![]() |
Logo AMP |
ALIANSI MAHASISWA PAPUA [AMP]
“Negara Bertanggungjawab atas Kejahatan Terhadap Kemanusiaan di Papua”
Tanggal 06 Juli 1998, tragedi kejahatan terhadap kemanusiaan, yang dilakukan oleh Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) terhadap rakyat Papua di Biak, Berawal dari pengibaran bendera Bintang Kejora yang di kibarkan di Tower Air berdekatan dekat pelabuhan kota Biak. Dalam aksi damai yang dilakukan oleh kurang lebih 500-1000 massa aksi, berakhir dengan pembantaian yang kita kenal dengan tragedi “BIAK BERDARAH”.
Indonesia menilai demonstasi tersebut merupakan gerakan separatis, kemudian disikapi dengan cara represif oleh militer Indonesia (TNI/Polri), ratusan demonstrasi masa rakyat tak bersenjata yang bertahan di sekitar tower dikepung dan ditembak secara membabi buta. Terjadi penangkapan, sewenang-wenang, penganiayaan, penyiksaan, penculikan dan berbagai tindakan tak berprikemanusiaan lainya dilakukan oleh militer Indonesia. Warga sipil di Kelurahan Pnas, Kelurahan Aupnor dan Kelurahan Saramom, Kecamatan Biak Kota digiring oleh Aparat ke Pelabuhan laut Biak, dan dianiaya secara tidak manusiawi, kemudian dimasukan kedalam karung, lalu dibuang kedalam laut.
Akhir dari tindakan represif TNI/Polri di Biak pada 06 Juli 1998. Peristiwa ini dicatat menelan 230 korban sebagai berikut, 8 orang meninggal dunia, 3 orang hilang tak ditemukan, 4 orang korban luka berat, 33 orang di tahan sewenang-wenang dan 150 orang mengalami penyiksaan, serta 32 mayat misterius. Meskipun peristiwa ini telah diproses dipengadilan dan telah diajukan ke Mahkama Agung Indonesia, namun hingga saat ini belum jelas sampai dimana proses hukumnya berlangsung. Para pelakunya pun sampai saat ini masih hidup dengan bebas dan justru mendapatkan penghargaan sebagai Negara, karena telah menjalankan agenda Negara.
Sejak Papua di caplok secara paksa menjadi bagian dari Indonesia pada 01 Mei 1963, berbagai kejahatan kemanusiaan terus terjadi di Tanah Papua hingga saat ini, Negara Indonesia tidak pernah mengusut secara tuntas setiap kasus pelanggaran HAM berat yang terjadi di Papua, dan bahkan terkesan sengaja dibiarkan, sebab semua kasus pelanggaran HAM berat yang terjadi di Papua, aktornya utamanya adalah militer Indonesia (TNI-Polri), yang mana memang ditugaskan oleh Negara untuk membasmi orang asli Papua.
Contoh khasus yang sangat hangat diingatan kita adalah, penembakan secara membabi buta yang dilakukan oleh TNI-Polri Di Enarotali, Kabupaten Panai pada tanggal 8 Desember 2014 lalu, yang mengakibatkan 5 orang siswa meningal dunia dan 17 lainya luka kritis, namun hingga saat ini, proses hukumnya sendiri tidak jelas, meskipun kesaksian para saksi dan alat bukti jelas menunjukan bahwa pelakunya adalah TNI-Polri.
Setelah tumbangnya rezim Soeharto hingga sampai rezim Jokowi-JK dengan mengharapkan demokrasi Indonesia yang semakin terbuka nyatanya tidak berhasil, pembungkaman terhadap ruang demokrasi masih terus terjadi terhadap aktivs pembebasan nasional Papua, juga diikuti dengan penutupan akses jurnalis asing untuk hadir di Papua.
Kenyataan ini membenarkan kehadiran Indonesia di Papua bertujuan untuk menguasai dan menjajah, tidak untuk membangun Rakyat Papua.
Maka bertepatan dengan 17 Tahun tragedi “BIAK BERDARAH”, Aliansi Mahasiswa Papua menuntut dan mendesak Jokowi Dodo - Jusuf Kalla untuk segera:
Pertama: Buka ruang demokrasi seluas-luasnya, Berikan Kebebasan dan Hak Menentukan Nasib Sendiri Bagi Rakyat Papua Sebagai Solusi Demokratis.
Kedua: Tarik Militer (TNI-Polri) Organik dan Non-Organik dari Seluruh Tanah Papua Sebagai Syarat Damai.
Ketiga: Tutup Freeport, BP, LNG Tangguh dan MNC lainnya Yang Merupakan Dalang Kejahatan Kemanusiaan di Atas Tanah Papua.
Sekian pernyataan sikap ini kami buat, atas perhatian dan dukungan semua pihak, kami ucapkan terima kasih.
Aliansi Mahasiswa Papua
Pimpinan Komite Pusat