Ilustrasi Penagkanpan Masyarakat Papua 2 Mei 2016 (foto Dok KNPB) |
Situasi politik Papua menunjukkan beberapa perkembangan. Di internasional, tokoh-tokoh Papua yang dipercaya sebagai diplomat, telah berhasil memberikan keyakinan kepada berbagai kalangan di Eropa, Afrika, Amerika, Pasifik dan Melanesia, dalam mendesak penyelesaian persoalan hak asasi manusia (HAM) yang dilakukan oleh Indonesia kepada orang asli Papua serta mendukung diberikannya kebebasan kepada bangsa Papua untuk menentukan nasib sendiri.
Di Inggris, pada bulan Mei 2016, Free West Papua Campaign yang dipimpin langsung oleh Benny Wenda, bersama ILWP dan IPWP, mendeklarasikan Referendum bagi West Papua, yang didukung langsung oleh Ketua Partai Sosialis Inggris yang juga sebagai anggota parlemen di Inggris, Gubernur Provinsi Orro PNG Gerry Juva, Menteri Luar Negeri Vanuatu, dan beberapa utusan Pasifik dan Melanesia serta Afrika.
Manasseh Sogavare selaku ketua forum Melanesia Spearhead Group (MSG), yang juga adalah Perdana Menteri Solomon Island, mengecam sikap Indonesia yang tidak merespon surat dari forum MSG terkait penyelesaian persoalan HAM di Papua dan menganggap bahwa tidak ada niat baik Indonesia dalam penyelesaian persoalan HAM di Papua. Manasseh Sogavare mendesak pimpinan-pimpinan negara-negara Melanesia untuk mengangkat status United Liberation Movement For West Papua (ULMWP) dari observer menjadi anggota tetap, sesegera mungkin.
Selain itu, Piter Oneil selaku Ketua Pasific Island Forum (PIF) yang juga sebagai Perdana Menteri Papua New Guinea (PNG) menyatakan bahwa Forum Pasific mendukung West Papua Self Determination.
Di dalam negeri, gejolak perlawanan yang dilakukan rakyat dan mahasiswa Papua lewat aksi-aksi damai di berbagai kota dan kabupaten di tanah Papua dan beberapa kota lain di Indonesia semakin tinggi. Rakyat Papua semakin yakin dan semakin bersemangat dalam menyuarakan aspirasi di ruang-ruang publik. Gerakan rakyat yang sebelumnya menonjol di beberapa kota dan kabupaten, kini lewat aksi-aksi damai sudah semakin massif dan merata di seluruh kota dan kabupaten di tanah Papua.
Melihat desakan dunia internasional terhadap pesoalan politik dan HAM di Papua dan gejolak rakyat Papua yang semakin masif dan terbuka melakukan perlawanan di ruang-ruang publik, pemerintah Indonesia bergerak cepat merespons situasi ini. Indonesia membentuk tim khusus penyelesaian persoalan HAM di Papua yang dipimpin langsung oleh Menkopolhukam RI Luhut Binsar Panjaitan.
Dari banyaknya kasus pelanggaran HAM yang terjadi, tim ini hanya mengangkat 3 persoalan yang dianggap sebagai representasi dari sekian banyak persoalan HAM yang terjadi di tanah Papua. Padahal, sejak invasi militer Indonesia dilakukan ke tanah Papua pertama kali pada tahun 1961 hingga saat ini, tercatat ada ratusan kasus pelanggaran HAM yang dilakukan oleh militer yang telah memakan ratusan ribu jiwa rakyat Papua.
Tidak hanya itu, guna menekan desakan dari dunia internasional terhadap persoalan HAM di tanah Papua, Indonesia lewat Kementerian Luar Negeri dalam pernyataan di berbagai media mengecam intervensi yang dilakukan berbagai negara dan menegaskan bahwa persoalan Papua adalah persoalan internal Indonesia sehingga negara-negara lain tidak perlu mencampuri urusan HAM di Papua.
Menyikapi maraknya aksi-aksi damai yang dilakukan oleh Komite Nasional Papua Barat (KNPB) bersama rakyat Papua sendiri, Indonesia lagi-lagi menggunakan pendekatan-pendekatan militeristik. Dalam 3 bulan terakhir, dilakukan pengiriman militer secara diam-diam ke seluruh Tanah Papua secara masif, terlebih di daerah-daerah perbatasan antara Papua dan PNG.
Pengiriman militer dalam jumlah banyak ini kemudian mendapatkan respons dari Gerry Juva (Gubernur Provinsi Oro, PNG) di perlemen PGN. Gerry Juva mempertanyakan banyaknya jumlah militer Indonesia yang ditempatkan di daerah-daerah perbatasan. Setidaknya ada 45.000 personil tentara organik yang disiagakan. Pembangunan Kodim dan Mako Brimob semakin marak dilakukan di berbagai kota dan kabupaten di seluruh tanah Papua. Hal ini dipertegas dengan pernyataan Menteri Pertahanan Indonesia bahwa Kementerian Pertahanan akan membangun kantor cabang dan membangun pangkalan militer khusus Papua yang akan dimulai pad akhir tahun 2016 ini.
Tindakan represif aparat (TNI-Polri) terhadap aksi-aksi damai yang digelar rakyat Papua semakin menjadi-jadi. Puluhan aktivis dan rakyat Papua ditangkap hanya karena membagi-bagikan selebaran aksi. Ribuan massa rakyat Papua ditangkap di beberapa kota dan kabupaten hanya karena menggelar aksi damai. Penyiksaan, penganiayaan, dan bahkan pelecehan dilakukan aparat terhadap rakyat Papua yang diamankan saat menggelar aksi damai.
Penangkapan dan pembungkaman ruang-ruang demokrasi di ruang publik dan ruang akademik masif dilakukan aparat gabungan dalam kurun waktu April-Juni 2016. Penangkapan terhadap 54 aktivis KNPB, mahasiswa dan rakyat Papua pada tanggal 28-30 April 2016 saat membagi-bagikan selebaran seruan aksi damai di Jayapura, Abepura, Sentani, dan Yahukimo. Penangkapan terhadap 13 mahasiswa Uncen saat menggelar aksi damai menuntut pemerataan biaya pendidikan dan UKT di lingkungan kampus pada tanggal 27 April 2016 di Abepura.
Penangkapan massal terhadap 2000-an lebih aktivis, mahasiswa, dan rakyat Papua pada tanggal 2 Mei 2016 saat menggelar aksi damai di beberapa kota dan kabupaten di tanah Papua. Penangkapan terhadap 75 aktivis, mahasiswa, dan rakyat Papua saat membagikan selebaran seruan aksi di beberapa kota di Papua, pada tanggal 28-30 Mei 2016. Penangkapan terhadap 597 orang massa aksi dan aktivis KNPB saat menggelar aksi damai pada tanggal 31 Mei 2016, dan 7 orang mahasiswa Papua di Menado, Sulawesi Utara saat menggelar aksi yang sama.
Menjelang aksi damai yang akan digelar oleh rakyat Papua bersama KNPB pada tanggal 15 Juni 2016, penangkapan kembali dilakukan oleh aparat. Setidaknya sejak tanggal 10 hingga 13 Juni, sebanyak 99 orang aktivis, mahasiswa, dan rakyat Papua ditangkap hanya karena membagi-bagikan selebaran aksi di beberapa tempat di Papua.
Komite Nasional Papua Barat (KNPB) Pusat melaporkan, dalam lima hari terakhir, sejak tanggal 10 hingga 15 Juni, Kepolisian Republik Indonesia telah menangkap 1.236 orang. Tanggal 10 Juni lalu aparat dari Polresta Jayapura menangkap 31 orang di Jayapura saat membagikan selebaran. Tanggal 13 Juni, 65 orang ditangkap di Sentani juga saat membagikan selebaran. Pada tanggal yang sama, 4 orang ditangkap di Nabire saat mengantar surat pemberitahuan ke polisi. Tanggal 15 Juni ada sekitar 1.135 orang ditangkap. Yaitu 100 orang ditangkap di Wamena, 1.004 orang ditangkap di Sentani, dan 31 mahasiswa ditangkap oleh aparat dari Polres Malang, Jawa Timur, saat mau aksi.
Setiap kali penangkapan, selalu ada penganiayaan terhadap aktivis KNPB seperti yang terjadi di Sentani. Dalam perjalanan menuju ke Polres, banyak yang dipukul di tengah jalan. Ini kebiadaban yang sedang ditunjukkan pada orang Papua. Rakyat Papua semakin sulit untuk percaya bahwa Indonesia sebagai negara demokrasi, jika pengamanan aparat kepada rakyat Papua dalam menyampaikan pendapat dibuka umum dengan cara-cara kekerasan dan tidak mengedepankan nilai-nilai kemanusiaan.
Militer mulai menghidupkan milisi-milisi reaksioner (ormas) yang diback-up langsung oleh militer yang mayoritas massanya adalah orang non-Papua untuk melakukan perlawanan terhadap aksi-aksi damai yang digelar oleh rakyat Papua. Terjadilah konflik antara sipil dan sipil (pribumi dan pendatang) di Papua. Penculikan, penganiayaan, dan bahkan pembunuhan misterius terhadap orang asli Papua semakin marak terjadi di berbagai kota di Papua. Di Jayapura saja, dilaporkan hampir setiap hari ditemukan 4-5 jenazah orang asli Papua di ruang jenasah RSUD Jayapua dengan luka-luka yang rata-rata hampir sama.
Penulis adalah Kawan-Kawan yang kerja di media online www.membunuhindonesia.net