapat
membahayakan kehidupan bermasyarakat di indonesia.
SELAMATKAN KEBEBASAN PERS
INDONESIA DARI WATAK MILITERISME
[1] Baca
: https://tabloidjubi.com/artikel-11432-warga-banti--kami-tidak-disandera.html., diakses
tanggal 15/11/17, (18:32)
[2] Baca
: https://tabloidjubi.com/artikel-11549-dewan-pers-diminta-usut-media-yang-memberitakan-penyanderaan-di-papua.html., diakses
tanggal 17/11/17, (18:23)
[4]
Baca : Untuk poliisi diatur dalam,
UU Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia, Pasal 3,
ayat (1) huruf c “Bentuk-bentuk pengamanan swakarsa”. Untuk TNI diatur dalam UU
Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia, Pasal 1 anggkat 15 : “Prajurit
Sukarela adalah warga negara yang atas kemauan sendiri mengabdikan diri dalam
dinas keprajuritan”.
[5] Dasar hukumnya didatur dalam UU Nomor 3 Tahun 2002 tentang Pertahanan Kemanan,
Pasal 8 ayat (1) Komponen cadangan, terdiri atas warga negara, sumber daya
alam, sumber daya buatan, serta sarana dan prasarana nasional yang telah
disiapkan untuk dikerahkan melalui mobilisasi guna memperbesar dan memperkuat
komponen utama junto Pasal 9 ayat (1)
dan ayat (2) huruf b Setiap warga negara berhak dan wajib ikut serta dalam
upaya bela negara yang diwujudkan dalam penyelenggaraan pertahanan negara
diselenggarakan melalui pelatihan dasar kemiliteran secara wajib.
[6] Baca : https://www.radioidola.com/warga-demak-disandera-di-papua-polda-jateng-sudah-koordinasi-dengan-polisi-setempat/., diakses tanggal 15/11/17, (18:33)
[7] Baca : http://nasional.republika.co.id/berita/nasional/daerah/17/11/10/oz7myf384-kondisi-warga-sulsel-yang-disandera-di-mimika-masih-aman., diakses tanggal 15/11/17, (18:38)
[8] Baca : http://krjogja.com/web/news/read/49576/Kelompok_Papua_Merdeka_Demo_di_Salatiga., diakses tanggal 17/11/17, (18:07)
[9] Baca : http://www.tabloidjubi.com/artikel-11520-friwp--tuding-freeport-dan-pemerintah-akar-konflik-di-timika.html., diakses tanggal 15/11/17, (16:18)
[10] Baca : https://tabloidjubi.com/artikel-11549-dewan-pers-diminta-usut-media-yang-memberitakan-penyanderaan-di-papua.html., diakses tanggal 17/11/17, (18:23)
[11] Baca : http://www.tabloidjubi.com/artikel-11544-aliansi-mahasiswa-papua-di-jawa-dukung-referendum.html., diakses tanggal 17/11/17, (18:19)
[12] Baca
: http://www.beritasatu.com/nasional/463460-menhan-sebut-ada-provokator-di-kasus-papua.html., diakses
tanggal 17/11/17, (14:48)
[13] Baca
: https://www.merdeka.com/peristiwa/wiranto-sebut-kkb-bukan-menyandera-warga-tapi-mengisolasi-tembagapura.html., diakses
tanggal 15/11/17, (18:42)
[14] Baca
: https://news.detik.com/berita/3726401/warga-disandera-kkb-di-papua-menhan-pasti-ada-yang-ngomporin., diakses
tanggal 17/11/17, (14:52)
[15] Baca : http://mediaindonesia.com/news/read/132067/kasad-tunggu-keputusan-pemerintah-untuk-diterjunkan-di-papua/2017-11-14.,
diakses tanggal 17/11/17, (18:29)
[16] Baca : http://www.tabloidjubi.com/artikel-11428-aniaya-wartawan-lima-anggota-polres-mimika-diperiksa-.html.,
diakses tanggal 17/11/17, (18:34)
[17] Isi Pasal 157 KUHP sebagai berikut : “Barangsiapa
menyiarkan, mempertunjukkan atau menempelkan di muka umum tulisan atau lukisan,
yang isinya mengandung pemyataan rasa permusuhan, kebencian atau penghinaan di
antara atau terhadap golongan-golongan rakyat Indnesia, dengan maksud supaya
isinya diketahui atau lebih diketahui leh umum, diancam dengan pidana penjara
paling lama dua tahun enam bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu
lima ratus rupiah”.
[18]
Ingat kasus Undin (Wartawan Media
Bernas Jogja) yang diakeroyok hingga babak belur dan dilarikan ke rumah sakit
beberapa hari kemudian meninggal dunia. Pengeroyokan dilakukan oleh sekelompok preman
karena wartawan undin mengungkap kasus korupsi di kabupaten bantul, propinsi
daerah istimewa yogyakarta. untuk diketahui bahwa sampai hari ini keluarga
wartawan udin belum mendapatkan keadilan karena kasus pengeroyokan tidak
diproses oleh pihak kepolisian daerah istimewa yogyakarta.