Gambar Aliansi Mahasiswa Papua, Jakarta, 1 Desember 2014/ doc amp |
Oleh, Thomas Djanama*
Gerakan perempuan Papua menuju pembebasan nasional, tidak bisa dipisakan dari perjuangan pembebasan sejati rakyat papua secara keseluruhan. Dimana pandangan-pandangan umum yang menggeserkan posisi dan peran aktif perempuan dari keterlibatan dalam dunia kerja tidak hanya dialami oleh perempuan diberbagai belahan dunia, perempuan Papua sebagai bagian dari golongan masyarakat di Papua yang saat ini berada dalam penindasan imperealisme dan kolonialisme NKRI juga berada pada posisi terpinggirkan dari hak-haknya.
Tanah Papua ibarat seorang gadis yang selalu direbut oleh berbagai macam pria di seluruh penjuru dunia. Seorang gadis berbusana emas dan membuat mata dunia selalu memandang terutama para penguasa global saat ini.
Sama seperti anak cucunya yaitu perempuan Papua yang selalu di diskriminasi, diperkosa, bahkan dibunuh hak-haknya.
Dalam logika kepentingan kapitalis memperbanyak tenaga-tenaga kerja murah dan massal di Papua, perempuan adalah sasaran yang sangat mengguntungkan. Anggapan umum masyarakat bahwa perempuan bukan pencari nafkah utama menyebabkan mereka tidak berhak atas tunjangan keluarga.
Perempuan Papua sedang mendapatkan serangan besar-besaran dari kaum konservatif. Serangan tersebut berupa stigmatisasi tubuh/seksualitas perempuan sebagai sumber kehancuran moral bangsa dan penyebab tindakan kriminal seperti pemerkosaan dan kekerasan.
Sepanjang tahun 2012 terdapat 207 kebijakan daerah/Perda (Peraturan kolonial indonesia) yang diskriminatif terhadap perempuan, sehingga total saat ini terhadap 282 Perda yang tersebar di seluruh daerah di Papua yang mengatasnamakan moral dan agama. Banyak dari Perda tersebut mengatur tentang cara berpakaian, peraturan jam malam bahkan gerak tubuh perempuan.
Ironisnya, serangan terhadap seksualitas perempuan dilakukan bersamaan dengan pemasifan komodifikasi tubuh perempuan. Hal ini terlihat jelas dalam industri kecantikan dan pornografi. Di Papua, dalam situasi sekarang, industri kecantikan justru dinilai sebagai industri yang tahan krisis dan sangat menjanjikan dalam peningkatan pencapaian keuntungannya. Industri ini menentukan standar-standar tertentu tubuh perempuan dan merongrong kepercayaan diri mereka.
Bisnis trilyunan rupiah juga menanti di balik industri komodifikasi perempuan sebagai pekerja seks paksa, model, bintang film porno, perempuan penghibur di bar atau restoran, dll. Perempuan sangat rentan sebagai korban perdagangan manusia. Perempuan menjadi korban sindikat perdagangan seksual.
Kesimpulannya, saat ini perempuan Papua tengah menghadapi upaya pemiskinan yang secara sistematis dilakukan oleh kapitalisme dan di saat yang bersamaan perempuan juga tengah mendapatkan represi besar-besaran terhadap tubuh dan seksualitasnya.
Penindasan terhadap perempuan Papua pada khususnya adalah salah satu dari banyak bentuk penindasan-temasuk rasisme, homophobia, dan seksisme yang dihasilkan dari suatu masyarakat yang berlandaskan penghisapan kelas terhadap banyak orang demi keuntungan segelintir pihak.
Dengan pemahaman ini kita bisa juga mengembangkan gagasan-gagasan bagaimana memerangi penindasan terhadap perempuan Papua. Jelas hal ini melibatkan perjuangan untuk memenangkan setiap reforma dan mengusung pertanyaan mengenai hak-hak kaum perempuan, namun landasan perjuangan melawan penindasan terhadap perempuan juga mengarah letaknya pada perjuangan kelas untuk sosialisme.
Sebagaimana Engels dalam “Asal-Usul Keluarga, Negara, dan Hak Milik Pribadi”[1] menuliskan bahwa penindasan dan degradasi perempuan tidak melulu hadir sepanjang sejarah umat manusia. Benar bahwa bahkan di awal sejarah manusia di suatu periode yang disebut sebagai ‘komunisme primitif’, dimana kondisi-kondisi keterbelakangan berarti suku-suku harus bekerjasama demi memenuhi kebutuhan dasar, dan juga tidak ada nilai lebih untuk menghasilkan laba-kerja laki-laki dan perempuan dibagi berdasarkan jenis kelamin. Untuk alasan-alasan biologis perempuan perlu merawat anak-anak dan dengan demikian peran mereka dalam produksi pangan berdasarkan pengumpulan dekat tempat tinggal sementara laki-laki berburu. Bagaimana pun juga terlepas dari pembagian kerja, kaum perempuan tidak dipandang sebagai kaum yang inferior atau lebih lemah dibandingkan kaum laki-laki dan status mereka terbantu dengan fakta bahwa keluarga dilacak melalui garis ibu, karena tanpa pernikahan dan ketaatan sebagai norma sosial mustahil memastikan siapa bapak dari seorang anak.
Revolusi Neolitik memunculkan alat-alat dan domestifikasi binatang yang muncul pertama kali dalam sejarah manusia, sehingga tidak hanya memungkinkan pemenuhan kebutuhan dasar namun juga penciptaan nilai lebih. Penciptaan nilai lebih menandai awal masyarakat kelas yang baru karena kini mustahil bagi beberapa orang untuk menjual nilai lebih untuk laba, maka mulai memunculkan perbedaan antara yang kaya dan miskin. Sedangkan sebagian mulai menimbun kekayaan mereka juga mulai membeli budak dan membayar orang lain untuk menggarap tanah; sehingga disini kita menyaksikan contoh awal dari penggarap dan tuan tanah.
Proses ini mengakibatkan kaum perempuan dinilai sebagai kaum inferior atau lebih lemah dibandingkan laki-laki dalam masyarakat, karena melalui kerja laki-laki lah, laba dihasilkan. Penciptaan nilai lebih juga memunculkan hak waris. Semakin tinggi status seseorang berarti bahwa keluarga tersebut dilacak melalui garis keturunan laki-laki, yang kemudian mengharuskan pemaksaan kepatuhan perempuan. Disinilah kita menyaksikan asal-usul pernikahan.
Penindasan terhadap perempuan muncul dalam embrio masyarakat kelas dan terus tumbuh ke dalam sistem kapitalisme dengan demikian penindasan terhadap perempuan kian kompleks dan berurat akar. Demi membebaskan atau mengemansipasikan perempuan, kita harus menggulingkan sistem yang menciptakan dan diuntungkan melalui penindasan terhadap kaum perempuan.
Perjuangkan Pembebasan Perempuan Papua dan Sebuah Perspektif Perjuangkan Sosialisme
Kapitalisme dan penindasan saling terhubung satu sama lain. Seksisme, sebagaimana rasisme, ableisme, homophobia, dan berbagai bentuk penindasan lainnya berasal dari penindasan kelas karena itu demi menghapuskan semua bentuk penindasan demikian kita juga harus melawan kapitalisme. Seksisme, rasisme, dan sebagainya semua hal demikian digunakan oleh para kapitalis untuk memecah-belah tenaga kerja demi mecegah mereka bersatu melawan musuh mereka yang sama dan yang sebenarnya, yaitu kaum majikan dan kapitalis. Kapitalisme bersandar pada penindasan terhadap mayoritas untuk mempertahankan kekuatan minoritas dan penindasan berkembang dengan subur dalam kesenjangan ekonomi dan sosial yang diciptakan dalam sistem kapitalis.
Perempuan adalah mayoritas umat manusia tetapi di mana-mana mereka dikutuk untuk menanggung bagian terbesar dari beban penitipan anak, membersihkan dan memasak. Ini adalah dasar dari semua bentuk ketidaksetaraan seksual.
Secara ekonomi, hukum dan budaya. Upah tenaga kerja perempuan secara sistematis dibayar kurang dari yang laki-laki. Mereka mengalami diskriminasi pada akses untuk dibayarkannya pekerjaan mereka dan penindasan di tempat kerja.
Di banyak bagian dunia kebanyakan perempuan masih hanya dikurung di rumah, dikenakan perlindungan laki-laki, tanpa hak-hak dasar demokratis dan ekonomi dan mengalami penindasan dan kekerasan dari laki-laki jika melanggar aturan-aturan agama yang membenarkan semua ini. Di tempat kerja di dunia ketiga, perempuan pekerja secara rutin disalahgunakan tanpa cuti hamil dan mengalami perlakuan merendahkan.
Bahkan di negara-negara di mana kesataraan resmi dan formal telah dimenangkan perempuan masih menanggung beban ganda yaitu bayaran pekerjaan mereka dan tenaga kerja domestik. Hidupnya dua pengecualian kerja ini membuat kebanyakan perempuan dikecualikan dari kesetaraan akses terhadap kehidupan politik dan sosial.
Perempuan Papua hanya akan dibebaskan dan bebas dari diskriminasi ketika fondasi ekonomi dari kelas penguasa dan supremasi laki-laki digulingkan. Sementara akar yang mendalam dari penindasan ini terletak pada masyarakat kelas kuno mereka yang diperkuat oleh global kapitalisme. Hanya masyarakat sosialis, yang menjalankan untuk kebutuhan manusia dan bukan keuntungan pribadi, akan bisa membuat seluruh masyarakat untuk mengambil pekerjaan domestik yang saat ini terutama dilakukan oleh perempuan di rumah. Hanya kemudian akan perempuan dapat merealisasikan potensi mereka sepenuhnya. Sebuah masyarakat sosialis akan mempromosikan pengasuhan anak kolektif, pemerataan pekerjaan rumah tangga seperti memasak dan membersihkan dan perawatan anak antara laki-laki dan perempuan dalam masyarakat secara keseluruhan. Perempuan tidak lagi dipaksa untuk melakukan tugas-tugas dasar secara terpisah dalam unit keluarga yang terisolasi. Penyediaan layanan sosial ini yang didanai dengan baik dan dijalankan secara demokratis bisa menjadi berjuta-juta kali lebih baik dibanding dari ketentuan yang dibuat dalam keluarga hari-hari ini.
Dengan cara ini, pilihan nyata standar hidup yang tinggi dan kesetaraan seksual yang nyata bisa menggantikan kemiskinan, isolasi dan penindasan yang dihadapi kelas pekerja perempuan Papua hari-hari ini.
Sosialisme akan mengakhiri semua bentuk penindasan yang banyak digunakan oleh sistem kapitalis, termasuk yang dihadapi oleh kaum perempuan Papua. Sementara kapitalisme bersandar pada aturan gender yang ketat, sosialisme akan menyingkirkan semua pelabelan represif terhadap semua individu. Hubungan-hubungan dan keluarga-keluarga yang sebelumnya tidak tunduk pada nilai-nilai ideal monogami (sebagaimana yang dituntut oleh kapitalisme untuk melacak pewarisan, tentu saja dengan bersandar lebih kepada monogami perempuan daripada monogami laki-laki) akan diterima secara sosial sebagaimana yang lainnya[2].
Perjuangan pembebasan perempuan Papua untuk mengakhiri penindasan berbasis gender, solusinya tidak terletak dalam feminisme borjuis yang semata menyarankan kesetaraan seks dan gender hanya di pucuk kekuasaan masyarakat. Ideologi demikian tidak membantu mayoritas kaum perempuan terlebih perempuan Papua, terutama karena mengabaikan bentuk-bentuk penindasan lainnya dan hanya memperbolehkan segelintir perempuan untuk meraih tingkat dan jenjang yang lebih tinggi dalam masyarakat.
Disini, sebagai majikan maupun sebagai politisi borjuis dan lainnya. Mereka pada gilirannya akan menjalankan penundukan baik terhadap pekerja laki-laki maupun perempuan seringkali tanpa menyadarinya. Inilah yang bisa dijanjikan kapitalisme dalam hal kesetaraan: kesempatan yang langka untuk memilih menjadi kaum tertindas atau kaum penindas.
Kita membutuhkan sosialisme dan suatu perjuangan untuk memenangkan semua reforma yang mungkin diraih langkah-langkah yang vital bagi perlindungan dan emansipasi mendesak kaum perempuan Papua. Kekerasan terhadap perempuan, perilaku-perilaku masyarakat yang berbahaya, penyangkalan atas pendidikan dan banyak bentuk diskriminasi gender brutal lainnya harus dilawan sekuat dan secepat mungkin. Bagaimana pun, reforma-reforma sosial juga punya batasan-batasan atas apa saja yang bisa diraih.
Kesetaraan sepenuhnya hanya bisa dicapai melalui penghancuan terhadap akar penindasan, yaitu kapitalisme. Sosialisme menuntut perlakuan seatra terhadap semua orang apapun jenis kelaminnya, ras, kebangsaan, maupun orientasi seksnya. Reforma-reforma sosial harus diserasikan dengan ekonomi terencana untuk menjamin suatu masyarakat yang bebas dari diskriminasi dan penundukan terhadap semua orang, baik di tempat kerja, di perawatan kesehatan, dan di sistem legal, sebagaimana pula di dunia maya, di jalanan, dan juga di rumah.
Sosialisme tidak butuh penindasan karena suatu ekonomi sosialis menjamin dan bergantung pada penjunjungtinggian perlakuan yang adil dan setara bagi semua warga Papua.
Penulis adalah aktivis Aliansi Mahasiswa Papua [AMP] Komite Kota Yogyakarta
Referensi;
[1]. Asal-Usul Keluarga, Negara, dan Hak Milik Pribadi oleh Frederich Engels
[2]. Democratic Socialist Party dan Resistance. 1998. What Socialists Stand For. Resistance Books, Australia.