Perlakuan diskriminasi rasial terhadap Mahasiswa Papua ,Obby Kogoya, paska pengepungan asrama Papua di Yogyakarta, 15 - 16 /07/2016. |
Penulis, Mecky Yeimo*
Diskriminasi secara kultural merupakan fenomena sosial yang terjadi di belahan bumi manapun di dunia, namun kemudian suatu negara melakukan diskriminasi terhadap rakyatnya atau individu di wilayahnya, berdasarkan kebijakan-kebijakan merupakan pengingkaran atas harkat-harkat kemanusiaan yang sulit untuk ditolerir. Apalagi dalam konteks Indonesia yang konstitusinya mendasarkan diri kepada negara hukum (rechtstaat).
Diskriminasi rasial merupakan politik diskriminasi yang sudah berlangsung sejak lama di Papua, bahkan jauh lebih tua dari umur masuknya Papua kedalam NKRI. Politik diskriminasi rasial berakar dan mulai diterapkan sejak zaman penjajahan Belanda dengan kebijakan segregasi rasialnya sebagai salah satu contohnya adalah pembatasan terhadap kelompok untuk mendapat pendidikan.
Diskriminasi rasial di Indonesia juga dilegitimasi oleh adanya konflik hukum (conflict of laws), yaitu berbagai pertentangan di dalam konstitusi (pertentangan antar pasal), pertentangan antar Undang-undang, dan pertentangan di dalam hirarki pertauran hukum dan perundang-undangan yang lain. Konflik hukum justru menjadi celah bagi terobosan berbagai kepentingan untuk melakukan tindakan diskriminatif secara lebih luas.
Kebijakan politik rasial tersebut yang kemudian dieskalasi dengan kegagalan negara untuk membangun kesejahteraan sosial, yang pada akhirnya banyak mengakibatkan berbagai tindak-tindak rasialisme yang bermuara kepada kekerasan terhadap kelompok etnis Papua yang dilakukan secara sistematis, seperti Represifitas Militer terhadap rakyat Papua, pembunuhan-pembunuhan secara brutal. Negara tidak mampu memberikan perlindungan bahkan keadilan/pemulihan kepada korban-korban di Papua.
Tidak saja dalam konteks etnis Papua, kebijakan diskriminasi juga dialami oleh masyarakat adat yang selama ini terampas hak-hak adatnya, antara lain hak atas tanah ulayatnya, hak atas pengelolaan sumberdaya alam, dan hak mereka untuk mendapatkan hak-hak sipil dan politik.
Pembatasan terhadap kebebasan berkeyakinan mengakibatkan pengingkaran atas hak-hak sipil mereka sebagai warga negara, misalnya hak untuk membentuk keluarga dan mempunyai keturunan lebih banyak seperti yang dialami oleh masyarakat atau komunitas etnik yang dibatasi dengan keberhasilan pemerintah dalam menerapkan penggunaan Keluarga Berencana (KB).
Selama periode sebelum 1998, tidak ada upaya negara untuk melakukan penghapusan diskriminasi rasial, bahkan tidak jarang fakta-fakta diskriminasi tersebut tidak diakui sebagai diskriminasi. Kemudian baru pada tahun 1999, setelah terjadi reformasi dengan mundurnya Soeharto sebagai Presiden Republik Indonesia, negara Republik Indonesia meratifikasi International Convention on Elimination of All Forms Racial Discrimination pada tahun 1999, karena desakan komunitas Internasional.
Sampai saat ini kebijakan penghapusan rasial belum sepenuhnya dilaksanakan. Misalnya berbagai kasus diskriminasi rasial masih terjadi di Papua, dan negara belum melakukan perlindungan yang efektif atau pemidanaan atas diskriminasi rasial tersebut sekalipun itu dilakukan oleh aparat negara. Bahkan upaya hukum tersebut belum tercermin dengan masih berlakunya berbagai peraturan perundangan lainnya yang diskriminatif.
Penulis adalah Sekertaris I Komite Nasional Papua Barat [KNPB] Pusat