Sampul buku Freire. Paulo, tokoh pendidikan, pembranstas butah huruf di Soa Paulo, Brasil. |
Penulis, Thomas Djanama
‘’Ada tiga cara melemahkan dan menjajah suatu negri. Pertama, kaburkan sejarahnya, Kedua, hancurkan bukti-bukti sejarah bangsa itu hingga tidak bisa lagi diteliti dan dibuktikan kebenarannya, Ketiga, putuskan hubungan mereka dengan leluhur dengan mengatakan jika leluhur itu bodok dan primitif ‘’[1] (Architects of deception –secret history of freemansonry by Jury Lina)
Refleksi keberadaan dan kesadaran sosial Papua dalam bingkai KNRI setelah di aneksasi (1 Mei 1963) dan dasar Perolehan suara dalam proses Penentuan Pendapat Rakyat (PEPERA) yang di lakukan pada 14 Juli-2 Agustus 1969, dialetika mengatakan bahwa perebutan wilayah Papua oleh kolonial indonesia adalah kepentingan ekonomi politik antara Indonesia dan negara-negara imperialis, beserta antek-anteknya.
Proses PEPERA 1969 yang sangat ilegal, penuh kontraversial, dan cacat hukum dalam pelaksanaannya. PEPERA yang di lakukan berdasarkan sepihak (tanpa melibatkan seluruh rakyat Papua, suarah penentuan pendapat rakyat yang di wakili oleh 1025 orang dari 800 juta jiwa orang Papua); yang di warnai dengan tindakan militeristik yang berkepanjangan (baca sejarah rangkaian Operasi Militer di Papua), mekanisme PEPERA tak sesuai dengan prosedur ( prosedural hukum internasional “One Man One Voice” (Satu orang satu suara) menjadi “suara perwakilan” dalam menentukan hal induvidu untuk menentukan pilihannya). Memperopeh suara manipulatif demi kepentingan ekonomi/politik indonesia dan kepentingan negara-negara kapitalis, Amerika Serikat dan antek-anteknya.
Hal itu merupakan kemenangan bagi pengisap, penjajah, penguras. Setelah kemenangan itu di raih oleh imperialis dan kapitalis lokal, para borjusi birokrat yang korup, mereka mendapatkan kekuatan militer yang dinamik dalam hal eksplorasi dan eksploitasi SDA dan Investasi. Dan kehadiran mereka tidak hanya menanamkan investasi berupa modal ekonomi dan politik, tetapi hal yang sangat signifikan adalah penanaman ideologi kapitalisme dan imperialisme yang di cerna dalam ilmu pengetahuan borjuis. Mereka menyebarluaskan pemahamannya kepada seluruh rakyat di setiap pelosok-pelosok dan menguasai panggung-panggung rakyat oleh nabi-nabi yang di utus atas nama ketuhanan, atas nama pendidikan, atas nama pengacara, perwakilan demokrasi. Namun mereka dengan satu misi, yakni menyebarluaskan ideologi mereka. Harapan terkecil dari target pencapaian mereka, rakyat pemilik tanah menjadi budak yang sadar, berintelektul, menjual tenaga kerjanya, dan berkerja keras untuk para borjuis tadi.
Maka dengan kehadiran negara kolonial indonesia di atas teritori west papua merupakan krang kehancuran tatanan hidup rakyat papua; bukan hanya kekayaan alam yang di kuasai, tetapi Pedidikan, Budaya, adat istiadat, martabat, harga diri orang papua dihancurkan demi kepentingan ‘makan dan minum’.
Hal pengancuran dengan pola tersistematis, tersistem, dan khusus terkuriklum, maka pendidikan dalam hal ini memaikan peran penting dalam membunuh karater manusia Papua.
Penanaman ideologi melalui, lebih khusus sistem pendidikan yang diterapkan kolonial indonesia tidak berbalik lokal papua. Kurikulum yang di atur dari pusat jakarta, kemudian dalam satu wajah (kurikulum) itu menerapkan di berbagai suku-suku bangsa di Nusantara ini. Begitu pula dengan Papua yang terdiri dari banyak marga (keret), suku-suku, dengan budaya bersosial dan kebiasaan yang beda-beda, di beradapkan dengan kurikulum dan sistem pembelajaran yang sangat jauh dari alam Papua. Pertanyaannya apakah manusia (bangsa) Papua ini mau di arahkan ke mana?
Sebab budaya dan kehidupan asli orang pribumi (asli papua) melalui mesin kapitalis semakin meluluh lantarkan, termarginalkan, dan lebih parah lagi memisahkan rakyat Papua dari ‘bumi’ dan ‘alam’ Papua.
Wajah Pendidikan di Papua dibawah rezim Imperealisme.
Sistem imperialisme melahirkan politik divide et impera, yakni politik memecah-belah. imperialisme di mana saja, apa pun bentuknya, punya slogan yang sama: “memecahkan dan menguasai”! Dengan menggunakan mantra itu, kolonialisme bisa membangun kekuasaan di negara lain.
Imperialisme menetapkan bangsa papua dalam kemunduran dan berusaha membawa bangsa papua ke arah kemuduran. Watak dan wajah jajahan yakni penghancuran mental, spikologi, filosofi rakyat. Melalui pendidikan kolonial mengubah rakyat papua menjadi rakyat kecil, “nrima”, rendah pengetahuannya, lembek kemauannya, sedikit nafsu-nafsunya, hilang keberaniannya. Pendek kata, kolonialisme mengubah rakyak papua menjadi (maaf) rakyat kambing yang bodoh dan mati energinya.
Pemikir perancis yang anti-kolonial, Frantz Fanon, juga menguraikan bagaimana kolonialisme menghancurkan budaya dan karakter rakyat. Akibatnya, rakyat di negara jajahan ditingalkan dalam kebingungan intelektual dan moral. Membangun kepercayaan di dalam hati dan fikiran rakyat, bahwa bangsa penjajah lebih superior dibanding bangsa terjajah.
Kolonialisme di mana saja, selalu berusaha menutupi maksudnya, bahkan menciptakan teori manis untuk mencapai tujuan mereka , misalnya, kita menemukan literatur yang menyebutkan bahwa misi kolonialisme adalah “misi suci” (mission sacree): penyebaran agama, menyebarkan pencerahan, dan membuat rakyat jajahan menjadi “beradab”.
Tidak jarang, dalam upaya menanamkan superioritasnya, pihak kolonialis melegitimasi keunggulan-keunggulan rasial: kulit putih lebih unggul dari kulit berwarna. Dalam sejarah kolonialisme dipapua, kita sering mendengar bagaimana cacian “inlander” disepadamkan dengan makian ‘Monyet’, “anjing”, “babi”, dan lain-lain.
Yang lebih parah, rakyat papua dicecoki dengan anggapan “inlander bodoh”. Dengan cekokan itu, yang berlangsung secara turun-temurun, rakyat terjajah kehilangan kepercayaan diri dan kebanggaannya.
Dewasa ini umat manusia tengah memasuki suatu zaman baru yang ditandai dengan menguatnya paham Pasar bebas, yang dikenal dengan zaman Globalisasi. Tradisi umat manusia untuk mempertahankan eksistensi mereka melalui pendidikan mendapat tantangan, karena pendidikan ternyata bagi sebagian manusia dapat digunakan untuk mengakumulasi kapital dan mendapatkan keuntungan. Bagaimana mungkin tradisi manusia tentang visi pendidikan sebagai strategi untuk eksistensi manusia yang telah direproduksi berabad-abad selama ini, diganti oleh suatu visi yang meletakkan pendidikan sebagai komoditi.
Pendidikan di papua telah dibangun dan dirancang sedemikian rupa oleh negara kolonial melalui sistem kapitalis adalah kelanjutan dari sifat opresif kapitalisme. Pendidikan dipaksa untuk melanggengkan ide-ide kelas yang berkuasa. semenjak era orde baru hinggah sekarang era reformasi Pelajaran yang pernah diajarkan di sekolah-sekolah dan kampus-kampus diterapkan berdasarkan kepentingan penguasa , misalnya, Pelajaran sejarah, ekonomi, politik, teknologi, dsb., dari jaman lalu hingga sekarang, adalah pelajaran yang diorientasikan untuk mendukung aktivitas produksi yang dikendalikan oleh kelas yang berkuasa.
Marxisme menjelaskan bahwa ide-ide yang berkuasa adalah ide-idenya kelas yang berkuasa. Kelas penguasa dan pemilik kapital mengontrol kelas pekerja tidak hanya melalui kekuatan langsung yang konfrontatif, tetapi juga melalui pembentukan ide-ide. Ide-ide yang diajarkan lewat institusi-institusi pendidikan membenarkan posisi dominan kelas yang berkuasa, dan mengarahkan seluruh proses pendidikan ke dalam proses kapital.
Institusi pendidikan adalah bagian dari aparatus penindas Negara yang berbentuk non-fisik, yakni represi ideologis. Dan lebih jauh, institusi pendidikan tidak hanya berperan untuk menyebarkan ideologi kelas yang berkuasa dengan membenarkan dan melegitimasi sistem kapitalis monopoli. Institusi pendidikan juga memproduksi sikap dan tingkah laku mempersiapkan para peserta didik—mulai dari SD hingga universitas—agar kelak siap menjadi pekerja-pekerja di industri-industri kapitalis dan mengajarkan kepada mereka agar menerima dan taat pada praktek eksploitasi; menyiapkan sebagian dari lulusan perguruan tinggi untuk menjadi agen eksploitasi dan represi: menjadi manajer, administrator, politisi; mengajari mereka bagaimana mempergunakan keahlian dan daya kerjanya sebagai agen dari kelas yang berkuasa.
Saya segera mengambil kesimpulan terkait dengan kondisi dunia pendidikan di Papua di bawah naungan kolonial indonesia. Terdapat, setidaknya, menurut saya, dua hal penting yang akan menjadi fokus kritik dalam tulisan ini. Pertama, Pemerintah kolonial Indonesia jelas-jelas menggiring seluruh peserta didik ke dalam proses kapital, menjadi pekerja-pekerja dari para pemilik kapital; peserta didik akan dijadikan “robot-robot” di dalam industri-industri; dijadikan “mesin-mesin” untuk mengakumulasi kapital.
Kedua, masih mahalnya biaya masuk perguruan tinggi—baik negeri maupun swasta—di Papua dan wilayah kolonial Indonesia menjadikan anak-anak buruh dan kaum miskin tidak mampu memperoleh pengetahuan yang cukup, sehingga generasi buruh dan kaum miskin akan terus menjadi obyek untuk dieksploitasi; menjadi pekerja-pekerja kelas bawah dengan gaji sangat rendah.
Dalam kesimpulan terakhirnya, sebagai kesimpulan, bahwa di bawah kapitalisme tidak akan pernah ada pendidikan yang sepenuhnya membebaskan. Negara borjuis tidak akan pernah mampu memberikan pendidikan gratis hingga tingkat perguruan tinggi secara permanen, karena perguruan tinggi itu sendiri adalah tempat potensial untuk menanam kapital—dengan cara meliberalisasi perguruan tinggi. Kurikulum yang dicetuskan oleh Kemendikbud kolonial (sistem negara) indonesia tidak akan pernah mengizinkan peserta didik, mulai dari tingkat SD hingga perguruan tinggi, untuk mengakses ilmu pengetahuan secara luas, bebas, dan beradab. Seluruh mata pelajaran, baik pelajaran wajib maupun pilihan, diorientasikan untuk menyiapkan seluruh peserta didik menjadi pekerja-pekerja siap pakai di berbagai lingkungan industri (manufaktur, jasa, pendidikan, budaya, dll).
Hanya pembebasan nasional (Papua merdeka), sintesisnya menuju masyarakat papua yang sosialis yang dapat memberikan kepada seluruh rakyat papua pendidikan yang bersifat membebaskan, karena di dalam masyarakat tanpa kelas tidak akan ada lagi penindasan manusia oleh manusia lain. Dengan merebut kekuasaan politik dan ekonomi, berada di tangan Rakyat dan rakyat yang akan merebut dan mengontrol pendidikan mereka sendiri, Ketika pendidikan sudah bukan lagi bagian dari proses produksi kapital dan komoditas yang diperjual-belikan, ia akan menjadi sinar yang membebaskan pikiran manusia dari segala prasangka dan keterbelakangan yang menghuni di dalam pikirannya.
@Kritik dan saranmu yang membangun adalah gempuran hegemoni gurita yang tertanam dalam diriku. Salam pembebasan !!!
Penulis adalah aktivis Hak Penentuan Nasib Sendiri, AMP Kota Yogyakarta
_________________________________________________________________
Referensi :
[1] http://www.kompasiana.com/faiz_alzawahir/sosialis-pendidik-dan-pendidikan-kapitalis_5510b68c813311373abc6bb5
[1] Pidato Mendikbud pada perayaan Hari Pendidikan Nasional 2 Mei 2014: “Anak-anak kita akan memiliki kompetensi secara utuh yang mencakup sikap, pengetahuan, dan ketrampilan. Itu semua kita lakukan dalam rangka mempersiapkan generasi emas … menuju kejayaan Indonesia 2045.”
[2] Dokumen Kurikulum 2013 Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan: “Momentum pertumbuhan ekonomi ini harus terus dijaga dan ditingkatkan. Generasi muda berjiwa wirausaha yang tangguh, kreatif, ulet, jujur, dan mandiri sangat diperlukan untuk memantapkan pertumbuhan ekonomi Indonesia di masa depan.”