Sejumlah foto usai penembakan di Deiyai (02/08/2017) diunggah masyarakat di media sosial. Sumber: BBC |
Penulis: Sonny Dogopia*
“Deiyai Berdarah: Pemodal P.T.
Dewa, Pejabat Pemerintahan, dan Perwira Militer sama-sama berdasi. Rakyat harus
peluk tanah, sayang sesama rakyat, dan tidak boleh berdarah”
Belum
tiga bulan peristiwa berdarah Oneibo-Deiyai pada 01 Agustus 2017, terjadi lagi
tabrakan maut pada 28 Oktober di Kabupaten Deiyai-Papua oleh pelaku yang sama.
P.T.
DEWA sebagai pelakunya merupakan dalang dibalik rentetan kasus pelanggaran Hak
Asasi Manusia (HAM) di Papua, lebih khususnya di Kabupaten Deiyai yang
sebelumnya di Kabupaten Paniai.
Perusahan
Dewa telah mendapatkan rekomendasi dari Pemerintah Kabupaten Deiyai saat masa
karateker pertama pada Tahun 2010 dan hingga saat ini (Tahun 2017) masih beroperasi
di Deiyai untuk mengerjakan program yang katanya Pembangunan Infrastruktur.
Berbagai
komponen masyarakat, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan Pemerintah Kabupaten
Deiyai menyepakati dan menandatangi petisi agar Brigader Mobil (Brimob) dan
P.T. DEWA angkat kaki dari seluruh wilayah Kabupaten Deiyai. Kesepakatan dan
Penandatanganan Petisi tersebut dilakukanpada 21 Agustus 2017 di depan Kantor
DPR Deiyai saat aksi damai menyikapi peristiwa Oneibo-Deiyai Berdarah.
Namun,
pada kenyataannya P.T. DEWA masih melakukan tindakan tidak manusiawi. Sementara
Brimob dibantu oleh Polisi dan Tentara untuk menangkap, menembak, mentup
kebebasan, dan menakuti rakyat lainnya.
Pada
tanggal 28 Oktober 2017 di Kampung Woyoukita-Deiyai, terjadi tabrakan maut.
Korban; atas nama, Bon Pekei (30 Tahun). Pelaku; kendaraan truk pengangkut
material di P.T. DEWA.
Kronologis
Sekitar Pukul 17.00 Waktu Papua (WP), tabrakan maut terjadi di Kampung Woyoukita, Kabupaten Deiyai, Papua. Menurut saksi mata di Tempat Kejadian Perkara (TKP) bahwa korban menggunakan motor. Dari arah yang sama, tepat di depan korban ada Truk Trontong. Karena, truk tersebut berkecepatan rendah maka korban mencoba untuk melambung. Saat hendak melambung, dari arah berlawanan ada truk pengangkut material milik perusahaan Dewa melaju dengan kecepatan tinggi. Kemudian, korban disenggol pada kaki kanan oleh truk pengangkut material tersebut.
Kepala
korban terbentur pada pantat Truk Trontong dan korban terpental jauh. Korban
mengalami pendarahan dan kritis.
Sekitar
Pukul 20.00 WP, korban dilarikan ke Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD)
Tigido-Deiyai karena, masih bernafas. Sekitar Pukul 21.30 WP, korban dirujuk ke
RSUD Madi Kabupaten Paniai. Sekitar Pukul 22.30 WP di RSUD Madi, korban sudah
tidak bernafas.
Sekitar
Pukul 23.30 WP, korban (mayat)bersama keluarga sudah kembali ke rumah duka di
Kampung Kibitamo, Deiyai.
Masyarakat
Deiyai menolak keberadaan Perusaahan Dewa dengan cara membakar kantornya, alat
berat, dan beberapa rumah usaha (Kios) milik P.T. DEWA.
Sejak
di Paniai, tindakan melanggar Hukum Kemanusiaan pun dilakukan P.T. DEWA.
Sehingga, berbagai komponen masyarakat di Kabupaten Paniai bersatu dan mengusir
Perusahaan Dewa.
Pemodal
(Saham Dewa) telah bekerja sama dengan Pemerintah Kabupaten setempat dan Aparat
Keamanan. Sebagai buruh (karyawan) di Dewa hanya bisa habiskan energi-waktu dan
menjadi buruh yang takut pada majikannya. Sementara itu, masyarakat adat
sebagai pemilik tanah, tempat bahan mentah untuk program pembangunan tersebut
kehilangan hak milik, hak penguasaan alat, bahkan kehilangan hak hidup.
Bukan
hanya pada rakyat Buruh dan Masyarakat Adat. Juga, pada Rakyat Tani-Nelayan.
Rakyat harus merelakan buminya yang telah dihisap pemodal dewa, terus mendayung
perahu di pinggir air yang tercemar sampah nonorganik-limbah untuk melepaskan
jaring ikan-udang.
Pemodal,
Kaum Borjuis (Pengusaha Lokal), Elit Politik Praktis (Pejabat Pemerintah), dan
Aparatur Negara (Militerisme), sama-sama bagi hasil. Sementara, program Negara
dalam pembangunan infrastruktur di Daerah justru membenturkan rakyat Buruh
dengan rakyat lainnya. Juga, justru merampas hak milik rakyat lainnya,
menggangu, menutup hak kebebasan demokrasi, bahkan menghilangkan hak untuk
hidup.
Perusahaan
Dewa dan Militerisme masih ada di Kabupaten Deiyai. Mereka saling mengikat
antara satu simpul dengan simpul yang lain. Dimana, ada pejabat pemerintah maka
di situ ada pemodal (seperti saham Dewa), pengusaha lokal, dan militerisme.
Mereka merupakan kelompok berdasi yang selalu berkaca (cermin) agar dasi mereka
tetap rapih. Sehingga, perbedaan kelas semakin terawat dan terus terdidik dalam
pendidikan kapitalisasi.
Dari
pembuktian itulah, masyarakat Papua harus melihat untung-rugi kehadiran suatu
Distrik, Kabupaten, dan Provinsi. Apalagi jika, kebijakan ASN diperketat maka
jelas bahwa akan menjadi manusia yang terus memberikan energi pada kejayaan
Kapitalisme di dalam sistem piramidanya. Lihat saja bahwa non-Papua sebagai
pejabat pemerintah akan menutupi ruang-waktu tersebut dan memberi kesempatan
bagi para pemodal. Jika, soal kedaulatan Negara Kesatuan Republik Indonesia
(NKRI) sebagai alat untuk mengorbakan rakyat yang telah berada dalam perbedaan
kelas (kehidupan sosialnya) dan rakyat yang telah kehilangan hak.
Di
sinilah, praktek-praktek penjajahan, pendidikan kapitalisme, dan penghisapan
ada secara terstruktur-sistematis.
Rakyat mendapatkan darah, manusia berdasi mendapatkan keuntungannya. )*
* Penulis adalah
anggota Serikat Perjuangan Masyarakat Adat Wilayah Deiyai.