Halloween party ideas 2015

ilustrator: Koran Kejora

Penulis: Natalia Safkaur & Jhon Gobai )*


Tahukah Anda  sepenting apa  tanggal 1 Desember bagi rakyat West Papua? 


Merupakan hari kebahagiaan. Bagaimana rakyat West Papua memaknainya? 


Pada tahun 1961, tepat di tanggal 1 Desember, orang-orang Papua yang Bersatu dalam gerakan Dewan New Guinea (New Guinea Raad) memproklamirkan kemerdekaan secara de facto. Di momentum itu dibacakan atribut negara seperti Bendera Bintang Kejora yang anda kenal hari ini. Atau burung Mambruk sebagai lambang persatuan serta Hai Tanahku Papua sebagai lagu kebangsaan. Lantas semangat kemerdekaan itu dipadamkan oleh Presiden RI, Ir. Soekarno melalui gerakan Tiga Komando Rakyat (TRIKORA) pada 19 Desember 1961. Apa rasanya negara-bangsa West Papua yang baru berumur 18 hari itu di sabotase kebahagiaanya? Itu proses awal rakyat West Papua mengenal Negara Indonesia. 


Trikora melegalkan pendudukan Kolonialisme Indonesia dengan pola militeristik hingga detik ini (2020). Militer jadi alat represifnya Negara dan investor. Lantas eksistensi keberpihakan Negara secara konstitusi juga kebijakan sangat berperan penting terhadap akses modal (investasi) dan keberadaan kekuasaan Kolonial. Sebut saja masuknya PT. Freeport Indonesia di Papua melalui UU Penanaman Modal Asing yang ditandatangani oleh Soeharto (1967). 


Rakyat West Papua mengenal rezim Indonesia dengan wajah kolonialistik. Kesenjangan sosial, ketimpangan Ekonomi, darurat Hak Asasi Mahasiswa (HAM), pembungkaman ruang demokrasi merupakan cerminan 38 tahun West Papua dibawa kekuasaan Indonesia. Berbagai laporan analisis dari berbagai Lembaga non pemerintahan juga akademisi membicarakan realita kondisi HAM dan Demokrasi serta lingkungan yang memburuk hingga berakibat ke ketahanan tubuh (hidup) manusia di Papua. Rakyat Papua semakin tidak berdaulat, dan bergantung pada kebijakan – kebijakan struktural kolonial Indonesia.


Berdasarkan realitas ketertindasan seperti itu memanifestasi perlawawanan rakyat West Papua. Realitas itu menjadi alasan seruan pemberontakan yang sesungguhnya. Bahwa penindasan mengharukan rakyat pada pemberontakan sebagai jalan menciptakan kondisi objektif yang baru. Melancarkan perjuangan revolusioner yang tak henti-henti sepanjang penindas terus berkuasa: perlawanan  terhadap kejahatan  Imperialisme yang mengkoloni, serta alat represifnya: Militerisme di West Papua. Sebab 3 kelompok ini lah dalang di balik semua kejahatan kemanusiaan dan alam di West Papua. 


Sehingga di tahun 2020 ini, rakyat West Papua memaknai 1 Desember sebagai hari evolusi semangat persatuan gerakan pembebasan rakyat West Papua. Perjuangan mendirikan suatu negara West Papua bukan satu-satunya, juga bukan alasan utama semangat perjuangan rakyat Papua. Aliansi Mahasiswa Papua (AMP) terus menyerukan bahwa semangat perjuangan pembebasan rakyat Papua mengacu pada pembebasan manusia. Pembebasan yang bebas dari segala batasan-batasan tertentu. Semangat pembebasan yang tidak sekedar mengibarkan bendera yang berbeda dengan negara kolonial Indonesia, atau hanya sebatas suatu kebanggaan atas nama ras & agama yang berbeda. Semangat semacam itu justru akan mencelakai cita-cita perjuangan pembebasan rakyat West Papua: yakni kemanusiaan. Kemanusiaan lah yang lebih tinggi dari segala sesuatu. 


Maka, di momentum 1 Desember 2020 ini pergerakan rakyat West Papua mengakui dan menggaris bawahi secara sadar bahwa cita-cita perjuangan rakyat West Papua adalah “agar West Papua Lebih baik”. Demokrasi merupakan nafas dari perjuangan menuju cita-cita tersebut. Oleh karena itu segela bentuk ketidak-demokratisasi dalam gerakan persatuan nasional mesti terus dikritisi untuk suatu proses perjuangan yang lebih maju. 


Penjajah menunjukan wajahnya dengan proses yang tidak demokratis kepada rakyat West Papua. Sebut saja proses lahirnya Otonomi Khusus (otsus) hingga dinamika perpanjangan otsus jilid dua; proses Pepera (1969), Pendudukan PT. Freeport Indonesia (1967), Aneksasi (1963), New York Agreement (1962), Trikora (1961), dan seterusnya. Demokrasi yang sesungguhnya senantiasa di manipulasi oleh penjajah. Nilai, manfaat dan praktek berdemokrasi itu tidak ada sama sekali di bumi rakyat terjajah. Sehingga kaum penjajah selalu menggap dirinya superior, dan inferior bagi terjajah. Sikap merendahkan bangsa terjajah seturut dengan praktek-praktek rasial, juga diskriminatif. Tindakan itu bermuara pada tekanan psikologi rakyat tertindas. Penjajah menguasai seluruh alat penindasannya dengan Negara, lantas Dipusatkan di Jakarta lalu melancarkan penindasannya melalui alat represif juga ideology. Disini Negara digunakan sebagai alat kekuasaan. Atau alat penindasan. Lihat saja Negara Republik Indonesia yang menggunakan konsep yang mengacu pada Trias Politika. Konsep yang menetralisir semua pilar-pilar Negara, misalnya: Ilmu pengetahuan dan Media, kebudayaan, Hukum, dan Militer kepada tiga lembaga kekuasaan: lembaga eksekutif, legislatif, dan yudikatif. 


Pembagian kekuasaan itu mengacu pada konsep demokrasi yang manipulatif. Demokrasi yang berputar pada tiga kekuasaan itu, dan tentunya tidak mengajar kepada rakyat tertindas. Sebab fungsi lembaga legislatif yang fungsinya membuat kesimpulan kebahagiaan rakyat tertindas berdasarkan kemauan sendiri. Sebut saja misalnya pembuatan dan pengesahan UU Omnibus Law, Ciptaker, RUKUHP, Otsus jilid 2, dan seterusnya. Negara berfikir bahawa dengan mengesahkan berbagai rancangan perundang-undangan itu maka rakyat akan bahagia. Ternyata tidak. Justru memicu protes yang melibatkan massa yang banyak dalam demonstrasi yang meluas dimana-mana. Lantas protes itu negara menghadapinya dengan represi, penangkapan, penembakan, bahkan membubarkan demonstrasi. Media massa mulai dikerahkan untuk mempropaganda kepentingan kelas penguasa; menggerakan buzzer untuk mempropaganda Hoax, dan sebagainya. 


Lantas mendirikan semangat mendirikan suatu Negara West Papua tentunya bukan cita-cita perjuangan rakyat Papua hari ini. Negara hanya lah alat kekuasaan. Oleh itu Negara bukan satu-satunya alasan perjuangan kita. Kini akhir tahun yang diwarnai dengan penuh pertunjukan dalam perjuangan pembebasan rakyat West Papua. Saling menunjukan berbagai wajah pengkhianatan dalam perjuangan panjang mencapai cita-cita bangsa. Sebut saja kaum revisionis. Kaum revisionis selalu mengartikan perjuangan rakyat Papua mengacu pada pendirian suatu negara West Papua sebagai pencapaian tertinggi. Selalu mengartikan kemerdekaan dalam pandangan yang sangat sempit bahwa asumsi jalan keselamatan dan pembebasan merupakan mendirikan Negara West Papua beserta atributnya. Propaganda kaum revisionis itu akan mereduksi perspektif perjuangan rakyat Papua untuk ‘West Papua lebih baik’. Lembaga Negara tidak akan menjamin kebaikan pada umat manusia di suatu tatanan perkembangan masyarakat Papua. Rakyat akan di/terselamatkan oleh kesadaran rakyat sendiri. Hanya dengan kesadaran rakyat akan siapa musuh rakyat hari ini dan kesabaran akan cita_cita “West Papua yang lebih baik”, lalu perjuangan membumikannya.


Dari semua itu demokrasi lah nafas menciptakan “West Papua yang lebih Baik”. Cita-cita tersebut merupakan kritikan terhadap realitas penindasan hari ini. Terutama demokrasi yang dikuasai untuk kepentingan kekuasaan yang menindas. Juga kritikan kepada sistem produksi tanpa masa depan di west Papua. Sistem penghancur alam, juga berdampak kepada eksistensi manusia; Juga rezim yang tidak manusiawi di West Papua. Rezim yang selalu memproduksi berbagai undang-undang yang berorientasi memperkuat kekuatan arus penindasan yang semakin massif. Sehingga jalan menuju perjuangan menciptakan cita-cita tersebut merupakan praktek perjuangan yang revolusioner. Perjuangan revolusioner hanya bisa dimajukan dengan, pertama, kritik dan oto kritik. Kritik yang mengacu pada kesatuan tindakan dan aksi bersama. Kedua adalah kebebasan berpropaganda. 


Makna 1 Disember bagi rakyat West Papua, terutama gerakan Mahasiswa Papua, juga merupakan semangat untuk terus melawan penindasan.  Realitas penindasan hari ini menyasarkan bahawa tugas gerakan rakyat adalah MELAWAN. Maka, gerakan mahasiswa yang betul-betul anti terhadap penindasan terus melancarkan aksi-aksi perlawanan, paling minima di mulai dari membaca, berdiskusi, dan aksi, turun ke basis rakyat tertindas (pengorganisiran) tanpa memandang  warna kulit, agama, ras, dan segala batasannya.


“Tiada Revolusi tanpa teori Revolusioner.” V. I. Lenin


*Penulis adalah anggota Aliansi Mahasiswa Papua (AMP), kuliah di kota Yogyakarta


Komentar Anda

[disqus][facebook]
Gambar tema oleh duncan1890. Diberdayakan oleh Blogger.
Koran Kejora View My Stats