Represif militer terhadap massa aksi demo damai Aliansi Mahasiswa Papua, peringati 1 Desember di Jakarta, pada 2015. |
Oleh, Yohanes Gobai
Aparat Militer (RI) lompat pagar. Mereka (aparat) memegang kendali sistem Negara, menghancurkan nilai-nilai Demokrasi. Suara kemiskinan, suara kemerdekaan, suara pembebasan, semua dapat terisolirkan.
@ Catatan hasil diskusi dan pembacaan situasi pada 31 Mei 2016, di Yogyakarta, terkait ruang kondisi demokrasi yang diberhanguskan oleh aparatur negara dan milisi-milisi reaksioner, di Indonesia, dan khususnya di Papua.
Dalam beberapa hari kesini, situasi Indonesia khususnya di, tak hanya kota-kota rawan konflik, mengalami cacat Demokrasi. Demokrasi yang hakikatnya menjunjung tinggi hak-hak dasar manusia. Hak untuk beraktifitas, berbicara, hidup, bahkan berkumpul, pun di bungkam oleh Negera melalui aparaturnya. Pergerakan pembungkaman ruang demokrasi, diksriminalisasi rakyat, dan rasisme di pertahankan dinamik, dan di perlebar-luaskan oleh kelompok-kelompok reaksinoner dan aparaturnya.
Situasi gerakan dan Masyarakat Papua
Situasi sosial di Papua menggambarkan wajah manusia yang jalan dalam Goa kegelapan. Situasi yang penuh ketakutan, trauma, hancurnya mentalitas, dan psikologi orang Papua, yang juga dapat perpengaruh dalam dunia bermasyarakat. Adalah Sebuah penjajahan yang halus.
Penjajahan secara fisik dan non fisik, terihat di kasat mata. Pembunuhan oleh Orang Tak dikenal (OTK) pada malam hari, penculikan, pemerkosaan pun masih masih masif di Papua. Militer dan aparatur Negara masih menciptakan konflik-konflik horizontal yang kemudian membangun rasisme, didalamnya.
Selain itu, aparat kepolisian dalam menjalankan tugas pokok Kepolisian dan tanggungjawabnya untuk melindungi, melayani, dan mengayomi masyarakat, masif menggunakan moncong senjata. Berkumpul berdiskusi saja di tangkap, dan di penjara. Dan terus memelihara milisi-milisi reaksioner yang, semakin kesini, semakin bereaksi di Papua.
Dalam situasi tersebut penyedaran minuman keras sangat drastis, disertai juga kematian manusia Papua (karena mengonsumsi miras dan akibat kesengajaan). Tindakan Pemerintah Provinci dan rakyat menolak dagangan miras di Papua, namun justru militer dan penegak Hukum (kepolisian) memelihara para penjual. Dan jusru militerlah yang menjadi agen penjual. Hal itu terbukti di Kab. Paniai, ketika Satuan Pemuda Anti Miras membongkar sebuah gudang berisi Minuman Keras di Kantor Brimob di Kabupaten Paniai. Artinya bisnis-bisnis militer, perempuan, permainan Togel, dan judi terus di perlihara oleh aparatur Negara yang buta Hukum.
Juga Negara melalui Badan Intelijen (BIN) memainkan peran penting dalam mempropagandakan berita, meciptakan situsi yang tidak kondusif, membangun argument yang menakut-nakuti warga, dan membangun paham militeristik, dan pengetahuan reaksionis, yang sangat atomistik dalam dunia pendidikan; Sekolah Dasar (SD), Sekolah Menengah pertama (SMP), dan sekolah menengah Atas (SMA) oleh utusan nabi-nabi Filsuf kapitalis yang berideologi borjuis, dan aparatur negera bersama milisi-milisi reaksionernya.
Hal demikian di sertai juga dengan meningkatnya represifitas aparat kepolisian dan bermunculan kelompok-kelompok Reaksioner di bumu Nusantara ini. Di Indonesia Timur, khususnya West Papua, pada 2 Mei lalu, 2000 lebih warga Papua yang tergabung dalam demontrasi damai, yang di mediasi oleh Komite Nasional Papua Barat (KNPB) di tangkap dan di penjara. Kemudian diskriminasi dan represi oleh aparat kepolisian masih berlanjut hingga tanggal 5, kembali terjadi penangkapan dan pemukulan terhadap masyarakat yang datang ke Polres guna kunjungi massa yang di tahan pada 2 Mei. Jumlah masyarakat yang datangkap semakin bertambah lebih 2000 orang.
Kemudian, peristiwa yang sama berulang pada 27-29 Mei, pasca Jemput 31 Mei, terjadi penangkapan terhadap 47 aktivis KNPB di Papua; Jayapura, Wamena, Merauke dan Kota-kota yang lain, ketika mereka membagikan selebaran dan seruan kepada rakyat Papua.
Lalu pada tanggal 31 Mei, aksi nasional West Papua yang di mediasi oleh KNPB, rangka mendukung The United Liberation Movement For West Papua (ULMWP) atau Gerakan Persatuan Pembebasan Untuk Papua Barat, di terima sebagai keanggotaan tetap dalam Melanesia Spearhead Group (MSG), yang akan di tetapkan pada tanggal 2 Juni mendatang, aparat Negara represif, dan terjadi penangkapan leluasa terhadapat 597 massa aksi KNPB.
Juga disertai dengan aksi-aksi tandingan yang di lakukan oleh milisi-milisi reaksioner; Barisan Merah Putih (PMP), Papua Indonesia (PAPINDO), dan OTK (Orang tak dikenal) yang bergerak dengan Misi menghabisi Toko-toko politik Pembebasan Papua dan aktivis Papua Merdeka, tentunya di Back ap oleh aparatur Negara.
Hal itu diungkap oleh massa (korban pemaksaan dan penipuan) ketika massa di ajak oleh seorang pria mengenakan pakaian dinas Brigade Mobil (BRIMOB) untuk tergabung dalam aksi kelompok-kelompok Reaksioner pasca aksi tandingan di kota Fak-Fak.
[Baca; Terbongkar, Aksi Tolak KNPB - ULMWP Di Merauke dibayar Rp.100.000, rupiah]
Selanjutnya milisi-milisi reaksioner kembali bereaksi di Jayapura, pada 2 Juli dengan aksi tandingan, namun dalam jumlah massa yang sedikit.
Setelah Simposium 65 di Jakarta
Tindakan aparatur Negara bersama milisi-milisi reaksioner yang menyebarluaskan Rasisme, diskriminalisasi, repfresifitas dan pembungkaman ruang demokrasi, menggambarkan wajah yang sama di Indonesia, pada umumnya. Pola pergera Situasi sosial di Papua, menggambarkan wajah manusia yang jalan dalam Goa kegelapan. Situasi yang penuh ketakutan, trauma, hancurnya mentalitas, dan psikologi orang Papua pun terganggu dalam dunia bermasyarakat. Adalah Sebuah penjajahan yang halus.
Penjajahan secara fisik dan non fisik, terihat di kasat mata, Pembunuhan oleh Orang Tak dikenal (OTK) pada malam hari, penculikan, pemerkosaan pun massif di Papua. Militer dan aparatur negara masih menciptakan konflik-konflik horizontal yang kemudian membangun rasisme, didalamnya. Menerima rakyat dengan moncong senjata. Berkumpul berdiskusi saja di tangkap, di aniaya, dan di tahan. Juga terus memelihara milisi-milisi reaksioner yang, semakin kesini, semakin tampil di Papua setelah di luar Papua.
Pola dan tindakan agak beda tetapi tetap menggambarkan bahwa ruang demokrasi di Indonesia di brangus habis. Kini bangkit kembali Masa Orde baru Jilid dua, di rezim Jokowi-JK.
Rakyat Pribumi yang berbicara soal hak milik tanah, dan hak-hak dasar, yang mesti di junjungi dan di lindungi oleh Negara, justru mereka di dikriminasi oleh Negara. Gerakan Tani (Agraria) di stigma komunis gaya baru, Buru upah murah, PKL di gusur dimana-mana, pameran-pameran budaya dan diskusi di beradukan dengan milisi reaksioner.
Tindakan aparatur Negara terhadap gerakan rakat di Indonesia, dialetika mengatakan bahwa kepentingan militer untuk mengamankan sumber daya alam yang terus di eksploitasi habis.
Sejak pemerintahan Soerkarno, pada 1950an, menasionalisasikan semua perusahaan, Sumber Daya Alam, dan asset milik Kolonial belanda, kemudian di lemparkan kepada semua Jendral-Jendral, dan Kolonel (mliter) tertintinggi. Kemudian dalama perode yang sama, segerah Mereka membuat Undang-Uang Penanaman Modal asing di Idonesia. Selanjutnya, pada 7 April 1967, Tambang raksasa milik Imperialisme Amerika , PT. Freeport ( dan selanjutnya 20 perusahaan lainnya) dan menduduki di wilayah Papua. Dalam menikmati hasil eksploitasi SDA, melengceng dari adanya keadilan dalam pengelolahan dan melenceng dari pemerataan pembagian. Hasilnya kemudian rakyat Indonesia tidak mendapat nutrisi sedikit pun dari hasil ekspoitasi SDA. Hingga sampai saat ini.
Militer tidak hanya menjadi anjing penjaga modal milik pemodal (asing dan local). Justru petinggi-petinggi militerlah yang menjadi kapitalis-kapitalisnya di Indonesia.
Sejak symposium 65 yang diadakan di Hotel Aryaduta, Jakarta Pusat, pada 18-19 April 2016, Aparatur Republik Indonesia memainkan peran penting dalam Negara, mengendalikan Negara, adalah upaya mengamakan kepentingannya dengan tiga isu besar yang di rancang. Akibat ketakutan terungkapnya sejarah Tragedi 65, pembantaian terhadap PKI, upaya melindungi modal tadi.
Pertama, isu anti komunisme gaya baru yang di kembangkan hingga berujung pada pembungkaman ruang gerak Gerakan rakyat Tani, dan penyitaan buku. Yang kedua anti Syariah. Dan yang ketika adalah anti terhadap separatisme.
Tiga anti tersebut adalah dasar legalitas atas tindakan Negara melalui aparaturnya bersama kelompok-kelompok reaksioner untuk membranguskan nilai-nilai demokrasi tanpa memandang sebutir kebebasan sebagai hak-hak dasar manusia.
Demokrasi di Indonesia memandang dan junjung tinggi hak setiap induvidu. Juga hak sebuah bangsa untuk mensejahterahkan bangsanya, menentukan nasibnya sendiri. Hak penentuan nasib sendiri bagi suatu bangsa, di sahkan dalam pembukaan UUD 1945, juga di ratifikasi oleh Hukum internasional, yang mengatur tentang Hak sipil dan Politik tentang Hak penentuan nasib sendiri bagi suatu bangsa.
Demokrasi yang sesungguhnya adalah tidak meniadakan hak-hak induvidu manusia, menjadi sebuah masyarakat. Juga tidak menindas sesama manusia yang punya hak sama. Maka peran Negara dalam hal menjunjung tinggi hak berdemokrasi setiap induvidu adalah menjaga dan mengutamakan prinsip-prinsip kesetaraan, kesamaan-kesamaan sebagai manusia yang beradap.
Maka rasionalnya Hak penentuan nasib sendiri bagi bangsa Papua adalah solusi yang sangat demokratis.
@ Catatan hasil diskusi dan pembacaan situasi terkait ruang kondisi demokrasi yang diberhanguskan oleh aparatur negara dan milisi-milisi reaksioner, di Indonesia, dan khususnya di Papua.