Aksi Bersama
Aliansi Mahasiswa Papua (AMP) Dan Front Rakyat Indonesia untuk West Pa pua
(FRI-West Papua)
_____________________________________________________________________________
Amolongo, Nimo, Koyao, Koha, Kinaonak, Nare, Yepmum, Dormum, Tabea Mufa, Walak, Foi Moi, Wainambe, Nayaklak
Wa…wa…wa…wa…wa…wa..wa..wa..wa..wa!
Pepera 1969 Ilegal di Papua Barat
Hak Menentukan Nasib Sendiri Sebagai Solusi Demokratis Bagi Rakyat Papua Barat
Persoalan Kebangsaan telah di mulai sejak 1960-an dan gagasan kebangsaan bagi Rakyat dan Bangsa Papua Barat telah merebut kemerdekaan sejak 1 Desember 1961 secara de jure dan de facto bahwa Bangsa Papua Barat telah Merdeka secara konstitusional. Dalam era itu, kemerdekaan bangsa Papua Barat terjadi Perebutan antara Belanda dan Indonesia mempersoalkan status bangsa Papua Barat yang ketika itu juga, Presiden Ir. Soekaro Mengkumandangkan Trikora (Tri Komando Rakyat) di Alun-Alun Kota Jogjakarta, 19 Desember 1961 untuk mengagalkan Negara Bangsa Papua Barat yang telah di deklarasikan kemerdekaan dan sedangkan Belanda menyiapkan militer untuk melawan Indonesia yang mana Belanda beranggap bahwa bangsa Papua Barat bagian dari kerajaan-nya. Itulah, Perebutan antara Belanda dan Indonesia atas Tanah Papua Barat. Sehingga, lahirnya manifesto politik antara Belanda dan Indonesia yang menghasilkan perjanjian-perjanjian tanpa keterlibatan Rakyat Asli Papua Barat seperti Pejanjian New York Agreement. Perjanjian tersebut terdiri dari 29 Pasal yang mengatur 3 macam hal. Diantaranya Pasal 14-21 mengatur tentang Penentuan Nasib Sendiri (Self Determination) yang didasarkan pada praktek Internasional yaitu “satu orang satu suara” (One Man One Vote). Dan pasal 12 dan 13 yang mengatur transfer administrasi dari Pemerintahan PBB (United Nations Temporary Executive/UNTEA) kepada Pemerintah Indonesia, yang kemudian dilakukan Aneksasi pada 1 Mei 1963.
Pada 30 September 1962 dikeluarkan Roma Agreement/Perjanjian Roma yang merujuk agar Indonesia menduduki selama 25 tahun di Papua Barat dari 1 Mei 1963 hingga 1989 dan Point ke dua, mempersiapkan pelaksanaan Act of Free Choice (Tindakan Pilih Bebas) di Papua Barat pada tahun 1969 dengan cara "musyawarah" tidak pada tahapan "one man one vote" yang di atur dalam New York Agreement maupun hukum Internasional itulah manipulasi sejarah rakyat Papua Barat. Namun dalam praktek-nya, Indonesia justru memobilisasi Militer ke Papua Barat untuk meredam gerakan Perjuangan Kemerdekaan bangsa Papua Barat sejak Trikora di Komandkan oleh Ir. Soekarno. Dari itu, berbagai Operasi Khusus (OPSUS) yang di ketuai Ali Murtopo bertugas untuk memenangkan Penentuan Pendapat Rakyat (PEPERA) ada pun operasi militer yang di lakukan Pra PEPERA, Operasi Jayawijaya (1961-1962), Operasi Wisnumurti(1963-1965), Operasi Sadar(1965), Operasi Brathayudha(1966-1967), Operasi Wibawa(1967), Operasi Khusus Penenganan Pepera(1961-1969) , selanjutnya diikuti operasi militer lainnya setelah PEPERA yaitu Operasi tumpas (1967-1970), Operasi Pamungkas(1971-1977), Operasi Koteka (1977-1978), Operasi Senyum (1979-1980), Operasi Gagak I (1985-1986), Operasi Gagak Ii (1986), Operasi Kasuari I (1987-1989), Operasi Kasuari Ii (1988-1989), Operasi Rajawali I (1989-1990), Operasi Rajawali (1990-1995)
Akibat dari operasi-operasi militer tersebut terjadi berbagai pelanggaran HAM, yakni berunjuk pada penangkapan, penahanan, pembunuhan, manipulasi hak kemerdekaan rakyat dan Bangsa Papua Barat, pelecehan seksual, pelecehan kebudayaan, rasialis dan diskriminasi serta sebagainya, sejak dari antara Tahun 1961-1969 dalam kurun waktu 8 Tahun dan kejahatan kemanusian terus terjadi hingga dekade saat ini. Lebih ironis lagi, tanggal 7 April 1967 Kontrak Karya Pertama PT. Freeport McMoran, perusahaan tambang milik Negara Imperialis Amerika dan sekutu-nya, ditanda-tangani oleh pemerintahan rejim Soeharto. Yang mana klaim atas wilayah Papua Barat sudah dilakukan oleh Pemerintah Kolonial Indonesia 2 Tahun sebelum PEPERA dilakukan tanpa keterlibatan rakyat Asli Papua Barat. Sehingga sudah dapat dipastikan dari penjajahan itu, bagaimana pun cara-nya dan apa pun alasan-nya Papua Barat harus masuk dalam kekuasaan Pemerintah Kolonialisme Indonesia. Tepat 14 Juli – 2 Agustus 1969, PEPERA dilakukan secara "Musyawarah" dengan cara Indonesia sendiri. Dari 809.337 orang Papua Barat yang memiliki hak, hanya diwakili 1025 orang yang sebelumnya sudah dikarantina dan cuma 175 orang yang memberikan pendapat. Musyawarah untuk Mufakat melegitimasi Indonesia untuk melaksanakan PEPERA yang tidak demokratis, penuh teror, intimidasi dan manipulasi serta adanya pelanggaran HAM berat yang terjadi secara sistematis. Sehingga itulah, Praktek kolonialisme, imperialisme dan militerisme kemudian diterapkan oleh Pemerintah Indonesia hingga saat ini untuk meredam aspirasi perjuangan kemerdekaan Rakyat Papua Barat. Dimana Militer menjadi antek-antek yang paling reaksioner selama proses awal penjajahan hingga saat ini.
Perjuangan Rakyat dan Bangsa Papua Barat terus mengalami penindasan-penindasan yang di lakukan oleh kolonialisme Indonesia, terutama penerapan system klonial serta militer yang sangat represif pada tahapan Mahasiswa hingga Pada tahapan kalangan-kalangan rakyat yang memperjuangkan untuk mengembalikan hak vekto bangsa Papua Barat yang telah merdeka sejak, 1 Desember 1961. Dengan itu pun, kekerasan Kolonialisme Indonesia telah merebut berbagai sumber daya yang ada di tanah Papua Barat memberikan kepada para kedok Kapitalisme dan Imperialisme dari membunuh-nya nasionalisme Rakyat Papua Barat. Seperti diketahui hasil dari Pepera yang ilegal merupakan manipulasi perjuangan rakyat Papua Barat sehingga hadirkan berbagai penjajahan di tanah Papua Barat, mulai dari perusahan-perusahan ilegal hingga pembohongan brokratis kolonial Indonesia Atas West Papua.
Berdasarkan kenyataan sejarah akan hak perjuangan kemerdekan rakyat Papua Barat yang dibungkam secara brutal dan keinginan abadi rakyat Papua Barat untuk bebas merdeka di atas Tanah Air dan bebas dari penjajahan yang ada.Sehingga, dalam Memperingatkan 49 Tahun Penentuan Pendapat Rakyat (PEPERA) yang tidak demokratis dan melanggar hukum Internasional, Maka Aliansi Mahasiswa Papua [AMP] dan Front Rakyat Indonesia untuk West Papua [FRI-WP], menuntut kepada Pemerintah Indonesia dan PBB untuk segera:
1. Berikan Kebebasan dan Hak Menentukan Nasib Sendiri Sebagai Solusi Demokratis Bagi Bangsa Rakyat Papua.
2. Berikan ruang demokrasi dan akses bagi Jurnalis dan media Internasional dan Nasional di Papua Barat.
3. PBB Harus Bertanggungjawab Untuk Meluruskan Sejarah Pepera dan Proses Aneksasi West Papua Ke Indonesia.
4. PBB Harus Membuat Resolusi Untuk Mengembalikan Kemerdekaan Bangsa Papua Barat Yang Telah Merdeka, ! Desember 1961 Sesuai Dengan Hukum Internasional.
5. Menarik Militer Indonesia (TNI-Polri) Organik dan Non Organik dari Seluruh Tanah Papua untuk Menghentikan Segala Bentuk Kejahatan Terhadap Kemanusiaan Oleh Negara Indonesia Terhadap Rakyat Papua Barat.
6. Menutup dan Menghentikan Aktifitas Eksploitasi Semua Perusahaan Multi National Coorporation (MNC) milik Negara-Negara Imperialis; Freeport, BP, LNG Tangguh, Medco, Corindo dan lain-lain dari Seluruh Tanah Papua.
7. Negara Indonesia dan PBB Bertanggung Jawab atas Kejahatan Kemanusian Di Papua Barat dan Segara Menangkap dan Mengadili Aktor Kejahatan Kemanusian.
8. Hentikan Kriminalisasi dan Diskriminasi terhadap Mahasiswa dan Rakyat Papua Barat
9. Berikan kebebasan berkumpul, berserikat, berekpresi, dan menyampaikan pendapat yang merupakan hak setiap manusia tanpa kecuali kepada Mahasiswa dan Rakyat West Papua
Demikian pernyataan sikap ini dibuat, kami akan terus melakukan perlawanan terhadap segala bentuk penjajahan, pembungkaman, penindasan dan penghisapan, terhadap Rakyat dan Bangsa West Papua.
Salam Pembebasan Nasional Papua Barat!