edited by Andre T |
Front Persatuan Rakyat dan Mahasiswa Anti Militerisme
Negara bertanggungjawab atas kejahatan kemanusiaan Di Deiyai, West Papua.
Dan Kami Menolak Pembangunan Pangkalan Militer dari seluruh Tanah Papua.
Salam Pembebasan Nasional Bangsa West Papua!
Amolongo, Nimo, Koyao, Koha, Kinaonak, Nare, Yepmum, Dormum, Tabea Mufa, Walak, Foi Moi, Wainambe, Nayaklak
Waa…waa…waa…waa…waa…waa..waa..waa..waa..waaa!
Telah terjadi kejahatan kemanusiaan di Papua pada 1 Agustus 2017 sekitar pukul 17.45 waktu Papua, gabungan satuan Brigade Mobil (Brimob) menembaki warga sipil di kampung Oneibo, Tigi Selatan, Deiyai, yang menewaskan satu orang meinggal dan belasan lainnya luka parah.
Tragedi kejahatan kemanusiaan itu berawal sekitar pukul 16.30 sore warga kampung Oneiebo menyelamatkan seorang warga atas nama Ravianus Douw (24), yang tenggelam di kali Oneibo setelah mencari ikan. Douw diangkat dari kali dalam kondisi kritis. Kemudian warga meminta tolong kepada karyawan PT. Dewa Kresna yang sedang mengerjakan jembatan kali Oneibo untuk membantu mengantar korban tenggelam ke RSUD Madi, Paniai, namun mereka tidak bersedia membantu. Karena tidak dibantu, seorang warga berlari menuju ke Wagete yang jaraknya sekitar 9-10 kilometer. Setelah menunggu agak lama, datang lah jemputan mobil. Ravianus Douw dilarikan ke Rumah Sakit Umum Daerah Madi, Kabupaten Paniai, tapi nyawa korban tidak tertolong.
Setelah kembali dari RS Madi, warga emosi dan marah kepada pihak perusahaan yang tidak mau membantu.
Menurut warga, jika pihak perusahaan membantu cepat dan membawa korban yang tenggelam itu ke RS Madi, nyawa korban dapat diselamatkan dengan bantuan medis.
Sehingga, karena tidak adanya niat membantu dari pihak perusahaan membuat warga marah, mengamuk dan membongkar pos penjagaan perusahaan.
Beberapa waktu kemudian, sekitar pukul 17.45, pasukan bersenjata lengkap dari satuan Brimob Polres Paniai turun ke lokasi dan membubarkan paksa warga dengan rentetan tembakan. Akibatnya, tujuh orang warga tertembak. Satu diantaranya meninggal dunia di pagi hari, Rabu, 2 Agustus 2017.
Nama-nama korbannya adalah Yohanes Pakage (tertembak dan patah tulang paha), Esebius Pakage (tertembak di telapak kaki), Delian Pekei (tertembak di betis, paha, bagian rusuk dan rahang), Penias Pakage (tertembak di tangan kanan), Amos Pakage tertembak di kaki kiri), Marinus Dogopia tertembak di bokong sebelah kiri), Yulius Pigai (tertembak di kedua pahanya, juga tertembak di kemaluan) lalu meninggal sekitar pukul 07.00 pagi waktu Papua dari Rumah Sakit Pratam Deiyai, Papua.
Tragedi kejahatan kemanusiaan di Deiyai telah menunjukkan bagaimana sikap Negara kolonial Indonesia terhadap rakyat bangsa Papua. Sejarah pembantaian terhadap rakyat Papua oleh Negara kolonial Indonesia melalui militer tercatat sejak Papua dianeksasi oleh Indonesia pada 1 Mei 1961, hingga saat ini.
Makin massifnya tindakan represi dan militeristik di Papua oleh TNI/Polri tidak pernah diangkat ke permukaan. Alih-alih menjadi berkemanusiaan dan berhenti menembaki rakyat Papua, militer Indonesia malah memperkuat dominasi represinya dengan membangun pangkalan-pangkalan militer di Papua: Pembangunan pangkalan militer TNI AU dan Mako Brimob di Yahukimo; pembangunan pangkalan militer TNI AU Tipe C di Wamena, Jayawijaya; pembangunan pangkalan TNI-AU di Wamena; pembangunan Mako Brimob di Wamena, Nabire dan Merauke; penambahan kodam-kodim (komando teritorial) di Sorong dan Manokwari; dan pembangunan pangkalan militer TNI AL di Sorong, serta Pusat Pelatihan Militer di Fak-Fak dan Kaimana.
Maka, Front Persatuan Rakyat dan Mahasiswa Anti Militerisme menilai bahwa keberadaan militer, serta pembangunan pangkalan militer hanya akan membunuh rakyat Papua karena, pembangunan fasilitas-fasilitas militer di Papua tidak bisa dilihat sebagai pembangunan biasa, akan tetapi harus dilihat secara ekonomi-politik. Yang artinya, pembangunan fasilitas militer di Papua bermakna dua: pertama, sebagai bentuk mengamankan jalur distribusi modal agar kapitalisme semakin mapan dan kokoh; kedua, sebagai bentuk memperkuat struktur represi terhadap perlawanan rakyat Papua yang ditindas oleh kolonialisme Indonesia sebagai agen kapitalis.
Front Persatuan Rakyat dan Mahasiswa Anti Militerisme dengan tegas dan keras menolak upaya pemerintah Indonesia (dengan alat represinya: militer) memperkuat dominasinya di Papua. Juga mengutuk keras kejahatan kemanusiaan oleh aparat militer Indonesia terhadap rakyat Papua di Deiyai dan daerah lain.
Sehingga kami menyerukan dan menuntut:
1. Indonesia harus bertanggungjawab atas tragedi kemanusiaan di Deiyai Papua.
2. Tangkap, adili dan penjarakan pelaku penembakan yang telah menewaskan 1 orang dan luka parah 6 warga lainnya.
3. Tutup PT. Dewa dan perusahaan lainnya yang merupakan dalang kejahatan di atas tanah Papua.
4. Menolak rencana pembangunan pangkalan militer TNI AU dan Mako Brimob di Yahukimo.
5. Menolak rencana pembangunan pangkalan Militer TNI AU tipe C di Wamena, Jayawijaya.
6. Menolak rencana pembangunan pangkalan tempat pelatihan militer di Kaimana.
7. Tarik Militer organik dan non organik dari tanah Papua
8. Buka seluas-luasnya ruang kebebasan pers dan hak menyampaikan pendapat di muka umum.
Dan kepada PBB, kami menyerukan:
1. Berikan hak penentuan nasib sendiri bagi rakyat Papua sebagai penyelesaian persoalan Papua, sesuai hukum internasional.
Demikian pernyataan ini kami buat. Salam referendum. Salam pembebasan bangsa-bangsa. Salam anti kolonialisme.
Rabu, 9 Agustus 2017
Front Persatuan Rakyat dan Mahasiswa Anti Militerisme
(FRI-WP, AMP, Ipmanapandodei, Mahasiswa Jayawiyaya, Yahukimo, Jayapura, Kaimana, Sorong, Tambrau, Merauke, Ipmace, AMPTPI, Buruh, Siempre)