sumber gabar, wenaskobogau.com/amp.ils |
Penulis, Adhen Isodorus Dimi
“Di atas batu ini saya meletakkan peradaban orang Papua, sekalipun ada orang yang memiliki kepandaian tinggi, akal budi, dan marifat, tetapi tidak dapat memimpin bangsa ini. Bangsa ini akan bangkit dan memimpin dirinya sendiri” (Pdt. I. S Kijne tentang masa depan rakyat Papua Barat di Wasior Manokwari, 25 Oktober 1925)
Sejak pulau Papua Barat dianeksasi ke dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) rakyat Papua telah mengalami berbagai macam kenangan pahit yang sulit dilupakan. Semua kisah kehidupan pahit bersama (sistem) negara Indonesia itu berawal dari sejarah status politik Papua Barat. Sejarah rakyat Papua “dihilangkan” melalui beragam cara. Jika rakyat Papua berbicara tentang sejarahnya dianggap separatis, berbahaya dan patut diwaspadai. Pembersihan, penghapusan, dan peminggiran sejarah rakyat Papua dilakukan untuk membangun konstruksi bahwa Bangsa Papua tidak mempunyai sejarah, dan Indonesia lah yang datang sebagai mesianistik yang membawa barang yang bernama “sejarah” bagi Bangsa Papua.
Pada 5 April 1961, dengan bantuan Pemerintah Belanda, telah dibentuk sebuah dewan rakyat, Nieuw Guinea Raad, dengan memilih orang-orang Papua duduk di parlemen untuk merancang dan melaksanakan sebuah negara merdeka. Pada 19 Oktober 1961, Dewan Rakyat Papua ini melaksanakan Kongres Nasional I Papua di Hollandia (kini Jayapura) dengan hasil menetapkan lagu kebangsaan adalah “Hai Tanahku Papua”, bendera nasional adalah “Bintang Kejora” dan nama resmi negara adalah “West Papua”. Hari kemerdekaan diputuskan pada 1 Desember 1961.
Setelah pemerintah Indonesia dibawah kepemimpinan Soekarno mendengar Papua telah mendeklarasikan sebuah negara, maka Ir. Soekarno mengeluarkan Tri Komando Rakyat (Trikora) pada 19 Desember 1961 di Alun-alun Utara Yogyakarta yang berisi tiga pokok penting, yakni: pertama, Bubarkan Negara Boneka Papua Barat buatan Belanda; kedua, Kibarkan Sang Saka Merah Putih di seluruh dataran Irian Barat (Papua), dan ketiga, mobilisasi umum merebut Irian Barat.
Tak pelak, Trikora menjadi awal malahpetaka bagi orang Papua. Berbagai macam operasi militer dilancarkan untuk menindaklanjuti Trikora ini. Selain itu juga salah satu tujuan dari operasi militer ialah untuk meloloskan PEPERA. Ada pun beberapa operasi militer yang di lancarkan, diantaranya, yakni: Operasa Sadar (1965-1966), Operasi Baratayuda (1966-1967) dan Operasi Wibawa (1967-1969). Dalam operasi-operasi militer tersebut Organisasi Papua Merdeka (OPM) dan rakyat Papua yang ingin mendirikan negara West Papua dibunuh habis-habisan. Kemudian setelah pelaksanaan PEPERA operasi secara sistematis tetap berlanjut seperti Operasi Pamungkas (1969-1971) dan Pemberontakan Masyarakat Dani (1977). Dan hingga saat ini, pembunuhan, penculikan, perampasan dan pemerkosaan masih tetap ada (baca operasi) seakan-akan telah menjadi bagian dari kehidupan orang Papua Barat.
Perebutan wilayah Papua antara Belanda dan Indonesia pada dekade 1960an membawa kedua negara ini dalam perundingan yang kemudian dikenal dengan “New York Agreement/Perjanjian New York”. Perjanjian ini terdiri dari 29 Pasal yang mengatur 3 macam hal. Diantaranya Pasal 14-21 mengatur tentang “Penentuan Nasib Sendiri (Self Determination) yang didasarkan pada praktek Internasional yaitu satu orang satu suara (One Man One Vote)”. Dan pasal 12 dan 13 yang mengatur transfer Administrasi dari PBB kepada Indonesia, yang kemudian dilakukan pada 1 Mei 1963 dan oleh Indonesia dikatakan ‘Hari Integrasi’ atau kembalinya Papua Barat kedalam pangkuan NKRI.
Kemudian pada 30 September 1962 dikeluarkan “Roma Agreement/Perjanjian Roma” yang intinya Indonesia mendorong pembangunan dan mempersiapkan pelaksanaan Act of Free Choice (Tindakan Pilih Bebas) di Papua pada tahun 1969. Namun dalam prakteknya, Indonesia memobilisasi Militer secara besar-besaran ke Papua untuk meredam gerakan Pro-Merdeka rakyat Papua. Operasi Khusus (OPSUS) yang diketua Ali Murtopo dilakuakan untuk memenangkan PEPERA diikuti operasi militer lainnya yaitu Operasi Sadar, Operasi Bhratayudha, Operasi Wibawa dan Operasi Pamungkas. Akibat dari operasi-operasi ini terjadi pelanggaran HAM yang luar biasa besar, yakni penangkapan, penahanan, pembunuhan, manipulasi hak politik rakyat Papua, pelecehan seksual dan pelecehan kebudayaan dalam kurun waktu 6 tahun.
Lebih ironis lagi, tanggal 7 April 1967 Kontrak Karya Pertama Freeport McMoran, perusahaan tambang milik Negara Imperialis Amerika dengan pemerintahan rezim fasis Soeharto dilakukan. Yang mana klaim atas wilayah Papua sudah dilakukan oleh Indonesia jauh 2 tahun sebelum PEPERA dilakukan. Sehingga sudah dapat dipastikan, bagaimanapun caranya dan apapun alasannya Papua harus masuk dalam kekuasaan Indonesia.
Tepat pada 14 juli-2 Agustus 1969,PEPERA dilakukan. Dari 809.337 orang Papua yang memiliki hak, hanya diwakili 1025 orang yang sebelumnya sudah dikarantina dan cuma 175 orang yang memberikan pendapat. Musyawarah untuk Mufakat melegitimasi Indonesia untuk melaksanakan PEPERA yang tidak demokratis, penuh teror, intimidasi dan manipulasi serta adanya pelanggaran HAM berat.
Orang Papua dari sejak dulu hingga saat ini selalu mempertanyakan sejarah tersebut. Hal ini dikarenakan, masyarakat Papua telah menyadari bahwa persoalan utama yang terjadi di tanah Papua berawal dari sejarah. Meskipun demikian, pemerintah Indonesia menganggap segala macam persoalan yang terjadi di seluruh pelosok tanah Papua Barat adalah masalah pembangunan dan kesejahteraan. Sehingga tak heran konsep kebijakan Otonomi Khusus (Otsus) dan Unit percepatan Pembangunan Papua dan Papua Barat (UP4B) serta kebijakan tumpang tindi lainnya dengan kucuran dana triliunan rupiah menjadi solusi instan. Akan tetapi semua jalan keluar ini tidak membuahkan hasil yang baik malah jauh dari harapan bahkan menambah persoalan dalam kehidupan masyarakat Papua Barat.
Berbagai macam upaya pendekatan pembangunan dan kesejahteraan oleh pemerintah telah pula menaburkan benih-benih dendam sejarah dalam pola atau metode yang baru. Dan semua itu berjalan dalam penuh kewaspadaan atas bahaya hilangnya kontrol negara sehingga budaya tradisional yang merupakan jati diri orang Papua Barat dianggap tidak penting dan ancaman bagi pemerintah Indonesia sehingga dipaksakan dan digantikan dengan budaya modern sambil menstigmatisasi berbagai bentuk label yakni primitif, bodoh, separatis, OPM dan sebagainya kepada pejabat maupun masyarakat Papua yang merupakan pembunuhan karakter orang Papua Barat. Dengan kata lain, pendekatan pembangunan dan kesejahteraan dilakukan atas kepentingan untuk mengantisipasi disintegrasi sehingga tidak ada inisiatif dan niat baik untuk membangun orang Papua Barat.
Pelanggaran HAM terhadap orang asli Papua terus terjadi dalam berbagai bentuk yang paling jahat: penyiksaan, pemerkosaan, diskriminasi, penyingkiran, pembunuhan, penghilangan paksa, penangkapan sewenang-wenang, intimidasi, pengawasan dan pengancaman, serta penutupan ruang demokrasi yang parah, menghambat akses untuk duduk di perwakilan, penghancuran sumber-sumber kehidupan mereka, kejahatan terhadap hak-hak kebudayaan dan spiritualitas lokal, serta pemindahan paksa komunitas-komunitas masyarakat.
Sebagian besar dari kejahatan ini – termasuk yang menyebabkan kerusakan lingkungan –merupakan produk dari operasi pertambangan PT Freeport. Dan kejahatan lainnya – seperti kekerasan – adalah hasil dari penggunaan kekuatan militer Indonesia terhadap rakyat Papua. Saat ini tak satupun data bisa dengan terang menunjukkan berapa sesungguhnya tentara Indonesia yang ditempatkan di Papua.
Begitulah sistem kapitalisme bekerja. Hak-hak rakyat Papua diinjak-injak demi keuntungan semata. Pemerintahan Indonesia hanyalah menjadi pelayan untuk korporasi multinasional, melakukan kerja kotor perusahaan-perusahaan kapitalis. Jangankan kedaulatan nasional Indonesia, bahkan hak kebangsaan rakyat Papua pun dijual. Perjuangan melawan eksploitasi di Papua dan untuk meraih kemerdekaan Papua tidak bisa dipisahkan dari perjuangan melawan sistem kapitalisme. [DIMIBEU MEE]
Penulis adalah aktivis Hak Penentuan Nasib Sendiri, Sekertasi II AMP Pusat