Bendera organisasi aliansi mahasiswa papua (AMP) |
Surat Terbuka
Aliansi Mahasiswa Papua [AMP]
untuk Sri Sultan Hamengkubuwono X
Kepada Yth. Sri Sultan Hamengkubuwana X
di Tempat
Salam sejahtera, dengan berkat rahmat Tuhan yang Maha Esa, sehingga kami selalu diberi perlindungan yang tak terhingga. Pertama-tama, kami ucapkan banyak terimakasih kepada Bpk. Sri Sultan Hemangkubuwono X yang telah membuka hati untuk memberikan tempat bagi kami mahasiswa Papua untuk mengemban ilmu di kota studi Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), tak lupa juga kami ucapan terimakasih kami kepada rakyat Jogja yang sudah menjadi bagian dari kami.Apa kabar, Pak? Apa kabar Keraton? Apa kabar Jogja? Berharap bapak selalu dalam keadaan sehat-sehat, juga untuk Jogja istimewa selalu 'cinta damai'(?) dan 'anti premanisme'(?). Oh, iya, Pak, surat ini kami buat untuk merespon pernyataan bapak beberapa waktu yang lalu. Sebelumnya kami minta maaf, Pak, surat ini kami keluarkan secara terbuka. Alasannya simple, sangat tipis kemungkinan kami yang hanya mahasiswa Papua bisa bertemu dengan Bapak.
Berhubung, peryataan Bapak di media online republika.co.id tgl 19 Juli 2016, 16:43 WIB, “Separatis tak Punya Tempat di Yogyakarta”. Juga pernyataan Bapak pada 20 Juli 2016. Tempo.co 20 Juli 2016 18:34 WIB “aspirasi untuk menentukan nasib sendiri yang dilakukan mahasiswa Papua boleh dilakukan, asalkan tidak disampaikan kepada publik". “Kalau di asrama, silakan. Kalau disampaikan ke publik, di tempat lain sana, tidak di Jogja.”
Kami melihat dari pernyataan tersebut sudah tentu mengarah pada kami, Aliansi Mahasiswa Papua (AMP) sebagai organisasi massa mahasiswa Papua. Maka kami ingin merespon sedikit dari pernyataan Bapak di atas melalui surat terbuka ini. Tidak perlu lagi kami menjelaskan apa itu Aliansi Mahasiswa Papua dan apa tujuan perjuangan AMP. Karena AMP sudah tidak asing lagi di telinga Bapak, juga di seluruh rakyat Yogyakarta dan Indonesia.Melihat pernyataan di atas, Sultan sebagai gubernur sekaligus raja Jawa telah melakukan rasialisme terhadap mahasiswa Papua, lebih khusus soal konteks separatisme dalam bentuk hak menentukan nasib sendiri bagi Papua. Juga Sultan sebagai pimpinan di Jogja melakukan pengalihan isu dengan isu rasialisme sebagai jalan masuknya para pemodal-pemodal di Yogyakarta, misal Kulon Progo terkait Bandara, petani di Bantul dan pembangunan hotel-hotel di Sleman, Yogyakarta.
Perlu kami tegaskan di sini, tentang status kami. Status kami hanya Mahasiswa, Pak, hanya mahasiswa. Toh, sekali lagi, Pak, hanya mahasiswa: Bukan separatis, sepeeti yang Bapak maksudkan. Setidaknya Bapak harus menjelaskan bentuk-bentuk separatis dan kesamaanya dengan mahasiswa. Jika Bapak memberikan diktum kepada kami sebagai separatis, sama halnya Bapak memberikan stigma (separatis) kepada rakyat Yogyakarta Kab. Kulon Progo yang memperjuangankan lahanya dari penggusuran guna pembagunan bandara Temon, Kulon Progo. Pak, sekali lagi kami hanya mahasiswa, sudah tentu tugas mahasiswa berat, Pak. Selain belajar di kampus kami juga dituntut untuk harus membantu menyelesaikan persoalan-persoalan yang dihadapi rakyat, memperjuangkan keadilan sejati dan kemerdekaan yang hakiki bagi rakyat Papua Barat yang sedang dijajah oleh kapitalisme dan pemerintahan Indonesia sebagai agennya.
Kemudian, pernyataan Bapak tentang “aspirasi untuk menentukan nasib sendiri yang dilakukan mahasiswa Papua boleh dilakukan, asalkan tidak disampaikan kepada publik. “Kalau di asrama, silakan. Kalau disampaikan ke publik, di tempat lain sana, tidak di Jogja.” Pak, bukankah Indonesia negara demokrasi ke-III terbesar di dunia, yang menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan. Amat jauh berbeda dengan sistem kerajaan-kesultanan. jika Bapak menggunakan kekuasaan sebagai raja jawa untuk membungkam kebebasan berekspresi di muka umum sama halnya Bapak tidak mengakui NKRI sebagai negara demokrasi, demokrasi itu tidak muncul begitu saja, Pak, demokrasi direbut dan diperjuangkan, bahkan dengan pertumpahan darah. Sejarah gerakan rakyat 1998, mahasiswa dan gerakan pro-demokrasi menggulingkan rezim otoriter Soeharto yang anti dengan demokrasi, banyak korban juga yang berjatuhan dan hilang tak ditemukan.
Bayangkan, Pak! Rakyat Papua Barat yang saat ini memperjuangkan hak-hak demokratiknya selalu saja diperhadapkan dengan moncong senjata, penangkapan, pemenjaraan, penyikasaan, terror intimidasi, sudah menjadi bagian yang tak terpisahkan dari kehidupan sehari-hari rakyat Papua Pengeksploitasian sumber daya alam tidak pernah berhenti, yang kemudian mengakibatkan ribuan hektar tanah rakyat Papua hilang dirampas kapitalis dan korporasi Imperialisme. Pertanyaannya, apakah kami, mahasiswa Papua yang bagian dari rakyat Papua akan tinggal diam dan membiarkan penderitaan rakyat terus terjadi? Tidak! Selama status kami masih mahasiswa, kami tidak akan pernah diam dan berhenti melihat rakyat Papua dan alam Papua dihancurkan oleh manusia bertangan besi yang rakus dan durjana.
Pak, kami sadar bahwa kami juga manusia, sama dengan manusia lainnya, kami sadar bahwa kami juga manusia bebas yang punya hak untuk mengatur hidup di atas bumi Papua Barat. Pak, kami tidak hanya di Yogyakarta, kami ada di Solo, kami ada di Semarang, kami ada di Surabaya, kami ada di Bali, kami ada di Bandung, kami ada di Bogor, juga kami ada di pusat kota pemerintahan negara, Jakarta, dan di Papua, kami berlipat ganda. Di tempat dimana kami berada, kami akan terus memperjuangkan hak-hak demokratik rakyat Papua Barat, hingga tercapainya kemerdekaan sejati, kemerdekaan yang hakiki.
Sekian surat ini kami buat, atas perhatian Bapak, dan demi kelancarannya aktivitas demokrasi bagi kami dan rakyat Yogyakarta, kami ucapkan salam erat!
Colonial Land, 24 Juli 2016
Pimpinan Komite Pusat
Aliansi Mahasiswa Papua
[KP-AMP]
Jefry Wenda Adhen Dimi
Ketua Sekertaris