Halloween party ideas 2015


Penulis, Yohanes Gobai

“Tuhan, kenapa ko ciptakan emas di tanah Amungsa?” Ucapan yang selalu di lontarkan oleh Gend. Kelik kwalik ketika masih bergerilya di hutan mengusir PT. Freeport, berjuang menghancurkan Imperialisme AS dan turunannya (Kapitalisme, Kolonialisme Indonesia dan Militerisme) di Papua, area Timika, khususnya.

16 Desember 2009. Embun pagi mulai merembet ke desa-desa. Dingin semakin menyusup kedalam pori,seakan tubuh memerintah segerah sebuah hangatan. Di tengah tangis si boca kecil meminta peluk hangat dari bundanya, terdengar bunyi tembakan lantaran itu. “Tuup, tuptup, ten, treteten, tenten, tup, tup.” Tembakan itu pada pukul 3;00 (waktu timika) pagi. Apa yang terjadi?

Di tengah umat Kristen sambut hari kelahiran Yesus, Lonceng Natal menjadi tanda kematian seorang Jendral, seorang terhormat di mata orang Papua. Ternyata bunyi tembakan di pagi itu tentang kabarnya. Terjadi pembunuhan terencana di area pertambangan Multi Nasional, PT. Freeport di Timika.Tentang pembunuhan seorang pria yang gagah, seorang gerilyawan, yang nyatakan ‘Freeport harus angkat kaki dari tanah Amungsa…’ terkubur begitu saja.

Negara dan penguasa justru tepuk bangga tentang kematiannya, sehingga hak hidup Pria tersebut tak ada nilai di mata Negara (system) ini. Negara yang (katanya) menjunjung Hak Asasi Manusia (HAM). Di tengah kobaran api perlawanan, perjuangan rebut hak bangsa Papua, Ia meninggal karena dibunuh, di tembak oleh pasukan Densus 88. Peristiwa yang tak berprikemanusiaan itu, tak pernah di persoalkan (pedulikan).

Gend. Kelik Kwalik, Namanya. Tentang pria Kelahiran 1955, adalah sebuah dorongan bagi pejuang Pembebasan Nasional Papua barat, perjuangan dinamik menghancurkan kapitalisme dan system yang mengkoloni. Beliau sangat di kenal oleh rakyat (tak hanya kaum kiri) di Papua. Atas sikap Negara terhadap rakyat Papua yang terus menyiksa, hingga menuju kepada pemusnahan etnis; merampas produk sumber hidup, menguras tenaga rakyat, pendekatan masyarakat dengan cara-cara yang militeristik, yang sangat tak manusiawi dan meningkatnya represifitas oleh aparat keamanan (kepolisian), membuat (Latar profesinya) Bapak guru ini harus meninggalkan sekolah dan murid-muridnya, lalu mengakat senjata dan memilih hidup di hutan.

Pada bulan desember 1976, Kwalik bergabung ke markas Viktoria, dibawa pimpinan Zet Yafet Rumkorem dan Jakob Prai. Disana ia di lantik dan kukuhkan, dan mengangkatnya sebagai Panglima Perang KODAM III, di wilayah Timika. Sejak itu di hormati oleh rakyat atas keberanian melawan Perusahaan milik Imperlialisme Amerika Serikat, PT. Freeport. Berjuang melawan untuk menentukan hidup masa depan anak cucu diatas tanah Papua.

Pria asli Amungme ini terbunuh karena diburu, Sejak ia melakukan perlawanan. Lalu, meninggal tak terhormat juga diatas tanahnya sendiri.Peristiwa-peristiwa itu sering menjadi luka dalam duka dan derita, yang sulit menyembuhkan, melupakan, dan hilang dari ingatakan tirani derita ini.Tentang gerakannya, dan sosok alm.Gend. Kelik Kwalik, adalah roh bagi pejuang keadilan dan kebenaran, dan toko pejuang mengusir penguasa. 

Sejak Ia tinggalkan semua dan korbankan profesinya, keluarga, lalu memulai hidup yang baru di arena perjuangan yang baru, bersama kawan-kawannya, mereka mendapatkan dua gelar oleh Negara Indonesia, adalah gelar Separatis dan Teroris. Selanjutnya di eksekusi oleh Militer, yakni Densus 88.

Stigma gerekan separatis di Papua sudah lama terbangun meluas. Sejak Ir. Soekarno kumandangkan Trikora, pada 19 desember 1961, Sejarah kemerdekaan Bangsa Papua barat, pada 1 Desember 1961, di kaburkan dalam tiga komando tertinggi tadi. Sejak itu pula stikma separatis kepada orang Papua semakin bias di seluruh Nusantara. Perjuangan Papua untuk menentukan hidupnya sendiri, gerakan melepaskan diri dari penjajahan; kolonialisme, Imperialisme dan militerisme, selalu di artikan kedalampandangan yang buruk.Selalu memberikan argument yang sangat rasis dan membangun pemahaman yang sangat lumpuh pengertian. Berbagai stigma menjadi bagian dari dasar legalitas untuk Negara dapat bertindak semauh Pemerintah Pusat (Jakarta), dan terus membanjirkan militer (organic dan non organic) ke Papua. Para (pelaku kekerasaan) pembunuh pun terus di pelihara oleh Negara. Orang Papua tak dapat berbuat apa-apa. Sekalipun Papua diberikan kebebasan berotonomi, rakyat diharuskan untuk tunduk kepada system yang di rancang serupa wajah kapitalistik sehingga penjajahan (yang terlihat dan tak terlihat) sangat terstruktural dan tersistematis.

Sejak Papua dianeksasi (baca; sejarah Papua di aneksasi), adalah dimana titik awal pintu masuknya kapitalisme dan Imperialisme, yang jajahnya lebih sadis dan halus. Perampasan tanah terjadi sangat kompleks dan peran militer sangat siknifikan dalam peciptaan kondisi. Kekerasan terhadap orang asli Papua; pemerkosaan, penangkapan, pembunuhan, terus mengalir seiring berjalannya waktu. Operasi-operasi militerisktik di lancarkan berantai periode. Dialektika mengatakan bahwa motifasi Negara Indonesia mengkoloni Papua atas kepentingan ekonomi politik Negara-negara kapitalisme. Tindakan Negara terhadap orang Papua adalah upaya mengamankan usaha-usaha milik pemodal.

Setelah Papua di aneksasi, pada 1 Mei 1963, juga tak mampu menjamin hak hidup rakyat Papua, umumnya rakyat Indonesia. Semboyang “Bineka Tunggal Ika” justru dicemari oleh segelintir orang yang punyai kepentingan menguasai untuk “kenyang perut Pribadi”. Negara hanya menjadi alat bagi kapitalis dan borjuis. Kitab UU dan peraturan Negara hanya menjadi idelnya para Pemodal. Hanya menjadi dasar Legalitas untuk terus eksplorasi dan terus ekplorasi dan eksploitasi hasil kekayaan alam. Terus menguras tanah dan rakyat pemilik tanah.

Rakyat Indonesia rebut hak berbasangsa yang berdaulat dari tangan penjajah, Belanda, dan mendirikan Negara dengan tujuan, salah satunya adalah mensejahterakan rakyat dan menghapuskan manusia menindas manusia lain di bumi nusantara ini. Namun kenyataan hari ini Negara tak mampu memberdayakan rakyat, dan tak mempu mensejahterahkan rakyat.Justru negara memainkan peran penting untuk terus memberikan nutrisi kepada negara-negara kapitalis.

Hari ini, pancasilah sudah tak ada. 5 tombak negara hanya menjadi busa bibir di setiap 17 Agustus. Ketiadaan pancasilah bukan karena adanya kesetaraan, kesamaan, dan menjunjung tinggi nilai dan hak hidup manusia masyarakat. Tetapi karena nalar berbangsa sudah di hancurkan oleh fisafat-filsafat kapitalisme, Ideologi-ideologi borjuis. Penjajahan yang di lakukan oleh negara tak hanya melalui militer dan milisi-milisi reaksioner yang terlihat. Tetapi yang tidak terlihat adalah rakyat di jajah dan menghacurkan psikologinya.Ideology dan filsafat penguasa yang di cerna dalam ilmu pengetahun, telah mengutus nabi-nabinya ke seluruh lini kehidupan manusia masyarakat untuk menyebarluaskan dalam didikan. Mereka dapat menyusup kedalam panggung pengetahuan; Sekolah, agama, dan setiap pelosok dimana rakyat membutuhkan pengetahuan yang maju. Membangun pandangan rasisme, perbedaan-berbedaan, dan pengetahuan intrinsik yang sangat reduksionis. Sehingga rakyat gantungkan hidup kepada kapitalis, seakan hidup yang layak dan damai hanya ada pada system kapitalisme.Kemudian manusia berlomba-lomba menjadi kapitalis-kapitalis, dan borjusi kecil tanpa memandang kesetaran hak hidup sesama manusia sebagai manusia masyarakat.

Rakyat kecil, miskin tetap miskin. Yang kaya semakin kaya diatas penderitaan orang lain. Korupsi semakin meningkat. Rakyat jawa mati diatas lumbung padi dan rakyat Papua mati diatas lumpuran emas. Begitu juga setiap suku-suku bangsa yang ada di bumi nusantara.

Diatas situasi rill ini, gerakan (yang di stikma) separatis yang berada di seluruh nusantara ini sangat rasional. Rasionya ingin bebaskan rakyat dari penjajahan kapitalisme dan imperialisme asing. Sebab Negara tak bisa di harapkan untuk meruba kenyataan hari ini. Negara Indonesia tak mampu menjamin hak-hak dasar Manusia masyarakat.

Rasionya perjuangan pembebasan nasional bagi rakyat Papua tidak menindas rakyat di Jawa, Aceh, dan seluruh bumi Nusantara ini. Hak penentuan nasib sendiri yang di perjuangkan oleh bangsa Papua, juga mengangkat tuntutan pengupahan yang di perjuangkan oleh buruh di Papua dan di Indonesia pada umumnya. Juga mengangkat perjuangan Buruh untuk (hak) rebut mesin produksi. Gerakan-gerakan perwanan yang mengangkat dasar-dasar hak hidup manusia rasionya tak dapat menindas siapa pun. Juga tidak menindas rakyat di Papua dan rakyat di tempat lain.

Tindakan Kelik kwalik untuk merebut kembali tanah adat sebagai sumber kehidupan, juga tidak menindas rakyat Indonesia yang memperjuangkan UUPA (gerakan Agraria).

Kolektifitas perjuangan membangun demokrasi seluas-luasnya, rebut Pengelolahan sumber daya alam sepenuhnya oleh rakyat dan malawan militerisme, yang di awali dalam aksi bersama di kota Yogyakarta, pada 22 Mei 2016, di moment peringati 18 tahun reformasi, merupakan perjuangan kaum revolusioner hancurkan kapitalisme dan imperialisme AS, hapuskan feodalisme dan kolonialisme, dan lawan militerisme. Adalah upaya membangun kesetaraan antar manusia, menjunjung tinggi kesamaan hak sebagai manusia masyarakat berada, dan tanpa mengutamakan perbedaan-perbedaan tertentu (agama, rasisme, dan budaya) dalam sebuah persatuan, melawan, menghancurkan Noe Liberalisme, Imperialisme asing dan Kapitalisme bersama antak-anteknya (Kolonialisme dan feodalisme).

Maka Hak Penentuan Nasib Sendiri adalah solusi demokratisbagi buru, Tani, Nelayan, kaum miskin kota, Mama-mama pasar, rakyat Papua, dan setiap suku-suku bangsa di Bumi. Untuk membangun sosialisme dunia, yang berdemokratik.

Penulis adalah anggota Aliansi Mahasiswa Papua [AMP] komite kota, kuliah di Yogyakarta.
@Kritik dan Saranmu adalah lentera hidupku.

Komentar Anda

[disqus][facebook]
Gambar tema oleh duncan1890. Diberdayakan oleh Blogger.
Koran Kejora View My Stats