Foto Jery rumanasen |
Oleh, Zuzan Christalia Griapon
“Menerima ketertindasan bukan untuk diam, tapi untuk dilawan. Karena mengembalikan hak dasar perempuan Papua bukan tentang makan minum tapi soal Identitas!“
Perempuan Papua didefinisikan dengan banyak karakteristik. Ada yang melihat dari segi fisik yang keras, pertahanan hidup bahkan perilaku dan interaksi dengan masyarakat. Perempuan Papua hari ini sudah jauh dari ketertinggalan-ketertinggalan dahulu yang dibuat oleh para penguasa negara yang seakan menyikirkan keberadaan mereka.
Ada dua perpektif yang bisa kita lihat dari persoalan-persoalan perempuan Papua, yang bisa dilihat dari persoalan perempuan secara umum dan khusus.
Perempuan Dalam Genggaman Kekuasaan
Dalam buku Perempuan, Agama dan Masa Depan Demokrasi, yang ditulis oleh Banawiratma dijelaskan bahwa ketidakadilan terhadap kaum perempuan terjadi dalam keluarga dan dalam pembagian kerja dan keuntungan. Begitu pula dalam hidup beragama dan bermasyarakat tidak terdapat persaudaraan yang sederajat. Sederajat atau setara tidak berarti bahwa laki-laki dan perempuan sama saja. Perempuan dan laki-laki memang berbeda namunperbedaan itu sebagai alasan untuk mendiskriminasikan tidak dapat diterima. Banyak sekali perempuan mengalami pelecehan, kekerasan dan diperlakukan sebagai komoditi (barang jualan) (Banawiratma, 2007).
Padahal jika kita tinjau ke belakang, pergerakan perempuan sudah dimulai dari abad ke-17. Berawal dari negara-negara di Eropa yang menyadari bahwaperempuan selalu dirugikan dalam lingkungan kehidupan dalam menjalankan hak-hak sebagai manusia.
Salah satu pakar sejarah, Philip. J. Adler dalam bukunya World Civilization menggambarkan bagaimana kekejaman masyarakat barat dalam memandang dan memperlakukan perempuan. Sampai pada abad ke-17, masyarakat Eropa secara umum pemerintah dan para kaum laki-laki masih memandang perempuan sebagai jelmaan setan (roh jahat) atau alat bagi setan untuk menggoda manusia dan meyakini bahwa sejak awal penciptaannya, perempuan merupakan ciptaan yang tidak sempurna.
Dari kedua pemikiran di atas menunjukkan sesungguhnya perlawanan dan penolakan terhadap perilaku tidak adil, dilakukan sejak lama namun, pada prakteknya masih ada kompromi-kompromi karena ada keterikatan terhadap budaya. Baik dari budaya lokal, mau pun budaya modern saat ini.
Sedangkan Banawiratma hendak menjelaskan bahwa sampai hari ini masih ada sekat-sekat yang dibuat di kalangan masyarakat majemuk untuk membedakan antara laki-laki dan perempuan.
Adapun benang merah dari kedua pemikiran ini yang juga adalah budaya patriarki. Patriarki berasal dari dua kata dalam bahasa Yunani: pater artinya bapak dan arche artinya kekuasaan. Sehingga patriarki merupakan kekuasaan bapak (kaum laki-laki) yang mendominasi, mensubordinasikan dan mendiskriminasikan kaum perempuan. Cara hidup pun menjadi androsentris yaitu andro yang berasal dari bahasa yunani laki-laki dan sentrum yang artinya pusat, sehingga laki-laki menjadi pusat segala kehidupan dan perempuan dimarginalkan. Patriarki merengut hak-hak dasar perempuan sebagai manusia seutuhnya. Bahkan kasus budaya patriarki juga merajalela di kalangan masyarakat Papua.
Dalam Jurnal Kasniah yang diterbitkan tahun 2006, dijelaskan mengenai kondisi kesehatan perempuan-perempuan di Lembah Baliem sangat memprihatiankan.
Kurangnya jaminan ekonomi bagi wanita di lembah baliem akan menjadikan kondisi yang serius selama musim kemarau panjang, penduduk menjadi kelaparan, krisis itu tampak pada dimensi gender.
Bila dihitung dengan mata pencaharian, kegiatan sehari-hari dan konsumsi sangat ditentukan secara culture berdasarkan status, peranan dan posisi wanita dalam keluarga.
Dalam jurnal tersebut juga mendiskripsikan bagaimana dalam pembagian tugas dalam tatanan kehidupan. Perempuan ditugaskan mengurusi kebun yang telah dibersihkan oleh laki-laki lalu mengurusi anak-anak, juga atas perekonomian keluarga lalu menyajikan makanan dan itu pekerjaan sehari-hari, sedangkan porsi nutrisi yang dikonsumsi olehnya lebih sedikit. Karena perempuan harus mendahulukan lelaki dan anak-anak.
Mungkin kasus ini belum merepresentasi kehidupan perempuan Papua pada umumnya, namun setidaknya sedikit menggambarakan tentang culture yang belum menjadi solusi atas keutuhan hak-hak dasar perempuan Papua.
Di waktu yang bersamaan, masuklah para modal dan kekuasaan negara Indonesia di Papua. Kehadiran mereka bukan membantu keberadaan perempuan Papua, justru memberatkan perjuangan-perempuan Papua dalam meperoleh hak-hak dasar sebagai manusia.
Negara Indonesia justru sebagai agen untuk pemegang modal (kapitalis). Hadir dan menghancurkan sistem masyarakat Papua. Buah dari kehancuran sistem ini, signifikan salah satu korbannya adalah penindasan terhadap perempuan Papua.
Adapun sejarah Indonesia yang hadir di Papua dengan pendekatan militer. Ottowdalam MPE mengitup (di bawah bendera revolusi Jilid I hal 427) dalam pidatopada tanggal 17 Agustus 1960, Soekarno mengatakan, “Maka adalah suatu keharusan bahwa kabinet kerdja melaksanakan politik pembebasan Irian Barat (sekarang Papua) setjara revolusioner menurut bahasa sendiri revolusi Nasional Indonesia”.
Lalu Ottow menuliskan bahwa persiapan militer bagi operasi pembebasan Irian Barat mulai dilakukan dengan pengiriman delegasi ke berbagai negara untuk melobi pembelian senjata (Ottow, 1998).
Selama tujuh tahun (1962-1969) Indonesia telah melakukan berbagai tindakan kekejaman kemanusian sebelum, pada saat dan sesudah Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera) pada tahun 1969. Terbukti akhirnya dalam proses penentuan nasib sendiri pada tahun 1969, kekuatan militer Indonesia lebih dominan dalam proses penentuan pendapat dan menghalalkan semua cara, mengintimidasi rakyat dan akhirnya militer Indonesia memenangkan Pepera tersebut (Wonda,2009).
Pendekatan militer ini tidak terhenti setelah Pepera dilakukan. Namun, justru hingga hari ini ada banyak sekali pelanggaran Hak Asasi manusia (HAM) yang terjadi akibat pendekatan militer. Perempuan pun menjadi korban kekerasan fisik, mental dan seksual dari pendekatan militer.
Yang terjadi hingga sampai saat ini, perempuan Papua dalam genggaman kekuasaan Negara sebagai agen kapitalis di Papua. Genggaman inilah yang menurut saya, perempuan Papua terkurung dalam pagar-pagar yang terbentuk.
Perempuan Papua Dalam Pagar
Kekuasaan Negara maupun pemegang modal menghancurkan tatanan kehidupan masyarakat Papua, hal ini menyebabkan dampak buruk dialami anak dan perempuan. Kekerasan seksual, fisik dan mental pun tak luput dan terus terjadi hingga sampai saat ini.
Pelanggaran HAM yang dialami oleh perempuan Papua yang berhasil direkamoleh International Coalition For Papua(ICP), Rekomendasi LIPI dan KOMNAS HAM dari periode 2012-1014 (hal 54-56), sudah lebih dari 1700 perempuan diwawancara mengenai pengalaman mereka dalam hal kekerasan, diskriminasi dan marjinalisasi.
Disimpulkan bahwa Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) adalah hal yang menjadi tantangan hidup perempuan Papua hari ini. Kemudian menjadi tantangan baru ketika dilaporkan ke polisi (pihak keamanan sipil). Namun, jarang mendapat tanggapan yang baik karena pihak keamanan ini sering terlibat dalam kekerasan tersebut.
Melihat keadaan seperti ini, yang mana jarang mendapat tanggapan dari pihak kepolisian bahkan perhatian khusus. Dimungkinkan kasus KDRT terhadap perempuan Papua terus terjadi namun tidak terdata.
Kasus poligami, penelantaraan, korban HIV/AIDS, diperlakukan seperti budak itu dalam aktivitas rumah tangga, terpinggirkan aspek ekonomi dalam berjualan di pasar dialami oleh beberapa perempuan Papua hari ini di tempat yang berbeda.
Perempuan Papua adalah korban-korban dari tatanan hidup yang dipaksakan hancur. Tidak di dengar, disepelehkan, ditinggalkan menjadi label yang diberikan pengusa negara dan pemegang modal kepada mereka. Tujuannya agar kepercayaan diri, moral, daya juang dan kerja keras hancur lebur, karena dianggap hak-hak dasar mereka lebih rendah dibandingkan kepentingan-kepentingan kapitalis dan agennya.
Dalam film dokumenter Papuan Voice I, judulnya Surat Kepada Prada menampilkan oknum Tentara Nasional Indonesia (TNI) sebagai subjek kekerasan seksual. Praktek-praktek kekerasan yang dilakukan aparat, terbukti ketika perempuan Papua diperkosa dan payu darah dipotong oleh oknum aparat pada kejadian Biak Berdarah tahun 1998 (wawancara dengan Fillep Karma pada pertengahan Agustus 2016).
Dalam International Coalition For Papua (ICP), Rekomendasi LIPI dan KOMNAS HAM dari periode 2012-1014 dijelaskan juga mama Papua ditembak dua kali setelah meminta aparat untuk mengehentikan penembakan dalam sebuah kasus di Papua.
Pada 8 Desember 2014, mama Marci Yogi mengangkat tangannya untuk meminta agar aparat keamanan menghentikan tembakan pada tragedy pembunuhan empat siswa di di Lapangan Karel Gobay, Enarotali, Paniai. Dua peluru menerjangnya.
Peluru pertama mengenai kitab suci yang diletakan di dalam noken dan yang kedua mengenai tangan kiri mama.
Mama Yulita Edowai ditembak di kaki saat sedang berusaha melarikan diri dari lokasi kejadian. Saksi Mama Agusta Degei yang berada di kebun, antara lapanganKarel Gobai dan lapangan Bandar udarah Paniai..
Kasus-kasus seperti ini sangat sering terjadi, namun karena intimidasi dari aparat keamanan membuat perempuan-perempuan Papua memilih diam dan menerima ini sebagai trauma yang tidak untuk diperdebatkan bahkan dilawan.
Berdasaran diskusi kelompok dan wawancara oleh International Coalition For Papua (ICP), Rekomendasi LIPI dan KOMNAS HAM, lebih dari 1700 perempuan di seluruh wilayah Papua (2012-2014) ada tiga bentuk marginalisasi dan diskriminasi yang dialami oleh perempuan Papua, di antaranya:
1. Peminggiran perempuan papua dari sistem ekonomi
Faktor penyebab, pertama, kurangnya infrastruktur yang menghubungkan perempuan ke pasar , kedua, transportasi yang mahal membatasi akses ke masyarakat dan pasar dan ketiga, dominasi pedagang non-papua di sektor ekonomi.
2. Pelemahan identitas dan kemiskinan sebagai akibat dari hilangnya sumber daya alam
Pengambilan atau perampasan sumber daya alam yang dilakukan oleh investor yang bekerjasama dengan pemerintah nasional dan daerah mengakibatkan masyarakat Papua kehilangan tanah dan sumber daya alamnya.
Bahkan aparat keamanan juga berperan penting dalam mendukung pengalihfungsian lahan hutan. Misalnya di Kabupaten Keroom yang jugaaparat keamanan yang bekerja untuk melindungi kepentingan investor.
Keberadaan aparat mengancam keberadaan perempuan Papua karena mereka dilarang untuk pergi ke hutan yang menjadi sumber kehidupan mereka. Mereka dianggap bagian dari Operasi Papua Merdeka (OPM) jika pergi ke hutan.
Sedangkan identitas perempuan Papua seringkali terkait dengan tanah dan alam, jadi masalah ini bukan terkait, makan dan minum serta mata pencarian bahkan aset ekonomi namun tentang perampasan identitas diri perempuanPapua.
3. Kurangnya partisipasi politik perempuan Papua
Keterlibatan politik perempuan Papua sangat terbatas karena permasalahan ekonomi dan isolasi, bahkan 30 % kuota dasar perempuan hampir tidak pernah tercapai di Papua.
Perempuan jarang sekali dilibatkan dan mengambil keputusan, baik dalam konteks daerah maupun birokrasi. Permasalahan ini tidak dianggap penting bagi partai-partai politik di Papua.
Dari rentetan kasus yang dilampirkan di atas, menunjukan bahwa budaya patriarki, kehancuran tantanan masyarakat Papua yang dipaksakan hancur, melalui kekuasaan kapitalis dan agennya (negara), seakan menjadi pagar yang sangat kuat untuk mengurung dan mengisolasikan perempuan Papua.
Semakin hari jika pagar ini tidak digoyahkan, maka pagar itu akan terus kuat.Semakain kuat pagar tersebut, maka semakin banyak perempuan Papua yang memiliki hidup sia-sia karena rasa menerima ketertindasan dijadikan budaya.
Semakin berbeda juga cara kita mendefinisikan perempuan Papua dengan kondisi ketertinggalan seperti ini.
Penulis adalah mahasiswa Papua yang sedang kuliah di Universitas Gadjah Mada (UGM) , Yogyakarta.
Pustaka:
Banawiratma, J, B. 2007. Perempuan , Agama dan Masa depan demokrasi. Lembaga study Islam dan politik: Yogyakarta (hlm. 5)
International Coalition Of Papua Team. 2015. Hak asasi manusia di Papua 2015. laporan keempat yang meliput kejadian sepanjang bulan april 2013 hingga desember 2016.
Kasniah, Naniek. 2006. Health risk of women on production, distribution and consumption of food patterns, jayawijaya–Papua, Jurnal Of humaniora Volume 18 Hal 1-6, Yogyakarta.
Ottow, 1998. Indonesia as state is an accident of the ducth colonial history, sebagai negara Indonesia terbentuk akibat kecelakanaan sejarah penjajahan belanda. Establising a new state based on a old colonialism and resuming neocolonialism.
Papuan, Voices I . 2012. Surat Cinta Kepada Prada. Engage media: Yogyakarta
Philip J. Adlert, World Civilization, 2000. (hal. 289)
Wawancara dengan Filep Karma, Saksi Hidup kejadian Byak berdarah pada tanggal 6 Juli 1998. Wawancara dilakukan di Asrama Kamasan I Papuapada pertengahan Agustus 2016
Wonda, S. 2007. Jeritan bangsa rakyat Papua Barat mencari keaadilan, Galang press: Yogyakarta