gambar kamerad alm. Wilson Nawipa, saat berorasi di aksi longmarch 15 Agustus
|
Penulis: Rudy Pravda*
Duka bagi mereka yang pernah bersama Wilson
Nawipa, berjuang karena melawan kelaliman, dan keserakahan, yang dialami bangsa
yang sudah seharusnya bahagia sejak lahir. Namun, dianeksasi (dipaksakan)
dengan intervensi politik senapan dan pembantaian. Duka itu tidak saja
melahirkan ingatan tangisan terseduh-seduh,
bagi yang tersisa (sisa-sisa) yang hidup, tak seperti banyaknya bintang-bintang
di langit, tapi sedikit bintang itu masih menyediakan cahaya bagi segenap
(sisa-sisa) untuk bertahan, dan harus melanjutkan tugas yang mulia.
Kata Gobai: Kalau kau pergi meninggalkan pekerjaan ini,
siapa lagi yang akan kerja, kau bangsat! Penipu! Artinya kau menanam benih
kerinduan yang tak terbatas sayap mulianya. Bagi aku, mereka, dan siapa saja
yang dalam memoar perjuangan konsisten menyerahkan secara sukarela hidupnya
untuk kemanusiaan/merdeka, hingga kau tamat duluan, dan episode
bintang-bintang terang itu kami lanjutkan.
Begitulah, kau hadir menanam benih tanpa
restu kau selalu mencari jalan untuk tetap subur bermekaran bungan-bungan,
indah dan tak takut mati. Kau sendiri, kami, dihadang ancaman, teror, bermimpi
bebas, dari rantai kebinatangan, sampah manusia-manusia jahat. Kau sendiri,
kami, terus melewati berbagai macam superioritas kekuatan bersenjata, rezim antek binatang
berkaki dua. kau sendiri, kami, berhadap-hadapan dengan kemauan sejati, tapi
kemauan itu selalu ada tantangan, hingga kami akan tetap selalu menyampaikan
kebenaran diatas pertimbangan kenyamanan, karena hidup adalah tanggung jawab
terhadap pikiran.
Sampai-sampai, aku sedang melihat kau
dikadoi duka, oleh kebanyakan yang mendekam dalam kerinduan. Aku tertawa Wilson
Nawipa, meski tangisan dan kesedihan
telah terkumpul menumpukan menjadi kerinduan, aku tertawa Wilson Nawipa, saat
kabar duka dilayangkan, aku tertawa Wilson Nawipa, saat tak pernah aku ketemu
kau, tapi bisa ku dengar nama mu. Sampai-sampai tertawa tak bisa ku bendung,
karena aku ingat kata itu, bahwa siapapun dia rakyat Papua, jika dipanggil
Tuhan dalam pangkuannya, akan bahagia. Dan
kebebasan telah Tuhan berikan kepada kau, tempat mana berminat kau pilih. Untuk
rumah kau kenang dalam abadi, roh yang tak akan lagi dijahati,
sebab kau diberi pelukan indahnya surga, bagi hidupmu yang kau pedomankan
syarat permmintaan surga. Aku yakin kau akan marah, bila mendengar ada
tangisan dan kerinduan, sebab sejatinya bangsa mu tidak diajari menangis dan
berduka dalam derita dan kelaparan.
Satu bintang yang
khilang
Bagaimana kau tak
marah, melihat tangisan, sebab bangsa mu sudah menangis sejak 64 tahun, juga 54
tahun dilingkungan pagar besi-besi baja, mensyaratkan penjajahan. kau tampar
wajah mu untuk tak buta sejarah, buta politik, buta pembunuhan bangsa mu
didepan mata tanpa henti. Air mata tak cukup, membayar luka lama, luka kini,
dan luka akan datang, bukan itu sejatinya sejarah rakyat mu. Para perempuan
meratap, anak-anak menangis, meratap saudara-saudaranya berlumuran darah
disekujur tubuh, meratap pembunuhan, dan disana sini orang-orang berjalan
bagaikan berada didalam mimpi buruk. Ah, aku masih tetap tertawa, Wilson
Nawipa. Sebab kata-kata itu tak dapat mengubah wajah tertawa menjadi sedih,
untuk apa aku sedih, bangsat! Sebab aku di lahirlah tidak harus sedih, tokh
kesedihan itu sudah sejak aku alami sepanjang 118 tahun oleh Belanda dan
Indonesia. Untuk apa ku sedih, aku masih harus tertawa Wilson Nawipa. Kenapa,
karena disurga nanti kau ketemu sama orang Indonesia, kau akan melatih ingatan
subur sejarah, kau marah, juga bisa kau habisi, sebelum kau akan dijajah juga
didalam surga.
Untuk apa aku sedih, aku
harus tertawa, karena benih itu sudah kau tanam, menjadi bintang yang tersisa
memberi cahaya dengan cinta dan sayang untuk berjuang sampai menang!
(Ku tulis catatan
untuk Wilson Nawipa)
Penulis adalah Anggota Pembebasan Kolektif Kota Ternate, juga anggota Front Rakyat Indonesia Untuk West Papua (FRI-WP)
Catatan:
-Mengambil kata-kata
dari tulisan Jhon Gobai
-Mengambil kalimat
dari tulisan Danial Indrakusuma
-Mengambil kalimat
dari istilah Noam Chomsky, dalam sejarah Geneosida rakyat Yahudi dan Palestina.
Dan juga istilah Binatang Berkaki Dua